Tinjauan Istihsan bi al-‘Urf Terhadap Tradisi Ruwatan

Artinya : Istihsan ialah berpindah dari seharusnya menggunakan suatu qiyas kepada ketentuan qiyas yang lain yang lebih kuat atau pengkhususan ketentuan qiyas dengan dalil yang lebih kuat. 2. Pengertian Istihsan Bi Al-‘Urf Istihsan dengan ‘urf atau konvensi yang umum berlaku. Artinya meninggalkan apa yang menjadi konsekwensi qiyas menuju hukum lain yang berbeda karena ‘urf yang umum berlaku baik ‘urf yang bersifat perkataan maupun perbuatan, atau karena adanya ‘urf yang sudah biasa dipraktikkan dan sudah dikenal dalam kehidupan masyarakat. Istihsan jenis ini menurut Husain Hamid Hassan, sebenarnya kembali kepada masalah kepentingan umum, karena dasarnya adalah pemeliharaan ‘urf dan adat-adat masyarakat. Pemeliharaan ‘urf-urf dan adat-adat itu berarti memberikan kemudahan serta menghilangkan kesulitan. 5 Salah satu contoh Istihsan dengan ‘urf yang bersifat yang berupa perkataan adalah jika seseorang bersumpah untuk tidak masuk ke dalam rumah manapun, lalu ternyata ia masuk ke dalam mesjid, maka dalam kasus ini ia tidak dianggap telah melanggar sumpahnya, meskipun Allah menyebut mesjid dengan sebutan rumah al-bait dalam firman-Nya: 5 DR. Iskandar Usman, Istihsan dan Pembaharuan Hukum Islam, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1994, cet ke-1, h. 48.               . ﺭﻮﻨﻟﺍ : ٢٤ ۳٦ Artinya: “Dalam rumah-rumah yang Allah izinkan untuk diangkat dan dikumandangkan Nama-Nya di dalamnya.” Namun ‘urf yang berlaku di tengah masyarakat menunjukkan bahwa penyebutan kata “rumah” al-bait secara mutlak tidak pernah digunakan untuk mesjid. Itulah sebabnya, orang yang bersumpah tersebut tidak menjadi batal sumpahnya jika ia masuk ke dalam mesjid. 6 Adapun contoh Istihsan dengan ‘urf yang berupa perbuatan adalah memberikan upah berupa pakaian dan makanan kepada wanita penyusu murdhi’ah. Pada dasarnya, menetapkan upah yang telah tertentu dan jelas itu dibolehkan secara syara’. Sementara pemberian upah berupa pakaian dan makanan dapat dikategorikan sebagai upah yang tidak jelas batasannya majhul. Dan kaidah yang umum menyatakan bahwa sesuatu yang majhul tidak sah untuk dijadikan sebagai upah. Akan tetapi Imam Abu Hanifah membolehkan hal itu atas dasar Istihsan, karena sudah menjadi ‘urf untuk melebihkan upah untuk wanita penyusu sebagai wujud kasih-sayang pada anak yang disusui. 7 6 Abu Ishaq Ibrahim ibn Musa al-Syathiby, Tahqiq: Syekh ‘Abdullah Darraz, Al-Muwafaqat fi Ushul al-Syari’ah, Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah, 1411, Cet-1, h. 117. 