Tradisi ruwatan laut (ngumbai lawok) di kelurahan Kangkung Kecamatan Teluk Betung Selatan Kota Bandar Lampung dalam perspektif hukum Islam

(1)

SKRIPSI

Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh

Gelar Sarjana Syariah (S.Sy)

Oleh :

Riki Dian Saputra NIM : 107044101938

K O N S E N T R A S I P E R A D I L A N A G A M A PROGRAM STUDI HUKUM KELUARGA ISLAM

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SYARIF HIDAYATULLAH J A K A R T A


(2)

(3)

(4)

1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya, yang diajukan untuk memenuhi salah satu persyaratan memperoleh Gelar Strata satu (S 1) di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

3. Jika di kemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya saya atau merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

Jakarta, 21 Juni 2011


(5)

i Assalamualaikum.wr.wb

Alhamdulillah, segala pujian dan rasa syukur penulis panjatkan kehadirat-Nya. Tidak ada kekuatan apapun dalam diri ini selain dengan kekuasaan Allah SWT. Dialah penguasa dari seluruh alam semesta ini, yang Maha Pengasih tanpa pilih kasih; Maha Penyayang bagi semua makhluk-Nya. Karena Anugerah dan karunia yang diberikan-Nya kita memiliki kemampuan untuk berfikir dan menikmati segala kenikmatan terutama nikmat Islam dan Iman serta nikmat duniawi yang tak terhingga jumlahnya. Shalawat dan salam semoga tercurah kehadirat Qudwah Hasanah Nabi Muhammad SAW, yang selalu kita nantikan syafa'atnya di hari pembalasan nanti, Amin.

Tidak ada kata lain yang tepat yang dapat penulis untaikan untuk menunjukan betapa Allah SWT Maha Pengasih dan Maha Penyayang. Dengan kasih sayang, rahmat, dan hidayah-Nya penulis mampu menyelesaikan skripsi ini. Dialah motivator sejati yang selalu mendorong penulis untuk selalu terus berusaha menuntaskan kawajiban dan tanggung jawab mulia ini dan untuk selalu berbuat yang terbaik di dunia ini semata-mata untuk mencapai ridha-Nya

Walaupun usaha dalam penyelesaian skripsi ini, penulis sudah merasa optimal namun sudah pasti banyak kekurangan dalam penulisan maupun dalam pembahasannya. Untuk itu saran dan kritik yang konstruktif sangan kami harapkan.


(6)

ii

Penulis sangat menyadari, bahwa selesainya penulisan skripsi ini bukanlah semata-mata dari buah tangan hasil penulis sendiri, akan tetapi dari hamba Allah yang senantiasa mendermakan kemampuannya untuk kemaslahatan publik, baik secara langsung maupun tidak. Mereka yang dengan tulus hati meluangkan waktu mesti hanya sekedar menuangkan aspirasi bagi penulis, tentu tanggung jawab ini akan terasa kian berat, tanpa kehadiran mereka.

Oleh karena itu tidak berlebihan kiranya jika pada kesempatan ini penulis menyampaikan rasa terimakasih, khususnya kepada ;

1. Bapak Prof. Dr. H. Muhammad Amin Suma, SH, MA, MM., Dekan Fakultas Syari’ah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Bapak Drs. H. A Basiq Djalil, SH, MA., Ketua Program Studi Ahwal Syakhshiyyah Fakultas Syari’ah dan Hukum.

3. Ibu Hj. Rosdiana, MA., Sekretaris Program Studi Ahwal Syakhshiyyah Fakultas Syari’ah dan Hukum.

4. Bapak Dr. H. Ahmad Mukri Aji, M.A. dosen pembimbing yang sangat bijaksana dan dengan besar hati sabar serta bersedia meluangkan waktunya untuk memberikan arahan dan bimbingan bagi penulis dalam penulisan skripsi ini.


(7)

iii

6. Para dosen Fakultas Syariah dan Hukum, para Guru, Ustadz yang telah mendidik Penulis baik secara langsung atau tidak telah membantu pemahaman Penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.

7. Bapak Lurah Kangkung Drs. Ediyalis, Bapak Hi. Djamhari Pemuka Adat Ujung Bom Kelurahan Kangkung dan Bapak Hidayat Abdurrahman Tokoh Agama di Kelurahan Kangkung dan Bapak Aang Tajrin, SE, selaku Kepala KUD Mina Jaya/Pengurus Ruwatan Laut yang telah membantu penulis dalam penulisan skripsi ini, karena dari merekalah banyak Ilmu mengenai adat Ruwat Laut (Ngumbai Lawok) yang benar-benar sangat membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.

8. Yang tercinta Ayahanda Untung Rusdiono dan Ibunda Sururiyah, yang disetiap nafasnya mengalir doa untuk kebahagiaan dan kesuksesan Ananda dalam meniti kehidupan dunia dan di akhirat kelak, dan selalu memberikan motivasi baik secara moril dan materil semata-mata untuk keberhasilan penulis.

9. Teruntuk Kakakku Ruminah, Om ku yang sangat baik sekali Hawazin Hamami, Adikku tercinta Tiara Isnaini Puttri, Risa Rahmadhana dan seluruh keluarga besar, terima kasih atas do'a dan motivasinya baik moril dan materiil untuk keberhasilan studi Penulis.


(8)

iv penulis dan hidupnya kelak nanti, Amin.

11.Teman-teman seperjuangan, khususnya Novendri Eka Saputra, teman-teman di kampus, PA- 07 khususnya Sofyan Hadi teman seperjuanganku baik dalam suka maupun duka, teman-teman FKML, IAM CERIA, teman- teman dan keluarga di rumah kedua (Kontrakan Antala’lai), teman-teman seperjuanganku dari Lampung: Syakardi Rahman, Mursal Darwis dan Khairul Fadhli. Dimanapun Aku dan kalian berada, Aku akan merindukan kalian selalu.

12.Semua makhluk Allah yang membuat Penulis terinspirasi dan semua pihak yang telah memberikan bantuannya kepada Penulis, hingga penulisan skripsi ini dapat terselesaikan dengan baik.

Penulis hanya dapat memohon kepada Allah SWT. Semoga senantiasa menerima kebaikan dan ketulusan mereka serta memberikan sebaik-baiknya balasan atas amal baik mereka. Terakhir semoga skripsi ini bermanfaat dan dapat menambah khazanah keilmuan kita. Amin.

Jakarta, 3 Juli 2011

Penulis


(9)

v

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ... i DAFTAR ISI ... v

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah ... 12

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 14

D. Studi Review Terdahulu ... 15

E. Kerangka Teori ... 17

F. Metode Penelitian dan Teknik Penelitian ... 18

G. Sistematika Penulisan ... 20

BAB II TRADISI RUWATAN DALAM PERSPEKTIF FIQH

A. Tinjauan Istihsan bi al-‘Urf Terhadap Tradisi Ruwatan ... 23

1. Pengertian Istihsan ... 23 2. Pengertian Istihsan Bi Al-‘Urf ... 25 3. Istihsan Sebagai Dasar Menetapkan Hukum ... 28 4. Kajian Istihsan bi al-‘Urf Terhadap Hukum Pelaksanaan Tradisi Ruwatan ... 30


(10)

vi

B. Tinjauan Tauhid ... 35

1. Pengertian Tauhid ... 35

2. Definisi Syirik ... 37

3. Pandangan Tauhid Terhadap Prosesi Upacara Tradisi Ruwatan 41 BAB III POTRET KELURAHAN KANGKUNG A. Sejarah Singkat Kelurahan Kangkung ... 47

B. Keadaan Geografis dan Demografis ... 49

C. Kondisi Sosial Budaya Masyarakat ... 54

D. Kondisi Sosial Keagamaan Masyarakat ... 59

E. Historis Pelaksanaan Tradisi Ruwatan Laut (Ngumbai Lawok) 62 BAB IV ANALISA TENTANG TRADISI RUWATAN LAUT A. Pengertian Ruwatan Laut, Sebab-sebab Terjadinya Ruwatan Laut, Tahapan Dalam Pelaksanaan Ruwatan Laut, Tahap Evaluasi (sesudah) 1. Pengertian Ruwatan Laut ... 66

2. Sebab-sebab Terjadinya Ruwatan Laut ... 67

3. Tahapan Dalam Pelaksanaan Ruwatan Laut ... 69

4. Tahap Evaluasi (sesudah) ... 75

B. Ruwatan Laut Dalam Perspektif Islam ... 77


(11)

vii

BAB V PENUTUP

A. Kesimpulan ... 102 B. Saran ... 106

DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN – LAMPIRAN

1. Hasil wawancara

2. Surat permohonan menjadi pembimbing skripsi 3. Surat permohonan dan data wawancara

4. Surat izin penelitian TABEL

1. Klasifikasi penduduk menurut jenis kelamin 2. Klasifikasi penduduk menurut suku bangsa 3. Klasifikasi penduduk menurut strata umur GAMBAR

1. Sesaji menggunakan kepala kerbau 2. Do’a sebelum acara larungan


(12)

1

A. Latar Belakang Masalah

Seiring dengan berkembangnya zaman, semakin banyak juga permasalahan yang timbul di dunia ini. Hal tersebut tentunya sudah sangat lazim adanya. Dewasa ini dan lebih-lebih lagi pada masa yang akan datang, permasalahan kehidupan manusia akan semakin berkembang dan semakin kompleks. Permasalahan itu harus dihadapi umat Islam yang menuntut adanya jawaban penyelesaiannya dari segi hukum Islam.1

Berkenaan dengan itu, maka perlu ditegaskan bahwa unsur-unsur budaya lokal yang dapat menjadi sumber hukum Islam ialah yang sekurang-kurangnya tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip Islam. Yaitu tidak mengandung unsur mafsadat (perusak) dan tidak bertentangan dengan dalil syara’ yang dilarang. Unsur-unsur yang bertentangan dengan Islam dengan sendirinya harus dihilangkan dan diganti. Dan itulah makna kehadiran Islam di suatu tempat atau negeri.

Karena itu, tiap masyarakat Islam mempunyai “masa jahiliyah” yang sebanding dengan apa yang ada pada bangsa Arab. Masa jahiliyah suatu bangsa adalah masyarakat pada masa sebelum datangnya islam. Masa itu diliputi oleh praktek-praktek yang bertentangan dengan ajaran tauhid serta ajaran-ajaran lain

1


(13)

dalam Islam, seperti misalnya, tata sosial tanpa hukum (chootik), takhayul, mitos, feodalisme, ketidak pedulian kepada nasib orang kecil yang tertindas, pengingkaran hak asasi, perlawanan terhadap prinsip persamaan umat manusia, dan seterusnya. Semuanya harus diadakan dan diganti dengan ajaran Islam tentang tauhid atau paham Ketuhanan yang Maha Esa.

Kedatangan Islam selalu mengakibatkan adanya perombakan masyarakat atau pengalihan bentuk (tranformasi) social menuju kearah yang lebih baik. Tapi pada saat yang sama, kedatangan Islam tidak mesti distruptif atau bersifat memotong suatu masyarakat dari masa lampaunya semata, melainkan juga dapat ikut melestarikan apa saja yang baik dan benar dari masa lampau itu dan bias dipertahankan dalam ujian ajaran Universal Islam.2

Masalah yang timbul di masyarakat, khususnya di bagian daerah dari negeri kita adalah upacara tradisional ruwatan Laut pada Bulan Muharram yang terus-menerus selalu di praktekkan, guna melestarikan kebudayaan warisan nenek moyang yag turun-temurun hingga saat ini.

