Pengujian Ekstrak Biji Pala (Myristica sp.) sebagai Bahan Anestesi pada Lobster Air Tawar (Cherax quadricarinatus)

(1)

1 PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Anestesi merupakan kondisi saat sebagian atau bagian tubuh kehilangan kemampuan untuk merasa (insensibility). Anestesi dapat disebabkan oleh senyawa kimia yang disebut obat, suhu dingin, arus listrik atau penyakit (Gustafson 1980 diacu dalam Habibie 2006). Anestesi dalam bidang perikanan bertujuan memudahkan penanganan biota baik untuk kepentingan medis, seperti pengobatan luka, memudahkan pemasukan hormon tertentu pada biota, serta memudahkan pengangkutan saat biota hendak ditransportasikan dalam keadaan hidup. Zat anestesi yang diberikan pada biota akan bekerja menekan saraf tertentu sehingga biota menjadi dalam keadaan setengah sadar atau pingsan. Perlunya peraturan tentang penggunaan anestesi diperkuat dengan adanya bahasan mengenai animal welfare yang menjadi kajian dalam diskusi panel sekelompok masyarakat ilmiah di Norwegia (Farstad et al. 2008). Kajian tersebut berfokus pada transportasi ikan pada sistem tertutup dan pertimbangannya dari aspek kesehatan serta perlindungan terhadap hak-hak biota perairan sebagai makhluk hidup.

Bahan anestesi yang telah dipergunakan dan banyak menjadi kajian terdiri dari bahan anestesi sintetis dan bahan anestesi alami. Beberapa bahan sintetis yang dipergunakan antara lain benzocaine, quinaldine, phenoxyetahnol, dan metomidate (Sneddon 2012). Sedangkan bahan-bahan alami yang telah diteliti dan digunakan sebagai bahan anestesi antara lain : ekstrak ubi kayu (Habibie 2006), minyak cengkeh (ekstrak eugenol) dan mentol (Saydmohammed dan Pal 2009), juga minyak esensial dari Lippia alba (Cunha et al. 2010), dan ekstrak akar tuba (Nasution 2012). Penggunaan bahan-bahan anestesi tersebut diaplikasikan terhadap biota perairan seperti ikan mas, catfish, maupun crustacea.

Penggunaan bahan alami sebagai bahan anestesi semakin banyak dikembangkan dan diaplikasikan dalam kegiatan penanganan biota perairan. Hal ini berhubungan dengan keamanan pangan sehingga menuntut para industri untuk menjamin bahwa produknya aman dari kandungan zat kimia berbahaya yang berefek kronis pada manusia. Senyawa organik banyak digunakan sebagai bahan anestesi, misalnya senyawa golongan alkaloid dan aromatik. Beberapa senyawa


(2)

golongan alkaloid antara lain saponin, treonin, dan morfin, sedangkan contoh senyawa aromatik yaitu eugenol, elemycin, myristicin, dan safrole. Sifat-sifat dari senyawa alkaloid seperti analgesik, antibakteri, dan anti kanker banyak digunakan dalam bidang farmasi. Senyawa aromatik juga sering digunakan terutama dalam industri kosmetik dan industri makanan. Pada industri parfum, eugenol dan myristicin dijadikan sebagai aroma khas.

Pala merupakan tumbuhan asli Indonesia. Pala mengandung senyawa aromatik yaitu eugenol, myristicin, dan safrole yang bersifat menimbulkan daya halusinasi apabila digunakan dalam konsentrasi tertentu. Sifat ini diharapkan dapat diterapkan untuk memingsankan ikan yang akan ditransportasikan. Bagian dari pala yang sangat potensial untuk kepentingan penelitian pemingsanan ikan adalah biji. Biji pala mengandung minyak atsiri sekitar 2-16 % (Nurdjanah 2007). Minyak atsiri merupakan senyawa yang umumnya terdapat pada tumbuhan yang dapat menimbulkan bau menyengat yang khas. Minyak atsiri juga diketahui terdapat pada buah jeruk dan cengkeh.

Udang-udangan menyumbang sekitar 17 % dari total perdagangan dunia di tahun 2007, pada tahun berikutnya pangsanya turun menjadi 15 % akibat harga internasional yang turun meskipun penguasaan pangsa dari segi volume terjadi kenaikan. Dalam angka, nilainya juga naik karena total nilai perdagangan internasional telah lama bertengger diatas US$ 100 milyar/tahun sejak tahun 2008. Udang yang diperdagangkan di dunia terdiri dari beragam spesies dan merupakan hasil tangkapan serta budidaya. Kini dari segi volume, udang hasil budidaya di daerah tropis telah menguasai pasokan yang ada. Produksi udang dunia umumnya berasal dari negara berkembang dan lebih dari 57 % diantaranya diperdagangkan dalam skala internasional. Udang termasuk komoditas yang production driven, karena hingga saat ini berapapun produksinya selalu terserap pasar sehingga udang menjadi komoditas perikanan utama di sejumlah negara. Artinya, udang merupakan sumber utama perolehan devisa. Masih dari kelompok crustacea, lobster juga mempunyai peluang pasar yang baik. Rasanya mirip udang dengan jumlah daging yang lebih tebal sehingga menjadi daya tarik tersendiri bagi pecinta kuliner seafood. Lobster seringkali disebut sebagai “kakak” dari udang karena dari segi morfologi terlihat mirip namun dengan ukuran yang lebih besar, meskipun


(3)

untuk jenis tertentu seperti Homarus spp dipandang sebagai antara udang dan kepiting. Lobster mempunyai harga yang mahal karena pasokan umumnya masih terbatas, sehingga masuk kategori sebagai makanan mewah. Lobster air tawar (crayfish) harganya juga di atas harga udang meskipun umumnya masih di bawah harga lobster, dan mempunyai segmen pasar tersendiri. Outlet pemasaran lobster umumnya adalah restoran atau perusahaan jasaboga yang melayani konsumen kelas atas (FAO 2010 diacu dalam Widiarti 2010).

Konsumen lebih menyukai biota dalam keadaan hidup ketika sampai di tempat tujuan. Berbagai metode dilakukan agar biota sampai di tempat tujuan dengan tingkat kelangsungan hidup yang tinggi. Transportasi lobster air tawar capit merah (Cherax quadricarinatus) di Indonesia saat ini masih dalam tahap pengembangan untuk dapat dijadikan komoditi ekspor. Pada saat pengangkutan lobster, risiko yang dihadapi para produsen dalam transportasi adalah sifatnya yang kanibal sehingga saat lobster sampai di tempat pembeli, bagian tubuhnya tidak lengkap (cacat). Hal tersebut menyebabkan berkurangnya nilai estetika produk ini pada saat disediakan sebagai hidangan. Beberapa bahan alami seperti ekstrak caulerpa, ekstrak biji karet, minyak cengkeh, dan ekstrak akar tuba dinilai potensial apabila digunakan sebagai bahan anestesi dan telah dicobakan pada beberapa biota perairan seperti kerapu, lobster, dan ikan teleostei. Anestesi menggunakan ekstrak biji pala diharapkan dapat menjadi salah satu alternatif untuk memudahkan pengangkutan dan mengurangi risiko cacat fisik, serta mempertahankan kelangsungan hidup lobster dalam waktu yang relatif lama.

1.2 Tujuan

Penelitian ini bertujuan untuk menguji ekstrak biji pala sebagai bahan anestesi dan menentukan konsentrasi terbaik untuk anestesi pada lobster. Penelitian ini juga bertujuan mengaplikasikan ekstrak biji pala untuk anestesi lobster hidup pada aplikasi transportasi sistem kering.


(4)

2 TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Deskripsi dan Klasifikasi Lobster Air Tawar (Cherax quadricarinatus) Lobster air tawar ini sering disebut dengan nama Queensland red claw atau red claw. Cherax quadricarinatus adalah salah satu jenis lobster air tawar yang berasal dari Australia. Lobster ini banyak ditemukan di sungai air deras serta danau di pantai utara daerah timur laut Queensland. Tubuhnya berwarna biru kehijauan. Lobster jantan yang sudah dewasa memiliki capit berwarna merah di bagian luarnya. Panjang tubuhnya berkisar 25 cm dengan bobot tubuh sekitar 450 g.

Berikut ini adalah klasifikasi lobster air tawar (Von Martens 1868 diacu dalam Belle 2010):

Kingdom : Animalia Filum : Arthropoda Subfilum : Crustaceae Kelas : Malacostraca Ordo : Decapoda Famili : Parastacidae

Species : Cherax quadricarinatus

Gambar 1 Lobster air tawar (Cherax quadricarinatus) (Anonim 2011a)


(5)

Red claw hidup pada perairan darat dengan suhu air berkisar 20 – 31 oC (ideal 26 – 29 oC), pH air 7, dan kesadahan air 10 – 20 odH. Pada umur 6-7 bulan, lobster sudah mulai memijah dan bertelur. Dalam sekali memijah, jumlah telur yang dihasilkan dapat mencapai 100 – 200 butir. Sementara jika sudah mencapai satu tahun, produksi telurnya mencapai 600 – 1000 butir/ekor. Dalam waktu setahun, induk betina mampu bertelur hingga 5 kali.

Gambar 2 Morfologi dan bagian-bagian utama tubuh lobster air tawar. (Anonim 2012)

Morfologi tubuh lobster terdiri dari dua bagian, yaitu bagian depan dan bagian belakang. Bagian depan terdiri dari bagian kepala dan dada. Kedua bagian itu disebut cephalothorac. Kepala lobster ditutupi oleh cangkang kepala, yang disebut carapace (karapas). Kelopak kepala bagian depan disebut rostrum. Bentuknya runcing dan bergerigi. Kepala lobster terdiri dari enam ruas. Pada bagian itu terdapat beberapa organ lain. Sepasang mata berada pada ruas pertama. Kedua mata itu memiliki tangkai dan bisa bergerak. Pada ruas kedua dan ketiga terdapat sungut kecil, yang disebut antennula, dan sungut besar yang disebut antenna. Sedangkan pada ruas keempat, kelima dan keenam terdapat rahang (mandibula), maxilla I dan maxilla II. Ketiga bagian ini berfungsi sebagai alat makan (Wiyanto dan Hartono 2003 diacu dalam Susanto 2010). Organ lain yang ada pada bagian kepala adalah kaki jalan, jumlahnya empat pasang, dengan ukuran kaki paling depan lebih besar. Bagian belakang terdiri dari badan dan ekor. Kedua bagian itu disebut abdomen. Pada bagian atas abdomen ditutupi dengan


(6)

enam buah kelopak, sedangkan bagian bawahnya tidak tertutup, tetapi berisi enam kaki renang (pleopoda). Ekor terdiri dari bagian tengah yang disebut telson dan bagian samping yang disebut uropoda.

Lobster air tawar merupakan hewan yang seluruh tubuhnya terbungkus cangkang (ekternal skeleton). Lobster air tawar memiliki alat pelengkap pada bagian luar, yaitu : (1) sepasang antena yang berfungsi sebagai perasa dan peraba terhadap pakan dan kondisi lingkungan, (2) sepasang antenula yang berfungsi sebagai alat penciuman, mulut dan sepasang capit (cheliped) yang lebar dengan ukuran lebih panjang jika dibandingkan dengan ruas dasar capitnya, (3) enam ruas badan (abdomen) sedikit memipih dengan lebar rata-rata hampir sama dengan lebar kepala, (4) ekor. Ekor terdiri dari ekor tengah (telson) memipih, sedikit lebar dan dilengkapi duri-duri halus yang muncul di semua bagian tepi ekor. Bagian ekor lainnya adalah dua pasang ekor samping (uropod) yang juga memipih. (5) Enam pasang kaki renang (pleopoda) yang berperan dalam melakukan gerakan renang. Disamping sebagai alat berenang, kaki induk pada lobster betina digunakan sebagai alat untuk menambah oksigen dengan pergerakannya. Selain itu juga digunakan untuk membersihkan telur atau larva dari tumpukan kotoran yang terendap, (6) empat pasang kaki jalan (pereipoda) (Iskandar 2003 diacu dalam Susanto 2010).

Sistem peredaran darah lobster adalah sistem peredaran darah terbuka. Dengan sistem ini lobster tidak mempunyai arteri atau vena untuk mengalirkan darahnya. Darah yang mengandung oksigen dipompa oleh jantung ke seluruh tubuh. Darah tidak mengandung hemoglobin, melainkan hemosianin yang daya ikatnya terhadap O2 rendah (Lukito dan Prayugo 2007).

