Tinjauan Istihsan bi al-‘Urf Terhadap Tradisi Ruwatan
Artinya : Istihsan ialah berpindah dari seharusnya menggunakan suatu qiyas
kepada ketentuan qiyas yang lain yang lebih kuat atau pengkhususan ketentuan qiyas dengan dalil yang lebih kuat.
2. Pengertian Istihsan Bi Al-‘Urf Istihsan dengan ‘urf atau konvensi yang umum berlaku. Artinya
meninggalkan apa yang menjadi konsekwensi qiyas menuju hukum lain yang berbeda karena ‘urf yang umum berlaku baik ‘urf yang bersifat perkataan maupun
perbuatan, atau karena adanya ‘urf yang sudah biasa dipraktikkan dan sudah dikenal dalam kehidupan masyarakat.
Istihsan jenis ini menurut Husain Hamid Hassan, sebenarnya kembali kepada masalah kepentingan umum, karena dasarnya adalah pemeliharaan ‘urf
dan adat-adat masyarakat. Pemeliharaan ‘urf-urf dan adat-adat itu berarti memberikan kemudahan serta menghilangkan kesulitan.
5
Salah satu contoh Istihsan dengan ‘urf yang bersifat yang berupa perkataan adalah jika seseorang bersumpah untuk tidak masuk ke dalam rumah
manapun, lalu ternyata ia masuk ke dalam mesjid, maka dalam kasus ini ia tidak dianggap telah melanggar sumpahnya, meskipun Allah menyebut mesjid dengan
sebutan rumah al-bait dalam firman-Nya:
5
DR. Iskandar Usman, Istihsan dan Pembaharuan Hukum Islam, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1994, cet ke-1, h. 48.
.
ﺭﻮﻨﻟﺍ :
٢٤ ۳٦
Artinya: “Dalam rumah-rumah yang Allah izinkan untuk diangkat dan
dikumandangkan Nama-Nya di dalamnya.” Namun ‘urf yang berlaku di tengah masyarakat menunjukkan bahwa
penyebutan kata “rumah” al-bait secara mutlak tidak pernah digunakan untuk mesjid. Itulah sebabnya, orang yang bersumpah tersebut tidak menjadi batal
sumpahnya jika ia masuk ke dalam mesjid.
6
Adapun contoh Istihsan dengan ‘urf yang berupa perbuatan adalah memberikan upah berupa pakaian dan makanan kepada wanita penyusu
murdhi’ah. Pada dasarnya, menetapkan upah yang telah tertentu dan jelas itu dibolehkan secara syara’. Sementara pemberian upah berupa pakaian dan
makanan dapat dikategorikan sebagai upah yang tidak jelas batasannya majhul. Dan kaidah yang umum menyatakan bahwa sesuatu yang majhul tidak sah untuk
dijadikan sebagai upah. Akan tetapi Imam Abu Hanifah membolehkan hal itu atas dasar Istihsan, karena sudah menjadi ‘urf untuk melebihkan upah untuk wanita
penyusu sebagai wujud kasih-sayang pada anak yang disusui.
7
6
Abu Ishaq Ibrahim ibn Musa al-Syathiby, Tahqiq: Syekh ‘Abdullah Darraz, Al-Muwafaqat fi Ushul al-Syari’ah, Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah, 1411, Cet-1, h. 117.
7
Sya’ban Muhammad Isma’il, Ushul Fiqh al-Muyassar, Kairo: Dar al-Kitab al-Jami’iy, 1415 H, Cet. 1, h. 87.
Sehubungan dengan pemeliharaan kepentingan umum yang menempati hukum darurat itu, al-Sarakhsi telah mengingatkan kepada kemaslahatan yang
merupakan kepentingan umum dengan ucapannya: sesungguhnya istihsan adalah meninggalkan qiyas dan berpegang kepada sesuatu yang lebih sesuai dengan
kebutuhan manusia.
8
Imam Malik mengatakan bahwa mazhabnya meninggalkan dalil umum karena ada ‘urf.