Oleh karena itu, bagaimana metode hukum Islam menghadapinya dan mampu menyelesaikan semua permasalahan yang timbul di masyarakat dengan baik (tepat) serta mendatangkan kemaslahatan dari penetapan hukum dan menghindarkan kerusakan atau kemudharatan. Sehingga tidak menimbulkan pertentangan, perselisihan hingga memecah belah kerukunan umat Islam. Apakah dengan metode lama (konvensional) yang digunakan ulama terdahulu untuk

2


(14)

menghadapinya atau dengan metode ijtihad ulama yang disebut dengan “istihsan”, yang menurut bahasa adalah anggapan baik atau menganggap baik.

Sedangkan Istihsan menurut istilah ahli ushul al-fiqh adalah :

ﺩﻟﻴ

ﹸﻞ

ﻳﹾﻈ

ﻬﺮ

ﻓ

ﻲ

ﻋﹾﻘ

ﹺﻞ

ﹾﺍﹸﳌ

ﺠ

ﺘﹺﻬ

ﺪ

ﻳﹾﻘﺘ

ﻀ

ﺗﺮ

ﹺﺟﻴ

ﺢ

ﻗﻴ

ﹴﺱﺎ

ﺧ

ﻔ

ﹴﻰ

ﻋﹶﻠ

ﻗﻴ

ﹴﺱﺎ

ﺟ

ﻠﻲ

ﹶﺍﻭ

ﺳﺍ

ﺘﹾﺜﻨ

َﺀﺎ

ﺟ

ﺰ

ﻲﺋ

ﻣ

ﻦ

ﺣ

ﹾﻜ

ﹺﻢ

ﹸﻛّﻠ

ﻲ

.

3 Artinya :

“Satu dalil yang keluar dari pemikiran seorang Mujtahid yang menetapkan kerajihan qiyas yang tidak terang (khafy) daripada qiyas yang terang (jaly), atau (merajihkan) ketentuan hukum yang khusus (juz’iy) dari ketentuan yang umum (kully).

Firman Allah SWT dalam surat az-Zumar (39) : 55 di dalamnya mengandung perintah untuk mengikuti yang terbaik dari apa yang diturunkan Allah. Seandainya mengikuti cara yang terbaik itu tidak mempunyai kekuatan dalam dalil, tentu Allah tidak mengisyaratkan dengan yang seperti itu. Hal ini berarti bahwa istihsan yang tiada lain adalah upaya untuk berbuat yang terbaik itu diakui kekuatannya dalam agama.4

Imam asy-Syatibi (ahli usul fikih Mazhab Maliki) mendefinisikan istihsan dengan, “memberlakukan kemaslahatan parsial ketika berhadapan dengan kaidah umum, “kemudian ia menambahkan bahwa hakikat istihsan adalah mendahulukan al-maslahah al-mursalah (Maslahat) dari qiyas. Oleh sebab itu, bagi ulama Mazhab Maliki teori istihsan merupakan salah satu teori dalam mencapai

3

A. Basiq Djalil, Ilmu Ushul Fiqh 1 dan 2, (Jakarta: Kencana, 2010), h. 157.

4


(15)

kemaslahatan yang merupakan tujuan syarak dalam menetapkan hukum. Imam asy-Syatibi selanjutnya mengatakan bahwa istihsan tidak semata-mata di dasarkan pada logika dan hawa nafsu, tetapi didasarkan pada dalil yang lebih kuat. Dalil yang menyebabkan pemalingan ini adalah nas (ayat atau hadis), ijmak, ‘urf (adat kebiasaan yang berlaku umum), dan adakalanya melalui kaidah-kaidah yang berkaitan dengan menghilangkan kesulitan. Dengan demikian, menurut Imam asy-Syatibi, kaidah istihsan merupakan penerapan kaidah al-maslahah (kemaslahatan) yang didukung oleh syarak melalui induksi sejumlah nas; bukan oleh nas yang parsial.5

Allah SWT Menciptakan manusia di dunia ini dengan keanekaragamannya, ada perbedaan suku, bangsa, adat istiadat, bahasa, dan warna kulit. Hal tersebut bertujuan agar manusia dapat saling kenal mengenal di antara sesama. Adanya kemungkinan akulturasi timbal balik antara Islam dan budaya lokal diakui dalam suatu kaedah atau ketentuan dasar dalam Ilmu Ushul Fiqh bahwa Adat itu dihukumkan (al-Ada Muhakkamah), atau lebih lengkapnya “Adat adalah syari’ah yang dihukumkan” (al-Ada Syari’ah Muhakkamah) artinya, adat dan kebiasaan suatu masyarakat, yaitu budaya lokalnya, bisa menjadi sumber hukum islam. Para ulama ushul al-fiqh juga sepakat bahwa hukum-hukum

5

Sebagaimana di kutip dalam: Abdul Azis Dahlan, Ensiklopedia Hukum Islam, jil.3.(Jakarta: Ichtiar Baru van Hoeve, 1996), h. 771.


(16)

yang didasarkan kepada ‘Urf bisa berubah sesuai dengan perubahan masyarakat pada zaman tertentu dan tempat tertentu.6

Hal diatas sesuai dengan ungkapan Imam Ibn Qayyim al-Jauziyah, yang mengatakan bahwa:

ﺗﻐﻴ

ﺮﹾﻟﺍ

ﹶﻔﺘ

ﻮ

ﻭ

ﺧﺍ

ﺘ

ﹶﻼ

ﹸﻓﻬ

ﹺﺑﺎ

ﺤ

ﺴ

ﹺﺐ

ﺗﻐﻴ

ﹺﺮﹾﺍ

َﻷ

ﺯﻣ

ﻨﺔ

ﻭﹾﺍ

َﻷ

ﻣ

ﻜﻨ

ﺔ

ﻭﹾﺍ

َﻷ

ﺣ

ﻮ

ﹺﻝﺍ

ﻭ

ﹺﻨﻟﺍﻴ

ﺕﺎ

ﻭﹾﺍ

ﻌﻟ

ﻮﺍ

ِﺀﺩ

.

7 Artinya :

“Suatu Fatwa bisa berubah karena perubahan zaman, tempat, lingkungan, niat dan adat kebiasaan manusia”.

Muhammad Abu Zahrah dalam bukunya Ushul al-Fiqh merumuskan defini adat pada pengertian :

ﻣ

ﻋﺍﺎ

ﺘﺪ

ﺍﻩ

ﻨﻟﺍ

ﺱﺎ

ﻣ

ﻦ

ﻣﻌ

ﻣﺎ

ﹶﻼ

ﺕ

ﻭ

ﺳﺍ

ﺘﹶﻘ

ﻣﺎ

ﺖ

ﻋﹶﻠ

ﻴﻪ

ﹸﺃﻣ

ﻮﺭ

ﻫ

ﻢ.

8 Artinya :

“Apa-apa yang dibiasakan oleh manusia dalam pergaulannya dan telah mantap dalam urusan-urusannya”.

Abdul Wahhab Khallaf, dalam kitabnya “Ilmu Ushul Fiqh” berpendapat bahwa ‘Urf berbentuk dari saling mengetahui dan menerima di antara manusia walaupun berbeda-beda tingkatan mereka, rakyat umum dan golongan khusus. Dan ini berbeda dengan ijma yang berbentuk karena kesepakatan ulama

6

Nasrun Haroen, Ushul Fiqh 1, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 2001), h. 143.

7

Nasrun Haroen, Ushul Fiqh 1, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 2001), h.149.

8


(17)

mujtahidin khususnya; sedang rakyat umum tidak campur tangan dalam pembentukannya.9

‘Urf itu ada dua macam, yaitu ‘urf yang shahih dan ‘urf yang fasid. ‘Urf yang shahih ialah apa-apa yang telah menjadi adat kebiasaan manusia dan tidak menyalahi dalil syara’, tidak menghalalkan yang haram dan tidak membathalkan yang wajib. Misalnya adat kebiasaan mengadakan aqad jual-beli barang yang belum dibikin, membayar maskawin dengan cicilan, apa-apa yang diberikan oleh lelaki kepada wanita pinangannya berupa perhiasan dan pakaian adalah hadiah tidak termasuk sebagian dari maskawin dan sebagainya.10

Sedangkan ‘Urf yang fasid ialah apa-apa yang telah menjadi adat kebiasaan manusia, akan tetapi menyalahi dalil syara’. Yaitu menghalalkan yang haram atau mengharamkan yang halal. Misalnya seperti memakan harta riba, serta melakukan kontrak yang mengandung riba. Mencampurkan kedudukan antara wanita dan pria di dalam kepentingan yang umum Memberikan minum-minuman keras pada hari raya, termasuk peringatan hari permulaan tahun. Kemudian beberapa dari orang muslim menari dan bernyanyi di saat resepsi pernikahan. Lelaki memakai cincin emas di saat melakukan pinangan perkawinan hal ini

9

Abdul Wahab Khallaf, Ilmu Ushul al-Fiqh, (Al-Kohiroh: Dar al-Hadits, 1423H/2003M), h. 99.

10

Abdul Wahab Khallaf, Ilmu Ushul al-Fiqh, (Al-Kohiroh: Dar al-Hadits, 1423H/2003M), h. 99.


(18)

mengikuti kebiasaan orang barat dan lain sebagainya yang mengandung unsur bertentangan dengan syara’ serta pilar-pilar Agama Islam. 11

Suatu tradisi yang selama ini masih tetap berlaku dan terlestarikan dalam adat Muslim masyarakat Lampung adalah praktek upacara Ngumbai lawok. Tradisi Ngumbai Lawok adalah sebagai tradisi ruhani yang dalam bentuk pelaksanaannya sangat bertentangan dengan prinsip-prinsip Islam, yaitu berkorban kerbau, dan kepalanya dihanyutkan ke laut. Sebagai simbol kita harus berkorban atau mengeluarkan sedekah, dengan maksud supaya bagi yang bersedekah rizkinya akan dilipatgandakan oleh Allah SWT. Acara adat yang disebut “Ngumbai Lawok” yang bermakna perjanjian atau sedekah, sebagai refleksi atas rasa syukur para nelayan kita yang telah mendapatkan hasil yang diterima selama satu tahun. Acara ini juga dilakukan dalam rangka memperingati Tahun Baru Islam 1 Muharam.12

Di dalam praktek Acara ngumbai lawok terdapat adanya indikasi yang menuju kearah cerminan kesyirikan. Karena tidak sesuai dengan nilai-nilai agama Islam. karena Ngumbai lawok dilaksanakan untuk mengucapkan rasa syukur atas ikan-ikan yang melimpah dan laut yang ramah yang telah dinikmati oleh masyarakat sejauh itu, dan sebagai harapan agar keadaan berlimpah dan keramahan laut tersebut tetap berlanjut, dan bahkan bertambah.

11

Wahbah Al-Zuhaili, Ushul Al-Fiqh Al-Islami, (Damaskus - Syiria: Dar Al-Fikr, 1427 H / 2006 M), Juz 2, h. 109.

12


(19)

Kemusyrikan adalah dosa yang paling besar; dosa yang tak terampunkan. Musyrik adalah orang yang menyekutukan Allah. Pada dasarnya orang musyrik memiliki kepercayaan akan adanya Allah SWT, tetapi dicampurbaurkan dengan kepercayaan kepada yang lain. Sehingga ia tidak sepenuhnya mempercayai keesaan dan kemhakuasaan Allah SWT, hal ini di jelaskan dalam firmannya surat an-Nisa’ (4) : 116.