2.2 Sistem Saraf dan Chemoreseptor pada Crutacea

Sistem saraf pusat pada crustacea terdiri dari saraf ventral berganda yang dihubungkan satu sama lain dengan ganglia. Ganglia bersifat sangat kompleks, dengan ganglia yang terbesar terdapat pada ujung anterior. Ganglia berfungsi sebagai otak. Crustacea dapat hidup tahunan dan mempunyai otak yang samar (palsu), dalam hal ukuran dan kompleksitasnya, beberapa menyebutkan otak pada crustacea mirip antara octopus dan serangga (Sanderman et al. 1992 diacu dalam Barr et al. 2008). Unit-unit sensori berkembang seiring dengan frekuensi moulting


(7)

selama masa pertumbuhan dan dipengaruhi oleh masa hidup dari regenerasi sel saraf (Beltz dan Sandeman 2003 diacu dalam Elwood 2009). Selama ecdysis, crustacea berada dalam kondisi yang rawan, dan sebagai akibat peningkatan tahap kompleksitas dari sensor aparatusnya, tambahan fungsi sensor yang baru harus segera terbentuk ( Ali 1987 diacu dalam Elwood 2009).

Pada crustacea, reseptor neuron dikemas dalam kutikula dari eksoskeleton yang disebut sensilla (Derby dan Steullet 2001 diacu dalam Elwood 2009). Sensilla akan menyampaikan stimulan melalui neuron sensory ke organ atau bagian yang dituju. Beragam jenis reseptor ditemukan pada permukaan termasuk mechanoreceptor, chemoreceptor, dan bimodal sensillae (Ali 1987 diacu dalam Elwood 2009). Chemosensilla terdapat pada hampir di seluruh permukaan eksoskeleton dan memungkinkan pendeteksian terhadap perubahan-perubahan kimia pada lingkungan (Derby dan Steullet 2001 diacu dalam Elwood 2009). Chemosensilla akan mendistribusikan pesan berupa stimulan kimia ke seluruh permukaan tubuh lobster, termasuk antenna, antenulla, mulut, lengan (capit dan kaki), chepalothorax, abdomen dan telson (Derby 1982,1989; Derby dan Atema 1982a; Spencer 1986; Tierney et al. 1988; Hallberg et al 1997; Cate dan Derby 2000, 2001 diacu dalam Steullet et al. 2001).

Penerimaan rangsang (stimulan) berupa bau pada kelas crustacea dilakukan secara cepat oleh pelipatan dua flagela pada tiap pasang antenanya (antenna dan antennula). Dua flagella merupakan penyusun setiap ruas antenna. Setiap segmen flagella (flagellum) disebut anulli (Laverack 1964; Steullet et al. 2000 diacu dalam Daniel 2008). Flagela lateral terdiri dari aestethasc sensilla yang merupakan tempat bagi unimodal neuron chemosensory. Neuron sensori pada aestethasc dan nonaesthetasc sensilla berakhir pada separasi bagian otak, lobus olfaktori, dan neuropil pada antena lateral. Lobster dan crustacea mempunyai beragam jenis tipe setae (Steullet 2001). Aestethacs terdapat pada bagian yang disebut setae (seperti rambut halus). Setae diketahui berfungsi sebagai pendeteksi eksternal akan adanya kemungkinan perubahan lingkungan.

Studi yang lebih mendalam mengenai setae pada crustacea (dalam hal ini pada Panulirus argus) dilakukan oleh Daniel et al. (2008). Kelas crustacea memiliki keberagaman setae yang bersifat impresif pada permukaan


(8)

eksoskeletonnya, dengan jumlah terbesar berada pada antennula. Antennula telah diidentifikasi sebagai mediator penerima rangsang yang bersifat kimia. Antena berfungsi sebagai pendukung beberapa perilaku pada kelas crustacea, termasuk mencari pasangan, pertahanan diri, pelipatan antennula, antennula grooming, penciuman terhadap makanan, dan kegiatan memanjat.

2.3 Deskripsi dan Klasifikasi Pala (Myristica sp.)

Tanaman ini berasal dari Pulau Banda dan sekarang sudah menyebar ke daerah-daerah lain di Indonesia, bahkan sampai di Grenada, Amerika Tengah dan lain-lain. Jenis ini sampai sekarang masih merupakan jenis yang unggul, tumbuh baik di daerah pegunungan dengan ketinggian kurang dari 700 meter dari permukaan laut (Nurdjanah 2007). Terdapat enam jenis pala di Maluku, yaitu Myristica fragrans, M. argantea. M. fattua, M. specioga, M. sucedona, dan M. malabarica, namun yang memiliki nilai ekonomi adalah Myristica fragrans. Tanaman pala dengan umur 25 – 50 tahun dapat menghasilkan 160 kg buah/pohon/tahun (Bustaman 2008). Jenis ini membentuk pohon yang tingginya lebih dari 18 meter (Nurdjanah 2007). Pala mempunyai beberapa nama seperti mace (United Kingdom) ; muscadier (Prancis); nuez moscada (Uruguay, Spanyol); dan nutmeg (United Kongdom) (Leon 1991).

Buah pala mengandung 8 - 10 % komponen volatil (myristica oleum), 30 - 40 % lemak jenuh, 9 - 13 % air, dan 5 % mineral. Minyak biji pala memiliki 12 % myristicin, gliceryn ester dari asam miristat (C14H28O2) (Playfair 1841 diacu dalam Kartez 2011). Setiap 100 g daging buah pala mengandung 10 g air, 7 g protein, 33 g lemak, serta minyak yang menguap (minyak atsiri) dengan komponen utama monoterpen hidrokarbon (61 – 88 % seperti alpha pinene, beta pinene, sabinene), asam monoterpenes (5-10%), aromatik eter (2 – 18 % misalnya myristicin, elemicin, safrole) (Nurdjanah 2007).

Dosis oral sebanyak 24 mg/kg berat badan merupakan dosis letal pada kucing. Toksisitas akut oral (LD50) pada tikus besar sebesar 2600 ± 220 mg/kg

berat badan. Sedangkan toksisitas akut oral (LD50) biji pala yang berasal dari

Indian Timur pada tikus mencit sebesar 5620 ± 520 mg/kg berat badan. (Jenner et al. 1979 diacu dalam Pratiwi 2000).


(9)

Menurut Kartez (2011) klasifikasi pala adalah sebagai berikut : Kingdom : Plantae

Divisi : Magnoliophyta Kelas : Magnoliopsida Ordo : Magnoliales Famili : Myristicaceae Genus : Myristica Spesies : Myristica sp.

Gambar 3 Buah pala (kiri) dan biji pala kering (kanan) (Anonim (2010) dan Anonim(2011b))

Buah untuk keperluan rempah biasa dipetik pada umur 9 bulan sejak persarian bunga. Buahnya berbentuk peer, lebar, dan ujungnya meruncing, kulitnya licin, berdaging dan cukup banyak mengandung air. Jika sudah masak petik, warnanya kuning pucat dan membelah dua kemudian jatuh. Biji pala tunggal, berkeping dua, dilindungi oleh tempurung, walaupun tidak tebal tapi cukup keras. Bentuk biji bulat telur hingga lonjong, mempunyai tempurung berwarna coklat tua, dan licin permukaannya. Bila sudah cukup tua setelah dikeringkan warnanya menjadi coklat muda di bagian bawah dan coklat tua di bagian atasnya dengan permukaan yang keriput dan beraluran. Biji dan fuli yang cukup tua dimanfaatkan sebagai rempah, sedangkan biji dan fuli yang berasal dari buah yang muda, dimanfaatkan sebagai bahan baku minyak pala karena kandungan atsirinya yang jauh lebih tinggi dibandingkan biji dan fuli yang tua. Pada buah pala muda (umur 4 - 5 bulan) kadar minyak atsiri berkisar 8-17 %


(10)

(Nurdjanah 2007). Minyak pala dan fuli digunakan sebagai flavor pada produk-produk berbasis daging, pikel, saus dan sup, serta untuk menetralkan bau yang tidak menyenangkan pada rebusan kubis (Librianto et al., 2004 diacu dalam Nurdjanah 2007).

Senyawa yang terdapat dalam minyak atsiri pala (pada spesies pala maba) terdiri dalam beberapa golongan, yaitu senyawa yang tergolong monoterpen, monoterpen alkohol, seskiterpen, sikloterpen alkohol, dan fenil propena. Senyawa yang tergolong dalam monoterpen antara lain α-Pinena, β-Pinena, β-Mirsena, α-Felandrena, α-Terpinena, limonene, Osimena, senyawa yang tergolong monoterpen alkohol antara lain : β-Linalol, 4-Metil-1-(1-metiletil)-3-sikloheksen-1-ol, isobonieol. Senyawa yang termasuk seskiterpena antara lain kopaena, isokariofilina, dan α-Kariofilina. Senyawa yang tergolong dalam sikloterpen alkohol antara lain elemol, gualol, dan guaiol. Senyawa yang tergolong fenil propena antara lain safrol, isoeugenol, metal eugenol, metil isoeugenol, miristisin, dan elemisin. Fenil propena merupakan senyawa yang tergolong dominan berada pada minyak atsiri pala, yaitu safrol (2,21 %), metil eugenol (29,76 %), myristicin (3,57 %), dan elemicin (3,81 %) (Agusta 2000).

Dari buah dan biji pala dapat dihasilkan minyak yang menghasilkan senyawa myristicin yang berpotensi sebagai obat penenang (Casarett 1975 diacu dalam Pratiwi 2000). Menurut Leon (1991) dua komponen utama dalam biji pala, yaitu myristicin dan elemicin, keduanya berpotensi sebagai obat pshycotropic (penenang). Elemicin dapat mengoksidasi oleficin pada rantai molekulnya. Senyawa yang terbentuk akibat reaksi tersebut adalah vinil alkohol yang diduga dapat menyebabkan transaminasi untuk produksi TMA (3,4,5,-trimethoxy amphetamine). TMA diketahui berpotensi sebagai obat psychotropic. Elemicin (C12H16O3)mempunyai bobot molekul 208,26 (Harborne dan Baxter 1996 diacu

dalam Leon 1991).

Shulgin (1966) diacu dalam Pratiwi (2000) menyatakan bahwa senyawa myristicin yang terdapat dalam minyak biji pala berpotensi sebagai substansi psychotropic untuk mengganti senyawa sintesis. Myristicin merupakan senyawa dengan rumus molekul C12H16O3 dengan bobot molekul 192,21. Dalam tubuh,


(11)

MMDA diketahui mempunyai potensi yang lebih besar dibandingkan TMA sebagai obat pshychotropic. TMA dan MMDA mempunyai efek halusinogen dan antimual (Leon 1991). Selain myristicin dan elemicin, senyawa yang diduga bersifat anestetik adalah metil eugenol dan metil isoeugenol. Baik myristicin, elemicin, metil eugenol dan metil isoeugenol bekerja mempengaruhi kerja sistem saraf pusat. Pada dosis tinggi senyawa tersebut bersifat narkotik (Agusta 2000).

2.4 Pembiusan Ikan

Menurut Wright dan Hall (1961), mekanisme pembiusan meliputi tiga tahap, yaitu :

a. Berpindahnya bahan pembius dari lingkungan ke dalam muara pernafasan organisme.

b. Difusi membran dalam tubuh yang menyebabkan terjadinya penyerapan bahan pembius ke dalam darah.

c. Sirkulasi darah dan jaringan menyebabkan substansi masuk ke seluruh tubuh. Kecepatan distribusi dan penyerapan oleh sel ini sangat beragam, tergantung pada volume aliran darah dan kandungan lemak pada setiap jaringan.

Jika induksi zat anestesi berjalan cepat, satu hal yang sulit untuk dibedakan adalah perubahan kondisi fisiologis hewan uji, karena itu penggunaan dosis yang tepat merupakan bagian penting untuk menghindari over dosis. Untuk keperluan anestesi yang cepat dan tidak memerlukan prosedur yang invasif, disarankan agar anestesi cukup sampai pada tahap pingsan ringan, misalnya pada aplikasi pengukuran bobot, penanganan, dan inspeksi. Sedangkan prosedur yang invasif dan memerlukan waktu pingsan yang relatif lama, misalnya anestesi untuk pembedahan maka pelaksanaan anestesi lebih disarankan dengan penambahan oksigen jika diperlukan (Sneddon 2012).