7 Sya’ban Muhammad Isma’il, Ushul Fiqh al-Muyassar, Kairo: Dar al-Kitab al-Jami’iy, 1415 H, Cet. 1, h. 87. Sehubungan dengan pemeliharaan kepentingan umum yang menempati hukum darurat itu, al-Sarakhsi telah mengingatkan kepada kemaslahatan yang merupakan kepentingan umum dengan ucapannya: sesungguhnya istihsan adalah meninggalkan qiyas dan berpegang kepada sesuatu yang lebih sesuai dengan kebutuhan manusia. 8 Imam Malik mengatakan bahwa mazhabnya meninggalkan dalil umum karena ada ‘urf. 9 Ia menolak sumpah karena ‘urf. Kalau seseorang bersumpah tidak akan memasuki rumah, maka qiyas lafzhi, menurut bahasa, memasuki setiap tempat yang bernama rumah seperti Mesjid berarti melanggar sumpah. Akan tetapi Malik melakukan Istihsan dengan mentakhsishskan umum lafazh dengan ‘urf dan kebiasaan dalam praktek. Menurut Malik, masuk Mesjid tidaklah melanggar sumpah karena mesjid tidak dinamakan rumah dalam ;urf pembicaraan. Dalam sistem hukum Romawi, apalagi sistem hukum Adat, Adat ini menjadi sumber hukum. Dalam sistem hukum Islam, al-Adat dijadikan salah satu unsur yang dipertimbangkan dalam menetapkan hukum. Penghargaan hukum Islam terhadap adat ini menyebabkan sikap toleransi dan memberikan pengakuan terhadap hukum yang berdasar adat menjadi hukum yang diakui oleh hukum Islam. Walaupun demikian pengakuan tersebut tidak mutlak, tetapi harus 8 Sya’ban Muhammad Isma’il, Ushul Fiqh al-Muyassar, Kairo: Dar al-Kitab al-Jami’iy, 1415 H, Cet. 1, h.48. 9 ‘Urf ialah sesuatu yang telah berkembang dan terkenal dalam masyarakat tidak dipandang jijik dan buruk. Lihat Hasbi Ash-Hiddieqy, Falsafah Hukum Islam, selanjutnya disebut, , Bulan Bintang, Jakarta, 1998, Cet. Ke-III h. 87. memenuhi syarat-syarat tertentu. Hal ini adalah wajar demi untuk menjaga nilai- nilai, prinsip-prinsip dan identitas hukum Islam. Karena hukum Islam bukanlah hukum yang menganutnsistem terbuka secara penuh, tetapi bukan pula sistem tertutup secara ketat. “Urf yang shahih menambahkan vitalitas dan dinamika hukum Islam. 10 3. Istihsan Sebagai Dasar Menetapkan Hukum Menurut golongan Hanafiah, istihsan itu bisa menjadi dalil syarak. Istihsan dapat menetapkan hukum yang berbeda dengan hukum yang ditetapan oleh qiyas atau umum nas. Tegasnya menurut mereka, istihsan dapat dijadikan dalil hujjat. Al-Tafzani mengatakan bahwa istihsan adalah salah satu dari dalil-dalil yang disepakati oleh para ulama, karena istihsan didasarkan kepada nas, atau kepada ijmak, atau kepada darurat, atau kepada qiyas khafi. 11 Untuk mendukung kehujjahan istihsan, Ulama Hanafiyah, Malikiyyah dan sebagian ulama Hanabilah, mengemukakan alasan Istihsan merupakan dalil yang kuat dalam menetapkan hukum syara’. Alasan yang mereka kemukakan adalah: 12 1. Ayat- ayat yang mengacu kepada mengangkatkan kesulitan dan kesempitan dari umat manusia, yaitu firman Allah swt dalam surat al-Baqarah, 2: 185: 10 Prof. H. A. Djazuli, Ilmu Fiqh Penggalian, Perkembangan. Dan Penerapan Hukum Islam, Jakarta, Kencana, 2005, Cet ke-5, hlm.89 11 Al-Taftazani, Syarah al-Talwih ’Ala al-Tawdih, Dar al-Kutub al-’Ilmiyyat, Beirut, Juz II, h.82. 