Kemusyrikan bertentangan dengan tauhid karena tauhid adalah keyakinan akan kemahaesaan Allah SWT; sedangkan kemusyrikan tidak demikian. Orang musyrik mempercayai ada kekuatan lain selain Allah SWT, ada zat lain selain zat Allah SWT yang juga dapat menentukan sesuatu.13

Dapat dikatakan, faktor utama tersebarnya akidah yang menyesatkan di banyak lingkungan masyarakat atau bangsa ialah adanya rasa percaya terhadap warisan lingkungan masyarakat atau bangsa ialah adanya rasa percaya terhadap warisan dari peniggalan nenek moyang, yang seringkali disertai sikap fanatik. Dan fakta menunjukkan, banyak bangsa di muka bumi ini sebenarnya tidak mempunyai alas an yang cukup atau rasional dalam menerima warisan pemikiran tersebut. Mereka semata-mata berpegang pada suatu kepercayaan yang kurang rasionala. Kepercayaan yang menyimpang itu terus diikuti secara fanatik sesuai

13


(20)

dengan kebiasaan nenek moyangnya. Di tengah-tengah kemajuan ilmu pengetahuan dan kebudayaan, ia tetap hidup.14

Dalam Ilmu Ushul al-fiqh budaya lokal dalam bentuk adat kebiasaan juga di sebut “Urf (secara etimologi berasal dari asal kata yang sama dengan al-ma’ruf). Karena “Urf suatu masyarakat sesuai dengan uraian diatas, mengandung unsur yang salah dan yang benar sekaligus, maka dengan sendirinya masyarakat muslim Lampung harus melihatnya dengan kritis dan tidak dibenarkan sikap yang hanya membenarkan semata sesuai dengan berbagai prinsip Islam sendiri yang amat menentang tradisionalisme. Sebagaimana dijelaskan di dalam Q.S al-Zukhruf (43): 23-24.

Ayat tersebut menegaskan bahwa apa yang telah dijelaskan diatas, yaitu Islam menentang tradisionalisme, yaitu sikap yang secara a priori memandang bahwa tradisi leluhur selalu baik dan harus dipertahankan serta diikuti. Prinsip ini diletakkan dalam suatu kerangka ajaran dasar mengharuskan kita selalu bersikap kritis sebgaimana dijelaskan di dalam Q.S al-Isra (Bani Isra’il) 17: Ayat 36.

Sikap kritis terhadap tradisi inilah yang menjadi unsur terjadinya transformasi sosial suatu masyarakat yang menjadi perkenalan dengan Islam. Karena itu kedatangan Islam di suatu negeri atau masyarakat, sebagaimmana telah dijelaskan dapat berrsifat distruptif (tidak bersifat memotong). Tapi sesuai dengan kaedah yurisprudensi Islam di atas, perlu membedakan antara tradisi dan

14

Abdurrahman Habanakah, Pokok-pokok Akidah Islam, (Jakarta: Gema Insani, 1998), h. 575-576.


(21)

tradisionalitas. Jelasnya ialah, suatu tradisi belum tentu semua unsurnya tidak baik maka harus dilihat dan diteliti mana yang baik untuk dipertahankan dan diikuti. Sedangkan tradisionalitas adalah pasti tidak baik, karena ia merupakan sikap tertutup akibat pemutlakan tradisi secara keseluruhan, tanpa sikap kritis untuk memisahkan mana yang baik dan mana yang buruk.15

Ngumbai Lawok adalah tradisi ruwatan laut, yaitu upacara membersihkan laut. Hal tersebut lahir dari pemahaman nelayan bahwa laut adalah arena mengais rezeki. Karena itu wajib dirawat. Agar sumber penghidupan mereka itu tetap menjadi sahabat yang memberikan hasil tangkapan melimpah. Tradisi Ini digelar rutin, setahun sekali, sebagai bentuk syukur, persembahan, perawatan, dan pengorbanan. Yaitu dengan memberikan sesaji (sedekahan) berupa kepala kerbau, daging, buah-buahan, makanan-minuman, dan rokok, serta miniatur perahu. Sesaji itu diangkut ke kapal motor untuk dibawa dan dilarung di kawasan pesisir laut. Semangatnya mirip berkurban pada Idul Adha. Namun, keduanya beda konteks. Sama-sama tradisi ruhani. Tetapi yang satu sebagai simbol ketaatan kepada Sang Khalik sedang yang lain semata bentuk implementasi kekerabatan dengan alam. Bagi nelayan Teluk Lampung, Meruwat Laut punya dua tujuan. Yakni memohon keselamatan di laut sekaligus mensyukuri karunia yang telah diterima.

Di dalam kitab tauhid karangan Muhammad Abdul Wahab diterangkan bahwa meminta pertolongan atau berdoa kepada selain Alloh SWT adalah

15


(22)

termasuk perbuatan syirik. Hal itu terjadi karena kurangnya rasa keimanan manusia terhadap kekuasaan Allah SWT, bahwa hanya kepadanyalah kita meminta pertolongan dan perlindungan dari segala bahaya. Oleh sebab itu, bagi setiap orang beriman harus menjaga dirinya sendiri, isterinya, anak-anaknya dan keluarganya, agar supaya jangan sampai terjatuh kelembah syirik. Paham syirik ini harus di hapus dan dikeluarkan dari dalam hati. Syirik merupakan salah satu dari tujuh hal yang membinasakan manusia. Karena syirik dapat menghancurkan iman seseorang dan menjerumuskannya kedalam jurang api neraka. Idealnya syirik harus mendapat perhatian serius dari setiap muslim. Hal ini juga wajar karena syirik adalah dosa besar yang tak bisa diampuni Allah SWT.16

Mayoritas penduduk Masyarakat lampung adalah Islam, dan ajaran Islam di sana sangatlah kuat. Akan tetapi di dalam kenyataannya masih ada praktek-praktek tradisi yang menuju atau mencerminkan kepada kemusyrikan, yaitu melestarikan tradisi nenek moyang dahulu dan diturunkan kepada generasi ke generasi hingga saat ini. Hal ini terjadi di daerah Pesisir Teluk Lampung, yaitu tempat para nelayan mengais rejeki di laut dengan menangkap ikan. Maka dari itu penulis tertarik dan bermaksud melakukan penelitian dalam bentuk skripsi dengan judul: “TRADISI RUWATAN LAUT (NGUMBAI LAWOK) DI KELURAHAN KANGKUNG KECAMATAN TELUK BETUNG SELATAN KOTA BANDAR LAMPUNG DALAM PERSPEKTIF HUKUM ISLAM”.

16


(23)

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah 1. Pembahasan Masalah

Tradisi ruwatan laut adalah suatu aktivitas yang tidak pernah lepas dari pada adat kebiasaan di tiap-tiap suku atau daerahnya yang tetap terlestarikan dari nenek moyang dan diturunkan kepada para generasi berikutnya. Maka dari itu penulis telah menguraikan pelaksanaan ruwatan laut masyarakat muslim lampung ditinjau dari hukum Islam. Untuk mempermudah dan terfokus pada judul skripsi yang telah dipilih dalam penulisan karya tulis ini penulis membatasi permasalahan sebagai berikut:

1. Pandangan Hukum Islam tentang tradisi ruwatan laut (Ngumbai Lawok); 2. Tinjauan Hukum islam terhadap pemberian sesaji berupa kepala sapi atau

kerbau ke laut dalam ruwatan laut muslim pesisir teluk Lampung;

3. Tinjauan hukum Islam terhadap kebolehan maupun pelarangan terhadap tradisi ruwatan laut (Ngumbai Lawok) masyarakat muslim pesisir lampung. 2. Perumusuan Masalah

Penulis melihat bahwa pelaksanaan tradisi ruwatan laut (Ngumbai Lawok) yang telah terjadi di masyarakat muslim pesisir Lampung ini tetap dipertahankan, maka tidak akan sempurna keimanan bagi masyarakat muslim yang meyakini tradisi ruwatan laut sebagai upaya untuk memperoleh perlindungan dan keselamatan selain kepada Allah SWT. Karena hal tersebut sangat jelas sangat bertentangan sekali dengan ajaran ketauhidan kepada Allah SWT. Jika dilihat dari


(24)

pengaruhnya, hal tersebut mempunyai daya tarik yang sangat kuat bagi para nelayan,karena masyarakat tersebut mempunyai keyakinan dengan melakukan ruwatan laut, mereka akan merasa aman dan nyaman dalam mengais rejeki (memohon keselamatan di laut). Serta sebagai ungkapan rasa syukur masyarakat Pesisir Teluk Lampung, agar sumber penghidupan mereka (Laut) itu tetap menjadi sahabat yang memberikan hasil tangkapan melimpah. Karena telah di berikan hasil tangkapan ikan yang melimpah di setiap tahunnya. Tradisi ruwatan laut bagi masyarakat pesisir teluk Lampung sudah menjadi kebutuhan, terutama di saat gelombang laut tinggi (kurang bersahabat dengan nelayan). Masyarakat akan merasa ada yang kurang sempurna di dalam dirinya jika tidak melaksanakan ruwatan tersebut. Dengan permasalahan tersebut, menurut penulis hal ini dianggap urgen dan perlu ditinjau, karena dengan penelitian ini bisa diketahui bagaimana posisi hukum tradisi ruwatan laut (Ngumbai Lawok) dalam pandangan Islam. Serta bagaimana solusi yang terbaik atas kebiasaan masyarakat pesisir Teluk Lampung agar tidak bertentangan dengan syariat Islam.

Berdasarkan latar belakang dan pembatasan masalah yang telah dipaparkan di atas, maka penulis telah merumuskan permasalahan di antaranya sebagai berikut :

1. Bagaimana pandangan hukum Islam tentang bersedekah kepala kerbau/sapi ke laut?


(25)

2. Mengapa tradisi ruwatan laut (Ngumbai Lawok) tetap dipraktekan oleh masyarakat muslim pesisir teluk Lampung, walaupun di dalamnya terdapat nilai-nilai kemusyrikan?

3. Bagaimana menstandarisasikan tradisi ruwatan laut (Ngumbai Lawok) ke dalam syari’at Islam?

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian

Adapun tujuan yang hendak dicapai dalam penulisan skripsi ini adalah:

1. Untuk mengetahui tradisi ruwatan laut (Ngumbai Lawok) masyarakat muslim pesisir teluk Lampung secara umum;

2. Untuk mengetahui dan memahami implikasi hukum tradisi ruwatan laut (Ngumbai Lawok) masyarakat pesisir teluk Lampung, yang masih tetap mempertahankan tradisi sedekah laut ditinjau dari perspektif hukum Islam; 3. Untuk mengetahui status hukum tradisi ruwatan laut yang telah terjadi dalam

masyarakat muslim pesisir teluk Lampung;

Di antara manfaat dari penelitian karya ilmiah ini adalah:

1. Untuk penulis : menambah wawasan penulis dan ingin mengetahui lebih jauh tentang hukum tradisi ruwatan laut masyarakat muslim pesisir teluk Lampung agar dapat memahami adat istiadat yang berlaku ditinjau dari perspektif hukum Islam. Dengan demikian penulis mampu meningkatkan disiplin ilmu yang akan dikembangkan menjadi profesi penulis sebagai Sarjana Syariah (S.Sy) dan akan diperdalam lebih lanjut dengan disiplin ilmu yang telah ada.


(26)

2. Untuk kalangan akademisi: sebagai penambahan literatur perpustakaan baik perpustakaan Umum maupun perpustakaan Fakultas.

3. Untuk masyarakat: memberikan sumbangan kepada masyarakat bagaimana cara pelaksanaan tradisi ruwatan laut (Ngumbai Lawok) yang dibenarkan menurut tatanan hukum Islam, sehingga masyarakat mengetahui pandangan hukum Islam terhadap tradisi ruwatan laut yang selama ini masih tetap dipertahankan oleh masyarakat muslim pesisir teluk Lampung.

