4.4 Pengamatan Kondisi Fisiologis Lobster Selama Anestesi dan Masa Pemulihannya
Crustacean hyperglicemic hormone CHH diperkirakan merupakan indikator
tingkat stres pada crustacea. Efek utamanya adalah peningkatan glukosa haemolymph dan laktat melalui mobilisasi cadangan glikogen intraseluler yang diindikasikan sebagai salah
satu gejala stres. CHH neuropeptida disintesis oleh ganglion medulla terminalis pada organ X yang tersusun dari kelenjar sinus yang terletak pada tangkai mata eyestalk
Lorenzon et al. 2005 diacu dalam Elwood 2009. Anestesi berguna untuk mereduksi aktivitas dan mengurangi stres pada ikan Iversen et al. 2003 diacu dalam Farstad et al.
2008. Anestesi dapat mengurangi laju metabolisme dan memperkecil kebutuhan oksigen, mengurangi aktivitas, mengoptimalkan penanganan dan mengurangi respon stres Cookie
et al. 2004 diacu dalam Farstad et al. 2008. Pengamatan kondisi fisiologis lobster
diamati pada dua kondisi berbeda, yaitu selama anestesi dan pasca anestesi pemulihan.
4.4.1 Pengamatan kondisi fisiologis lobter selama anestesi
Jika induksi berjalan cepat, maka sulit untuk mengamati perubahan kondisi fisiologis pada hewan uji dari satu ke tahap ke tahap berikutnya pada saat anestesi. Selain
itu penggunaan dosis yang tepat merupakan bagian penting untuk menghindari over dosis. Penggunaan beberapa zat anestesi diketahui dapat meningkatkan detak jantung,
hiperglikemia, dan peningkatan laju pernafasan hewan uji. Gejala tersebut tergantung dari penggunaan dosis dan keberagaman spesies Sneddon 2012. Perubahan kondisi fisiologis
lobster yang diamati selama anestesi menggunakan ekstrak biji pala pada konsentrasi 5, 6, 7, dan 8 ppt dapat dilihat pada Tabel 5.
Tabel 5 Perubahan aktivitas lobster selama anestesi
Kriteria 8 ppt
menit ke- 7 ppt
menit ke- 6 ppt
menit ke- 5 ppt
menit ke- A1
– 16 – 23
– 16 – 16
A2 16
– 30 23
– 37 16
– 30 16 - 30
A3 30
– 72 77
– 104 30
– 95 30
– 116 A4
72 – 102
104 – 117
95 – 188
116 – 124
A5 102
– 113 117
– 147 188
– 194 124
– 197 A6
113 - 121 147 - 161
194 – 312
197 - 280
Keterangan: A1 :aktivitas normal
A4 : awal disorientasi
A2 : tenang A5 : disorientasi
A3 : panik A6 : pingsan
Secara umum, dapat diketahui bahwa semakin kecil konsentrasi ekstrak biji pala yang digunakan maka lobster akan lebih lama berada pada tahap panik. Selain itu untuk
menuju tahap awal disorientasi, lobster juga mengalami waktu tunggu yang relatif lama
seiring dengan menurunnya konsentrasi 8, 7, dan 6 ppt. Kondisi ini diduga dapat mengakibatkan stres yang tinggi terhadap lobster.