12 Nasrun Haroen, Ushul Fiqh 1, Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 2001, h. 108. ...         .. . ﺓﺮﻘﺒﻟﺍ : ٢ ١٨۵ Artinya: ....Allah swt menghendaki kemudahan bagi kaum dan tidak menghendaki kesukaran bagi kamu... Surat az-Zumar 39: 18 yang berbunyi:      ... ﺮﻣﺰﻟﺍ ۳۹ : ١٨ Artinya : “Yang mendengarkan Perkataan lalu mengikuti apa yang paling baik di antaranya” Surat az-Zumar 39: 55 yang berbunyi:        .... ﺮﻣﺰﻟﺍ ۳۹ : ٥٥ Artinya : “Dan ikutilah Sebaik-baik apa yang telah diturunkan kepadamu dari Tuhanmu” Ayat pertama, menurut mereka, memuji orang-orang yang mengikuti pendapat yang paling baik. Sedangkan ayat kedua memerintahkan untuk mengikuti yang paling baik dari apa yang diturunkan Allah. 2. Sedangkan sunnah yang mereka jadikan dalil adalah hadits Rasulullah dalam riwayat ‘Abdullah ibn Mas’ud mengatakan: ﹶﺎﻣ ﺭﺁ ﻩ ﹾﻟﺍﻤ ﺴ ﻠﻤ ﻮ ﹶﻥ ﺣ ﺴ َﻨﺎ ﹶﻓﻬ ﻮ ﻋﻨ ﺪ ِﷲﺍ ﺣ ﺴ ﻦ . 13 Artinya : “Sesuatu yang dipandang baik oleh umat Islam, maka ia juga di hadapan Allah adalah baik.”H.R. Ahmad ibn Hanbal. Hasil penelitian dari berbagai ayat dan hadits terhadap berbagai permasalahan yang terperinci menunjukkan bahwa memberlakukan hukum sesuai dengan kaidah umum dan qiyas adakalanya membawa kesulitan bagi umat manusia, sedangkan syari’at Islam ditujukan untuk menghasilkan dan mencapai kemaslahatan manusia. Oleh sebab itu, apabila seorang mujtahid dalam menetapkan hukum memandang bahwa kaidah umum atau qiyas tidak tepat diberlakukan, maka ia boleh berpaling kepada kaidah lain yang akan dapat memberikan hukum yang lebih sesuai dengan kemaslahatan umat manusia. 14 4. Kajian Istihsan bi al-‘Urf Terhadap Hukum Pelaksanaan Tradisi Ruwatan Di dalam penjelasan yang telah penulis terangkan di atas, bahwa jalan untuk mengecualikan sesuatu masalah dari nash yang telah ada karena dikehendaki maslahat ummat, ialah : sumber istihsan. Istihsan ini walaupun tidak merupakan suatu dalil yang berdiri sendiri, namun dia menyingkapkan jalan yang ditempuh sebahagian mujtahidin dalam menerapkan dalil-dalil syara’ dan kaidah- kaidahnya di etika bertentangan dalil-dalil itu dengan kenyataan yang 13 Ahmad Ibn Hanbal, Musnad al-Imam Ahmad Ibn Hanbal, Jilid I, Dar Shadir, hlm. 379. 14 Nasrun Haroen, Ushul Fiqh 1, Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 2001, h. 109. berkembang di dalam masyarakat untuk menghilangkan kepicikan dan kemadharatan serta menghasilkan kemanfaatan dengan jalan menerapkan dasar- dasar syari’at dan sumber-sumbernya. 