D. Studi Review Terdahulu

Untuk mengetahui kelebihan dan kekurangan dari skripsi ini, kiranya perlu mereview kembali beberapa skripsi yang telah Penulis jadikan acuan dalam penulisan skripsi ini. Sejauh ini penulis belum menemukan skripsi/ tesis/ disertasi/ atau karya ilmiah lainnya yang secara khusus membahas tema atau judul yang serupa dengan penelitian ini yaitu mengenai TRADISI RUWATAN LAUT (NGUMBAI LAWOK) DI KELURAHAN KANGKUNG LAMPUNG DALAM PERSPEKTIF HUKUM ISLAM. Hemat penulis banyak buku-buku dan karya ilmiah lain yang memuat tentang sebagian atau keseluruhan dari tema atau judul yang serupa dengan penelitian ini, tanpa memaparkan data-data secara lengkap dan khusus mengenai permasalahan serupa.

Adapun buku yang penulis temukan di antaranya adalah “Islam Jawa” (Sufisme dalam Etika & Tradisi Jawa yang di tulis oleh Ahmad Khalil, M.Fil.i 2008). Di dalam buku ini menerangkan tentang kebudayaan Jawa, agama dan ritual seblang slametan guna keselamatan desa dan para penghuninya.


(27)

Adapun di dalam bentuk karya ilmiah skripsi yang mengangkat tradisi dalam masyarakat muslim Lampung adalah tentang Sebambangan Dalam Pernikahan Adat Lampung ditinjau dari Hukum Islam Pada Masyarakat Lampung Timur, Provinsi Lampung, Novendri Eka Saputra, Tahun 2009. Skripsi ini lebih memfokuskan pemasalahan kepada pemberian penjelasan dan gambaran tentang Sebambangan dalam pernikahan adat Lampung ditinjau dari hukum Islam.

Tinjauan Hukum Islam Terhadap Tradisi Seni Tari Jaipong Dalam Walimah Al-Urs Di Daerah Karawang Jawa Barat, skripsi ini ditulis oleh Aizuddin Bin Sayuti, Tahun 2009. Skripsi ini menerangkan pelaksanaan seni tari jaipong dalam Walimah Al-Urs yang telah ada dalam masyarakat daerah Karawang, yang merupakan tradisi atau cirri khas dari resepsi perkawinan yang ada dalam masyarakat, di tinjau dari Hukum Islam.

Studi review yang telah di paparkan di atas dalam bentuk skripsi lebih fokus pembahasannya kepada pelanggaran maupun permasalahan yang bersangkutan dengan praktek pernikahan di tinjau dari Hukum Islam, adapun penjelasan dari buku hanya menerangkan tradisi selametan (ruwatan) secara global di Jawa.

Sedangkan fokus penelitian skripsi yang akan dilakukan oleh penulis adalah untuk memberikan penjelasan dan gambaran tentang TRADISI RUWATAN LAUT (NGUMBAI LAWOK) DI KELURAHAN KANGKUNG LAMPUNG DALAM PERSPEKTIF HUKUM ISLAM, oleh karena itu penelitian ini


(28)

layak dan perlu dilakukan dan diharapkan dapat menjadi acuan bagi masyarakat khususnya dalam hal ini masyarakat Lampung.

E. Kerangka Teori

Beberapa teori yang digunakan dalam penelitian ini sebagai landasan pemikiran dan sebagai alat analisisnya.

1. Firman Allah SWT dalam surat An-Nisa’ (4) : 116, yang artinya adalah : Sesungguhnya Allah SWT tidak mengampuni dosa mempersekutukan (sesuatu) dengan Dia, dan Dia mengampuni dosa selain syirik bagi siapa yang dikehendaki-Nya. Barangsiapa yang yang mempersekutukan (sesuatu) dengan Allah SWT. Maka sesungguhnya ia telah tersesat sejauh-jauhnya.

2. Hadits Riwayat Bukhari dan Muslim yang artinya adalah : Dari Abu Hurairah rodhiallohuanhu. Sesungguhnya “Rasulullah SAW berssabda”, “Jauhilah tujuh hal yang membinasakan”. Sahabat bertanya, “Apakah itu, ya Rasul?” Nabi menjawab, “Syirik (Menyekutukan Allah SWT), sihir, membunuh jiwa yang di haramkan Allah SWT membunuhnya, kecuali dengan haq, memakan harta anak yatim, memakan riba, mundur dalam pertempuran, dan menuduh wanita yang baik-baik, bersih, lagi mukmin, melakukan zina”.

Dalil di atas menunjukkan dasar yang sangat jelas megenai pelarangan akan perbuatan syirik, bahwasanya kemusyrikan adalah dosa yang paling besar; dosa yang tak terampunkan. Musyrik adalah orang yang menyekutukan Allah.


(29)

Pada dasarnya orang musyrik memiliki kepercayaan kepada yang lain. Sehingga ia tidak sepenuhnya mempercayai keesaan dan kemahakuasaan Allah SWT.

Syirik merupakan salah satu dari tujuh hal yang membinasakan manusia. Karena syirik dapat menghancurkan Iman seseorang dan menjerumuskannya kedalam jurang api neraka. Idealnya syirik harus mendapat perhatian serius dari setiap muslim. Hal ini karena syirik adalah dosa besar yang tak bisa diampuni Allah SWT.

Di dalam kitab tauhid karangan Muhammad Abdul Wahab diterangkan bahwa meminta pertolongan atau berdoa kepada selain Alloh SWT adalah termasuk perbuatan syirik. Kemusyrikan bertentangan dengan tauhid karena tauhid adalah keyakinan akan kemahaesaan Allah SWT; sedangkan kemusyrikan tidak demikian. Orang musyrik mepercayai ada kekuatan lain selain Allah SWT, ada zat lain selain Allah SWT yang juga dapat menentukan sesuatu.

Dari uraian di atas, penulis menggap bahwa permasalahan tradisi Ruwat Laut (Ngumbai Lawok) sangat menarik untuk di teliti. Karena di dalamnya di duga akan adanya indikasi perbuatan yang menuju kearah kemusyrikan seperti meminta pertolongan kepada selain Allah SWT dan bersedekah ke laut sebagai ucapan rasa syukur akan hasil tangkapan ikan yang melimpah di setiap tahunnya.

F. Metode Penelitian dan Tehnik Penulisan

Di dalam penulisan skripsi ini, jenis data yang dibutuhkan adalah data kualitatif, dan penulis menggunakan sistem studi kepustakaan (Library Research), yaitu untuk memperoleh landasan teoritis yang ada kaitannya dengan judul yang


(30)

penulis bahas, dimana penelitian yang dilakukan dengan cara mengkaji dari buku-buku, makalah, artikel maupun dari website. Di sistem pnelitian lapangan (Field Research) yaitu dengan mengumpulkan data-data dari berbagai sumber, baik yang sifatnya primer yaitu wawancara;17 melakukan penelitian kepada pihak-pihak yang terkait secara langsung guna memperoleh gambaran data faktual dengan cara interview kepada tokoh masyarakat yang bersangkutan tentang pokok-pokok yang terkait dengan judul skripsi ini. Maupun bahan sekunder yaitu, berupa buku. literature, jurnal, dan tulisan lainnya yang mengkaji seputar tradisi ruwat laut (Ngumbai Lawok). Selanjutnya data-data primer dan sekunder di analisa dengan cara membuat pertimbangan-pertimbangan dan disusun secara sistematis serta logis dengan menggunakan metodologi penelitian deskriptif analisis yaitu tentang tradisi ruwatan laut masyarakat muslim pesisir teluk Lampung.

Sebagai sumber data primer dalam penulisan skripsi ini adalah data yang dikumpulkan peneliti langsung dari sumber utamanya, dalam penelitian ini adalah Upacara Tradisi Ruwat Laut (Ngumbai Lawok) di Kelurahan Kangkung, serta sumber-sumber hukum primer lainnya yang berhubungan dalam penelitian ini termasuk al-Qur’an, Hadist, buku Ushul al-fiqh, buku yang berjudul Islam Jawa (Sufisme dalam Etika dan Tradisi Jawa) dan buku Anatomi Masyarakat Islam. Disamping itu penulis melakukan wawancara dengan ulama dan tokoh adat masyarakat muslim pesisir Teluk Lampung.

17

Suharsini Arikunto, Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik, (Jakarta: PT. Rineka Cipta, 2006), h.220.


(31)

Sedangkan sumber data yang bersifat sekunder adalah penulis mengambil dari karya-karya lainnya yang tentunya relevan dengan pokok permasalahan yang penulis bahas yaitu tradisi ruwatan laut masyarakat pesisir teluk Lampung.

Adapun pedoman dalam penulisan skripsi ini, penulis menggunakan Pedoman Penulisan skripsi, cetakan ke-1 yang diterbitkan Fakultas Syari’ah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta tahun 2007.

G. Sistematika Penulisan

Untuk mempermudah para pembaca dalam memahami skripsi ini, maka dalam penyusunan skripsi ini penulis susun dalam lima bab dan masing-masing bab menjadi sub bab yaitu:

Bab Pertama, merupakan bab Pendahuluan, pada bab ini, terdapat hal-hal pokok yang di jadikan landasan berfikir penulis untuk penelitian skripsinya. Hal-hal yang terdapat pada bab ini antara lain memuat Latar Belakang Masalah, Pembatasan dan Perumusan Masalah, Tujuan dan Manfaat Penelitian, Review Studi Terdahulu, Metode Penelitian dan Teknik Penulisan Serta Sistematika Penulisan.

Bab Kedua, penulis mencoba memaparkan data hasil penelitian yaitu potret kelurahan kangkung lampung, tradisi ruwatan laut (Ngumbai Lawok) masyarakat muslim pesisir teluk Lampung, dan bab ini terbagi atas tiga sub bab, sub bab pertama penulis akan memberikan penjelasan mengenai Gambaran Umum Wilayah Kelurahan Kangkung yang di dalamnya dipaparkan mengenai


(32)

Historis berdirinya Kelurahan Kangkung, kemudian Letak Geografis Kelurahan Kangkung, kemudian tentang kependudukan Kelurahan Kangkung, pada sub bab yang ke dua penulis akan memaparkan tentang Kondisi Sosial Keagamaan dan Sarananya berisi pembahasan tentang keadaan masyarakat dalam memandang Agama Islam dalam praktik kehidupan soial dan sarana peribadatan, pada sub bab yang ke tiga penulis memaparkan arti ruwatan laut menurut masyarakat muslim pesisir teluk lampung, tata cara atau sistem pelaksanaan ruwatan laut, maksud dan tujuan pelaksanaan tradisi ruwatan laut.

Bab Ketiga, tentang kajian hukum Islam terhadap tradisi ruwatan laut di pesisir teluk Lampung. Tinjaun kepada Urf atau Kemusyrikan terhadap sistem pelaksanaan tradisi ruwatan laut masyarakat muslim pesisir Kelurahan Kangkung Lampung, Dan Urf yang dapat menuju kearah kemusyrikan, dan didalam bab ini terbagi menjadi tiga sub bab, yaitu sub bab yang pertama Tinjauan Metode ‘Urf mengenai tradisi ruwatan laut, pada sub bab kedua memaparkan Tinjauan Ilmu Tauhid atas tradisi ruwatan dan sub bab ketiga Tinjauan Metode Istihsan.

