Yang sesungguhnya dalam tubuh intelijen Indonesia

Yang sesungguhnya dalam tubuh intelijen Indonesia

Sebenarnya tidak ada yg istimewa dalam tubuh intelijen indonesia, baik itu yg sipil maupun militer. Tidaklah terlalu jauh berbeda dengan organisasi intelijen di manapun di dunia.

Ada beberapa poin penting yang perlu diperhatikan dalam memahami dunia intelijen, khususnya untuk kasus Indonesia.

1. Upaya deteksi dini kalangan intelijen atas kasus teror di Indonesia sebenarnya tidak perlu diragukan, tetapi apa dinyana kejadian demi kejadian aksi teror terus berkelanjutan. Dimana yg salah dan ada apa dengan kinerja intelijen, benarkah mereka telah menjadi lemah, benarkah koordinasi intelijen akan menyelesaikan semuanya. Jawaban saya sederhana sekali, tidak ada yg salah dengan kinerja intelijen, juga tidak benar kalau mereka telah menjadi sedemikian lemahnya. Apa yg telah terjadi adalah keengganan kalangan intelijen untuk berkontribusi dalam menjaga ketertiban dan keamanan nasional karena intelijen terus-menerus dijadikan "tempat sampah" dan "dikorbankan" oleh sistem tata negara Indonesia yg diskriminatif terhadap intelijen. Kalangan legislatif, eksekutif (kabinet) dan yudikatif di Indonesia sudah sama-sama mahfum akan minimnya anggaran intelijen, baik untuk intelijen militer maupun intelijen sipil. Kehidupan sosial prajurit intelijen sejati di Indonesia boleh dikata jauh dari makmur, mereka hidup hanya sedikit di atas upah minimum regional. Dengan pengecualian para oknum anggota intelijen yang pandai mencari kekayaan dengan penyalahgunaan informasi dan 1. Upaya deteksi dini kalangan intelijen atas kasus teror di Indonesia sebenarnya tidak perlu diragukan, tetapi apa dinyana kejadian demi kejadian aksi teror terus berkelanjutan. Dimana yg salah dan ada apa dengan kinerja intelijen, benarkah mereka telah menjadi lemah, benarkah koordinasi intelijen akan menyelesaikan semuanya. Jawaban saya sederhana sekali, tidak ada yg salah dengan kinerja intelijen, juga tidak benar kalau mereka telah menjadi sedemikian lemahnya. Apa yg telah terjadi adalah keengganan kalangan intelijen untuk berkontribusi dalam menjaga ketertiban dan keamanan nasional karena intelijen terus-menerus dijadikan "tempat sampah" dan "dikorbankan" oleh sistem tata negara Indonesia yg diskriminatif terhadap intelijen. Kalangan legislatif, eksekutif (kabinet) dan yudikatif di Indonesia sudah sama-sama mahfum akan minimnya anggaran intelijen, baik untuk intelijen militer maupun intelijen sipil. Kehidupan sosial prajurit intelijen sejati di Indonesia boleh dikata jauh dari makmur, mereka hidup hanya sedikit di atas upah minimum regional. Dengan pengecualian para oknum anggota intelijen yang pandai mencari kekayaan dengan penyalahgunaan informasi dan

2. Orang-orang intelijen angkatan 70 dan awal 80-an yang sekarang banyak duduk di pucuk pimpinan intelijen Indonesia adalah orang- orang terlatih yang paham betul peta ATHG bagi keamanan negara Indonesia. Meskipun intelijen juga manusia biasa, saya sangat ragu bila deteksi dini yang mereka lakukan tidak kena sasaran. Yang mungkin terjadi adalah pada satu sisi, kekecewaan yang sangat mendalam dari sebagian besar kalangan intelijen yang diremehkan oleh berbagai kalangan. Sedangkan di sisi lain, ada pemanfaatan rasa frustasi tersebut oleh orang-orang yang paham peta intelijen indonesia untuk menciptakan suasana "kurang aman" atau untuk

menciptakan prestasi individual pimpinan tertentu. Persaingan antara pimpinan unit-unit intelijen di level menengah jelas sangat tidak sehat bagi kinerja organisasi. Tetapi itulah hal yang lumrah dan normal dalam dunia intelijen yang nyaris tidak mengenal teman dan dalam situasi tidak saling mempercayai. Singkatnya, gembar-gembor intelligence community yang seolah-olah sangat berpengaruh dan memiliki nilai penting dalam memahami kekuatan inti intelijen indonesia adalah jauh dari kebenarann. Tidak pernah benar-benar ada koordinasi antar unit-unit intelijen, bahkan secara individualpun terjadi saling tertutup dalam penanganan kasus intelijen. Hal ini sangat lumrah karena prinsip kompartementasi dan penerapan operasi sel hitam masing-masing. Dengan demikian, ide-ide cemerlang yang didasarkan pada pola kerjasama atau koordinasi antar unit intelijen adalah buang-buang waktu, karena secara alamiah intelijen akan mengalir kembali dalam pola individualistik, masing-masing. Bila- pun terjadi koordinasi hal ini hanya pada bagian terluar saja, tidak akan pernah menyentuh intisari kerja intelijen itu sendiri, hal ini sangatlah prinsip.

