Lalu bagaimana dengan intelijen?

Lalu bagaimana dengan intelijen?

Intelijen militer terbagi dalam dua kubu besar yaitu intelijen tempur (taktis) dan intelijen strategis. Intelijen strategis di masa Orde Baru hampir tidak ada bedanya dengan Intelijen Sipil seperti BAKIN yang kemudian menjadi BIN, semuanya terlalu berat dalam menangani soal- soal politik dalam negeri dan mengantisipasi ATHG yang didefinisikan dari Bina Graha atau Cendana. Pada masa ini, intelijen yang juga didominasi oleh orang-orang intel militer memiliki kehormatannya sendiri berupa prestasi di tingkat nasional dan internasional. Meski tidak diketahui oleh publik, tapi stabilitas terjaga melalui pola-pola penanganan "masalah" dengan cepat. Di bidang politik, peranan intelijen dalam memastikan kelanggengan kekuasaan adalah sangat vital. Suasana ini jelas berubah pasca reformasi, intelijen tidak lagi bisa mengabdi secara membabi buta dalam mendukung kekuasaan politik seorang presiden, inilah salah satu penyebab utama mengapa presiden Indonesia pasca reformasi tampak tidak kuat. Keinginan kuat dari agen-agen muda untuk juga berperan secara profesional dan obyektif menyebabkan kelumpuhan Intelijen militer terbagi dalam dua kubu besar yaitu intelijen tempur (taktis) dan intelijen strategis. Intelijen strategis di masa Orde Baru hampir tidak ada bedanya dengan Intelijen Sipil seperti BAKIN yang kemudian menjadi BIN, semuanya terlalu berat dalam menangani soal- soal politik dalam negeri dan mengantisipasi ATHG yang didefinisikan dari Bina Graha atau Cendana. Pada masa ini, intelijen yang juga didominasi oleh orang-orang intel militer memiliki kehormatannya sendiri berupa prestasi di tingkat nasional dan internasional. Meski tidak diketahui oleh publik, tapi stabilitas terjaga melalui pola-pola penanganan "masalah" dengan cepat. Di bidang politik, peranan intelijen dalam memastikan kelanggengan kekuasaan adalah sangat vital. Suasana ini jelas berubah pasca reformasi, intelijen tidak lagi bisa mengabdi secara membabi buta dalam mendukung kekuasaan politik seorang presiden, inilah salah satu penyebab utama mengapa presiden Indonesia pasca reformasi tampak tidak kuat. Keinginan kuat dari agen-agen muda untuk juga berperan secara profesional dan obyektif menyebabkan kelumpuhan

Lebih jauh, Intelijen lebih suka berperan dalam bidang-bidang yang benar-benar ancaman serius bagi masa depan bangsa Indonesia seperti terorisme, kontra-intelijen, spionase aktif, transnational crime, intelijen ekonomi, juga dalam kasus korupsi dan konflik lokal/regional.

Sementara itu, Intelijen tempur menurut saya tetap berada dalam posisi yang sama persis dengan era Orde Baru, mereka membutuhkan dukungan teknologi satelit, radar, sistem deteksi dini, dan operasi-operasi pengamatan di wilayah perbatasan dan yg berpotensi menjadi daerah konflik. Dukungan kepada mereka saya kira sangat minimal, dan keberadaan mereka justru di garis depan komando teritorial yang banyak diperdebatkan itu. Bila yang dimaksud komando teritorial itu berupa kepanjangan kepentingan menjaga kekuasaan model Orde Baru, maka garisnya mengarah pada intelijen strategis. Namun jangan salah, intelijen strategis juga mendata dan menyelidiki secara mendalam gerakan yg menciptakan kekacauan di dalam negeri mulai dari aksi individual, gerakan separatis, gerakan ideologi kiri dan kanan, dan tentu saja gerakan teroris. Hal ini boleh dikata sangat mirip dengan BAKIN atau BIN sekarang. Bahkan baik intelijen strategis maupun intelijen negara memiliki kepanjangan tangan di luar negeri. Intelijen strategis melalui atase hankam, intelijen negara melalui agen.

Sebenarnya saya hanya mau bilang kalo penataan intelijen, polisi dan militer seyogyanya dilakukan secara terpadu dan hati-hati tanpa menyinggung kehormatan korps. Sangat diperlukan kejelasan hukum yang menjadi landasan bagi terciptanya pembagian kerja yang sesuai dengan spesialisasi masing-masing. Jangan seperti patriot bebek yang hanya aktif pada sektor-sektor yang sedang populer dan aktual, ada masalah teroris semua aparat mengerubungi tanpa koordinasi, bahkan ada keinginan untuk menjadi yang paling hebat/dominan. Perlu ada kejelasan pembagian tugas dan definisi pekerjaan masing-masing. Jadi meskipun seseorang itu anggota TNI aktif, bila dia seorang spesialis infiltrator ke organisasi teroris, tidak ada salahnya bila diaktifkan dengan tugas khusus. Demikian juga juga dengan anggota-anggota Polisi yang berada di bagian anti teror, seyogyanya saling mengenal dengan anggota anti teror di tubuh militer dan intelijen. Dengan demikian tidak perlu terjadi silang pendapat yang sifatnya saling membantah di antara sesama aparat keamanan, baik polisi, militer maupun intelijen, karena hal ini cuma memperjelas tidak adanya koordinasi, tidak adanya saling menghormati. Tentunya hal ini kembali pada segenap jajaran pimpinan Polisi, Militer dan Intelijen.

Aku...Engkau dan Bekas Pacarmu....