Bab Keempat, berisi analisis penulis mengenai tradisi ruwatan laut (Ngumbai Lawok) masyarakat muslim pesisir teluk Lampung dalam perspektif Hukum Islam, dan di dalam bab ini terdiri atas lima sub bab yaitu, sub bab yang pertama menjelaskan Pengertian dan Tujuan ruwatan laut (Ngumbai Lawok), Asal usul Ngumbai Lawok, Sebab-sebab terjadinya Ngumbai Lawok. Kemudian sub bab yang kedua menerangkan Aturan Pelaksanaan Tradisi Ruwatan Laut,


(33)

Tradisi ruwatan laut (Ngumbai Lawok) dalam perspektif hukum islam, sub bab ketiga memaparkan Tinjauan Fiqh Terhadap Ruwatan Laut (Ngumbai Lawok), pada sub bab keempat keterangan mengenai Standarisasi Tradisi Ruwatan Laut Terhadap Hukum Islam. Dan sub bab yang kelima atau yang terakhir adalah analisis penulis.

Bab Kelima, merupakan bab penutup yang terdiri dari kesimpulan (apakah tradisi ruwatan laut masyarakat muslim pesisir teluk Lampung bertentangan dengan Islam apa tidak), saran-saran (agar tradisi ruwatan laut tersebut dapat dilaksanakan tetapi dengan tutunan syari’at Islam sehingga tidak bertentangan), rekomendasi, serta dilengkapi dengan daftar pustaka dan lampiran-lampiran yang dianggap perlu.


(34)

23

A. Tinjauan Istihsan bi al-‘Urf Terhadap Tradisi Ruwatan 1. Pengertian Istihsan

Secara etimologi, istihsan berarti “menyatakan dan meyakini baiknya sesuatu. “Tidak terdapat perbedaan pendapat ulama ushul fiqh dalam mempergunakan lafadz istihsan dalam pengertian etimologi, karena lafadz yang seakar dengan istihsan banyak dijumpai dalam al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah saw. Misalnya, dalam surat al-Zumar (39): 18 Allah berfirman,1







ُ

...

)

ﺮﻣﺰﻟﺍ

/

٣٩

:

١٨

(

Artinya :

“Yang mendengarkan Perkataan lalu mengikuti apa yang paling baik di antaranya”....

Kemudian dalam sebuah riwayat dari ‘Abdullah ibn Mas’ud Rasulullah saw. bersabda:

ﻣ

ﺭﺎ

ﺁﻩ

ﹾﺍﹸﳌ

ﺴ

ﻠﻤ

ﻮ

ﹶﻥ

ﺣ

ﺴ

ﻨﹶﻓﺎ

ﻬ

ﻮ

ﻋﻨ

ﺪ

ِﷲﺍ

ﺣ

ﺴ

ﻦ

.

2 1

Ma’ruf Amin, Fatwa Dalam Sistem Hukum Islam, (Jakarta : eLsAs, 2008), Cet 1, h. 169-170.

2


(35)

Artinya :

Sesuatu yang dipandang baik oleh umat Islam, maka di sisi Allah itu juga baik (H.R. Ahmad ibn Hanbal)...

Abdul Wahab Khalaf menyebutkan pula, bahwa yang dimaksud dengan istihsan ialah:

ﻫ

ﻮ

ﻋ

ﺪ

ﻭ

ﹸﻝ

ﹸﳌﺍ

ﺠ

ﺘﹺﻬ

ﺪ

ﻦﻋ

ﻣﹾﻘ

ﺘ

ﻀ

ﻗﻴ

ﹴﺱﺎ

ﻠﺟ

ﻲ

ﻀﺘﹾﻘﻣ ﻰﹶﻟﺇ

ﻗﻴ

ﹴﺱﺎ

ﺧ

ﻔ

ﻲ

،

ﹶﺃﻭ

ﻋ

ﻦ

ﺣ

ﹾﻜ

ﹴﻢ

ﹸﻛّﻠ

ﻲ

ﺍ ﹶﻟ

ﺣ

ﹾﻜ

ﹴﻢ

ﺍﺳ

ﺘﹾﺜﻨ

ﺎﺋ

ﹴﻲ

ﹴﻞﻴﻟﺪﻟ

ﻧﺍﹶﻘ

ﺪ

ﺡ

ﻓ

ﻋﹾﻘ

ﻠﻪ

ﺭ

ﺟ

ﺢ

ﹶﻟﺪ

ﻳﻪ

ﻫ

ﹶﺬﺍ

ﹾﻟﺍﻌ

ﺪ

ﻭ

ﹸﻝ

.

3

Artinya :

Istihsan ialah berpindahnya seorang mujtahid dari ketentuan qiyas yang jelas kepada ketentuan qiyas yang samar (tersembunyi), atau dari ketentuan yang kulliy (umum)kepada ketentuan hukum yang sifatnya khusus, karena menurut pandangan mujtahid itu adalah dalil (alasan) yang lebih kuat yang menghendaki perpindahan dimaksud.

Sementara itu, menurut Imam al-Bazdawi, sebagaimana dikutip oleh Abdul Karim Zaidan, bahwa yang dimaksud dengan Istihsan ialah:

ﻫ

ﻮ

ﻋ

ﺪ

ﻭ

ﹲﻝ

ﻋ

ﻦ

ﻣﻮ

ﹺﺟ

ﹺﺐ

ﻗﻴ

ﹴﺱﺎ

ﺍﹶﻟ

ﻗﻴ

ﹴﺱﺎ

ﹶﺃﹾﻗ

ﻮ

ﻣﻨ

ﻪ

ﹶﺃﻭ

ﻫ

ﻮ

؛

ﺗ

ﺨ

ﺼ

ﻴ

ﺺ

ﻗﻴ

ﹴﺱﺎ

ﹺﺑﺪ

ﻟﻴ

ﹴﻞ

ﹶﺃﹾﻗ

ﻮ

ﻣﻨ

ﻪ.

4 3

Abdul Wahab Khalaf, ‘Ilm Ushul al-Fiqh,( Kairo: Maktabah al-D’wah al-Islamiyah, 1990). Cet VIII, h. 79.

4

Abdul Karim Zaidan, al-Wajiz Fi Ushul Fiqh. (Baghdad: al-Dar al-Arabiyah Littiba’ah, 1971), Cet. Ke-VI, h. 230.


(36)

Artinya :

Istihsan ialah berpindah dari seharusnya menggunakan suatu qiyas kepada ketentuan qiyas yang lain yang lebih kuat atau pengkhususan ketentuan qiyas dengan dalil yang lebih kuat.

2. Pengertian Istihsan Bi Al-‘Urf

Istihsan dengan ‘urf atau konvensi yang umum berlaku. Artinya meninggalkan apa yang menjadi konsekwensi qiyas menuju hukum lain yang berbeda karena ‘urf yang umum berlaku baik ‘urf yang bersifat perkataan maupun perbuatan, atau karena adanya ‘urf yang sudah biasa dipraktikkan dan sudah dikenal dalam kehidupan masyarakat.

Istihsan jenis ini menurut Husain Hamid Hassan, sebenarnya kembali kepada masalah kepentingan umum, karena dasarnya adalah pemeliharaan ‘urf dan adat-adat masyarakat. Pemeliharaan ‘urf-urf dan adat-adat itu berarti memberikan kemudahan serta menghilangkan kesulitan.5

Salah satu contoh Istihsan dengan ‘urf yang bersifat yang berupa perkataan adalah jika seseorang bersumpah untuk tidak masuk ke dalam rumah manapun, lalu ternyata ia masuk ke dalam mesjid, maka dalam kasus ini ia tidak dianggap telah melanggar sumpahnya, meskipun Allah menyebut mesjid dengan sebutan rumah (al-bait) dalam firman-Nya:

5

DR. Iskandar Usman, Istihsan dan Pembaharuan Hukum Islam, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1994), cet ke-1, h. 48.


(37)









.

)

ﺭﻮﻨﻟﺍ

:

٢٤

/

۳٦

(

Artinya:

“Dalam rumah-rumah yang Allah izinkan untuk diangkat dan dikumandangkan Nama-Nya di dalamnya.”

Namun ‘urf yang berlaku di tengah masyarakat menunjukkan bahwa penyebutan kata “rumah” (al-bait) secara mutlak tidak pernah digunakan untuk mesjid. Itulah sebabnya, orang yang bersumpah tersebut tidak menjadi batal sumpahnya jika ia masuk ke dalam mesjid.6

Adapun contoh Istihsan dengan ‘urf yang berupa perbuatan adalah memberikan upah berupa pakaian dan makanan kepada wanita penyusu (murdhi’ah). Pada dasarnya, menetapkan upah yang telah tertentu dan jelas itu dibolehkan secara syara’. Sementara pemberian upah berupa pakaian dan makanan dapat dikategorikan sebagai upah yang tidak jelas batasannya (majhul). Dan kaidah yang umum menyatakan bahwa sesuatu yang majhul tidak sah untuk dijadikan sebagai upah. Akan tetapi Imam Abu Hanifah membolehkan hal itu atas dasar Istihsan, karena sudah menjadi ‘urf untuk melebihkan upah untuk wanita penyusu sebagai wujud kasih-sayang pada anak yang disusui.7

6

Abu Ishaq Ibrahim ibn Musa al-Syathiby, Tahqiq: Syekh ‘Abdullah Darraz, Al-Muwafaqat fi Ushul al-Syari’ah, (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah, 1411), Cet-1, h. 117.

7

Sya’ban Muhammad Isma’il, Ushul Fiqh al-Muyassar, (Kairo: Dar al-Kitab al-Jami’iy, 1415 H), Cet. 1, h. 87.


(38)

Sehubungan dengan pemeliharaan kepentingan umum yang menempati hukum darurat itu, al-Sarakhsi telah mengingatkan kepada kemaslahatan yang merupakan kepentingan umum dengan ucapannya: sesungguhnya istihsan adalah meninggalkan qiyas dan berpegang kepada sesuatu yang lebih sesuai dengan kebutuhan manusia.8

Imam Malik mengatakan bahwa mazhabnya meninggalkan dalil umum karena ada ‘urf.9 Ia menolak sumpah karena ‘urf. Kalau seseorang bersumpah tidak akan memasuki rumah, maka qiyas lafzhi, menurut bahasa, memasuki setiap tempat yang bernama rumah seperti Mesjid berarti melanggar sumpah. Akan tetapi Malik melakukan Istihsan dengan mentakhsishskan umum lafazh dengan ‘urf dan kebiasaan dalam praktek. Menurut Malik, masuk Mesjid tidaklah melanggar sumpah karena mesjid tidak dinamakan rumah dalam ;urf pembicaraan.

Dalam sistem hukum Romawi, apalagi sistem hukum Adat, Adat ini menjadi sumber hukum. Dalam sistem hukum Islam, al-Adat dijadikan salah satu unsur yang dipertimbangkan dalam menetapkan hukum. Penghargaan hukum Islam terhadap adat ini menyebabkan sikap toleransi dan memberikan pengakuan terhadap hukum yang berdasar adat menjadi hukum yang diakui oleh hukum Islam. Walaupun demikian pengakuan tersebut tidak mutlak, tetapi harus

8

Sya’ban Muhammad Isma’il, Ushul Fiqh al-Muyassar, (Kairo: Dar al-Kitab al-Jami’iy, 1415 H), Cet. 1, h.48.

9

‘Urf ialah sesuatu yang telah berkembang dan terkenal dalam masyarakat tidak dipandang jijik dan buruk. Lihat Hasbi Ash-Hiddieqy, Falsafah Hukum Islam, selanjutnya disebut, , (Bulan Bintang, Jakarta, 1998), Cet. Ke-III h. 87.