Stres yang terjadi diindikasikan dengan pengamatan secara visual pada beberapa gejala, yaitu adanya metabolisme yang terlampau berlebihan. Hal ini terlihat dari hasil
ekskresi berupa feses dan urin lobster yang lebih banyak pada media uji ketika pengamatan waktu induksi ekstrak biji pala terhadap lobster berakhir. Perlakuan
konsentrasi ekstrak biji pala sebesar 7 ppt menyebabkan lobster mengalami diuresis, yaitu keluarnya urin secara berlebihan. Indikasinya adalah warna media anestesi menjadi
kekuningan. Sedangkan pada perlakuan dengan konsentrasi 5 ppt akan menyebabkan terdapat lebih banyak feses dalam media uji dibandingkan dengan ketiga perlakuan
konsentrasi lainnya. Hal ini diduga akibat induksi ekstrak biji pala secara berlebihan sehingga metabolisme lobster menjadi lebih cepat dibandingkan dengan keadaan normal,
selain itu juga ditandai dengan pergerakan lobster yang semakin agresif. Hal ini juga senada dengan Pratiwi 2000, bahwa konsumsi pala yang berlebihan dapat menyebabkan
terjadinya gejala diuresis. Pergerakan agresif ditandai dengan adanya pergerakan capit, pelipatan ekor, pergerakan antena dan antenula, serta posisi lobster yang sering berpindah
pada media uji yang mengindikasikan adanya kepanikan. Sneddon 2012 juga menyatakan stres dapat memicu peningkatan respon
kardiovaskular dan mempercepat laju aliran darah pada insang. Karena itu sangat penting untuk mengurangi stres sebelum dan selama proses anestesi, diantaranya dengan
melakukan pemuasaan biota sebelum anestesi sehingga metabolisme sedikit berjalan lebih lambat, akibatnya kebutuhan oksigen juga berkurang. Dalam penelitian ini lobster
dipuasakan selama 24 jam sebelum dianestesi dengan asumsi bahwa waktu tersebut merupakan waktu biologis makhluk hidup untuk menjalani serangkaian proses
metabolisme, meskipun demikian hal ini perlu menjadi kajian tersendiri. Schapker et al. 2002 diacu dalam Elwood 2009 merekam adanya peningkatan
detak jantung dan laju pernafasan pada Procambarus clarckii dalam hal membedakan sensori menggunakan stimulus. Peneliti tersebut mengamati adanya penurunan detak
jantung diikuti dengan pergerakan capit dan diduga bahwa hal itu merupakan usaha untuk menghindari kehilangan banyak darah. Sistem cardiac dan aktivitas pernafasan pada
crustacea diketahui sangat sensitif pada perubahan kondisi lingkungan tingkat oksigen
terlarut, fluktuasi suhu dan pH ; pemberian zat kimia; penanganan atau pemberian stimulan yang bersifat ekstrem.
Induksi ekstrak biji pala pada Cherax quadricarinatus diduga berkaitan dengan penerimaan rangsang stimulan pada lobster oleh chemoreceptor. Pada crustacea,
reseptor neuron dikemas dalam kutikula pada eksoskeleton yang disebut sensilla Derby dan Steullet 2001 diacu dalam Elwood 2009. Chemosensilla sensilla pendeteksi
stimulan yang bersifat kimia terdapat pada hampir seluruh permukaan eksoskeleton dan memungkinkan pendeteksian terhadap perubahan-perubahan kimia pada lingkungan
Derby dan Steullet 2001 diacu dalam Elwood 2009. Chemosensilla akan mendistribusikan pesan berupa stimulan kimia ke seluruh permukaan tubuh lobster,
termasuk antenna, antenulla, mulut, lengan capit dan kaki, chepalothorax, abdomen dan telson
Derby 1982,1989; Derby dan Atema 1982a; Spencer 1986; Tierney et al. 1988; Hallberg et al 1997; Cate dan Derby 2000, 2001 diacu dalam Steullet et al. 2001.
Sejauh ini mekanisme dari aksi zat anestesi yang berbeda pada crustacea masih belum menemukan titik terang Saydmohammed et al. 2009.
Faktor biologis seperti umur, jenis kelamin, kondisi fisiologis dan bobot, tahap perkembangan, pertumbuhan dan
status fisiologis, kesehatan, dan kondisi reproduksi, begitu pula dengan faktor abiotik seperti kualitas air, temperatur, dan oksigenasi, akan mempengaruhi efikasi zat anestesi
pada biota Sneddon 2012.
4.4.2 Pengamatan kondisi fisiologis saat pemulihan lobster pasca anestesi