Dengan sifat bahan anestetik yang mudah larut dalam air dan lemak, proses difusi zat anestetik dalam darah melalui insang terjadi sangat cepat. Masuknya cairan anestetik ke dalam sistem darah akan disebarkan ke seluruh tubuh termasuk otak dan jaringan lain (Wright dan Hall 1961). Bobot pembiusan zat anestetik terhadap ikan ditentukan oleh kadar zat anestetik yang terkandung dalam jaringan otak atau sarafnya (Hun 1970 diacu dalam Ferreira et al. 1984).


(12)

Hal lain yang juga penting diperhatikan adalah temperatur normal sesuai dengan lingkungan. Hal ini untuk menghindari gejala stres yang tidak diinginkan sehubungan dengan sifat poikilotermal ikan. Hipoksia menyebabkan respon stres pada ikan yang dapat memperlambat waktu pemulihan setelah proses anestesi. Hipoksia juga dapat terjadi ketika ada bagian insang yang tidak menyentuh atau terisi air, hal tersebut menyebabkan filamen insang lemah dan menjadi kering. Faktor-faktor yang perlu diamati dalam proses anestesi antara lain, parameter kualitas air yang meliputi pH, salinitas, alkalinitas. Idealnya air yang digunakan untuk proses anestesi merupakan air yang digunakan untuk pemeliharaan ikan dalam akuarium. Hal ini berguna untuk mereduksi stres selama induksi zat pada biota. Selain itu faktor seperti temperatur, bobot, dan kondisi ikan juga akan mempengaruhi respon ikan saat proses anestesi (Sneddon 2012).

2.5 Anestesi

Bahan anestesi mengganggu secara langsung maupun tidak langsung terhadap keseimbangan kationik tertentu di dalam otak selama masa anestesinya. Terganggunya keseimbangan ionik dalam otak menyebabkan ikan tersebut mati rasa karena syaraf kurang berfungsi. Gangguan keseimbangan ionik dalam otak ikan menyebabkan insang tidak dapat berfungsi secara normal dan proses osmoregulasi oksigen yang terlarut dalam air ke dalam sel darah dan insang terganggu sehingga kadar oksigen terlarut juga sangat rendah (Willford 1970).

Anestesi berguna untuk mereduksi aktivitas dan memperkecil stres pada ikan (Iversen et al. 2003 diacu dalam Farstad et al. 2008). Bahan anestesi yang ditambahkan dalam air dengan dosis rendah dapat digunakan untuk memingsankan ikan untuk tujuan transportasi. Anestesi dapat mengurangi laju metabolisme dan memperkecil kebutuhan oksigen, mengurangi aktivitas, mengoptimalkan penanganan dan mengurangi respon stress (Cookie et al. 2004 diacu dalam Farstad et al 2008).

Pemilihan bahan anestesi secara umum didasarkan pada beberapa ketentuan, yaitu: aman bagi pemakai; ketersediaan yang cukup; biaya yang efektif; mudah digunakan; dan bersifat alami (Ho dan Heath 2000 diacu dalam Farstad et al. 2008). Marking dan Mayer (1985) diacu dalam Farstad et al. (2008) menyebutkan beberapa daftar karakteristik untuk anestesi ideal. Secara singkat,


(13)

karakteristik bahan anestesi setidaknya mempunyai prinsip mengurangi kapasitas stres dengan cara memblokade pusat hypothalamus-pituitary-internal (HPI) dan membuat ikan tidak merespon stres (Farstad et al. 2008).

Faktor yang menentukan efikasi zat anestesi terhadap hewan uji (hewan perairan) terdiri dari dua faktor, yaitu biotik dan abiotik. Faktor biotik meliputi umur hewan uji, jenis kelamin, kondisi fisiologis, bobot, tahap pertumbuhan, dan kondisi reproduksi. Faktor abiotik meliputi kualitas air, yaitu laju konsumsi oksigen, fluktuasi suhu serta pH media anestesi (Sneddon 2012). Ikan adalah organisme poikilotermal sehingga suhu air yang ambien diperlukan untuk menjaga keseimbangan kondisi tubuhnya dengan lingkungan. Suhu akan mempengaruhi waktu induksi sesuai dengan sifat bahan anestesi dan hewan uji yang digunakan.

Sneddon (2012) mengidentifikasi beberapa penelitian tentang suhu tinggi yang dapat mereduksi waktu induksi dan waktu pemulihan. Sebagai contoh penggunaan isoeugenol pada ikan salmon atlantik, penggunaan benzocaine pada striped bass (Morone saxatilis), 2-phenoxyethanol dan isoeugenol pada ikan cod atlantik dan isoeugenol pada rainbow trout, sedangkan menurut Coyle et al. (2005) diacu dalam Saydmohammed dan Pal (2009), penggunaan bahan anestesi

dengan perpaduan minyak cengkeh dan AQUI-S yang diujikan pada M. rosenbergii dapat berjalan efisien pada suhu rendah.

Kategori pingsan yang ideal untuk transportasi ikan adalah pada kondisi pingsan (deep sedation), yaitu mengurangi respon terhadap rangsangan luar dan mengurangi laju metabolisme namun tetap menggunakan prinsip homeostasis (McFarland 1959 diacu dalam Farstad et al. 2008). Anestesi mencegah hiperaktifitas ikan. Konsumsi oksigen optimal terjadi dalam pengepakan, pada rentang waktu antara 30-60 menit dan menurun seiring dengan perubahan lingkungan. Beberapa bahan anestesi yang telah digunakan antara lain MS-222, asam karbonat, benzocaine, dan phenoxyethanol. Bagaimanapun juga, penggunaan zat kimia untuk keperluan anestesi tidak direkomendasikan (Sneddon 2012).

Ikan dapat menyerap bahan anestesi melalui jaringan otot, saluran pencernaan dengan injeksi atau melalui insang. Anestesi melalui insang adalah


(14)

cara yang ideal terutama untuk jenis ikan elasmobranchi dan sebagian besar kelompok teleostei karena konsentrasi bahan anestesi yang digunakan dapat dikontrol dan stres dapat diminimalkan. Pada tingkat pemingsanan deep sedation maka cara induksi melalui jaringan otot adalah lebih baik. Kualitas air yang digunakan untuk anestesi diusahakan mendekati kualitas air yang digunakan untuk pemeliharaan. Tahap perubahan aktifitas lobster yang mendapat perlakuan anestesi dengan suhu dingin adalah sebagai berikut (Tabel 1) :

Tabel 1 Kriteria perubahan aktivitas lobster selama proses penurunan suhu. Waktu

(menit)

Suhu

(oC) Perubahan Aktivitas Kriteria

0-3 26-24

Lobster bergerak aktif, tubuh tegak, kaki jalan dan kaki renang bergerak normal, respon sangat baik.

Aktivitas normal.

3-6 24-20

Lobster mulai berkurang aktivitasnya, ekor melipat ke dalam, kaki jalan dan kaki renang bergerak perlahan, respon terhadap rangsang masih baik.

Tenang.

6-10 19-16

Lobster gelisah, namun sesaat kemudian lobster kembali tenang, kaki renang melemah gerakannya, respon mulai berkurang.

Panik.

10-18 15-13

Lobster mulai hilang keseimbangan, ekor menekuk ke dalam, kaki renang dan kaki jalan lemah gerakannya, respon semakin lemah.

Awal disorientasi.

18-30 12-10

Gerakan melemah, posisi tubuh

miring/terbalik, kehilangan keseimbangan, respon terhadap rangsangan lemah.

Disorientasi.

30-45 9-7

Lobster limbung, hilang keseimbangan, posisi tubuh miring/terbalik, lobster cenderung diam, dan respon sangat lemah (hampir tidak ada).

Pingsan.

Sumber : Wibowo et al. (2005) dalam Suryaningrum (2007).

Lobster pingsan ditandai dengan aktivitas hanya pada kaki renang dan kaki jalan yang masih bergerak perlahan namun dengan posisi tubuhnya yang terbalik. Fase setelah pingsan adalah fase kritis bagi lobster karena lobster akan mengalami kematian bila didiamkan terlalu lama dalam media anestesi. Hal ini senada dengan Lewbart (2012) bahwa indikator keberhasilan efikasi zat anestesi pada crustacea


(15)

berdasarkan respon fisiologsinya ditandai dengan keadaan tubuhnya yang tenang, respon minimal terhadap stimulan (misalnya gerakan dan sentuhan), dan gerakan antena yang minimal.

2.6 Toksisitas

Toksisitas merupakan daya racun suatu bahan yang dapat menyebabkan keracunan. Toksikan adalah agen yang mampu menghasilkan efek merugikan pada sistem biologi yang dapat menyebabkan kematian (Koeman 2006). Toksisitas suatu bahan dapat ditentukan dengan mengkaji besarnya kematian populasi organisme uji. Salah satunya dengan menggunakan uji toksisitas bahan uji terhadap hewan uji yaitu pada konsentrasi terkecil pada saat kematian 100 % hewan uji. Namun, untuk mengetahui tingkat toksisitas suatu bahan sering digunakan tingkat kematian populasi 50 % hewan uji pada berbagai waktu dedah (LC50) (Cassaret dan Donev 1975).

Toksisitas dapat disebabkan karena faktor kimia, fisika, maupun biologi. Faktor kimia terdiri dari bahan kimia anorganik (amonia, klorin dan logam berat), bahan kimia organik misalnya dioksin, dan pestisida. Faktor fisika misalnya suhu dan padatan terlarut, sedangkan faktor biologi misalnya bakteri, fungi, dan parasit (Anonim 2004). Uji toksisitas dibagi menjadi tiga golongan yaitu uji toksisitas akut, kronis, dan subkronis (Loomis 1978). Uji toksisitas akut bertujuan mengetahui respon umum suatu populasi ketika terjadi perubahan lingkungan, uji toksisitas akut berlangsung dalam waktu yang relatif lebih singkat dibandingkan dengan uji toksisitas kronis, yaitu 2 - 4 hari, sedangkan uji toksisitas kronis digunakan untuk mengetahui pertumbuhan dan daya tahan organisme terhadap toksikan. Uji toksisitas subkronis dilakasanakan dalam waktu 6 bulan. Umumnya uji toksistas kronis dilakukan dengan dosis toksikan yang relatif lebih kecil dibandingkan dengan dosis toksikan yang digunkakan pada uji toksisitas akut. Waktu yang diperlukan untuk mengetahui efek toksikan terhadap hewan uji berkisar antara 7- 18 bulan (Keith 1996).

2.7 Kualitas Air

Pemantauan kualitas air memiliki berbagai tujuan, salah satunya mendeteksi dan mengukur pengaruh yang ditimbulkan oleh suatu pencemar


(16)

terhadap kualitas lingkungan dan mengetahui perbaikan kualitas lingkungan setelah pencemar tersebut dihilangkan (Masson 1993 diacu dalam Effendi 2003). Dalam kaitannya dengan kepentingan uji toksisitas, pengukuran kulitas air berhubungan dengan parameter-parameter fisik maupun kimia yang menjadi kondisi ideal bagi kelangsungan hidup biota.

2.7.1 DO (dissolved oxigen)

DO (dissoved oxigen) atau oksigen terlarut merupakan kualitas air yang bersifat kritis dalam pemeliharaan organisme akuatik. Kelarutan oksigen menurun seiring dengan meningkatnya suhu perairan (Boyd dan Lichtkoppler 1979). Secara alami, lobster air tawar lebih menyukai tinggal didasar perairan dan masih bertahan pada DO sebesar 1 ppm (Lukito dan Prayugo 2007).

2.7.2 Suhu

Suhu mempunyai efek yang krusial terhadap proses – proses kimia dan biologi. Pada umumnya reaksi kimia rata-rata meningkat setiap kenaikan suhu sebesar 10 oC. Hal ini berarti organisme akuatik akan menggunakan dua kali lebih banyak oksigen terlarut pada suhu 20 oC dan 30 oC, dan reaksi-reaksi kimia memiliki laju yang lebih cepat pada suhu 30 oC begitu pula pada suhu 20 oC (Boyd dan Lichtkoppler 1979).