(39)

memenuhi syarat-syarat tertentu. Hal ini adalah wajar demi untuk menjaga nilai-nilai, prinsip-prinsip dan identitas hukum Islam. Karena hukum Islam bukanlah hukum yang menganutnsistem terbuka secara penuh, tetapi bukan pula sistem tertutup secara ketat. “Urf yang shahih menambahkan vitalitas dan dinamika hukum Islam.10

3. Istihsan Sebagai Dasar Menetapkan Hukum

Menurut golongan Hanafiah, istihsan itu bisa menjadi dalil syarak. Istihsan dapat menetapkan hukum yang berbeda dengan hukum yang ditetapan oleh qiyas atau umum nas. Tegasnya menurut mereka, istihsan dapat dijadikan dalil (hujjat).

Al-Tafzani mengatakan bahwa istihsan adalah salah satu dari dalil-dalil yang disepakati oleh para ulama, karena istihsan didasarkan kepada nas, atau kepada ijmak, atau kepada darurat, atau kepada qiyas khafi.11

Untuk mendukung kehujjahan istihsan, Ulama Hanafiyah, Malikiyyah dan sebagian ulama Hanabilah, mengemukakan alasan Istihsan merupakan dalil yang kuat dalam menetapkan hukum syara’. Alasan yang mereka kemukakan adalah:12 1. Ayat- ayat yang mengacu kepada mengangkatkan kesulitan dan kesempitan

dari umat manusia, yaitu firman Allah swt dalam surat al-Baqarah, 2: 185:

10

Prof. H. A. Djazuli, Ilmu Fiqh (Penggalian, Perkembangan. Dan Penerapan Hukum Islam), (Jakarta, Kencana, 2005), Cet ke-5, hlm.89

11

Al-Taftazani, Syarah al-Talwih ’Ala al-Tawdih, (Dar al-Kutub al-’Ilmiyyat, Beirut), Juz II, h.82.

12


(40)

...

..

.

)

ﺓﺮﻘﺒﻟﺍ

:

٢

/

١٨۵

(

Artinya:

....Allah swt menghendaki kemudahan bagi kaum dan tidak menghendaki kesukaran bagi kamu...

Surat az-Zumar (39): 18 yang berbunyi:









...

)

ﺮﻣﺰﻟﺍ

/

۳۹

:

١٨

(

Artinya :

“Yang mendengarkan Perkataan lalu mengikuti apa yang paling baik di antaranya”

Surat az-Zumar (39): 55 yang berbunyi:





....

)

ﺮﻣﺰﻟﺍ

/

۳۹

:

٥٥

(

Artinya :

“Dan ikutilah Sebaik-baik apa yang telah diturunkan kepadamu dari Tuhanmu”

Ayat pertama, menurut mereka, memuji orang-orang yang mengikuti pendapat yang paling baik. Sedangkan ayat kedua memerintahkan untuk mengikuti yang paling baik dari apa yang diturunkan Allah.

2. Sedangkan sunnah yang mereka jadikan dalil adalah hadits Rasulullah dalam riwayat ‘Abdullah ibn Mas’ud mengatakan:


(41)

ﹶﺎﻣ

ﺭﺁ

ﻩ

ﹾﻟﺍﻤ

ﺴ

ﻠﻤ

ﻮ

ﹶﻥ

ﺣ

ﺴ

َﻨﺎ

ﹶﻓﻬ

ﻮ

ﻋﻨ

ﺪ

ِﷲﺍ

ﺣ

ﺴ

ﻦ

.

13

Artinya :

“Sesuatu yang dipandang baik oleh umat Islam, maka ia juga di hadapan Allah adalah baik.”(H.R. Ahmad ibn Hanbal).

Hasil penelitian dari berbagai ayat dan hadits terhadap berbagai permasalahan yang terperinci menunjukkan bahwa memberlakukan hukum sesuai dengan kaidah umum dan qiyas adakalanya membawa kesulitan bagi umat manusia, sedangkan syari’at Islam ditujukan untuk menghasilkan dan mencapai kemaslahatan manusia. Oleh sebab itu, apabila seorang mujtahid dalam menetapkan hukum memandang bahwa kaidah umum atau qiyas tidak tepat diberlakukan, maka ia boleh berpaling kepada kaidah lain yang akan dapat memberikan hukum yang lebih sesuai dengan kemaslahatan umat manusia.14 4. Kajian Istihsan bi al-‘Urf Terhadap Hukum Pelaksanaan Tradisi Ruwatan

Di dalam penjelasan yang telah penulis terangkan di atas, bahwa jalan untuk mengecualikan sesuatu masalah dari nash yang telah ada karena dikehendaki maslahat ummat, ialah : sumber istihsan. Istihsan ini walaupun tidak merupakan suatu dalil yang berdiri sendiri, namun dia menyingkapkan jalan yang ditempuh sebahagian mujtahidin dalam menerapkan dalil-dalil syara’ dan kaidah-kaidahnya di etika bertentangan dalil-dalil itu dengan kenyataan yang

13

Ahmad Ibn Hanbal, Musnad al-Imam Ahmad Ibn Hanbal, Jilid I, Dar Shadir, hlm. 379.

14


(42)

berkembang di dalam masyarakat untuk menghilangkan kepicikan dan kemadharatan serta menghasilkan kemanfaatan dengan jalan menerapkan dasar-dasar syari’at dan sumber-sumbernya.15

Istihsan adalah suatu dalil yang terkuat menunjukkan bahwa Hukum Islam adalah suatu hukum yang berkembang dalam masyarakat yang diistilahkan dengan fiqh waq’I bukan suatu fiqh khayali yang merupakan fiqh bayangan sebagai yang digambarkan oleh sebagian orang yang tidak mengetahui hakekat fiqh Islam atau ingin menjauhkan manusia dari padanya.16

Di dalam menghadapi masalah tradisi ruwatan dan pelaksanaannya, dapat kita terapkan masalah itu mengingat maslahat dari padanya, dengan mempergunakan dasar istihsan yang disandarkan dengan Al-‘Urf. Al-‘Urf atau yang lebih kita kenal dengan adat kebiasaan, ialah :17 “Adat (kebiasaan) ialah sesuatu yang telah terkenal di seluruh masyarakat atau sama dikenal oleh manusia dan telah menjadi suatu kebiasaan yang digemari oleh mereka, serta berlaku di dalam peri kehidupan mereka. Baik berupa ucapan atau perbuatannya dan atau hal meniggalkan sesuatu juga disebut adat.

Hal ini berlaku dalam pemakaian kata-kata dan dalam adat istiadat. Mempergunakan adat kebiasaan dan ‘Urf manusia sebagai dasar hukum dalam

15

Hasbi Ash-Shiddieqy, Falsafah Hukum Islam, (Jakarta, Bulan Bintang, 1975), h.314 16

Hasbi Ash-Shiddieqy, Falsafah Hukum Islam, (Jakarta, Bulan Bintang, 1975), h. 314 17

Abdul Wahhab Khallaf, Kaidah-kaidah Hukum Islam Ilmu Ushul Fiqh, (Jakarta, PT Raja Grafindo Persada,2002) Cet 8, h.130.


(43)

bidang adat, masuk ke dalam bab memelihara kemaslahatan masyarakat dan menghindarkan mereka dari kesempitan.18

Al-Qarafi berkata :

Sesungguhnya segala hukum itu berlaku menurut ‘Urf dan adat kebiasaan dan berpindahlah seseorang ahli fiqh dengan berpindahnya adat itu. Di antara kebodohan para mufti, ialah kebekuannya atas nash yang terdapat dalam kitab-kitab yang telah ada tanpa berpaling kepada perubahan ‘Urf (adat masyarakat).”.19

Di antara para ulama ada yang berkata, “Adat adalah syariat yang dikukuhkan sebagai hukum”, Begitu juga ‘urf menurut syara’ mendapat pengakuan hukum. Para Imam juga membina hukum atas ‘Urf masyarakat. Banyak hukum yang dibina Imam Malik atas ‘Urf penduduk Madinah. Asy Syafi’I, banyak hukum yang dibinanya atas ‘Urf penduduk Mesir; dalam madzhab Jadidinya.20

Dalam pada itu dihargai sesuatu ‘Urf sebagai sumber hukum apabila terdapat padanya 3 (tiga) syarat ini :

“Yang pertama: ‘Urf itu tidak berlawanan dengan nash yang tegas. Yang kedua: Apabila adat itu telah menjadi adat yang terus menerus berlaku dan berkembang dalam masyarakat. Yang ketiga: ‘urf itu merupakan ‘Urf yang

18

Hasbi Ash-Shiddieqy, Falsafah Hukum Islam,(Jakarta, Bulan Bintang, 1975), h. 475

19

Hasbi Ash-Shiddieqy, Falsafah Hukum Islam, (Jakarta, Bulan Bintang, 1975), h. 476. 20

Rachmat Syafe’i, Ilmu Ushul Fiqh, , (Bandung, CV. Pustaka Setia, 1999), Cet Ke-1, hlm.129


(44)

umum, karena hukum yang umum tidak dapat ditetapkan dengan ‘Urf yang khas”.

Ringkasnya ‘Urf itu ada yang fasid, ada yang shahih. Yang fasid, yaitu sesuatu yang telah saling dikenal manusia, tetapi bertentangan dengan syara’, atau menghalalkan yang haram dan membathalkan yang wajib. Seperti adanya saling pengertian di antara manusia tentang beberapa perbuatan munkar dalam upacara kelahiran anak, juga tentang memakan barang riba dan kontrak judi, adat menyuguhkan minuman keras kepada para tamu dalam upacara-upacara perkawinan. Adat-adat yang serupa ini harus dikikis habis, jika tidak, maka dengan berangsur-angsur hilanglah ciri-ciri keagamaan.21

Yang shahih, ialah yang tidak menghalalkan yang haram dan tidak mengharamkan yang halal, seperti adat memberikan hadiah kepada pengantin perempuan, sebelum bersanding dan seperti adat membayar mahar secara hutang. ‘Urf ini harus dipelihara karena apabila difatwakan yang lain dari yang telah dibiasakan, sedang perbuatan mereka tidak berlawanan dengan nash, tentulah timbul kepicikan dan kesukaran.22

Dapat kita ambil contoh seperti Bangsa Arab, ketika Islam datang, mempunyai tradisi dan kesenangan yang sukar dihilangkan dalam sekejap saja.

21

Rachmat Syafe’i, Ilmu Ushul Fiqh, (Bandung, CV. Pustaka Setia, 1999), Cet Ke-1, hlm.129 22


(45)

Apabila dihilangkan sekaligus, akan menyebabkan timbulnya konflik, kesulitan dan ketegangan bathin.23

Dalam sosiologi Ibnu Khaldun dinyatakan bahwa “suatu masyarakat (tradisional atau yang tingkat intelektualnya masih rendah) akan menentang apabila ada sesuatu yang baru atau sesuatu yang akan dating kemudian dalam kehidupannya, lebih-lebih apabila sesuatu yang baru tersebut bertentangan dengan tradisi yang ada”. Masyarakat akan senantiasa memberikan respon apabila timbul sesuatu di tengah-tengah mereka.24

Dengan mengingat faktor tradisi dan ketidaksenangan manusia untuk menghadapi perpindanhan sekaligus dari suatu keadaan kepada keadaan lain yang asing sama sekali bagi mereka, al-Qur’an diturunkan berangsur-angsur, surat demi surat dan ayat demi ayat sesuai dengan peristiwa, kondisi, dan situasi yang terjadi. Dengan cara demikian, hokum yang diturunkannya lebih disenangi oleh jiwa dan lebih mendorong kea rah mentaatinya, serta bersiap-siap meninggalkan ketentuan lama dan menerima ketentuan baru.25

23

Ahmad Hanafi, Pengantar dan Sejarah Hukum Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1991), Cet ke-VI, h. 29.

