Sedikit nasehat buat para agen muda
Sedikit nasehat buat para agen muda
Seorang agen operasional maupun agen analis senantiasa dipengaruhi oleh kapabilitas dirinya dan keraguan lingkungan atas kemampuannya. Sehebat apapun seorang agen, bila telah terperosok dalam suasana "merasa hebat", maka kejatuhannya akan segera datang.
Di luar aspek kapabilitas seorang agen mengembangkan kemampuan dirinya, dia mesti senantiasa memperhatikan adanya pendapat/analisa yang mungkin lebih baik dari kalangan pakar ahli. Satu hal yang perlu dipisahkan adalah aspek emosi individual yang seringkali mewarnai sebuah pendapat (subyektifitas). Subyektifitas seringkali berhasil mempertajam analisa atau perkiraan dari satu sudut pandang karena ia diperkuat oleh emosi. Namun kekeliruan dalam mengandalkan pada sikap seperti ini akan menjerumuskan bila ternyata insting intelektual/intelijen meleset, sehingga emosi yang membimbing analisa tersebut akan kelihatan begitu bodohnya, dan penyesalan tidak akan berguna.
Oleh karena itu, sangatlah perlu untuk melihat secara umum, membandingkan dengan pendapat lain, dan sekali lagi membuat penglihatan ulang kepada sebuah duduk persoalan. Proses ini berlangsung lambat pada awalnya, namun akan termekanisasi seiring dengan kebiasaan seorang agen.
Ingat pada nasehat Kipling's "If": "If you can trust yourself when all men doubt you" --and here comes the rub— "But make allowance for their doubting, too."
Memang benar seorang agen yang baik hanya percaya 100% pada dirinya sendiri, namun tetap berilah ruang pada keraguan orang lain pada anda.
Anda akan menjadi orang yang percaya diri sekaligus waspada pada kekeliruan yang mungkin terjadi pada diri sendiri. Sehingga tidak akan terjadi keyakinan yang berlebihan yang bisa mendorong pada kehancuran diri sendiri.
Sekian Posted by Senopati Wirang /Sunday, February 12, 2006
Bagaimana Caranya Mengabdi dan Menjadi Anggota Intelijen Indonesia?
Saya telah menerima dan mengecewakan entah berapa puluh e-mail dan unpublish comment dari rekan-rekan, mungkin mencapai seratusan lebih yang menanyakan bagaimana menjadi intel, meminta informasi tentang BIN atau bahkan meminta rekomendasi untuk bisa masuk dalam komunitas intelijen Indonesia.
Mungkin sudah waktunya bagi BIN untuk lebih transparan dengan melakukan rekrutmen terbuka yang lebih kompetitif sehingga calon-calon agen yang direkrut benar-benar pilihan. Hal ini tentunya tetap diiringi dengan sistem spotting agen yang tertutup. Dua mekanisme rekrutmen yang memiliki tujuan berbeda sesuai dengan kebutuhan organisasi.
Menurut saya untuk agen-agen khusus operasional, sistem rekrutmen tertutup dengan spotting berbulan-bulan masih relevan, karena karakteristik agen yang dibutuhkan adalah kemampuan khusus yang unik yang dimiliki seseorang karena pengalaman hidupnya, karena keterampilan khususnya, karena jaring komunikasinya, karena aksesnya, dll. Setidaknya model ini sangat efektif dan tampak tetap menunjukkan bahwa agen yang direkrut cukup handal dan sebagian besar unsur sipil pimpinan BIN mungkin dari model ini, selebihnya sampah.
Sementara agen-agen analis lebih membutuhkan rekrutmen kompetitif yang bisa dilakukan secara terbuka di kampus-kampus terkemuka untuk Sementara agen-agen analis lebih membutuhkan rekrutmen kompetitif yang bisa dilakukan secara terbuka di kampus-kampus terkemuka untuk
Sistem penyaringan yang ketat dan berlapis mudah saja untuk disusun bila BIN benar-benar ingin melakukan revitalisasi organisasi. Informasi tentang dibukanya kesempatan bergabung dengan BIN hanya dilakukan oleh para pejabat BIN yang akhirnya hanya memasukkan kenalan atau anggota keluarganya. Meski ada jaminan loyalitas, tetapi bagaimana dengan kemampuannya yang sangat terbatas. Sudah saat ketakutan BIN disusupi oleh calon agen yang tidak loyal kepada Negara dan Bangsa Indonesia disingkirkan, karena sekarang Indonesia sudah demokratis, tidak lagi menginteli bangsa sendiri secara intensif demi kepentingan dan kekuasaan politik kelompok penguasa. Tetapi mewaspadai ATHG yang sungguh-sungguh menjadi bahaya bagi rakyat, bangsa dan negara Indonesia.
Kehancuran organisasi BIN sejak akhir era 1980-an, 1990-an bahkan mungkin sampai tahun 2000-an jelas disebabkan oleh buruknya sistem rekrutmen kekeluargaan semacam itu. Meski saya dengar mantan Kepala BIN, Jenderal (purn) AM Hendropriyono telah merancang mekanisme rekrutmen yang lebih baik dan kompetitif serta meningkatkan sistem pendidikan dan pelatihan. Namun fakta bahwa tidak semua calon agen potensial di masyarakat tahu tentang adanya rekrutmen BIN, menurunkan prosentase kemungkinan calon agen terbaik yang terpilih masuk menjadi anggota intelijen.
Semoga para pejabat BIN tergugah untuk melakukan reformasi organisasi.
Sekian Posted by Senopati Wirang /Tuesday, May 09, 2006