2.7.3 pH

pH merupakan ukuran dari konsentrasi ion hidrogen dan mengindikasikan tingkat asam dan basa suatu perairan (Boyd dan Lichtkoppler 1979). pH penting digunakan sebagai parameter kualitas air karena dapat mengontrol tipe dan laju reaksi beberapa bahan di dalam air. pH yang ideal untuk kehidupan lobster berkisar antara 6,5 - 9 (Lukito dan Prayugo 2007). Amonium bersifat tidak toksik (innocuos). Namun pada suasana alkalis (pH tinggi) lebih banyak ditemukan amoniak yang tidak terionisasi dan bersifat toksik. Amonia tak terionisasi ini lebih mudah terserap ke dalam tubuh organisme akuatik dibandingkan dengan amonium (Tebut 1992 diacu dalam Effendi 2003).

2.7.4 Amonia dan TAN

TAN merupakan jumlah amonia total yang ada di perairan. TAN meliputi amonia yang terionisasi (NH4+) dan amonia yang tidak terionisasi (NH3). Amonia


(17)

dekomposisi material organik oleh bakteri. Dalam perairan, nitrogen pada amonia terdiri dari dua bentuk yaitu amonia yang tidak terionisasi dan amonia yang terionisasi. Tingkat toksisitas amonia yang tidak terionisasi berada antara 0,6 dan 2 mg/L dan efek subletal dapat terjadi pada konsentrasi 0,1 hingga 0,3 mg/L. pH dan temperatur air akan mengatur proporsi amonia total yang tedapat pada amonia yang tidak terionisasi (Boyd dan Lichtkoppler 1979).

2.8 Pengemasan dan Uji Penyimpanan

Pengemasan terdiri dari dua unsur, yaitu kemasan dan media kemasan. Kemasan yang digunakan dalam pengangkutan dengan media non-air dapat terdiri dari styrofoam sebagai kemasan primer dan kotak kardus sebagai kemasan sekunder. Kotak karton kardus yang digunakan sebaiknya berdinding ganda yang dilaminasi dengan lapisan lilin. Lapisan lilin berguna untuk mencegah kerusakan kotak karton karena kelembaban tinggi selama transportasi. Styrofoam sebagai kemasan primer berfungsi sebagai isolator panas (Junianto 2003).

Pengepakan yang sering digunakan pada pengangkutan lobster air tawar adalah pengepakan kering. Pengepakan kering dilakukan tanpa media air karena pada dasarnya lobster air tawar mampu bertahan hidup beberapa jam tanpa air. Dibandingkan pengepakan sistem basah, pengepakan sistem kering jauh lebih baik karena terbukti lebih tahan lama (Lukito dan Prayogo 2007).

Jenis bahan pengisi yang dapat digunakan dalam pengangkutan ikan dengan sistem kering antara lain sekam, serutan kayu, serbuk gergaji, dan rumput laut (Junianto 2003). Selain itu spons juga telah dikaji sebagai bahan pengisi. Menurut penelitian Nirwansyah (2012), penggunaan media spons dapat mempertahankan kelangsungan hidup lobster hingga 100% dalam waktu penyimpanan 60 jam. Beberapa fungsi bahan pengisi dalam sistem pengangkutan hidup adalah mencegah biota agar tidak bergeser dalam kemasan, menjaga lingkungan suhu tetap rendah, dan memberi lingkungan udara yang memadai untuk kelangsungan hidup biota yang ditransportasikan (Junianto 2003)

Suhu media kemasan harus dipertahankan serendah mungkin mendekati titik immotile, yaitu pada kisaran 10 – 21 oC. Pada suhu 21 oC, udang galah atau udang kembali normal dan suhu dibawah 10 oC dapat menyebabkan kematian pada udang atau udang galah. Suhu media kemasan berperan dalam


(18)

mempertahankan tingkat terbiusnya udang galah atau udang selama pengangkutan sehingga ikut mempertahankan kelangsungan hidup udang galah atau udang dalam media non-air (Junianto 2003).

Pengangkutan ikan dengan media non air menggunakan prinsip hibernasi. Hibernasi adalah usaha untuk menekan metabolisme suatu organisme sehingga dalam kondisi yang minimum organisme tersebut mampu bertahan hidup. Umumnya pengangkutan hidup dengan media non-air terbatas untuk hasil-hasil perikanan laut seperti udang, udang galah, kepiting, dan rajungan. Secara anatomi, hewan-hewan tersebut mempunyai rongga karapas. Rongga karapas dapat membantu menyediakan oksigen terlarut selama hewan tersebut berada di darat. Pada transportasi kering, suhu diatur sedemikian rupa sehingga kecepatan metabolisme ikan berada dalam taraf metabolisme basal, karena pada taraf tersebut, oksigen yang dikonsumsi ikan sangat sedikit sekedar untuk mempertahankan hidup saja.

Crustacea merupakan hewan yang mempunyai alat pernapasan tambahan yang disebut labirinth. Dengan adanya alat pernapasan tambahan ini, krustasea mampu beradaptasi untuk hidup tanpa air selama beberapa jam dalam lingkungan yang lembab pada suhu rendah. Dengan memanfaatkan sifat fisiologis yang unik tersebut, maka crustacea dapat diangkut dengan menggunakan sistem kering (Suryaningrum et al. 2001).


(19)

3 METODOLOGI

3.1 Waktu dan Tempat

Penelitian berjudul “Pengujian Biji Pala (Myristica sp.) sebagai Bahan Anestesi Lobster air tawar (Cherax quadricarinatus)” dilaksanakan di Laboratorium Bahan Baku dan Industri Hasil Perairan, Departemen Teknologi Hasil Perairan; Laboratorium Lingkungan, Departemen Budidaya Perairan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Oktober 2011 hingga bulan Maret 2012.

3.2 Bahan dan Alat

Bahan utama yang digunakan dalam penelitian adalah lobster air tawar dengan bobot rata-rata 63,23±4,52 g/ekor (Lampiran 1) dan biji pala kering komersil. Bahan pembantu terdiri dari akuades (uji amonia), air untuk media hidup lobster, pakan berupa pelet komersil dengan merek “BFC” khusus untuk lobster, serta es batu untuk mendinginkan media spons dan es dalam botol bekas yang akan digunakan dalam uji penyimpanan.

Alat yang digunakan antara lain : akuarium, baskom, filter, aerator, ember dan plasik hitam, baskom, gelas ukur bervolume 10 ml, 100 ml, dan 1000 ml, beaker galss 50 ml, spatula, multimeter, spatula, pipet volumetrik, spektrofotometer dan pH meter, spons (sebagai media pengemasan), styrofoam, termometer dan botol plastik dan botol kaca bekas.

3.3 Metode Penelitian

Penelitian terdiri dari dua tahap, yaitu penelitian pendahuluan dan penelitian utama. Penelitian pendahuluan bertujuan mengetahui ambang konsentrasi ekstrak biji pala yang akan digunakan sebagai bahan anestesi bagi kelangsungan hidup lobster. Tahap penelitian pendahuluan terdiri dari aklimatisasi lobster air tawar, persiapan ekstrak biji pala, persiapan media penyimpanan, dan pengujian konsentrasi ambang ekstrak biji pala. Tahap, prosedur, serta pengamatan dalam penelitian pendahuluan terdapat pada Tabel 2.


(20)

Tabel 2 Tahapan, prosedur, dan parameter pengamatan penelitian pendahuluan

No kegiatan Prosedur parameter

pengamatan 1 Aklimatisasi lobster air

tawar pengadaptasian lobster dalam akuarium mortalitas lobster air tawar 2

Persiapan ekstrak biji pala

penghancuran biji pala kemudian dilakukan perebusan remahan biji pala, setelah itu air rebusan disaring untuk memisahkan endapan dan cairan ( biji pala), biji pala ini selanjutnya digunakan sebagai bahan anestesi

karakteristik air rebusan biji pala, misalnya warna dan endapan

3 Persiapan media penyimpanan

persiapan styrofoam dan media

kapasitas styrofoam dan suhu media (spons) 4 Pengujian konsentrasi

ambang ekstrak biji pala

pendedahan 5 ekor lobster air tawar uji selama 48 jam pada beberapa konsentrasi bahan anestesi yang berbeda

mortalitas lobster air tawar.

Penelitian pendahuluan dilakukan untuk memperoleh pedoman untuk penelitian utama. Tahap penelitian utama terdiri dari pengujian toksisitas letal akut ekstrak biji pala terhadap lobster, pengujian daya anestesi ekstrak biji pala pada lobster, serta pengujian penyimpanan lobster. Tahapan, prosedur, serta parameter yang diamati dapat dilihat pada Tabel 3.

3.3.1 Aklimatisasi lobster air tawar (Cherax quadricarinatus)

Lobster air tawar diadaptasikan dalam akuarium sebelum dilakukan pengujian. Akuarium yang digunakan untuk adaptasi berukuran 60x30x30 cm3. Air yang digunakan adalah air tanah (air sumur) yang telah diendapkan selama dua hari untuk menghilangkan klorin dan endapan racun lainnya. Selama aklimatisasi, lobster juga diberi aerasi dengan tujuan meningkatkan kandungan oksigen terlarut dalam media uji.


(21)

Tabel 3 Tahapan, prosedur, dan parameter pengamatan penelitian utama

No kegiatan Prosedur parameter

pengamatan 1 Pengujian toksisitas letal

akut ekstrak biji pala

pendedahan 4 ekor lobster air tawar uji selama 48 jam pada 5 konsentrasi uji yaitu 3 ppt; 4 ppt; 5 ppt; 6 ppt; 7 ppt; dan 8 ppt

mortalitas lobster air tawar pada waktu dedah 24 dan 48 jam berdasarkan perubahan konsentrasi 2 Pengujian daya anestesi

ekstrak biji pala

5 ekor lobster air tawar uji dipingsankan dengan 5 konsentrasi kemudian dibugarkan kembali waktu pingsan (menit), waktu pemulihan (menit), dan perubahan kondisi fisiologis saat pemingsanan maupun saat pembugaran 3 Pengujian penyimpanan

lobster

5 ekor lobster uji dipingsankan dengan tiga konsentrasi berbeda, yakni 5 ppt; 7 ppt; dan 8 ppt kemudian diuji penyimpanan dengan lama waktu; 12 jam ; 24 jam; 36 jam ; dan 48 jam

jumlah lobster air tawar yang sadar kembali setelah dilakukan pembugaran.

3.3.2 Persiapan ekstrak biji pala

Ekstrak biji pala merupakan hasil dari perebusan remahan biji pala. Sebelum dilakukan perebusan, biji pala ditimbang terlebih dahulu, kemudian ditumbuk hingga menjadi remahan. Remahan biji pala ditimbang kembali kemudian direbus dalam air hingga mendidih (dalam 100 ml air terdapat ± 6 g remahan biji pala). Setelah mendidih, kemudian diangin-anginkan pada suhu ruang. Setelah itu dilakukan pemisahan antara air dengan endapan dengan cara penyaringan. Saringan yang digunakan adalah saringan teh. Filtrat kemudian dimasukkan dalam botol tempat penyimpanan bahan yang terbuat dari kaca. Filtrat ( ekstak biji pala) digunakan sebagai bahan anestesi untuk uji selanjutnya. Ekstrak biji pala yang dihasilkan dari proses tersebut ± 90 ml.


(22)

3.3.3 Persiapan wadah dan media pengisi

Transportasi lobster dilakukan dengan menggunakan kotak styrofoam bervolume 40x26x17 cm3. Jumlah kepadatan 5 ekor lobster dalam masing-masing kotak Styrofoam. Media pengisi yang digunakan adalah spons. Sebelum digunakan sebagai media, spons terlebih dahulu didinginkan pada air yang bersuhu 12 – 15 oC. Pendinginan bertujuan menjaga kestabilan suhu tetap rendah sekitar selama uji penyimpanan.

3.3.4 Penentuan konsentrasi ambang ekstrak biji pala

Konsentrasi ekstrak biji pala yang digunakan dalam pengujian ambang konsentrasi yakni sebesar 0 (kontrol negatif); 2,5 ppt; 5 ppt; 7,5 ppt; 10 ppt; 12,5 ppt dan 15 ppt. Penentuan konsentrasi uji bersifat uji coba. Selama penentuan ambang konsentrasi, lobster air tawar tidak diberi aerasi dan tidak diberi pakan. Pengamatan dilakukan pada jam ke 24 dan jam ke 48 terhitung mulai lobster dimasukkan ke dalam wadah percobaan.

