Pro-Kontra Posisi Intelijen

Pro-Kontra Posisi Intelijen

Organisasi Intelijen di seluruh dunia menghadapi persoalan yang hampir sama tatkala dilihat dari sudut posisinya di masyarakat maupun dalam sebuah negara. Posisi bisa berarti dari sisi pentingnya, manfaat, pengaruhnya atau bahkan power kekuasaannya. Namun bisa juga berarti dimana letaknya dalam sebuah kehidupan bernegara dan berbangsa.

Setidaknya ada 6 faktor penting yang mempengaruhi posisi sebuah lembaga Intelijen dalam sebuah negara. Pertama, adalah definisi ancaman. Intelijen sebagai bagian dari aparatur keamanan yang paling depan menjadi sangat penting atau vital bagi sebuah negara ketika definisi ancaman lebih jelas dan disepakati oleh mayoritas masyarakat atau minimal oleh para pengambil keputusan baik di eksekutif maupun legislatif. Contoh kasus misalnya dalam keadaan perang, dimana pihak-pihak yang bermusuhan saling berhadapan dan jelas, arah ancaman datangnya dari mana. Atau bisa juga situasi pasca perang dunia kedua (era perang dingin), dimana persepsi ancaman nyaris seragam, yaitu berhadap-hadapannya dua kubu yang bersaing, Uni Soviet dan sekutu melawan Amerika Serikat dan sekutu. Kedua adalah lingkungan eksternal dari sebuah negara. Faktor kedua ini masih terkait dengan faktor pertama. Lingkungan eksternal bisa diawali dengan negara-negara tetangga , lingkungan regional sampai global. Apabila banyak potensi konflik dengan lingkungan eksternal maka biasanya posisi intelijen menjadi penting dan tidak banyak dipertanyakan oleh publik. Tetapi bila lingkungan eksternal terlihat stabil dan damai

serta banyak diwarnai dengan kerjasama dan kesepahaman antar negara, maka posisi intelijen menjadi biasa saja sebagaimana layaknya sebuah lembaga yang menyediakan informasi da analisa. Lebih jauh, bahkan akan mulai dipertanyakan sejauh mana sebaiknya intelijen memiliki peran/pengaruh dalam pembuatan keputusan atau kebijakan negara. Ketiga adalah struktur birokrasi dan administrasi negara. Hal ini sangat erat hubungannya dengan wewenang dan posisi lembaga-lembaga negara berdasarkan hukum/UU yang berlaku. Sebagai contoh misalnya perkembangan lembaga-lembaga intelijen di Indonesia. Sejak masa kemerdekaan hingga hari ini tidak pernah ada Undang-Undang tentang Intelijen Negara yang mengatur secara komprehensif Intelijen Indonesia. Salah satu sebab utama adalah karena pemikiran intelijen masa Orde Lama maupun Orde Baru lebih banyak dipengaruhi oleh konsep negara otoriter dimana intelijen tidak merasa perlu diatur-atur oleh Undang-Undang. Meski misalnya, lembaga intelijen dibentuk hanya dengan Keputusan Presiden atau Instruksi Presiden (seperti KIN, BPI, KOTI, BAKIN, BIN), Keputusan Panglima TNI (Unit Intelijen Tempur, Pusintelstrat, dan BAIS?), namun kinerja dan wewenangnya bisa melebihi lembaga lain yang diatur oleh hukum. Intelijen era Orde Lama dan Orde Baru selalu menganggap Intelijen bisa berjalan di atas hukum. Kompetisi draft untuk kebijakan negara dengan sendirinya juga banyak didominasi oleh kalangan intelijen yang didukung oleh lembaga Think Tank yang terus berkembang. Hal ini sedikit banyak juga menimbulkan friksi dengan departemen terkait karena sering dilangkahi oleh intelijen. Konyolnya kadang kala persoalan yang ke permukaan justru lebih banyak ke wilayah pribadi persaingan para pejabat tinggi, baik dalam hal meningkatkan

kedekatan dengan presiden maupun dalam hal memperoleh kesempatan bisnis. Tidaklah mengherankan bila dalam era reformasi dan demokrasi, intelijen nasional kita tampak kedodoran dalam mengikuti perkembangan, bahkan dibandingkan dengan langkah cepat Kepolisian Republik Indonesia sangat ketinggalan jauh. Contoh sederhana adalah dalam hal menyusun RUU Intelijen Negara yang baik, bersifat nasional, demokratis, dan bisa diterima publik. Keempat adalah kondisi internal lembaga intelijen. Kondisi organisasi intelijen boleh dikata nyaris tidak terdengar oleh publik. Sekuat/sehebat apakah Intelijen Indonesia selalu menjadi pertanyaan yang tidak terjawab. Pemeliharaan kondisi internal intelijen yang misterius tentu saja sangat diperlukan dalam menjaga kerahasiaan organisasi. Media massa bisa saja menuliskan atau mengkritisi kelemahan-kelemahan intelijen dan hal ini tidak perlu dibantah ataupun dikonfirmasi. Media massa bisa juga menampilkan wajah intelijen yang super dan sangat bermanfaat bagi kehidupan bernegara dan berbangsa, dan hal ini juga tidak perlu dikonfirmasi apalagi dibantah. Catatan yang ingin saya tekankan dalam soal kondisi internal organisasi intelijen adalah pada kejujuran jajaran pemimpin intelijen dalam mengevaluasi organisasi, baik soal kinerja, peningkatan profesionalisme SDM, efisiensi dan efektifitas operasi, masalah anggaran dan alokasi dana, kesejahteraan anggota, dan respon-respon organisasi terhadap perkembangan nasional maupun internasional. Kelima adalah persepsi publik terhadap intelijen. Sehebat apapun sebuah lembaga intelijen bila tidak diabdikan untuk kepentingan negara dan masyarakat adalah sia-sia. Intelijen Nasional Indonesia telah menabung

begitu banyak kecurigaan demi kecurigaan yang menimbulkan kekurangpercayaan publik pada pentingnya intelijen, akibatnya muncul resistensi terhadap upaya-upaya penguatan organisasi intelijen. Padahal bila ada keyakinan publik bahwa intelijen yang kuat akan bermanfaat positif bagi kehidupan berbangsa dan bernegara, maka dukungan publik sudah cukup untuk meletakkan posisi intelijen yang selayaknya. Terakhir/keenam adalah sistem politik. Terkait erat dengan faktor ketiga dan kelima, faktor sistem politik juga mempengaruhi kewajaran dimana posisi intelijen sebaiknya diletakan. Pada rejim militer dan otoriter, tentu saja posisi intelijen sangat berpengaruh dan tinggi. Dalam negara demokratis, posisi intelijen tetap tinggi tetapi dalam transparansi dan kontrol yang efektif dari berbagai pihak. Tinggi-rendahnya posisi intelijen di negara demokratis bersifat fluktuatif tergantung pada faktor pertama yaitu definisi ancaman, Perhatikan misalnya pasca 9/11 2001 yang menaikkan posisi strategis lembaga-lembaga intelijen di banyak negara, bahkan tampak revitalisasi organisasi intelijen yang cukup signifikan. Dalam kondisi nyaris "tanpa ancaman", posisi intelijen selayaknya tetap stabil dalam kesiagaan/kewaspadaan penuh menjaga stabilitas negara.

Sekian Posted by Senopati Wirang / Friday, September 22, 2006