9
Ia menolak sumpah karena ‘urf. Kalau seseorang bersumpah tidak akan memasuki rumah, maka qiyas lafzhi, menurut bahasa, memasuki setiap
tempat yang bernama rumah seperti Mesjid berarti melanggar sumpah. Akan tetapi Malik melakukan Istihsan dengan mentakhsishskan umum lafazh dengan
‘urf dan kebiasaan dalam praktek. Menurut Malik, masuk Mesjid tidaklah melanggar sumpah karena mesjid tidak dinamakan rumah dalam ;urf
pembicaraan. Dalam sistem hukum Romawi, apalagi sistem hukum Adat, Adat ini
menjadi sumber hukum. Dalam sistem hukum Islam, al-Adat dijadikan salah satu unsur yang dipertimbangkan dalam menetapkan hukum. Penghargaan hukum
Islam terhadap adat ini menyebabkan sikap toleransi dan memberikan pengakuan terhadap hukum yang berdasar adat menjadi hukum yang diakui oleh hukum
Islam. Walaupun demikian pengakuan tersebut tidak mutlak, tetapi harus
8
Sya’ban Muhammad Isma’il, Ushul Fiqh al-Muyassar, Kairo: Dar al-Kitab al-Jami’iy, 1415 H, Cet. 1, h.48.
9
‘Urf ialah sesuatu yang telah berkembang dan terkenal dalam masyarakat tidak dipandang jijik dan buruk. Lihat Hasbi Ash-Hiddieqy, Falsafah Hukum Islam, selanjutnya disebut, , Bulan
Bintang, Jakarta, 1998, Cet. Ke-III h. 87.
memenuhi syarat-syarat tertentu. Hal ini adalah wajar demi untuk menjaga nilai- nilai, prinsip-prinsip dan identitas hukum Islam. Karena hukum Islam bukanlah
hukum yang menganutnsistem terbuka secara penuh, tetapi bukan pula sistem tertutup secara ketat. “Urf yang shahih menambahkan vitalitas dan dinamika
hukum Islam.
10
3. Istihsan Sebagai Dasar Menetapkan Hukum Menurut golongan Hanafiah, istihsan itu bisa menjadi dalil syarak.
Istihsan dapat menetapkan hukum yang berbeda dengan hukum yang ditetapan oleh qiyas atau umum nas. Tegasnya menurut mereka, istihsan dapat dijadikan
dalil hujjat. Al-Tafzani mengatakan bahwa istihsan adalah salah satu dari dalil-dalil
yang disepakati oleh para ulama, karena istihsan didasarkan kepada nas, atau kepada ijmak, atau kepada darurat, atau kepada qiyas khafi.
11
Untuk mendukung kehujjahan istihsan, Ulama Hanafiyah, Malikiyyah dan sebagian ulama Hanabilah, mengemukakan alasan Istihsan merupakan dalil yang
kuat dalam menetapkan hukum syara’. Alasan yang mereka kemukakan adalah:
12
1. Ayat- ayat yang mengacu kepada mengangkatkan kesulitan dan kesempitan dari umat manusia, yaitu firman Allah swt dalam surat al-Baqarah, 2: 185:
10
Prof. H. A. Djazuli, Ilmu Fiqh Penggalian, Perkembangan. Dan Penerapan Hukum Islam, Jakarta, Kencana, 2005, Cet ke-5, hlm.89
11
Al-Taftazani, Syarah al-Talwih ’Ala al-Tawdih, Dar al-Kutub al-’Ilmiyyat, Beirut, Juz II, h.82.
12
Nasrun Haroen, Ushul Fiqh 1, Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 2001, h. 108.
...
.. .
ﺓﺮﻘﺒﻟﺍ :
٢ ١٨۵
Artinya: ....Allah swt menghendaki kemudahan bagi kaum dan tidak menghendaki
kesukaran bagi kamu... Surat az-Zumar 39: 18 yang berbunyi:
...
ﺮﻣﺰﻟﺍ ۳۹
: ١٨
Artinya : “Yang mendengarkan Perkataan lalu mengikuti apa yang paling baik di
antaranya” Surat az-Zumar 39: 55 yang berbunyi:
....
ﺮﻣﺰﻟﺍ ۳۹
: ٥٥
Artinya : “Dan ikutilah Sebaik-baik apa yang telah diturunkan kepadamu dari
Tuhanmu” Ayat pertama, menurut mereka, memuji orang-orang yang mengikuti
pendapat yang paling baik. Sedangkan ayat kedua memerintahkan untuk mengikuti yang paling baik dari apa yang diturunkan Allah.
2. Sedangkan sunnah yang mereka jadikan dalil adalah hadits Rasulullah dalam riwayat ‘Abdullah ibn Mas’ud mengatakan:
ﹶﺎﻣ ﺭﺁ
ﻩ ﹾﻟﺍﻤ
ﺴ ﻠﻤ
ﻮ ﹶﻥ
ﺣ ﺴ
َﻨﺎ ﹶﻓﻬ
ﻮ ﻋﻨ
ﺪ ِﷲﺍ
ﺣ ﺴ
ﻦ .