15 Istihsan adalah suatu dalil yang terkuat menunjukkan bahwa Hukum Islam adalah suatu hukum yang berkembang dalam masyarakat yang diistilahkan dengan fiqh waq’I bukan suatu fiqh khayali yang merupakan fiqh bayangan sebagai yang digambarkan oleh sebagian orang yang tidak mengetahui hakekat fiqh Islam atau ingin menjauhkan manusia dari padanya. 16 Di dalam menghadapi masalah tradisi ruwatan dan pelaksanaannya, dapat kita terapkan masalah itu mengingat maslahat dari padanya, dengan mempergunakan dasar istihsan yang disandarkan dengan Al-‘Urf. Al-‘Urf atau yang lebih kita kenal dengan adat kebiasaan, ialah : 17 “Adat kebiasaan ialah sesuatu yang telah terkenal di seluruh masyarakat atau sama dikenal oleh manusia dan telah menjadi suatu kebiasaan yang digemari oleh mereka, serta berlaku di dalam peri kehidupan mereka. Baik berupa ucapan atau perbuatannya dan atau hal meniggalkan sesuatu juga disebut adat. Hal ini berlaku dalam pemakaian kata-kata dan dalam adat istiadat. Mempergunakan adat kebiasaan dan ‘Urf manusia sebagai dasar hukum dalam 15 Hasbi Ash-Shiddieqy, Falsafah Hukum Islam, Jakarta, Bulan Bintang, 1975, h.314 16 Hasbi Ash-Shiddieqy, Falsafah Hukum Islam, Jakarta, Bulan Bintang, 1975, h. 314 17 Abdul Wahhab Khallaf, Kaidah-kaidah Hukum Islam Ilmu Ushul Fiqh, Jakarta, PT Raja Grafindo Persada,2002 Cet 8, h.130. bidang adat, masuk ke dalam bab memelihara kemaslahatan masyarakat dan menghindarkan mereka dari kesempitan. 18 Al-Qarafi berkata : “Sesungguhnya segala hukum itu berlaku menurut ‘Urf dan adat kebiasaan dan berpindahlah seseorang ahli fiqh dengan berpindahnya adat itu. Di antara kebodohan para mufti, ialah kebekuannya atas nash yang terdapat dalam kitab-kitab yang telah ada tanpa berpaling kepada perubahan ‘Urf adat masyarakat.”. 19 Di antara para ulama ada yang berkata, “Adat adalah syariat yang dikukuhkan sebagai hukum”, Begitu juga ‘urf menurut syara’ mendapat pengakuan hukum. Para Imam juga membina hukum atas ‘Urf masyarakat. Banyak hukum yang dibina Imam Malik atas ‘Urf penduduk Madinah. Asy Syafi’I, banyak hukum yang dibinanya atas ‘Urf penduduk Mesir; dalam madzhab Jadidinya. 20 Dalam pada itu dihargai sesuatu ‘Urf sebagai sumber hukum apabila terdapat padanya 3 tiga syarat ini : “Yang pertama: ‘Urf itu tidak berlawanan dengan nash yang tegas. Yang kedua: Apabila adat itu telah menjadi adat yang terus menerus berlaku dan berkembang dalam masyarakat. Yang ketiga: ‘urf itu merupakan ‘Urf yang 18 Hasbi Ash-Shiddieqy, Falsafah Hukum Islam,Jakarta, Bulan Bintang, 1975, h. 475 19 Hasbi Ash-Shiddieqy, Falsafah Hukum Islam, Jakarta, Bulan Bintang, 1975, h. 476. 