24

Fathurrahman Djamil, Filsafat Hukum Islam, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997). Cet ke-1, h.69.

25

Fathurrahman Djamil, Filsafat Hukum Islam, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997). Cet ke-1, h. 29-30.


(46)

B. Tinjauan Tauhid 1. Pengertian Tauhid

Tauhid, sebagai sebuah kata, telah melalui tahapan-tahapan perkembangan makna.26 Pada tahapan pengertian bahas, kata tauhid berasal dari kata kerja “wahhada yuwahhidu-tawhidan” yang berarti “menyatukan”. Maksudnya adalah mengesakan, yaitu mengesakan Allah SWT. Dalam Lisan al- Arab, kata tauhid diartikan dengan “percaya kepada Allah SWT. Sebagai satu-satunya Tuhan dan tidak berbuat syirik terhadp-Nya”. Tauhid adalah bentuk mashdar tau infinitive dari kata kerja “wahhada” yang merupakan derivasi dari akar kata “wahdah”, artinya keesaan.27 Perkataan tauhid yang berasal dari bahasa Arab itu kemudian diserap kedalam bahasa Indonesia dengan arti keesaan Allah28 sehingga kata menauhidkan berarti mengakui keesaan Allah SWT.29

Pada tahap berikutnya pengertian tauhid mengalami perluasan makna. Tauhid ketika itu didefinisikan sebagai “mengeskan Allah SWT. sebgai Tuhan (Rububiyyah), sembahan (Uluhiyyah), dengan segaala nama, sifat dan

26

Ibrahim Muhammad al-Buraykan, Pengantar Studi Islam, terj. Hasan M. Fadil, (Jakarta: Rabbani Press, 1998), cet ke-1, h.7.

27

Dewan Ensiklopedia Islam, Ensiklopedia Islam, jilid v, (Jakarta: Ichtiar Baru van Houve, 1994), cet Ke-3, h. 90.

28

Muhammad Ngafenan, Kamus Etologi Bahasa Indonesia, (Semarang: Dahara Priza, 1990), cet ke-2, h. 171.

29

Depdikbud, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1990), cet. Ke-3, h. 907-908.


(47)

Nya”.30 Kata tauhid merupakan kata benda kerja (verbal noun) aktif (yakni, memerliukan pelengkap penderita atau objek), yang berasal dari kata “wahid” yang artinya “Satu” atau “Esa”. Maka makna harfiah tauhid adalah “menyatukan” atau “mengesakan”. Bahkan dalam generiknya juga digunakan untuk arti “mempersatukan” hal-hal yang berserah atau terpecah-pecah seperti penggunaanya dalam bahasa Arab “tawhid al-Kalimah” yang berarti “mempersatukan paham” dan dalam ungkapan “tawhid al-Quwwah” yang berarti “mempersatukan kekuatan”.31

Sedangkan dalam Ensiklopedia Islam, tauhid diambil dari kata “wahhada”, yang berarti “mengesakan”, menyatakan atau mengakui Yang Maha Esa. Sebuah pengakuan atas keesaan Allah SWT yang tidak dapat dibagi-bagi, yang mutlak, dan sebgai satu-satuny Yang Maha Nyata.

Dalam teologi, kata ini berarti pernyataan bahwa tidak ada Tuhan selain Allah SWT. Sebgai istilah teknis dalam ilmu kalam (yang diciptakan oleh para mutakallimin atau ahli teologi dialektis Islam), kata tauhid dimaksudkan sebgai paham “memahaesakan Tuhan” atau lebih sederhananya paham “Ketuhanan Yang Maha Esa” atau monoteisme. Meskipun bentuk harfiah kata tauhid itu sendiri tidk terdapat dalam al-Qur’an (yang ada dalam al-Qur’an adalah kata-kata “ahad” atau “wahid”), namun istilah ciptaan kum mutakallimin itu memang secara tepat

30

Ibrahim Muhammad al-Buraykan, Pengantar Studi Islam, terj. Hasan M. Fadil, (Jakarta: Rabbani Press, 1998), cet ke-1, h. 7

31

Nurcholis Madjid, Islam, Doktrin dan Peradaban: Sebuah Telaah Kritis Tentang Masalah Keimanan, Kemanusiaan dan Kemoderenan, (Jakarta: Yayasan Wakaf Paramadina, 1992), cet. Ke-2, h. 72


(48)

mengungapkan isi pokok ajaran kitab suci itu, yaitu ajaran tentang “Memahaesakan Tuhan”. Bahkan secara jells tauhid juga menggambarkan inti ajaran semua nabi dan rasul yang diutus untuk setiap kelompok manusia di bumi hingga kelahiran Nabi Muhammad SAW., yaitu ajaran ketuhanan Yang Maha Esa.

Sedangkan secara terminologis, ada beberapa pengertian tauhid yang dikemukakan para ulama. Di antaranya adalah dikemukakan oleh ‘Ali bin Utsman al Hujwiri, Tauhid adalah menyatakan keesaan sesuatu dan memiliki pengetahuan yang sempurna tentang keesaannya. Karena Tuhan itu Esa, tanpa ada seutu dalam tindakan-tindakan-Nya.32 Mneurut Muhammad Abduh, tauhid adalah suatu ilmu yang membahasa tentang wujud Allah, tentang sifat-sifat yang wajib tetap pada-Nya, sifat-sifat yang boleh disiftkan kepada-Nya dan tentang sifat-sifat yang sama sekali wajib dilenyapkan dari-Nya, juga membahas tentang rasul-rasul Allah, meyakinkan kerasulan mereka, meyakinan apa yang wajib ada pada diri mereka, apa yang boleh dihubungkan kepada diri mereka dan apa yang terlarang menghubungkannya kepada diri mereka.33

2. Definisi Syirik

Pada umumnya, jika seseorang mendengar kata musyrik, maka yang terlintas dalam otaknya ialah penyembah patung, si penyembah berhala dan si penyembah api. Syirk (كﺮﺷ), artinya saham, andel, kongsi, kaperasi, kerja sama.

32

‘Ali Ibn Utsman al-Hujwiry, Kasyful Mahjub; Risalah Persia Tertua tentang Tasawuf, terj. Suwardjo Muthary dan Abdul Hadi W.M (Bandung: Mizan, 1993), cet. Ke-2, h. 251

33


(49)

Musyrik ialah ism Fa’il (ﻞﻋﺎﻔﻟا ﻢﺳا), pelaku dari syarika atau syirk, orang yang meyakini atau setidak-tidaknya beranggapan ada ekuatan yang dapat memberi manfaat atau mendatangkan mudharat, selain dari kekuasaan Allah. Menurut al-Qur’an syirk itu digolongkan dikategorikan pada zhulm, sebagaimana yang dikatakan al qur’an dalam surat Lukman ayat 13.34Pengenalan Syirik: Syirik berasal daripada perkataan Arab yang berarti “Berkongsi” atau “Bersepakat”. Mensyirikan Allah berarti menyekutukan Allah dengan benda-benda lain.35Yaitu seseorang menyamakan selain Allah dengan Allah pada perkara yang merupakan hak istimewa Allah seperti: Ibadah, mencipta, mengatur, memberi manfaat dan mudharat, membuat hukum dan syariat dan lain-lain.36

Pada pendapat yang lain definisi syirik ialah syirik berasal dari kata syarika, secara harfiah berarti kongsi, sekutu, rekan atau mengambil bagian pemegang andil. Menurut syariah, syirik mempunyai arti kemusyrikan atau pemujaan berhala. Sejak seseorang menghubungkan makhluk-makhluk lainnya dengan Allah, dia disebut musyrik. Lawan dari syirik adalah tauhid, yang dapat diartikan penolakan terhadap segala rupa perseutuan dengan Allah SWT.37

Dalam hal ini al-Qur’an menegaskan:

34

Zainal Arifin Djarmis, Islam Aqidah & Syari’ah, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1996), Jilid 1, Cet. 1, h 226.

35

Http:// Warkah Rohani, Membersihkan diri dari noda Syirik, Januari 06, 2004, Selasa, Diakses pada Maret 12, 2009.

36

Perdana Akhmad, anggota tim terapi Ruqyah cabang Jogyakarta, Membongkar kesesatan perilaku syirik masyarakat Indonesia, (Lampung; Ruqyah Media Pustaka, Mei 2005), Cet. 1, h. 82.

37

Muhamad Ibrahim H.i. Surty, Al-Qur’an membasmi syirik, (Jakarta; Panjimas, 1987). Cet. 1, h. 20.


(50)

...







)

ﻡﺎﻌﻧﹰﻻﺍ

/

٦

:

١۹

(

Artinya :

“Katakanlah: "Sesungguhnya Dia adalah Tuhan yang Maha Esa dan Sesungguhnya aku berlepas diri dari apa yang kamu persekutukan (dengan Allah)".

Syirik terbagi dalam dua bagian: Syirik jali atu syirik khafi. Yaitu syirik yang terang seperti menyembah berhala, puja kubur, puja pohon kayu yang dianggap keramat, puja pantai dan seumpamanya, ke semua itu adalah kerja-kerja syirik.38Dalam Al-Qur’an Syirik telah didefinisikan sebgai berikut:39

1. Syirik adalah dosa yang besar

...



)

ﺀﺎﺴﻨﻟﺍ

/

٤

:

٤٨

(

Artinya :

“Barangsiapa yang mempersekutukan Allah, Maka sungguh ia telah berbuat dosa yang besar”...

2. Syirik adalah kedzaliman yang besar

...





)

ﻥﺎﻤﻘﻟ

/

۳١

:

١۳

(

Artinya :

“Sesungguhnya mempersekutukan (Allah) adalah benar-benar kezaliman yang besar".

38

Tuan Guru Nik Abdul Aziz Nik Mat, Tafsir Surah At-Taubah, (Bangi, Selangor; As-Syahab media, 1999), Cet. 1, h. 132.

39

Syaikh Ja’far Subhani, Tauhid dan Syirik, Studi Kritis fahaman wahbi, Al-Baqir: (Bandung, Mizan, januari 1987), Cet. Ke-1, h. 31.


(51)

3. Syirik menunjukkan kesesatan seseorang

...



)

ﺀﺎﺴﻨﻟﺍ

/

٤

:

١١٦

(

Artinya :

“Barangsiapa yang mempersekutukan (sesuatu) dengan Allah, Maka Sesungguhnya ia telah tersesat sejauh-jauhnya.”

4. Seseorang yang melakukan syirik diharamkan memasuki surga

...











.

)

ﺓﺪﺋﺎﳌﺍ

/

٥

:

٧٢

(

Artinya :

...Sesungguhnya orang yang mempersekutukan (sesuatu dengan) Allah, Maka pasti Allah mengharamkan kepadanya surga, dan tempatnya ialah neraka. 5. Penganut syirik adalah mussuh bagi Ahli Tauhid (orang Islam).













...

ﺍ)

ﺓﺪﺋﺎﳌﺍ

/

٥

:

٨٢

(

Artinya :

“Sesungguhnya kamu dapati orang-orang yang paling keras permusuhannya terhadap orang-orang yang beriman ialah orang-orang Yahudi dan orang-orang musyrik”.