13
Artinya : “Sesuatu yang dipandang baik oleh umat Islam, maka ia juga di hadapan
Allah adalah baik.”H.R. Ahmad ibn Hanbal. Hasil penelitian dari berbagai ayat dan hadits terhadap berbagai
permasalahan yang terperinci menunjukkan bahwa memberlakukan hukum sesuai dengan kaidah umum dan qiyas adakalanya membawa kesulitan bagi umat
manusia, sedangkan syari’at Islam ditujukan untuk menghasilkan dan mencapai kemaslahatan manusia. Oleh sebab itu, apabila seorang mujtahid dalam
menetapkan hukum memandang bahwa kaidah umum atau qiyas tidak tepat diberlakukan, maka ia boleh berpaling kepada kaidah lain yang akan dapat
memberikan hukum yang lebih sesuai dengan kemaslahatan umat manusia.
14
4. Kajian Istihsan bi al-‘Urf Terhadap Hukum Pelaksanaan Tradisi Ruwatan Di dalam penjelasan yang telah penulis terangkan di atas, bahwa jalan
untuk mengecualikan sesuatu masalah dari nash yang telah ada karena dikehendaki maslahat ummat, ialah : sumber istihsan. Istihsan ini walaupun tidak
merupakan suatu dalil yang berdiri sendiri, namun dia menyingkapkan jalan yang ditempuh sebahagian mujtahidin dalam menerapkan dalil-dalil syara’ dan kaidah-
kaidahnya di etika bertentangan dalil-dalil itu dengan kenyataan yang
13
Ahmad Ibn Hanbal, Musnad al-Imam Ahmad Ibn Hanbal, Jilid I, Dar Shadir, hlm. 379.
14
Nasrun Haroen, Ushul Fiqh 1, Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 2001, h. 109.
berkembang di dalam masyarakat untuk menghilangkan kepicikan dan kemadharatan serta menghasilkan kemanfaatan dengan jalan menerapkan dasar-
dasar syari’at dan sumber-sumbernya.
15
Istihsan adalah suatu dalil yang terkuat menunjukkan bahwa Hukum Islam adalah suatu hukum yang berkembang dalam masyarakat yang diistilahkan
dengan fiqh waq’I bukan suatu fiqh khayali yang merupakan fiqh bayangan sebagai yang digambarkan oleh sebagian orang yang tidak mengetahui hakekat
fiqh Islam atau ingin menjauhkan manusia dari padanya.
16
Di dalam menghadapi masalah tradisi ruwatan dan pelaksanaannya, dapat kita terapkan masalah itu mengingat maslahat dari padanya, dengan
mempergunakan dasar istihsan yang disandarkan dengan Al-‘Urf. Al-‘Urf atau yang lebih kita kenal dengan adat kebiasaan, ialah :
17
“Adat kebiasaan ialah sesuatu yang telah terkenal di seluruh masyarakat atau sama dikenal oleh manusia
dan telah menjadi suatu kebiasaan yang digemari oleh mereka, serta berlaku di dalam peri kehidupan mereka. Baik berupa ucapan atau perbuatannya dan atau hal
meniggalkan sesuatu juga disebut adat. Hal ini berlaku dalam pemakaian kata-kata dan dalam adat istiadat.
Mempergunakan adat kebiasaan dan ‘Urf manusia sebagai dasar hukum dalam
15
Hasbi Ash-Shiddieqy, Falsafah Hukum Islam, Jakarta, Bulan Bintang, 1975, h.314
16
Hasbi Ash-Shiddieqy, Falsafah Hukum Islam, Jakarta, Bulan Bintang, 1975, h. 314
17
Abdul Wahhab Khallaf, Kaidah-kaidah Hukum Islam Ilmu Ushul Fiqh, Jakarta, PT Raja Grafindo Persada,2002 Cet 8, h.130.
bidang adat, masuk ke dalam bab memelihara kemaslahatan masyarakat dan menghindarkan mereka dari kesempitan.
18
Al-Qarafi berkata : “Sesungguhnya segala hukum itu berlaku menurut ‘Urf dan adat
kebiasaan dan berpindahlah seseorang ahli fiqh dengan berpindahnya adat itu. Di antara kebodohan para mufti, ialah kebekuannya atas nash yang terdapat
dalam kitab-kitab yang telah ada tanpa berpaling kepada perubahan ‘Urf adat masyarakat.”.