20 Rachmat Syafe’i, Ilmu Ushul Fiqh, , Bandung, CV. Pustaka Setia, 1999, Cet Ke-1, hlm.129 umum, karena hukum yang umum tidak dapat ditetapkan dengan ‘Urf yang khas”. Ringkasnya ‘Urf itu ada yang fasid, ada yang shahih. Yang fasid, yaitu sesuatu yang telah saling dikenal manusia, tetapi bertentangan dengan syara’, atau menghalalkan yang haram dan membathalkan yang wajib. Seperti adanya saling pengertian di antara manusia tentang beberapa perbuatan munkar dalam upacara kelahiran anak, juga tentang memakan barang riba dan kontrak judi, adat menyuguhkan minuman keras kepada para tamu dalam upacara-upacara perkawinan. Adat-adat yang serupa ini harus dikikis habis, jika tidak, maka dengan berangsur-angsur hilanglah ciri-ciri keagamaan. 21 Yang shahih, ialah yang tidak menghalalkan yang haram dan tidak mengharamkan yang halal, seperti adat memberikan hadiah kepada pengantin perempuan, sebelum bersanding dan seperti adat membayar mahar secara hutang. ‘Urf ini harus dipelihara karena apabila difatwakan yang lain dari yang telah dibiasakan, sedang perbuatan mereka tidak berlawanan dengan nash, tentulah timbul kepicikan dan kesukaran. 22 Dapat kita ambil contoh seperti Bangsa Arab, ketika Islam datang, mempunyai tradisi dan kesenangan yang sukar dihilangkan dalam sekejap saja. 21 Rachmat Syafe’i, Ilmu Ushul Fiqh, Bandung, CV. Pustaka Setia, 1999, Cet Ke-1, hlm.129 22 Hasbi Ash-Shiddieqy, Falsafah Hukum Islam, Jakarta, Bulan Bintang, 1975, h.477. Apabila dihilangkan sekaligus, akan menyebabkan timbulnya konflik, kesulitan dan ketegangan bathin. 23 Dalam sosiologi Ibnu Khaldun dinyatakan bahwa “suatu masyarakat tradisional atau yang tingkat intelektualnya masih rendah akan menentang apabila ada sesuatu yang baru atau sesuatu yang akan dating kemudian dalam kehidupannya, lebih-lebih apabila sesuatu yang baru tersebut bertentangan dengan tradisi yang ada”. Masyarakat akan senantiasa memberikan respon apabila timbul sesuatu di tengah-tengah mereka. 24 Dengan mengingat faktor tradisi dan ketidaksenangan manusia untuk menghadapi perpindanhan sekaligus dari suatu keadaan kepada keadaan lain yang asing sama sekali bagi mereka, al-Qur’an diturunkan berangsur-angsur, surat demi surat dan ayat demi ayat sesuai dengan peristiwa, kondisi, dan situasi yang terjadi. Dengan cara demikian, hokum yang diturunkannya lebih disenangi oleh jiwa dan lebih mendorong kea rah mentaatinya, serta bersiap-siap meninggalkan ketentuan lama dan menerima ketentuan baru. 25 23 Ahmad Hanafi, Pengantar dan Sejarah Hukum Islam, Jakarta: Bulan Bintang, 1991, Cet ke-VI, h. 29. 24 Fathurrahman Djamil, Filsafat Hukum Islam, Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997. Cet ke- 1, h.69. 25 Fathurrahman Djamil, Filsafat Hukum Islam, Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997. Cet ke- 1, h. 29-30.