3.3.5 Uji toksisitas letal akut ekstrak biji pala

Pengujian toksisitas letal menggunakan enam konsentrasi bahan uji serta sebuah perlakuan kontrol negatif yaitu tanpa menggunakan ekstrak biji pala. Dalam penelitian ini digunakan konsentrasi ekstrak biji pala pada selang 3 hingga 8 ppt dengan interval 1 ppt. Konsentrasi ekstrak biji pala yang digunakan dalam uji toksisitas letal adalah 3; 4; 5; 6; 7 dan 8 ppt. Konsentrasi tersebut merujuk pada persentase mortalitas pada pengujian ambang konsentrasi, yaitu konsentrasi yang menyebabkan kematian lobster hingga 100% dalam waktu 24 jam dan konsentrasi yang tidak menyebabkan kematian lobster (mortalitas 0%) selama 24 jam. Uji toksisitas yang dgunakan dalam penelitian bersifat akut.

3.3.6 Penentuan daya anestesi ekstrak biji pala

Konsentrasi ekstrak biji pala yang digunakan dalam uji daya anestesi adalah konsentrasi yang menyebabkan kematian lobster hingga 50 % (LC50-24

jam) hingga mortalitasnya dibawah 100 %. Konsentrasi ekstrak biji pala yang digunakan adalah sebesar 5 ppt; 6 ppt; 7 ppt; dan 8 ppt.

Selama pengujian daya anestesi, media uji tidak diberi aerasi dan lobster uji tidak diberi pakan. Pengamatan dilakukan dan dicatat secara kumulatif pada menit ke 0, 30, 60, 120, 240, dan seterusnya sampai hewan uji pingsan. Setelah


(23)

mencapai waktu dedah yang telah ditentukan, lobster air tawar dipindahkan ke media air bersih yang telah diberi aerasi. Pengamatan waktu pulih sadar ditentukan dengan mengamati tingkah laku lobster air tawar hingga mencapai keadaan normal kembali (keseimbangan dan reaksi terhadap pengaruh luar menjadi normal kembali).

3.3.7 Pengujian penyimpanan lobster

Tahap pertama yang dilakukan sebelum penyimpanan lobster adalah memingsankan lobster dengan mendedahkannya dalam media air berisi ekstrak biji pala hingga lobster memasuki fase deep sedation. Konsentrasi yang digunakan untuk mendedahkan lobster sebesar 5 ppm, 7 ppm, dan 8 ppm. Lobster dikatakan mengalami fase deep sedation, apabila sedikit ada pergerakan kaki renang, respon berkurang ketika terusik benda asing, tetapi masih terdeteksi denyut nadi di kepalanya. Setelah melewati fase tersebut, kemudian lobster uji dimasukkan ke dalam kotak styrofoam berisi spons dengan suhu berkisar antara 12 - 15 oC. Penyusunan lobster dalam kotak styrofoam dilakukan dengan cara meletakkan lobster di atas media spons. Lobster diletakkan dalam styrofoam dengan posisi membujur mengikuti lebar styrofoam. Dasar styrofoam diberi botol yang berisi es (Gambar 5).

Gambar 4 Penyusunan lobster dalam media penyimpanan

Lobster disimpan dalam suhu ruang selama 12 jam; 24 jam; 36 jam dan 48 jam. Setelah selesai uji penyimpanan, lobster kembali dibugarkan dengan cara didiamkan pada suhu ruang terlebih dahulu selama ± 10 menit, kemudian dimasukkan dalam wadah yang berisi sedikit air dan didiamkan selama ± 1-3 jam. Kondisi lobster diamati hingga dapat merespon rangsangan dari luar. Setelah itu


(24)

lobster kembali dimasukkan dalam akuarium tanpa diberi pakan terlebih dahulu hingga 12 jam. Perhitungan presentase lobster hidup menggunakan rumus sebagai berikut :

% lobster hidup =jumlah lobster hidup saat pembugaran

Jumlah lobster awal x 100 %

3.4 Analisis

Analisis yang dilakukan terhadap media air pada uji toksisitas letal meliputi pengukuran oksigen terlarut, pengukuran suhu, pengukuran pH, dan pengukuran kandungan amoniak.

3.4.1 Pengukuran kandungan DO, pH, dan suhu

Pengukuran DO, pH, dan suhu (suhu media pada uji toksisitas letal) dilakukan dengan alat multimeter dengan sistem digital. Parameter yang diukur adalah pH, suhu, dan oksigen terlarut.

3.4.2 Pengukuran suhu media penyimpanan

Pengukuran suhu dilakukan dengan termometer. Termometer yang digunakan berskala 0 - 80 oC. Pengukuran suhu berlangsung di tempat pengujian dengan cara memasukkan termometer ke dalam akuarium pengujian. Suhu yang terukur adalah suhu pengujian.

3.4.3 Pengukuran Kandungan TAN (total ammonia nitrogen) (Effendi 2000) Uji kandungan amoniak adalah sebagai berikut :

a. 10 ml air sampel dipipet dan dimasukkkan ke dalam gelas piala.

b. Ditambahkan 1 tetes MnSO4, 0.6 ml kloroks dan 0.6 ml fenat ke dalam

gelas piala yang telah berisi air sampel, kemudian diaduk dan didiamkan 15 menit sampai terbentuk warna yang stabil.

c. Larutan blanko yang digunakan adalah aquades dengan jumlah yang sama dengan air sampel yaitu 10 ml. Air aquades tersebut dipipet kemudian dimasukkan dalam gelas piala.

d. Larutan standar dibuat dari larutan amonia komersil (1 mg/L), kemudian dipipet dan dimasukkan dalam gelas piala.


(25)

e. Pengukuran panjang gelombang larutan sampel, larutan blanko, dan larutan standar dilakukan dengan spektrofotometer pada panjang gelombang 630 nm dan absorbansi 0,0000 (transmiter 100%).

f. Konsentrasi amonia total dihitung dengan persamaan :

Mg NH3/L = Cst x Abs sampel−Abs blanko

Abs standar− Abs blanko

Cst : konsentrasi larutan standar (1 mg/L) Abs sampel : nilai absorbansi larutan sampel Abs standar : nilai absorbansi larutan standar Abs blanko : nilai absorbansi larutan blanko 3.4.4 Rancangan percobaan

Rancangan percobaan yang digunakan adalah Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan satu faktor yaitu pengaruh konsentrasi terhadap lama pemingsanan. Percobaan dilakukan sebanyak tiga kali ulangan. Model matematika rancangan perobaan yang dilakukan adalah sebagai berikut:

Yij = µ + Xij+ ∑ij

Keterangan:

Yij : nilai pengamatan pada suatu percobaan yang memperoleh perlakuan pada

taraf ke-i dengan ulangan-j µ : pengaruh nilai rata-rata umum

Xij : pengaruh perlakuan pada taraf ke-i dan ulangan ke-j

∑ij : Pengaruh galat percobaan karena perlakuan ke-i dan ulangan ke-j i : Perlakuan dalam percobaan

j : ulangan percobaan

Hasil analisis data yang menunjukkan pengaruh yang berbeda nyata, diolah dengan uji lanjut menggunakan uji lanjut Tukey (Multiple comparisons). Pengolahan data statistik dilakukan dengan menggunakan software IBM-SPSS 13.0 for Windows.


(26)

4 HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Uji Konsentrasi Ambang

Uji konsentrasi ambang bertujuan mengetahui tingkat konsentrasi ekstrak biji pala yang akan digunakan pada uji selanjutnya yaitu uji toksisitas letal akut. Konsentrasi yang menjadi ambang batas bawah adalah konsentrasi tertinggi yang tidak menyebabkan kematian bagi lobster, sedangkan konsentrasi yang menjadi ambang batas atas adalah konsentrasi terendah yang menyebabkan kematian lobster hingga 100%. Uji konsentrasi ambang dilakukan selama 24 jam. Hasil pengamatan uji konsentrasi ambang disajikan pada Tabel 4.

Tabel 4 Mortalitas lobster pada uji konsentrasi ambang Konsentrasi (ppt) Jumlah kematian (%)

tanpa ekstrak 0

2,5 0

5 50

7,5 50

10 100

12,5 100

15 100

Tabel 4 mengindikasikan bahwa konsentrasi tertinggi yang menyebabkan mortalitas lobster sebesar 0% dalam waktu 24 jam (LC0-24 jam) terjadi pada perlakuan

kontrol dan pemberian ekstrak biji pala sebesar 2,5 ppt. Mortalitas lobster sebesar 50% dalam waktu 24 jam (LC50-24 jam) terjadi pada konsentrasi 5 ppt dan mortalitas lobster

hingga 100% (LC100-24 jam) terjadi pada konsentrasi 10 ppt, 12,5 ppt, dan 15 ppt. Maka

selanjutnya, konsentrasi yang akan digunakan dalam uji toksisitas letal akut adalah konsentrasi antara 2,5 - 10 ppt.

Biji pala mengandung beberapa senyawa yang dalam kadar tertentu bersifat toksik bagi lobster. Senyawa berbahaya yang diketahui terdapat pada ekstrak biji pala terutama pada fixed oil (nutmeg oil) adalah myristicin, senyawa ini berwarna oranye, sangat wangi dan mempunyai konsistensi seperti mentega pada suhu kamar (Guenther 1972 diacu dalam Pratiwi 2000). Gejala yang ditimbulkan akibat keracunan senyawa


(27)

myristicin tersebut, diduga pada konsentrasi lebih dari 10 ppt merupakan konsentrasi yang bersifat sangat toksik bagi kelangsungan hidup lobster.

4.2 Uji Toksisitas

Toksisitas suatu bahan dapat ditentukan dengan mengkaji persentase kematian populasi organisme uji. Salah satunya dengan menggunakan uji toksisitas bahan uji terhadap hewan uji yaitu pada konsentrasi terkecil yang mengakibatkan 100% mortalitas hewan uji. Waktu pengujian toksisitas minimal adalah selama 24 jam dan berlaku kelipatannya yaitu 48 jam, 96 jam, dan seterusnya. Lama waktu uji toksisitas disesuaikan dengan tujuannya. Dalam penelitian, untuk mengetahui tingkat toksisitas suatu bahan sering digunakan tingkat kematian populasi 50% hewan uji pada berbagai waktu dedah (LC50) (Cassaret dan Donev 1975).

4.2.1 Uji toksisitas letal akut

Pengujian toksisitas akut bertujuan mengetahui selang konsentrasi ekstrak biji pala yang dianggap efektif untuk anestesi pada lobster. Pengujian dilakukan selama 24 jam dan 48 jam sehingga diperoleh hasil yang dapat menunjukkan korelasi antara tingkat konsentrasi ekstrak biji pala terhadap persentase kematian lobster. Seperti disajikan pada Gambar 5.

Gambar 5 Mortalitas lobster air tawar pada uji toksisitas letal akut selama 24 jam dan 48 jam.

Ekstrak biji pala memiliki senyawa myristicin dan elemicin, keduanya bersifat halusinogen dan berpotensi sebagai zat penenang (Leon 1991), namun pada kadar tertentu terutama myristicin dapat menjadi bersifat toksik bagi lobster. Hal ini berkaitan dengan terganggunya keseimbangan kationik tertentu dalam otak sehingga lobster mati (Wilfford 1970). Selama pengamatan 24 jam, dapat diidentifikasi bahwa konsentrasi ekstrak biji pala sebesar 7 ppt dan 8 ppt, masing-masing mengakibatkan mortalitas lobster sebesar 75% dan 62,5% (Gambar 5). Kematian terendah, terjadi pada perlakuan menggunakan konsenstrasi ekstrak biji pala sebesar 4 ppt (LC0-24 jam). LC50-24 jam terjadi pada

0 20 40 60 80 100 120

0 3 4 5 6 7 8

persenta

se

k

em

a

tia

n

(%)

konsentrasi (ppt)

24 jam 48 jam


(28)

perlakuan konsentrasi ekstrak biji pala sebesar 5 ppt. Pada pengujian toksisitas akut ekstrak biji pala dalam kurun waktu 48 jam,mortalitas terendah berada pada konsentrasi 3 ppt, yaitu sebesar 37,5 %. Perlakuan konsentrasi ekstrak biji pala 5 - 8 ppt memberikan nilai LC 100-48.

4.2.2 Uji kualitas air sebelum dan setelah uji toksisitas letal akut

Secara umum kualitas air berhubungan dengan kandungan bahan terlarut didalamnya. Tingkat kandungan dari bahan terlarut tersebut akan menentukan kelayakannya untuk kehidupan biota didalamnya. Setiap makhluk hidup memerlukan kandungan bahan terlarut yang berbeda sehingga kualitas air juga bersifat relatif bagi setiap makhluk hidup (Lukito dan Prayugo 2007).