19
Di antara para ulama ada yang berkata, “Adat adalah syariat yang dikukuhkan sebagai hukum”, Begitu juga ‘urf menurut syara’ mendapat
pengakuan hukum. Para Imam juga membina hukum atas ‘Urf masyarakat. Banyak hukum yang dibina Imam Malik atas ‘Urf penduduk Madinah. Asy
Syafi’I, banyak hukum yang dibinanya atas ‘Urf penduduk Mesir; dalam madzhab Jadidinya.
20
Dalam pada itu dihargai sesuatu ‘Urf sebagai sumber hukum apabila terdapat padanya 3 tiga syarat ini :
“Yang pertama: ‘Urf itu tidak berlawanan dengan nash yang tegas. Yang kedua: Apabila adat itu telah menjadi adat yang terus menerus berlaku dan
berkembang dalam masyarakat. Yang ketiga: ‘urf itu merupakan ‘Urf yang
18
Hasbi Ash-Shiddieqy, Falsafah Hukum Islam,Jakarta, Bulan Bintang, 1975, h. 475
19
Hasbi Ash-Shiddieqy, Falsafah Hukum Islam, Jakarta, Bulan Bintang, 1975, h. 476.
20
Rachmat Syafe’i, Ilmu Ushul Fiqh, , Bandung, CV. Pustaka Setia, 1999, Cet Ke-1, hlm.129
umum, karena hukum yang umum tidak dapat ditetapkan dengan ‘Urf yang khas”.
Ringkasnya ‘Urf itu ada yang fasid, ada yang shahih. Yang fasid, yaitu sesuatu yang telah saling dikenal manusia, tetapi bertentangan dengan syara’,
atau menghalalkan yang haram dan membathalkan yang wajib. Seperti adanya saling pengertian di antara manusia tentang beberapa perbuatan munkar dalam
upacara kelahiran anak, juga tentang memakan barang riba dan kontrak judi, adat menyuguhkan minuman keras kepada para tamu dalam upacara-upacara
perkawinan. Adat-adat yang serupa ini harus dikikis habis, jika tidak, maka dengan berangsur-angsur hilanglah ciri-ciri keagamaan.
21
Yang shahih, ialah yang tidak menghalalkan yang haram dan tidak mengharamkan yang halal, seperti adat memberikan hadiah kepada pengantin
perempuan, sebelum bersanding dan seperti adat membayar mahar secara hutang. ‘Urf ini harus dipelihara karena apabila difatwakan yang lain dari yang
telah dibiasakan, sedang perbuatan mereka tidak berlawanan dengan nash, tentulah timbul kepicikan dan kesukaran.
22
Dapat kita ambil contoh seperti Bangsa Arab, ketika Islam datang, mempunyai tradisi dan kesenangan yang sukar dihilangkan dalam sekejap saja.
21
Rachmat Syafe’i, Ilmu Ushul Fiqh, Bandung, CV. Pustaka Setia, 1999, Cet Ke-1, hlm.129
22
Hasbi Ash-Shiddieqy, Falsafah Hukum Islam, Jakarta, Bulan Bintang, 1975, h.477.
Apabila dihilangkan sekaligus, akan menyebabkan timbulnya konflik, kesulitan dan ketegangan bathin.
23
Dalam sosiologi Ibnu Khaldun dinyatakan bahwa “suatu masyarakat tradisional atau yang tingkat intelektualnya masih rendah akan menentang
apabila ada sesuatu yang baru atau sesuatu yang akan dating kemudian dalam kehidupannya, lebih-lebih apabila sesuatu yang baru tersebut bertentangan dengan
tradisi yang ada”. Masyarakat akan senantiasa memberikan respon apabila timbul sesuatu di tengah-tengah mereka.
24
Dengan mengingat faktor tradisi dan ketidaksenangan manusia untuk menghadapi perpindanhan sekaligus dari suatu keadaan kepada keadaan lain yang
asing sama sekali bagi mereka, al-Qur’an diturunkan berangsur-angsur, surat demi surat dan ayat demi ayat sesuai dengan peristiwa, kondisi, dan situasi yang
terjadi. Dengan cara demikian, hokum yang diturunkannya lebih disenangi oleh jiwa dan lebih mendorong kea rah mentaatinya, serta bersiap-siap meninggalkan
ketentuan lama dan menerima ketentuan baru.
25
23
Ahmad Hanafi, Pengantar dan Sejarah Hukum Islam, Jakarta: Bulan Bintang, 1991, Cet ke-VI, h. 29.
24
Fathurrahman Djamil, Filsafat Hukum Islam, Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997. Cet ke- 1, h.69.
25
Fathurrahman Djamil, Filsafat Hukum Islam, Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997. Cet ke- 1, h. 29-30.