B. Tinjauan Tauhid

1. Pengertian Tauhid Tauhid, sebagai sebuah kata, telah melalui tahapan-tahapan perkembangan makna. 26 Pada tahapan pengertian bahas, kata tauhid berasal dari kata kerja “wahhada yuwahhidu-tawhidan” yang berarti “menyatukan”. Maksudnya adalah mengesakan, yaitu mengesakan Allah SWT. Dalam Lisan al- Arab, kata tauhid diartikan dengan “percaya kepada Allah SWT. Sebagai satu-satunya Tuhan dan tidak berbuat syirik terhadp-Nya”. Tauhid adalah bentuk mashdar tau infinitive dari kata kerja “wahhada” yang merupakan derivasi dari akar kata “wahdah”, artinya keesaan. 27 Perkataan tauhid yang berasal dari bahasa Arab itu kemudian diserap kedalam bahasa Indonesia dengan arti keesaan Allah 28 sehingga kata menauhidkan berarti mengakui keesaan Allah SWT. 29 Pada tahap berikutnya pengertian tauhid mengalami perluasan makna. Tauhid ketika itu didefinisikan sebagai “mengeskan Allah SWT. sebgai Tuhan Rububiyyah, sembahan Uluhiyyah, dengan segaala nama, sifat dan perbuatan- 26 Ibrahim Muhammad al-Buraykan, Pengantar Studi Islam, terj. Hasan M. Fadil, Jakarta: Rabbani Press, 1998, cet ke-1, h.7. 27 Dewan Ensiklopedia Islam, Ensiklopedia Islam, jilid v, Jakarta: Ichtiar Baru van Houve, 1994, cet Ke-3, h. 90. 28 Muhammad Ngafenan, Kamus Etologi Bahasa Indonesia, Semarang: Dahara Priza, 1990, cet ke-2, h. 171. 29 Depdikbud, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 1990, cet. Ke-3, h. 907-908. Nya”. 30 Kata tauhid merupakan kata benda kerja verbal noun aktif yakni, memerliukan pelengkap penderita atau objek, yang berasal dari kata “wahid” yang artinya “Satu” atau “Esa”. Maka makna harfiah tauhid adalah “menyatukan” atau “mengesakan”. Bahkan dalam generiknya juga digunakan untuk arti “mempersatukan” hal-hal yang berserah atau terpecah-pecah seperti penggunaanya dalam bahasa Arab “tawhid al-Kalimah” yang berarti “mempersatukan paham” dan dalam ungkapan “tawhid al-Quwwah” yang berarti “mempersatukan kekuatan”. 31 Sedangkan dalam Ensiklopedia Islam, tauhid diambil dari kata “wahhada”, yang berarti “mengesakan”, menyatakan atau mengakui Yang Maha Esa. Sebuah pengakuan atas keesaan Allah SWT yang tidak dapat dibagi-bagi, yang mutlak, dan sebgai satu-satuny Yang Maha Nyata. Dalam teologi, kata ini berarti pernyataan bahwa tidak ada Tuhan selain Allah SWT. Sebgai istilah teknis dalam ilmu kalam yang diciptakan oleh para mutakallimin atau ahli teologi dialektis Islam, kata tauhid dimaksudkan sebgai paham “memahaesakan Tuhan” atau lebih sederhananya paham “Ketuhanan Yang Maha Esa” atau monoteisme. Meskipun bentuk harfiah kata tauhid itu sendiri tidk terdapat dalam al-Qur’an yang ada dalam al-Qur’an adalah kata-kata “ahad” atau “wahid”, namun istilah ciptaan kum mutakallimin itu memang secara tepat 30 Ibrahim Muhammad al-Buraykan, Pengantar Studi Islam, terj. Hasan M. Fadil, Jakarta: Rabbani Press, 1998, cet ke-1, h. 7 31 Nurcholis Madjid, Islam, Doktrin dan Peradaban: Sebuah Telaah Kritis Tentang Masalah Keimanan, Kemanusiaan dan Kemoderenan, Jakarta: Yayasan Wakaf Paramadina, 1992, cet. Ke-2, h. 72 mengungapkan isi pokok ajaran kitab suci itu, yaitu ajaran tentang “Memahaesakan Tuhan”. Bahkan secara jells tauhid juga menggambarkan inti ajaran semua nabi dan rasul yang diutus untuk setiap kelompok manusia di bumi hingga kelahiran Nabi Muhammad SAW., yaitu ajaran ketuhanan Yang Maha Esa. Sedangkan secara terminologis, ada beberapa pengertian tauhid yang dikemukakan para ulama. Di antaranya adalah dikemukakan oleh ‘Ali bin Utsman al Hujwiri, Tauhid adalah menyatakan keesaan sesuatu dan memiliki pengetahuan yang sempurna tentang keesaannya. Karena Tuhan itu Esa, tanpa ada seutu dalam tindakan-tindakan-Nya. 32 Mneurut Muhammad Abduh, tauhid adalah suatu ilmu yang membahasa tentang wujud Allah, tentang sifat-sifat yang wajib tetap pada- Nya, sifat-sifat yang boleh disiftkan kepada-Nya dan tentang sifat-sifat yang sama sekali wajib dilenyapkan dari-Nya, juga membahas tentang rasul-rasul Allah, meyakinkan kerasulan mereka, meyakinan apa yang wajib ada pada diri mereka, apa yang boleh dihubungkan kepada diri mereka dan apa yang terlarang menghubungkannya kepada diri mereka. 33 2. Definisi Syirik Pada umumnya, jika seseorang mendengar kata musyrik, maka yang terlintas dalam otaknya ialah penyembah patung, si penyembah berhala dan si penyembah api. Syirk كﺮﺷ, artinya saham, andel, kongsi, kaperasi, kerja sama. 32 ‘Ali Ibn Utsman al-Hujwiry, Kasyful Mahjub; Risalah Persia Tertua tentang Tasawuf, terj. Suwardjo Muthary dan Abdul Hadi W.M Bandung: Mizan, 1993, cet. Ke-2, h. 251 33 Muhammad Abduh, Risalah at-Tawhid, Mesir: al-Manar, 1353 H., cet. Ke-7, h. 34