4.2.2.1 pH

Keasaman (pH) merupakan ukuran konsentrasi ion hidrogen yang mengindikasikan tingkat asam dan basa suatu perairan. Tingkat asam dan basa yang menyebabkan organisme seperti ikan menjadi mati diperkirakan berada pada pH 4 dan pH 11 (Boyd dan Lichtkoppler 1979). Pengaruh konsentrasi ekstrak biji pala terhadap perubahan pH media uji dapat dilihat pada Gambar 6.

Gambar 6 pH media sebelum dan sesudah uji toksisitas letal akut.

Sebelum dilakukan uji toksisitas letal akut, pH berkisar antara 7,24 – 7,35. Setelah uji toksisitas, pH media uji berkisar antara 6,62 – 7,02. pH media uji pada perlakuan kontrol sebesar 7,14. Terlihat penurunan pH yang tidak signifikan antara sebelum dengan sesudah uji toksisitas. Nilai pH media sebelum dan sesudah uji toksisitas masih pada kisaran toleransi untuk kehidupan organisme akuatik. Penurunan pH terjadi akibat adanya hasil metabolisme lobster yang kemudian terlarut dalam perairan. Menurut Boyd dan Lichtkoppler (1979), pH yang ideal bagi kelangsungan hidup organisme akuatik (khusunya golongan ikan) adalah 6,5 hingga 9. Senada dengan pernyataan tersebut, Lukito dan Prayugo (2007) menyebutkan kisaran pH yang baik untuk

7,14

7,37 7,34 7,35

7,25 7,24 7,35

7,14

6,62 6,56 6,61

6,88 6,61

7,02

6,00 6,20 6,40 6,60 6,80 7,00 7,20 7,40 7,60

0 3 4 5 6 7 8

pH

konsentrasi (ppt)

sebelum sesudah


(29)

pertumbuhan lobster adalah 6,5 – 9 dengan pH ideal adalah 8. Hal ini sesuai dengan habitatnya yaitu sungai yang memiliki pH cenderung netral.

pH mempengaruhi toksisitas suatu senyawa kimia. Senyawa amonium yang dapat terionisasi banyak terdapat pada perairan yang memiliki pH rendah. Amonium bersifat tidak toksik (innocuos). Namun pada suasana alkalis (pH tinggi) lebih banyak ditemukan amoniak yang tidak terionisasi dan bersifat toksik. Amonia tak terionisasi ini lebih mudah terserap ke dalam tubuh organisme akuatik dibandingkan dengan amonium (Tebut 1992 diacu dalam Effendi 2003).

4.2.2.2 Suhu

Suhu merupakan salah satu parameter fisika yang penting diamati untuk kelangsungan hidup organisme perairan. Hampir semua biota perairan bersifat poikilotermal sehingga memerlukan suhu air yang ambien (Sneddon 2012). Perubahan suhu pada media uji sebelum dan sesudah dilakukan uji toksisitas letal akut dapat dilihat pada Gambar 7.

Gambar 7 Suhu media sebelum dan sesudah uji toksisitas letal akut.

Suhu media sebelum dan sesudah uji toksisitas letal akut berkisar antara 25,40 – 27,10 oC . Rentang suhu tersebut masih dapat dikatakan sebagai suhu normal bagi lobster, yaitu 26 – 29 oC (Lukito dan Prayugo 2007). Suhu mempunyai efek yang krusial terhadap proses – proses kimia dan biologi dalam perairan. Pada umumnya reaksi kimia rata-rata meningkat setiap adanya kenaikan suhu 10 oC (Boyd dan Lichtkoppler 1979).

4.2.2.3 DO (Dissolved Oxygen)

DO (dissoved oxygen) atau oksigen terlarut merupakan kualitas air yang bersifat kritis dalam pemeliharaan organisme akuatik. Kelarutan oksigen menurun seiring dengan meningkatnya suhu perairan (Boyd dan Lichtkoppler 1979). Fluktuasi DO pada media uji sebelum dan setelah uji toksisitas dapat dilihat pada Gambar 8. Sebelum uji toksisitas letal akut, DO berkisar antara 3,39 – 3,81 mg/L. DO media sesudah uji toksisitas letal

25,40 25,40 25,40 27,10 25,47 26,90 25,47 25,40 26,27 26,30 26,60 26,20 26,70 26,20 24,50 25,00 25,50 26,00 26,50 27,00 27,50

0 3 4 5 6 7 8

suh u ( oC) konsentrasi (ppt) sebelum sesudah


(30)

akut berkisar antara 0,14 – 1,10 mg/L. DO media uji pada perlakuan kontrol sebesar 4,16 mg/L. Perubahan DO antara sebelum dan sesudah uji toksisitas akut terjadi sangat signifikan.

Gambar 8 DO media sebelum dan sesudah uji toksisitas letal akut.

Selama pengujian toksisitas, ketersediaan DO dalam media uji dimanfaatkan oleh lobster untuk melangsungkan serangkaian proses metabolisme. Oksigen terlarut juga dibutuhkan dalam proses dekomposisi sisa metabolisme. Penurunan nilai DO dipengaruhi oleh sifat bahan anestesi yang digunakan. Ekstrak biji pala terdiri dari komponen fixed oil

(Guenther 1972 diacu dalam Pratiwi 2000) yang bersifat tidak larut air, misalnya

myristat. Pada suhu ruang, myristat berbentuk butiran-butiran padat. Komponen ini akan menempati permukaan perairan pada media uji sehingga lapisan minyak yang terbentuk akan menghambat proses penetrasi oksigen dari atmosfer. Dengan demikian, ketersediaan oksigen terlarut pada media uji menurun sehingga dalam waktu tertentu lobster tidak dapat mempertahankan respirasi secara normal dan akhirnya mengalami fase kematian. 4.2.1.4 TAN (total ammonia nitrogen)

Total Ammonia Nitrogen (TAN) merupakan jumlah amonia total yang terdapat dalam perairan. TAN meliputi amonia yang terionisasi (NH4+) dan amonia yang tidak

terionisasi (NH3) (Effendi 2003). Menurut Boyd dan Lichtkoppler (1979), amonia (NH3)

bersifat toksik bagi organisme akuatik apabila berada pada kadar antara 0,6 hingga 2 mg/L dan mempunyai efek subletal pada konsentrasi 0,1 hingga 0,3 mg/L. pH dan temperatur air akan mengatur proporsi amonia total yang terdapat pada perairan. Berikut adalah grafik nilai TAN media uji sebelum dan sesudah pengujian toksisitas akut (Gambar 9).

4,16

3,66 3,74

3,39 3,51 3,44 3,81

4,16 0,14 0,25 0,62 0,18 0,62 1,10 0,00 0,50 1,00 1,50 2,00 2,50 3,00 3,50 4,00 4,50

0 3 4 5 6 7 8

DO ( m g /L ) konsentrasi (ppt) sebelum sesudah


(31)

Gambar 9 Nilai TAN media sebelum dan sesudah uji toksisitas letal akut.

Data yang disajikan pada Gambar 9 merupakan hasil perhitungan amonia total yang terdiri dari material toksik (NH3) dan material tidak toksik (NH4+). Nilai TAN media

uji sebelum perlakuan berkisar antara 0,01 – 0,08 mg/L. Nilai TAN setelah perlakuan berkisar antara 0,51 – 1,05 mg/L. Semakin besar nilai TAN, maka semakin besar pula kadar amonia yang tidak terionisasi. Hal ini dipengaruhi oleh suhu dan pH (Effendi 2003). Avertebrata air lebih toleran terhadap toksisitas amonia daripada ikan. Apabila nilai amonia tertinggi yaitu 1,05 mg/L dikonversi ke dalam nilai amonia, akan menjadi ± 0,01 mg/L (Lampiran 2). Menurut Lukito dan Prayugo (2007), nilai amonia untuk pemeliharaan lobster sebaiknya tidak lebih dari 0,05 mg/L. Dengan demikian, kadar amonia pada media uji masih berada pada nilai toleransi untuk kehidupan lobster.

4.3 Uji Waktu Induksi

Ikan (organisme akuatik) dapat menyerap bahan anestesi melalui jaringan otot, saluran pencernaan atau melalui insang. Pada tingkat pemingsanan deep sedation cara induksi melalui jaringan otot akan memberikan hasil lebih baik. Kualitas air yang digunakan untuk anestesi diusahakan mendekati kualitas air yang digunakan untuk pemeliharaan (Farstad et al. 2008). Waktu induksi pada penelitian ini merupakan waktu yang dibutuhkan agar ekstrak biji pala dapat memingsankan lobster. Korelasi antara konsentrasi ekstrak biji pala dengan waktu induksinya pada lobster dapat dilihat pada Gambar 10.

0,01 0,08 0,06 0,06 0,04 0,05 0,02

0,01 0,83

1,05

0,62 0,51

0,65 0,56

0,00 0,20 0,40 0,60 0,80 1,00 1,20

0 3 4 5 6 7 8

T

AN

(m

g

/L

)

konsentrasi (ppt)

sesudah sebelum


(32)

Gambar 10 Hubungan antara konsentrasi ekstrak biji pala dengan waktu Induksinya pada lobster.

Ekstrak biji pala dengan konsentrasi 5 ppt menyebabkan waktu induksi terlama, dengan rata-rata selama 331,67 menit. Konsentrasi ekstrak biji pala sebesar 8 ppt memiliki waktu induksi tersingkat, yaitu selama 218,5 menit (Lampiran 3). Terdapat kecenderungan semakin tinggi konsentrasi ekstrak biji pala yang digunakan maka semakin singkat waktu yang dibutuhkan untuk memingsankan lobster air tawar. Namun berdasarkan uji statistik pada selang kepercayaan 95 %, konsentrasi ekstrak biji pala 5 ppt

– 8 ppt yang digunakan untuk uji waktu induksi tidak berbeda nyata terhadap waktu induksinya pada lobster (Lampiran 4). Sehingga dapat diinterpretasikan bahwa konsentrasi ekstrak biji pala antara 5 ppt – 8 ppt tidak memengaruhi waktu induksinya pada lobster.

Pala mempunyai senyawa tertentu yang berpotensi untuk dijadikan sebagai obat penenang (psychotropic). Senyawa yang dimaksud adalah myristicin (C12H16O3) dan elemicin (C12H16O3) (Leon 1991). Kedua senyawa tersebut paling banyak terdapat pada

bijinya (Guenther 1967 diacu dalam Pratiwi 2000). Pada mamalia, myristicin

mengalami metabolisme dalam tubuh sehingga menjadi MMDA ( 3-methoxy-4,5-methylenedioxy-amphetamine). Elemicin dapat mengoksidasi oleficin pada rantai molekulnya. Senyawa yang terbentuk akibat reaksi tersebut adalah vinil alkohol yang diduga dapat menyebabkan transaminasi untuk produksi TMA (3,4,5,-trimethoxy amphetamine). MMDA diketahui mempunyai potensi yang lebih besar dibandingkan TMA sebagai obat pshychotropic. TMA dan MMDA mempunyai efek halusinogen (Leon 1991). 331,67 298,67 281,5 218,5 0 50 100 150 200 250 300 350

5 6 7 8

w a k tu in d u k si (m eni t) konsentrasi (ppt)


(33)

4.4 Pengamatan Kondisi Fisiologis Lobster Selama Anestesi dan Masa Pemulihannya

Crustacean hyperglicemic hormone (CHH) diperkirakan merupakan indikator tingkat stres pada crustacea. Efek utamanya adalah peningkatan glukosa haemolymph dan laktat melalui mobilisasi cadangan glikogen intraseluler yang diindikasikan sebagai salah satu gejala stres. CHH neuropeptida disintesis oleh ganglion medulla terminalis pada organ X yang tersusun dari kelenjar sinus yang terletak pada tangkai mata (eyestalk) (Lorenzon et al. 2005 diacu dalam Elwood 2009). Anestesi berguna untuk mereduksi aktivitas dan mengurangi stres pada ikan (Iversen et al. 2003 diacu dalam Farstad et al. 2008). Anestesi dapat mengurangi laju metabolisme dan memperkecil kebutuhan oksigen, mengurangi aktivitas, mengoptimalkan penanganan dan mengurangi respon stres (Cookie

et al. 2004 diacu dalam Farstad et al. 2008). Pengamatan kondisi fisiologis lobster diamati pada dua kondisi berbeda, yaitu selama anestesi dan pasca anestesi (pemulihan).