3. Kembali pada penilaian mengapa intelijen (militer dan sipil) seperti hanya menantikan meledaknya ancaman demi ancaman adalah lebih dikarenakan arogansi Kepolisian yang seolah-olah menjadi agen tunggal penjaga keamanan negara dan disahkan oleh undang-undang. Arogansi yang akan menyeret Indonesia ke dalam kesinambungan aksi teror demi aksi teror. Meskipun kepolisian akan terus memperkuat dan membenahi unit intelijennya dengan bantuan FBI, Interpol, Kepolisian Australia, Jerman, dst-dst dengan limpahan bantuan 3. Kembali pada penilaian mengapa intelijen (militer dan sipil) seperti hanya menantikan meledaknya ancaman demi ancaman adalah lebih dikarenakan arogansi Kepolisian yang seolah-olah menjadi agen tunggal penjaga keamanan negara dan disahkan oleh undang-undang. Arogansi yang akan menyeret Indonesia ke dalam kesinambungan aksi teror demi aksi teror. Meskipun kepolisian akan terus memperkuat dan membenahi unit intelijennya dengan bantuan FBI, Interpol, Kepolisian Australia, Jerman, dst-dst dengan limpahan bantuan

Mudah-mudahan asumsi saya dalam menilai intelijen indonesia tidaklah tepat, karena hal ini sangatlah kritis dan harus segera diatasi bila benar adanya.

Posted by Senopati Wirang /Monday, November 07, 2005

CIA di mana-mana, Fakta atau Imajinasi?

Dalam sejumlah operasi penangkapan terhadap kelompok yang diduga sebagai teroris sering terdengar adanya keterlibatan CIA. Dalam polemik penangkapan Al Farouq di Bogor misalnya, ada dugaan-dugaan keterlibatan CIA, bahkan diduga Al Farouq yang konon "kabur" sebenarnya orangnya CIA. Dalam penangkapan/penculikan Hassan Mustapha Osama Nasr alias Abu Omar di Italia, lagi-lagi CIA disebut- sebut ikut aktif dalam aksi tersebut. Lucunya Washington Post menyebutkan pemerintah Italia merestui kegiatan CIA tersebut.

Inilah yang disebut dunia propaganda yang terus-terusan mencitrakan CIA sebagai organisasi intelijen yang mampu menjangkau seluruh dunia, mengawasi dan bahkan bisa membekuk siapapun yang bersikap anti Amerika. Bila kita bandingkan berita Washington Post, cerita penangkapan Al Farouq dengan film the spy game, kita akan sedikit melihat adanya benang merah propaganda unilateralisme Amerika sebagai adidaya tunggal di dunia. Dalam spy game yang dibintangi Brad Pitt tersebut kita bisa lihat China sebagai salah satu sasaran operasi CIA, dan tentunya dalam film tersebut CIA "mampu" mengatasi krisis atas terbongkarnya sebuah kegiatan mata-mata.

Propaganda antara kenyataan/fakta dan ilustrasi/imajinasi terus-terusan dihembuskan dalam rangka menjaga hegemoni Amerika. Sangat sulit untuk membantah propaganda yang dikeluarkan oleh Washington Post karena percampuran antara fakta dan rekayasa berita begitu halusnya.

Sejumlah tokoh Indonesia pernah berurusan dengan Washington Post dalam soal pemberitaan yang mencitrakan sifat negatif tertentu. Menurut informasi dari seorang rekan wartawan di Washington Post beberapa tahun silam. Pimpinan intelijen negara masa Megawati, Bung Hendropriyono hampir saja diberitakan sebagai tokoh di belakang gerakan radikal Islam alumni Afghanistan, khususnya yang terkait dengan Lasykar Jihad. Tetapi dalam konfirmasi dengan Bung Hendro, Washington Post malahan ditantang untuk melansir berita tersebut dan Bung Hendro menanti dengan santai....kenapa, karena itu bukan fakta melainkan imajinasi intelijen dan Bung Hendro bisa melipatgandakan kekayaannya dengan melakukan tuntutan balik dengan tuduhan pencemaran nama baik atau fitnah. Akhirnya Washington Post membatalkan berita "imajinasi" tersebut.

Asik bukan mendengar cerita-cerita propaganda dan seluk beluknya. Untuk konfirmasi saya tidak bisa menyebutkan nara sumber di Washington Post. Tetapi bagi yang ada di Indonesia, silahkan tanyakan kepada Pak Hendropriyono, apakah saya berbohong atau tidak.

Sekian Posted by Senopati Wirang / Thursday, December 08, 2005