4. Tanah bengkok yaitu tanah pertanian umumnya sawah milik desa yang
diperuntukkan bagi pamong desa terutama kepala desa lurah sebagai gajinya selama menduduki jabatan tersebut. Setelah tidak lagi menjabat,
maka tanah tersebut dikembalikan kepada desa untuk diberikan kepada pejabat yang baru.
Hubungan antara manusia dengan sesamanya dan sumberdaya tanah dalam penguasaan tanah tidaklah bersifat statis melainkan dinamis. Dinamika dalam
penguasaan tanah menyangkut pemilikan maupun penguasaan tanah. Berdasarkan sifatnya, perubahan penguasaan tanah ada yang bersifat sementara dan tetap.
Penguasaan tanah yang bersifat sementara dilakukan melalui sewa menyewa, gadai, dan bagi hasil sedangkan perubahan penguasaan tanah yang bersifat tetap
dilakukan melalui waris dan transaksi jual beli. Petani miskin yang tidak mempunyai tanah garapan dapat menguasai
tanah melalui hubungan penguasaan sementara dengan petani lain Wiradi, 2008, karena pemilik tanah luas biasanya tidak selalu menggarap sendiri Breman dan
Wiradi, 2004.
2.1.2.1 Sewa
Breman dan Wiradi 2004 mendefinisikan sewa yakni menyewakan tanah untuk satu atau lebih musim dengan mendapat sejumlah uang yang biasanya
dibayarkan sebelumnya. Dalam sewa pemilik tanah memberikan hak penguasaan tanah kepada orang lain secara sementara, sesuai dengan perjanjian antara
keduanya Wiradi dan Makali, 1984. Istilah sewa di beberapa desa di Jawa diantaranya motong, kontrak, sewa
tahunan setoran, jual oyodan, dan jual potongan. Berdasarkan waktu pembayarannya, sewa dapat dibayar sebelum atau setelah menyewa tanah,
tergantung pada kebiasaan. Istilah motong, kontrak, dan setoran, harga sewa dibayar setelah panen sedangkan sewa tahunan, jual oyodan atau jual potongan
harga sewa dibayar sebelum penyewa menggarap tanah sewaannya. Selanjutnya urutan bagi penyewa tanah untuk menggarap tanah menentukan harga sewa tanah.
Penyewa yang langsung menggarap berada pada urutan pertama membayar sewa lebih mahal daripada penyewa yang harus menunggu beberapa musim
kemudian Wiradi dan Makali, 1984.
2.1.2.2 Hak Gadai
Gadai yaitu menyerahkan tanah kepada seorang kreditor yang kemudian punya hak menggunakan tanah itu selama jangka waktu berlakunya pinjaman
Breman dan Wiradi, 2004. Sama halnya dengan sewa, gadai juga memberikan hak penguasaan tanah secara sementara. Pembayaran pinjaman dapat berupa
sekuintal gabah atau sekian gram emas perhiasan atau sekian ekor sapi atau kerbau. Pemilik tanah dapat memperoleh tanahnya kembali bila ia telah
menebusnya. Selama pemilik tanah belum dapat menebus, maka hak penguasaan atas tanahnya ada pada pemegang gadai. Pengembalian tanah dilakukan setelah
tanamannya selesai dipanen Wiradi dan Makali, 1984. Pada sistem gadai, petani kecil berpeluang untuk kehilangan tanahnya
sedangkan pemilik tanah besar justru berpeluang untuk mengakumulasikan tanahnya. Proses kehilangan tanah pada petani kecil dapat terjadi bila mereka
tidak dapat membayar hutang. Tanah ditukar sebagai jaminan atas uang yang mereka pinjam. Tanah yang dijadikan jaminan berpindah tangan kepada si
peminjam uang sebagai ganti atas hutang yang tidak bisa mereka bayar Breman dan Wiradi, 2004.
Sebaliknya proses akumulasi tanah dapat terjadi pada petani kaya dikarenakan dua hal, yaitu: 1 Mereka dapat membayar hutang, sehingga tanah
dikembalikan pada si pemilik. Ini berarti tanah mereka tidak hilang, 2 Uang yang mereka dapatkan dari menggadaikan tanah digunakan untuk mendapatkan
uang tunai. Selanjutnya dipergunakan untuk membeli tanah atau menanam modal. Tanah yang dimiliki petani kaya bertambah luas karena adanya pembelian tanah
hasil dari uang gadai. Hasil dari usaha mereka ini kemudian mereka gunakan untuk membayar kembali uang yang sudah mereka pinjam Breman dan Wiradi,
2004.
2.1.2.3 Bagi Hasil