4.4.1 Pengamatan kondisi fisiologis lobter selama anestesi

Jika induksi berjalan cepat, maka sulit untuk mengamati perubahan kondisi fisiologis pada hewan uji dari satu ke tahap ke tahap berikutnya pada saat anestesi. Selain itu penggunaan dosis yang tepat merupakan bagian penting untuk menghindari over dosis. Penggunaan beberapa zat anestesi diketahui dapat meningkatkan detak jantung, hiperglikemia, dan peningkatan laju pernafasan hewan uji. Gejala tersebut tergantung dari penggunaan dosis dan keberagaman spesies (Sneddon 2012). Perubahan kondisi fisiologis lobster yang diamati selama anestesi menggunakan ekstrak biji pala pada konsentrasi 5, 6, 7, dan 8 ppt dapat dilihat pada Tabel 5.

Tabel 5 Perubahan aktivitas lobster selama anestesi

Kriteria 8 ppt (menit ke-)

7 ppt (menit ke-)

6 ppt (menit ke-)

5 ppt (menit ke-)

A1 0 – 16 0 – 23 0 – 16 0 – 16

A2 16 – 30 23 – 37 16 – 30 16 - 30

A3 30 – 72 77 – 104 30 – 95 30 – 116

A4 72 – 102 104 – 117 95 – 188 116 – 124

A5 102 – 113 117 – 147 188 – 194 124 – 197

A6 113 - 121 147 - 161 194 – 312 197 - 280

Keterangan:

A1 :aktivitas normal A4 : awal disorientasi

A2 : tenang A5 : disorientasi

A3 : panik A6 : pingsan

Secara umum, dapat diketahui bahwa semakin kecil konsentrasi ekstrak biji pala yang digunakan maka lobster akan lebih lama berada pada tahap panik. Selain itu untuk menuju tahap awal disorientasi, lobster juga mengalami waktu tunggu yang relatif lama


(34)

seiring dengan menurunnya konsentrasi (8, 7, dan 6 ppt). Kondisi ini diduga dapat mengakibatkan stres yang tinggi terhadap lobster.

Stres yang terjadi diindikasikan dengan pengamatan secara visual pada beberapa gejala, yaitu adanya metabolisme yang terlampau berlebihan. Hal ini terlihat dari hasil ekskresi berupa feses dan urin lobster yang lebih banyak pada media uji ketika pengamatan waktu induksi ekstrak biji pala terhadap lobster berakhir. Perlakuan konsentrasi ekstrak biji pala sebesar 7 ppt menyebabkan lobster mengalami diuresis, yaitu keluarnya urin secara berlebihan. Indikasinya adalah warna media anestesi menjadi kekuningan. Sedangkan pada perlakuan dengan konsentrasi 5 ppt akan menyebabkan terdapat lebih banyak feses dalam media uji dibandingkan dengan ketiga perlakuan konsentrasi lainnya. Hal ini diduga akibat induksi ekstrak biji pala secara berlebihan sehingga metabolisme lobster menjadi lebih cepat dibandingkan dengan keadaan normal, selain itu juga ditandai dengan pergerakan lobster yang semakin agresif. Hal ini juga senada dengan Pratiwi (2000), bahwa konsumsi pala yang berlebihan dapat menyebabkan terjadinya gejala diuresis. Pergerakan agresif ditandai dengan adanya pergerakan capit, pelipatan ekor, pergerakan antena dan antenula, serta posisi lobster yang sering berpindah pada media uji yang mengindikasikan adanya kepanikan.

Sneddon (2012) juga menyatakan stres dapat memicu peningkatan respon kardiovaskular dan mempercepat laju aliran darah pada insang. Karena itu sangat penting untuk mengurangi stres sebelum dan selama proses anestesi, diantaranya dengan melakukan pemuasaan biota sebelum anestesi sehingga metabolisme sedikit berjalan lebih lambat, akibatnya kebutuhan oksigen juga berkurang. Dalam penelitian ini lobster dipuasakan selama 24 jam sebelum dianestesi dengan asumsi bahwa waktu tersebut merupakan waktu biologis makhluk hidup untuk menjalani serangkaian proses metabolisme, meskipun demikian hal ini perlu menjadi kajian tersendiri.

Schapker et al. (2002) diacu dalam Elwood (2009) merekam adanya peningkatan detak jantung dan laju pernafasan pada Procambarus clarckii dalam hal membedakan sensori menggunakan stimulus. Peneliti tersebut mengamati adanya penurunan detak jantung diikuti dengan pergerakan capit dan diduga bahwa hal itu merupakan usaha untuk menghindari kehilangan banyak darah. Sistem cardiac dan aktivitas pernafasan pada

crustacea diketahui sangat sensitif pada perubahan kondisi lingkungan (tingkat oksigen terlarut, fluktuasi suhu dan pH) ; pemberian zat kimia; penanganan atau pemberian stimulan yang bersifat ekstrem.

Induksi ekstrak biji pala pada Cherax quadricarinatus diduga berkaitan dengan penerimaan rangsang (stimulan) pada lobster oleh chemoreceptor. Pada crustacea,


(35)

reseptor neuron dikemas dalam kutikula pada eksoskeleton yang disebut sensilla (Derby dan Steullet 2001 diacu dalam Elwood 2009). Chemosensilla (sensilla pendeteksi stimulan yang bersifat kimia) terdapat pada hampir seluruh permukaan eksoskeleton dan memungkinkan pendeteksian terhadap perubahan-perubahan kimia pada lingkungan (Derby dan Steullet 2001 diacu dalam Elwood 2009). Chemosensilla akan mendistribusikan pesan berupa stimulan kimia ke seluruh permukaan tubuh lobster, termasuk antenna, antenulla, mulut, lengan (capit dan kaki), chepalothorax, abdomen dan

telson (Derby 1982,1989; Derby dan Atema 1982a; Spencer 1986; Tierney et al. 1988; Hallberg et al 1997; Cate dan Derby 2000, 2001 diacu dalam Steullet et al. 2001).

Sejauh ini mekanisme dari aksi zat anestesi yang berbeda pada crustacea masih belum menemukan titik terang (Saydmohammed et al. 2009). Faktor biologis seperti umur, jenis kelamin, kondisi fisiologis dan bobot, tahap perkembangan, pertumbuhan dan status fisiologis, kesehatan, dan kondisi reproduksi, begitu pula dengan faktor abiotik seperti kualitas air, temperatur, dan oksigenasi, akan mempengaruhi efikasi zat anestesi pada biota (Sneddon 2012).

4.4.2 Pengamatan kondisi fisiologis saat pemulihan lobster pasca anestesi

Stres berdampak negatif terhadap biota yang terdeteksi melalui beberapa efek fisiologis seperti penurunan daya imunitas, peningkatan kemungkinan terjadinya penyakit, penurunan kualitas telur, penghambatan laju pertumbuhan dan penurunan terhadap nilai jualnya (Saydmohammed et al. 2009). Perubahan fisiologis lobster selama tahap pemulihan pasca anestesi menggunakan ekstrak biji pala dapat dilihat pada Tabel 6.

Tabel 6 Tahap-tahap pemulihan lobster pasca anestesi

8 ppt 7 ppt 6 ppt 5 ppt

menit ke- tahap pemulihan menit ke- tahap pemulihan menit ke- tahap pemulihan menit ke- tahap pemulihan

0 P1 0 P1 0 P1 0 P1

10 P2 7 P2 9 P2 0 P2

17 P3 12 P3 16 P3 0 P3

42 P4 24 P4 22 P4 10 P4

Keterangan :

P1 : Kaki jalan lobster bergerak lemah seperti meronta, posisi terbalik, respon terhadap rangsang tidak ada.

P2 : Lobster dapat membalikkan tubuhnya ke posisi semula, respon terhadap rangsang sangat lemah, ekor melipat ke dalam.

P3 : Kondisi lobster lemah, sedikit gerakan, ekor melipat ke dalam, capit tidak menerima respon bila diusik.


(36)

Semakin tinggi konsentrasi ekstrak biji pala yang digunakan, maka terdapat kecenderungan akan semakin lama waktu yang diperlukan untuk pemulihan lobster. Berdasarkan pengamatan frekuensi pola perubahan tingkah laku selama proses pemulihan pasca anestesi, terdapat empat kategori perubahan perilaku fisiologis pada lobster yang sering terdeteksi yaitu disimbolkan dengan P1, P2, P3, dan P4. Fase pemulihan yang meliputi empat kategori tersebut terjadi pada proses pemulihan lobster dengan anestesi menggunakan ekstrak biji pala sebesar 6, 7, dan 8 ppt. Fase tidak lengkap ditunjukkan oleh lobster pada perlakuan konsentrasi ekstrak biji pala sebesar 5 ppt yaitu hanya menunjukkan kategori P4 dengan ciri reaktif terhadap rangsang, capit dan antena bergerak menerima respon bila diusik.

Menurut Barrento et al. (2010), pada penelitian mengenai penggunaan AQUI-S sebagai zat anestesi pada Cancer pagurus, dapat diketahui dari perubahan fisiologis selama proeses pemulihannya yang dicirikan oleh respon tangkai mata dan pergerakan capit. Terdapatnya respon pada tangkai mata ketika diberi stimulan dan pergerakan capit yang agresif dikatakan sebagai kondisi normal.

Perbedaan respon fisiologis pada perlakuan konsentrasi tersebut diduga dipengaruhi oleh kondisi individu lobster dan kerja zat anestesi pada sistem sarafnya yang perlu diketahui lebih jauh berkaitan dengan mekanismenya pada sistem saraf. Unit-unit sensori berkembang seiring dengan frekuensi moulting dan faktor-faktor yang berpengaruh selama masa pertumbuhan. Hal tersebut dipengaruhi oleh masa hidup dari regenerasi sel saraf (Beltz dan Sandeman 2003 diacu dalam Elwood 2009). Selama

ecdysis, crustacea berada dalam kondisi yang rawan, dan sebagai penyesuaian maka terjadi tambahan fungsi sensor yang baru (Ali 1987 diacu dalam Elwood 2009). Ecdysis

merupakan tahap pelepasan diri dari kerangka lama. Pada saat baru melepaskan diri, kutikel lobster air tawar masih dalam keadaan lembut. Pada fase ini, terjadi penyerapan air dalam jumlah banyak dan secara cepat oleh tubuh lobster. Ion-ion kalsium dari dalam tubuh lobster akan diangkut untuk memenuhi jaringan kulit (Lukito dan Prayugo 2007).

Zat anestesi umumnya digunakan di labaoratorium untuk keperluan penelitian,

veterinary, dan akuakultur (Sneddon 2012). Pada aplikasi ilmu kedokteran, zat anestesi bekerja pada saraf penerima rasa sakit (nociceptor). Zat anestesi akan menghambat respon penerima rasa sakit pada saraf periferal atau organ yang luka dengan menghalangi transmisi sodium menuju sel neuron. Zat anestesi bekerja dengan prinsip memblokade ion sodium sehingga saraf pusat tidak menerjamahkan luka sebagai rasa sakit (Elwood 2009).


(37)

4.5 Uji Penyimpanan Lobster Air Tawar

Menurut Gregory et al. (1998) diacu Anonim (2005), ketika biota sampai di pabrik (kepiting dan lobster), kebanyakan diantaranya berada dalam kondisi yang memprihatinkan, bahkan banyak yang kehilangan sebagian organ tubuhnya. Beberapa kondisi biota tersebut ada yang hidup namun dalam keadaan lemah, kritis, bahkan mati. Rata-rata sebesar 20% spesies australian rock lobster (Panulirus cygnus) yang sampai di industri berada dalam keadaan lemah sehingga hal tersebut menjadi pertimbangan untuk menerapkan sistem transportasi hidup pada lobster. Selain itu, terdapat studi di Kanada bahwa 19% dari lobster yang sampai di pabrik telah kehilangan capitnya. Merujuk pada kasus tersebut, penggunaan bahan anestesi diharapkan dapat mengurangi tingkat stres pada saat penanganan maupun transportasi biota (Barrento et al. 2011; Farstad et al. 2008; Fotader dan Evans 2010; Saydmohammed 2009; Sneddon 2012).

