berdasarkan respon fisiologsinya ditandai dengan keadaan tubuhnya yang tenang, respon minimal terhadap stimulan misalnya gerakan dan sentuhan, dan gerakan
antena yang minimal.
2.6 Toksisitas
Toksisitas merupakan daya racun suatu bahan yang dapat menyebabkan keracunan. Toksikan adalah agen yang mampu menghasilkan efek merugikan
pada sistem biologi yang dapat menyebabkan kematian Koeman 2006. Toksisitas suatu bahan dapat ditentukan dengan mengkaji besarnya kematian
populasi organisme uji. Salah satunya dengan menggunakan uji toksisitas bahan uji terhadap hewan uji yaitu pada konsentrasi terkecil pada saat kematian 100
hewan uji. Namun, untuk mengetahui tingkat toksisitas suatu bahan sering digunakan tingkat kematian populasi 50 hewan uji pada berbagai waktu dedah
LC
50
Cassaret dan Donev 1975. Toksisitas dapat disebabkan karena faktor kimia, fisika, maupun biologi.
Faktor kimia terdiri dari bahan kimia anorganik amonia, klorin dan logam berat, bahan kimia organik misalnya dioksin, dan pestisida. Faktor fisika misalnya suhu
dan padatan terlarut, sedangkan faktor biologi misalnya bakteri, fungi, dan parasit Anonim 2004. Uji toksisitas dibagi menjadi tiga golongan yaitu uji toksisitas
akut, kronis, dan subkronis Loomis 1978. Uji toksisitas akut bertujuan mengetahui respon umum suatu populasi ketika terjadi perubahan lingkungan, uji
toksisitas akut berlangsung dalam waktu yang relatif lebih singkat dibandingkan dengan uji toksisitas kronis, yaitu 2 - 4 hari, sedangkan uji toksisitas kronis
digunakan untuk mengetahui pertumbuhan dan daya tahan organisme terhadap toksikan. Uji toksisitas subkronis dilakasanakan dalam waktu 6 bulan. Umumnya
uji toksistas kronis dilakukan dengan dosis toksikan yang relatif lebih kecil dibandingkan dengan dosis toksikan yang digunkakan pada uji toksisitas akut.
Waktu yang diperlukan untuk mengetahui efek toksikan terhadap hewan uji berkisar antara 7- 18 bulan Keith 1996.
2.7 Kualitas Air
Pemantauan kualitas air memiliki berbagai tujuan, salah satunya mendeteksi dan mengukur pengaruh yang ditimbulkan oleh suatu pencemar
terhadap kualitas lingkungan dan mengetahui perbaikan kualitas lingkungan setelah pencemar tersebut dihilangkan Masson 1993 diacu dalam Effendi 2003.
Dalam kaitannya dengan kepentingan uji toksisitas, pengukuran kulitas air berhubungan dengan parameter-parameter fisik maupun kimia yang menjadi
kondisi ideal bagi kelangsungan hidup biota.
2.7.1 DO dissolved oxigen
DO dissoved oxigen atau oksigen terlarut merupakan kualitas air yang bersifat kritis dalam pemeliharaan organisme akuatik. Kelarutan oksigen menurun
seiring dengan meningkatnya suhu perairan Boyd dan Lichtkoppler 1979. Secara alami, lobster air tawar lebih menyukai tinggal didasar perairan dan masih
bertahan pada DO sebesar 1 ppm Lukito dan Prayugo 2007.
2.7.2 Suhu
Suhu mempunyai efek yang krusial terhadap proses – proses kimia dan
biologi. Pada umumnya reaksi kimia rata-rata meningkat setiap kenaikan suhu sebesar 10
o
C. Hal ini berarti organisme akuatik akan menggunakan dua kali lebih banyak oksigen terlarut pada suhu 20
o
C dan 30
o
C, dan reaksi-reaksi kimia memiliki laju yang lebih cepat pada suhu 30
o
C begitu pula pada suhu 20
o
C Boyd dan Lichtkoppler 1979.
2.7.3 pH
pH merupakan ukuran dari konsentrasi ion hidrogen dan mengindikasikan tingkat asam dan basa suatu perairan Boyd dan Lichtkoppler 1979. pH penting
digunakan sebagai parameter kualitas air karena dapat mengontrol tipe dan laju reaksi beberapa bahan di dalam air. pH yang ideal untuk kehidupan lobster
berkisar antara 6,5 - 9 Lukito dan Prayugo 2007. Amonium bersifat tidak toksik innocuos. Namun pada suasana alkalis pH tinggi lebih banyak ditemukan
amoniak yang tidak terionisasi dan bersifat toksik. Amonia tak terionisasi ini lebih mudah terserap ke dalam tubuh organisme akuatik dibandingkan dengan amonium
Tebut 1992 diacu dalam Effendi 2003.