Dokumen yang terkait

PENINGKATAN AKTIVITAS DAN HASIL BELAJAR MATEMATIKA MATERI PECAHAN DENGAN MENGGUNAKAN METODE INKUIRI DI KELAS IV SD NEGERI 2 KANGKUNG KECAMATAN TELUK BETUNG SELATAN KOTA BANDAR LAMPUNG

0 11 52

TRADISI UPACARA NADRAN PADA MASYARAKAT NELAYAN CIREBON DI KELURAHAN KANGKUNG BANDAR LAMPUNG

4 75 99

PENILAIAN POTENSI TAMAN WISATA WIRA GARDEN KELURAHAN BATU PUTUK KECAMATAN TELUK BETUNG BARAT KOTA BANDAR LAMPUNG TAHUN 2014

3 13 46

DAMPAK KETIDAKSESUAIAN LOKASI PASAR TRADISIONAL TERHADAP KONDISI SOSIAL EKONOMI PENDUDUK DI KELURAHAN TELUKBETUNG KECAMATAN TELUK BETUNG SELATAN BANDAR LAMPUNG

3 17 72

TRADISI RUWATAN BERSIH BUMI KEARIFAN LOK

0 4 18

PENGARUH PINJAMAN BERGULIR TERHADAP PENDAPATAN DALAM PERSPEKTIF EKONOMI ISLAM (Studi pada Program KOTAKU di Kecamatan Teluk Betung Utara Kota Bandar Lampung) - Raden Intan Repository

0 0 117

ANALISIS IMPLEMENTASI PROGRAM REVITALISASI PASAR TRADISIONAL TERHADAP PENDAPATAN PEDAGANG DAN MINAT BELI KONSUMEN DALAM PERSPEKTIF EKONOMI ISLAM (Studi Pada Pasar Tradisional Kangkung, Kelurahan Teluk Betung, Kecamatan Teluk Betung Selatan, Bandar Lampung

0 5 141

EFEKTIFITAS PROGRAM INDONESIA PINTAR TERHADAP UPAYA PENINGKATAN KESEJAHTERAN MASYARAKAT DALAM PERSPEKTIF EKONOMI ISLAM (Studi Di Kelurahan Kupang Teba Kecamatan Teluk Betung Utara Kota Bandar Lampung) - Raden Intan Repository

0 0 139

ANALISIS KONTRIBUSI BUDIDAYA KERANG HIJAU TERHADAP PENDAPATAN MASYARAKAT PERSPEKTIF EKONOMI ISLAM (Studi di Pulau Pasaran Kelurahan Kota Karang Kecamatan Teluk Betung Timur Kota Bandar Lampung) - Raden Intan Repository

0 0 147

DAKWAH PERSUASIF PADA MASYARAKAT MARJINAL DI UJUNG BOM KELURAHAN KANGKUNG KECAMATAN TELUK BETUNG SELATAN KOTA BANDAR LAMPUNG - Raden Intan Repository

0 2 100