Konsentrasi ekstrak biji pala yang digunakan untuk memingsankan lobster dalam aplikasi uji penyimpanan adalah 5, 7, dan 8 ppt. Konsentrasi tersebut disesuaikan dengan pengamatan konsentrasi ekstrak biji pala sesuai dengan perhitungan waktu induksi dan pengaruh tingkat toksisitas ekstrak biji pala terhadap mortalitas lobster (uji toksisitas letal akut). Konsentrasi ekstrak biji pala 5 ppt diuji untuk mengetahui efektifitasnya terkait dengan LC50–24 jam, sedangkan konsentrasi biji pala sebesar 7 ppt dan 8 ppt diuji untuk

mengetahui efektifitasnya karena merupakan dua konsentrasi tertinggi yang digunakan pada uji toksisitas akut. Pengamatan mengenai pengaruh konsentrasi ekstrak biji pala terhadap survival rate lobster pada lama penyimpanan 12, 24, 36, dan 48 jam terdapat pada Tabel 7. Penggunaan bahan anestesi dengan konsentrasi 5, 7, dan 8 ppt, tidak memberikan hasil yang berbeda. Pada penyimpanan selama 12 dan 24 jam, survival rate

lobster sebesar 100 %, kemudian terjadi penurunan pada penyimpanan 36 dan 48 jam sehingga survival rate lobster menjadi 90 %.

Kematian lobster yang terjadi pada penyimpanan 36 jam dan 48 jam disebabkan karena lobster tidak mampu membentuk ATP untuk metabolisme basal. Metabolisme basal merupakan metabolisme yang berlangsung ketika kondisi lobster pingsan atau dalam keadaan sedang tidak beraktivitas. Hal ini diduga akibat kenaikan suhu selama uji penyimpanan. Suhu awal media saat pengemasan berkisar antara 13 – 16 oC, sesuai dengan Suryaningrum (2007) suhu media diusahakan tidak melebihi 20 oC. Suhu akhir media kemasan saat pembongkaran setelah 12 jam penyimpanan berkisar pada 22 - 23 oC dan setelah 24, 36, dan 48 jam, suhu media berkisar antara 23 – 24 oC (Lampiran 5). Kenaikan suhu pada kemasan selama uji penyimpanan menyebabkan lobster tersadar. Ketika lobster sadar, lobster membutuhkan oksigen untuk melangsungkan metabolisme,


(38)

sedangkan ketersediaan oksigen dalam media berkurang (hipoksia) bahkan hingga tidak terdapat oksigen (anoksia) karena kemasan tertutup sehingga lobster melakukan respirasi secara anaerob. Respirasi anaerob menyebabkan akumulasi laktat. Akumulasi laktat yang terlampau tinggi dapat menyebabkan kematian lobster.

Tabel 7 Survival rate lobster pada uji penyimpanan lobster Konsentrasi

ekstrak biji pala (ppt)

lama penyimpanan (jam)

survival rate

(%)

5 12 100

24 100

36 90

48 90

7 12 100

24 100

36 90

48 90

8 12 100

24 100

36 90

48 90

Kondisi deep sedation dapat dipertahankan hanya dalam waktu singkat, dibuktikan dengan kondisi lobster yang sudah bergerak saat dilakukan pembongkaran. Keadaan ini tejadi pada semua kondisi pada perlakuan konsentrasi ekstrak biji pala sebesar 5, 7, dan 8 ppt. Hal ini disebabkan ekstrak biji pala hanya mampu mempertahankan kondisi pingsan lobster dalam waktu yang relatif singkat. Dalam kajian mengenai penggunaan bahan anestesi untuk kepentingan waktu pingsan yang lama, Sneddon (2012) menganjurkan adanya penggunaan dua bahan anestesi yang dapat bekerja berkesinambungan sehingga diperoleh kondisi dan waktu pingsan yang ideal untuk biota.


(39)

5 SIMPULAN DAN SARAN 5.1 Simpulan

Ekstrak biji pala dapat digunakan sebagai bahan anestesi pada lobster. LC50-24 jam ekstrak biji pala terhadap lobster air tawar terdapat pada konsentrasi

5 ppt, sedangkan LC100-48 jam terdapat pada konsentrasi ekstrak 5, 6, 7, dan

8 ppt. Perbedaan konsentrasi ekstrak biji pala yaitu 5, 6, 7, dan 8 ppt tidak mempengaruhi lama waktu induksinya terhadap lobster. Waktu induksi ekstrak biji pala terhadap lobster berkisar antara 218,5 menit – 331,67 menit. Anestesi dengan konsentrasi ekstrak biji pala sebesar 5, 7, dan 8 ppt selama 24 jam penyimpanan menunjukkan survival rate lobster uji sebesar 100%, survival rate lobster menurun menjadi 90% setelah waktu penyimpanan 36 jam. Konsentrasi ekstrak biji pala sebesar 5 ppt diduga merupakan konsentrasi yang efektif untuk anestesi lobster air tawar.

5.2 Saran

Beberapa hal yang dapat disarankan berkaitan dengan penelitian ini, antara lain :

a. Pada saat pengujian waktu induksi sebaiknya dilakukan pengukuran oksigen terlarut secara teratur dengan frekuensi yang lebih sering, hal ini untuk mengetahui laju pengurangan oksigen terkait dengan induksi ekstrak biji pala terhadap lobster yang memengaruhi laju metabolismenya.

b. Perlu dilakukan uji mengenai tingkat stres lobster air tawar setelah anestesi dan penyimpanan lobster, diantaranya dengan pengukuran glukosa haemolymph dan kadar laktat.

c. Perlu diadakan pengkajian mengenai penggunaan bahan aenstesi ganda secara bergantian dalam waktu yang berdekatan sesuai dengan target organ untuk mengoptimalkan daya anestetik bahan terhadap kondisi pingsan lobster air tawar.

d. Perlu dilakukan cara pengemasan yang lebih tepat untuk memperkecil risiko kematian lobster.


(1)

Lampiran 2 Contoh perhitungan konversi nilai TAN menjadi amonia

Pada nilai TAN tertinggi setelah uji toksisitas ( konsentrasi ekstrak biji pala 4 ppt) Diketahui :

Suhu akhir perlakuan = 26,30 oC pH akhir perlakuan = 7,34 nilai TAN = 1,05 mg/L

NH3 = �

100 ���������

X dari tabel presentase (%) amonia bebas (NH3) terhadap amonia total sebesar 1,3 (Boyd 1988 diacu dalam Effendi 2003).

Maka :

NH3 = 1.3

100 � 1,05


(2)

Lampiran 3 Rata-rata waktu induksi ekstrak biji pala pada lobster konsentrasi ulangan waktu induksi

5 1 273.75

2 427.25

3 294

rata-rata 331.76±83.39

6 1 294

2 316.25

3 281.75

rata-rata 298.67±17.26

7 1 298.5

2 429

3 117

rata-rata 281.50±106.85

8 1 234

2 316.75

3 104.75


(3)

Lampiran 4 Tabel ANOVA uji waktu induksi ekstrak biji pala terhadap lobster

Tests of Between-Subjects Effects Dependent

Variable:WaktuInduksi

Source

Type III Sum

of Squares df Mean Square F Sig. Corrected

Model 20327.083

a 3 6775.694 .627 .618

Intercept 958240.083 1 958240.083 88.682 .000

Konsentrasi 20327.083 3 6775.694 .627 .618

Error 86442.958 8 10805.370

Total 1065010.125 12

Corrected Total 106770.042 11


(4)

Lampiran 5 Rekaman kondisi fisiologis lobster dan suhu media pada uji lama penyimpanan konsentrasi jam ke- survival rate

(%)

suhu media (oC)

suhu ruang

(oC) kondisi fisiologis lobster

5 12 100 18.5 22.5 pingsan ringan

24 100 22 24 sebagian pingsan ringan dan sebagian sadar

36 90 24 24 sadar dengan kondisi lemah

48 90 24 24 sadar dengan kondisi lemah

7 12 100 18.5 22.5 pingsan ringan

24 100 23.5 24 sebagian pingsan ringan dan sebagian sadar

36 90 24.5 24 sadar dengan kondisi lemah

48 90 24.5 24 sadar dengan kondisi lemah

8 12 100 18.5 22.5 pingsan ringan

24 100 23.5 24 sebagian pingsan ringan dan sebagian sadar

36 90 24.5 24 sadar dengan kondisi lemah


(5)

Lampiran 6 Dokumentasi penelitian

Ekstrak biji pala


(6)

RINGKASAN

AULIA NUR AFNI. C34070042. Pengujian Ekstrak Biji Pala (Myristica sp.) sebagai Bahan Anestesi pada Lobster Air Tawar (Cherax quadricarinatus). Dibimbing oleh WINARTI ZAHIRUDDIN dan

PIPIH SUPTIJAH.

Cherax quadricarinatus, selain sebagai lobster hias, saat ini mulai diminati sebagai lobster konsumsi. Ironisnya, ketika lobster sampai di tangan konsumen, keadaannya dalam kondisi kritis, antara lain kehilangan organ terutama capit, bahkan mati sehingga akan mengurangi nilai jualnya. Dalam upaya mengatasi masalah tersebut, perlu diupayakan penanganan yang baik, salah satunya dengan metode anestesi. Zat anestesi bekerja menekan saraf tertentu sehingga biota menjadi dalam keadaan setengah sadar atau pingsan. Penggunaan bahan anestesi alami dianggap dapat menjamin dari segi keamanan pangan. Tumbuhan asli Indonesia, yaitu pala (Myristica sp.) terutama bagian bijinya mempunyai beberapa kandungan senyawa kimia antara lain elemicin, myristicin, dan metil eugenol. Pada konsentrasi tertentu, terutama elemicin dan myristicin diduga berpotensi sebagai bahan anestesi.

Penelitian ini bertujuan untuk menguji ekstrak biji pala sebagai bahan anestesi dan menentukan konsentrasi terbaik untuk anestesi pada lobster serta menguji kemungkinan penggunaan ekstrak biji pala untuk memingsankan lobster sehingga dapat diaplikasikan pada penyimpanan lobster. Tahap penelitian terdiri dari penelitian pendahuluan dan utama. Penelitian pendahuluan meliputi aklimatisasi lobster, persiapan ekstrak biji pala, persiapan media penyimpanan, dan pengujian ambang konsenstrasi ekstrak biji pala pada konsentrasi 0 – 15 ppt dengan selang 2,5 ppt. Penelitian utama meliputi pengujian toksisitas letal akut dari konsentrasi 3 - 8 ppt dengan selang 1 ppt, pengujian daya anestesi pada konsentrasi ekstrak biji pala 5, 6, 7, dan 8 ppt dan pengujian lama penyimpanan lobster dalam waktu 12 jam, 24 jam, 36 jam, dan 48 jam. Rancangan percobaan yang digunakan adalah rancangan acak lengkap.

Hasil analisis uji ambang konsenstrasi, LC0-24 jam terjadi pada perlakuan konsentrasi ekstrak biji pala sebesar 0 ppt dan 2,5 ppt, LC50-24 jam terjadi pada perlakuan konsentrasi ekstrak biji pala sebesar 5 ppt dan 7,5 ppt, LC100-24 jam terjadi pada perlakuan konsentrasi ekstrak biji pala 10 – 15 ppt. Pada uji toksisitas letal akut, LC50-24 jam terjadi pada perlakuan dengan konsentrasi ekstrak biji pala sebesar 5 ppt dan LC100-48 jam terjadi pada perlakuan konsentrasi ekstrak biji pala sebesar 5 – 8 ppt. Hasil uji kualitas air media uji baik sebelum maupun setelah pengujian toksisitas letal akut masih memenuhi standar bagi kehidupan lobster, yaitu pada parameter suhu (25,40 – 27,10 oC), pH (6,61 – 7,37), dan TAN (0,01 – 1,05 mg/L), kadar oksigen terlarut setelah pengujian toksisitas letal akut adalah sebesar 0,14 – 1,10 mg/L. Pada pengujiaan daya anestesi, konsentrasi ekstrak biji pala sebesar 5,6,7 dan 8 ppt tidak mempengaruhi waktu induksinya pada lobster. Penggunaan ekstrak biji pala sebagai bahan anestesi pada konsentrasi 5,7, dan 8 ppt dapat mempertahankan survival rate lobster sebesar 100 % hingga 24 jam penyimpanan, kemudian menurun menjadi 90 % setelah penyimpanan selama 36 jam.