2.7.4 Amonia dan TAN
TAN merupakan jumlah amonia total yang ada di perairan. TAN meliputi amonia yang terionisasi NH
4 +
dan amonia yang tidak terionisasi NH
3
. Amonia pada perairan diproduksi sebagai produk metabolit organisme akuatik dan
dekomposisi material organik oleh bakteri. Dalam perairan, nitrogen pada amonia terdiri dari dua bentuk yaitu amonia yang tidak terionisasi dan amonia yang
terionisasi. Tingkat toksisitas amonia yang tidak terionisasi berada antara 0,6 dan 2 mgL dan efek subletal dapat terjadi pada konsentrasi 0,1 hingga 0,3 mgL. pH
dan temperatur air akan mengatur proporsi amonia total yang tedapat pada amonia yang tidak terionisasi Boyd dan Lichtkoppler 1979.
2.8 Pengemasan dan Uji Penyimpanan
Pengemasan terdiri dari dua unsur, yaitu kemasan dan media kemasan. Kemasan yang digunakan dalam pengangkutan dengan media non-air dapat terdiri
dari styrofoam sebagai kemasan primer dan kotak kardus sebagai kemasan sekunder. Kotak karton kardus yang digunakan sebaiknya berdinding ganda yang
dilaminasi dengan lapisan lilin. Lapisan lilin berguna untuk mencegah kerusakan kotak karton karena kelembaban tinggi selama transportasi. Styrofoam sebagai
kemasan primer berfungsi sebagai isolator panas Junianto 2003. Pengepakan yang sering digunakan pada pengangkutan lobster air tawar
adalah pengepakan kering. Pengepakan kering dilakukan tanpa media air karena pada dasarnya lobster air tawar mampu bertahan hidup beberapa jam tanpa air.
Dibandingkan pengepakan sistem basah, pengepakan sistem kering jauh lebih baik karena terbukti lebih tahan lama Lukito dan Prayogo 2007.
Jenis bahan pengisi yang dapat digunakan dalam pengangkutan ikan dengan sistem kering antara lain sekam, serutan kayu, serbuk gergaji, dan rumput
laut Junianto 2003. Selain itu spons juga telah dikaji sebagai bahan pengisi. Menurut penelitian Nirwansyah 2012, penggunaan media spons dapat
mempertahankan kelangsungan hidup lobster hingga 100 dalam waktu penyimpanan 60 jam. Beberapa fungsi bahan pengisi dalam sistem pengangkutan
hidup adalah mencegah biota agar tidak bergeser dalam kemasan, menjaga lingkungan suhu tetap rendah, dan memberi lingkungan udara yang memadai
untuk kelangsungan hidup biota yang ditransportasikan Junianto 2003 Suhu media kemasan harus dipertahankan serendah mungkin mendekati
titik immotile, yaitu pada kisaran 10 – 21
o
C. Pada suhu 21
o
C, udang galah atau udang kembali normal dan suhu dibawah 10
o
C dapat menyebabkan kematian pada udang atau udang galah. Suhu media kemasan berperan dalam
mempertahankan tingkat terbiusnya udang galah atau udang selama pengangkutan sehingga ikut mempertahankan kelangsungan hidup udang galah atau udang
dalam media non-air Junianto 2003. Pengangkutan ikan dengan media non air menggunakan prinsip hibernasi.
Hibernasi adalah usaha untuk menekan metabolisme suatu organisme sehingga dalam kondisi yang minimum organisme tersebut mampu bertahan hidup.
Umumnya pengangkutan hidup dengan media non-air terbatas untuk hasil-hasil perikanan laut seperti udang, udang galah, kepiting, dan rajungan. Secara anatomi,
hewan-hewan tersebut mempunyai rongga karapas. Rongga karapas dapat membantu menyediakan oksigen terlarut selama hewan tersebut berada di darat.
Pada transportasi kering, suhu diatur sedemikian rupa sehingga kecepatan metabolisme ikan berada dalam taraf metabolisme basal, karena pada taraf
tersebut, oksigen yang dikonsumsi ikan sangat sedikit sekedar untuk mempertahankan hidup saja.
Crustacea merupakan hewan yang mempunyai alat pernapasan tambahan
yang disebut labirinth. Dengan adanya alat pernapasan tambahan ini, krustasea mampu beradaptasi untuk hidup tanpa air selama beberapa jam dalam lingkungan
yang lembab pada suhu rendah. Dengan memanfaatkan sifat fisiologis yang unik tersebut, maka crustacea dapat diangkut dengan menggunakan sistem kering
Suryaningrum et al. 2001.
3 METODOLOGI
3.1 Waktu dan Tempat