Oleh karena itu, pokok utama setiap dakwah para Nabi dan Rasul sepanjang masa ialah menyeru manusia agar menunjukan ibadah hanya kepada Allah Yang Maha Esa, seraya menjauhkan diri dari menunjuannya kepada apa


(52)

dan siapa pun selain Nya.40 Tauhid dalam ibadat, serta pembebasan diri dari belenggu dan keberhalaan (watsaniyah) merupakan yang terpenting di antara ajaran-ajaran agama-agama samawi, dan paling menonjol diantara risalah-risalah para nabi.

3. Pandangan Tauhid Terhadap Prosesi Upacara Tradisi Ruwatan

Meski sudah memasuki era globalisasi, tradisi ruwatan masih tetap tumbuh subur di masyarakat. Tradisi ini bertujuan membebaskan seseorang dari pengaruh bahaya atau kutukan. Hingga kini, tradisi ruwatan yang biasa digelar pada bulan Suro ini, terkadang masih dapat kita dijumpai pada masyarakat muslim pesisir teluk lampung. Mereka percaya ruwatan ini mampu membebaskan seseorang dari marabahaya atau kutukan. Meski tradisi ini merupakan tradisi Jawa, banyak pula peserta yang bukan merupakan masyarakat Jawa.41

Upacara ritual tradisi ruwatan ini merupakan warisan budaya pra-Islam yaitu masa animisme-dinamisme-totemisme, dan hindu-Budha yang cenderung kearah mistis dan kemudian berbaur menjadi satu serta diakui sebagai agama Islam. Namun tidak semua muslim percaya dan menjalankan konsep-konsep pra-Islam ini. Akibatnya dalam masyarakat Jawa khususnya, berkembang dua variant agama Islam, yaitu sinkretis dan Islam puritan. Islam sinkretis yang kemudian diistilahkan dengan agami Jawi merupakan penganut Islam yang terpengaruh banyak oleh hal-hal yang bersifat mistis. Mereka masih menjalankan syariah agama

40

Syaikh Ja’far Subhani, Tauhid dan Syirik, studi kritis fahaman wahabi, h.31. 41


(53)

tetapi tidak sepenuhnya. Islam puritan merupakan penganut agama Islam yang lebih taat ter-hadap ajaran agamanya, meskipun tidak terlepas sama sekali dari penganut pra Islam.42

Gus Mus – Selaku Pengasuh Ponpes Roudhotul Thalibin Rembang -- menuturkan kaitan antara tradisi sosial masyarakat Indonesia (Ruwatan) itu dengan dakwah. Berikut penuturan Gus Mus :

” Ruwatan itu bermula dari dakwah Islam yang dilakukan Walisongo yang berdakwah dengan menggunakan kearifan sosial. Kalau di zaman moderen istilahnya kanalisasi. Misalnya, tradisi selamatan orang yang meninggal itu tidak ada dalam Islam. Tapi tradisi ini kemudian diisi ulama tradisional dengan membaca kalimat-kalimat thoyibah, dzikir, dan sedekah memberi makan orang miskin. Muatan-muatan agama itu diberikan dengan tidak terasa. Jadi agama dilakukan orang Jawa itu sebagai tradisi.43

Tetapi kalau kalangan Islam modern, yang mengacu pada teks Quran dan Hadist, akan mengatakan tidak boleh. Jadi ada dua pendapat; yang satu menyatakan apa yang tidak dilarang oleh agama itu boleh, lainnya berpendapat apa yang tidak ada dalam agama itu tidak boleh. Masing-masing pendapat ini ada pengikutnya.44

42

Koentjaraningrat, 1984, Kebudayaan Jawa, (Jakarta: Balai Pustaka), h 310. 43

Detik.com Kamis (21/6/2001).

44


(54)

Contoh lain ya agama yang dilakukan sebagai tradisi ya ruwatan itu. Ruwatan itu sama saja dengan orang berziarah kubur. Ziarah kubur itu bagi orang-orang Islam modern, yang selalu melihat pada teks, tidak boleh. Tapi menurut pendahulu kita, para ulama tradisional, datang ke kuburan itu baik. Mengingatkan akan mati. Di sana baca dzikir itu dianjurkan. Jadi yang satu terlalu hati-hati, yang satu lagi yakin tidak akan terpeleset sebab sudah bersyahadat”.45

Ruwatan itu ada yang menyebutnya adat, ada pula yang menilainya sebagai kepercayaan. Islam memandang, adat itu ada dua macam, adat yang mubah (boleh) dan adat yang haram. Sedang mengenai kepercayaan, itu sudah langsung haram apabila bukan termasuk dalam Islam.

Adat yang boleh contohnya blangkon (tutup kepala) untuk orang Jawa. Itu tidak dilarang dalam Islam. Tetapi kemben, pakaian wanita yang hanya sampai dada bawah leher, itu haram, karena tidak menutup aurat. Tetapi kalau dilengkapi dengan kerudung, menutup seluruh tubuh dan juga menutup rambut kepala, maka tidak haram lagi, jadi boleh. Hanya saja namanya bukan kemben lagi tapi busana Muslimah atau jilbab, kalau jelas-jelas sudah menutup aurat secara Islam.46

Adat yang boleh, seperti blangkon tersebut pun, kalau disamping sebagai adat masih pula diyakini bahwa akan terkena bahaya apabila tidak memakai

45

Muhaimin Iqbal.html. Wed, 20 Jun 2001.

46

AM Saefuddin, Ruwatan dalam Perspektif Islam, Harian Terbit, Jum’at 11 Agustus 2000, hal 6


(55)

blangkon (yang kaitannya dengan kekuatan ghaib) maka sudah menyangkut keyakinan/kepercayaan, hingga hukumnya dilarang atau haram, karena tidak sesuai dengan Islam. Keyakinan yang dibolehkan hanyalah yang diajarkan oleh Islam.

Demikian pula ruwatan, sekalipun ada yang mengatakan bahwa itu merupakan adat, namun karena menyangkut hal ghaib, berkaitan dengan nasib sial, bahaya dan sebagainya; maka jelas merupakan keyakinan batil, karena Islam tidak mengajarkan seperti itu.

Sedang keyakinan adanya bala’ akibat kondisi dilahirkannya seseorang itupun sudah merupakan pelanggaran dalam hal keyakinan, yang dalam Islam terhitung syirik, menyekutukan Allah Subhanahu wa Ta’ala, sedang orangnya disebut musyrik, pelaku durhaka terbesar dosanya. Tidak ada dalil yang menunjukkan benarnya keyakinan itu, namun justru ada ketegasan bahwa meyakini nasib sial dengan alamat-alamat seperti itu adalah termasuk tathoyyur, yang hukumnya syirik, menyekutukan Allah SWT; dosa terbesar.47

Tathoyyur atau Thiyaroh adalah merasa bernasib sial, atau meramal nasib buruk karena melihat burung, binatang lainnya, atau apa saja.

Abu Dawud meriwayatkan hadits marfu’ dari Ibnu Mas’ud ra:

47

Maulana, Tabloid Jum’at, Dewan Masjid Indonesia, Jakarta, No. 743 Thn XVII, 9 Rajab/4 Agustus 2006, hlm 5


(56)

ﹺﻞّﹸﻛﻮّﺘﻟﺎﹺﺑ ﻪﺒﻫﹾﺬﻳ ﻪّﹶﻠﻟﺍ ّﻦﻜﹶﻟﻭ ، ّﹶﻻﹺﺇ ﺎّﻨﻣ ﺎﻣﻭ ٌ،ﻙﺮﺷ ﹸﺓﺮﻴّﻄﻟﺍ ،ﻙﺮﺷ ﹸﺓﺮﻴّﻄﻟﺍ

.

48

Artinya :

”Thiyarah adalah syirik, thiyarah adalah syirik, dan tiada seorangpun dari antara kita kecuali (telah terjadi dalam hatinya sesuatu dari hal ini), hanya saja Allah menghilangkannya dengan tawakkal kepada-Nya.” (HR. Abu Daud)

Hadits tersebut diatas diriwayatkan juga oleh At-Tirmidzi dengan dinyatakan shahih, dan kalimat terakhir tersebut dijadikannya sebagai ucapan dari Ibnu Mas’ud.

ﹶﻝﺎﹶﻗ ﻭﹴﺮﻤﻋ ﹺﻦﺑ ﻪّﹶﻠﻟﺍ ﺪﺒﻋ ﻦﻋ

-ﻢﻠﺳﻭ ﻪﻴﻠﻋ ﷲﺍ ﻰﻠﺻ ﻪّﹶﻠﻟﺍ ﹸﻝﻮﺳﺭ ﹶﻝﺎﹶﻗ

.

ﻦﻣ

ﺔﺟﺎﺣ ﻦﻣ ﹸﺓﺮﻴّﻄﻟﺍ ﻪﺗّﺩﺭ

,

ﻙﺮﺷﹶﺃ ﺪﹶﻘﹶﻓ

.

ﻚﻟﹶﺫ ﹸﺓﺭﺎّﹶﻔﹶﻛ ﺎﻣ ﻪّﹶﻠﻟﺍ ﹶﻝﻮﺳﺭ ﺎﻳ ﺍﻮﹸﻟﺎﹶﻗ

؟

ﹶﻝﺎﹶﻗ

,

ﻢﻫﺪﺣﹶﺃ ﹶﻝﻮﹸﻘﻳ ﹾﻥﹶﺃ

,

ﻴﺧ ّﹶﻻﹺﺇ ﺮﻴﺧ ﹶﻻ ّﻢﻬّﹶﻠﻟﺍ

ﻪﹶﻟﹺﺇ ﹶﻻﻭ ﻙﺮﻴﹶﻃ ّﹶﻻﹺﺇ ﺮﻴﹶﻃ ﹶﻻﻭ ﻙﺮ

ﻙﺮﻴﹶﻏ

.

49

Artinya:

Imam Ahmad meriwayatkan hadits dari Ibnu ‘Amr bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa yang mengurungkan hajatnya karena thiyarah, maka dia telah berbuat syirik.” Para sahabat bertanya, ”Lalu apakah sebagai tebusannya?” Beliau menjawab, ”Supaya mengucapkan,

ﻙﺮﻴﹶﻏ ﻪﹶﻟﹺﺇ ﹶﻻﻭ ﻙﺮﻴﹶﻃ ّﹶﻻﹺﺇ ﺮﻴﹶﻃ ﹶﻻﻭ ﻙﺮﻴﺧ ّﹶﻻﹺﺇ ﺮﻴﺧ ﹶﻻ ّﻢﻬّﹶﻠﻟﺍ

.

50

48

Muhammad At-Tamimi, terjemahan Muhammad Yusuf Harun, Kitab Tauhid, Jakarta: Darul Haq, cet. Ke- III, 1420H/1999, hlm. 150

49

Muhammad At-Tamimi, terjemahan Muhammad Yusuf Harun, Kitab Tauhid, Jakarta: Darul Haq, cet. Ke- III, 1420H/1999, hlm. 150

50

Muhammad At-Tamimi, terjemahan Muhammad Yusuf Harun, Kitab Tauhid, Jakarta: Darul Haq, cet. Ke- III, 1420H/1999, hlm. 151


(1)

(2)

(3)

(4)

(5)

(6)

Dokumen yang terkait

PENINGKATAN AKTIVITAS DAN HASIL BELAJAR MATEMATIKA MATERI PECAHAN DENGAN MENGGUNAKAN METODE INKUIRI DI KELAS IV SD NEGERI 2 KANGKUNG KECAMATAN TELUK BETUNG SELATAN KOTA BANDAR LAMPUNG

0 11 52

TRADISI UPACARA NADRAN PADA MASYARAKAT NELAYAN CIREBON DI KELURAHAN KANGKUNG BANDAR LAMPUNG

4 75 99

PENILAIAN POTENSI TAMAN WISATA WIRA GARDEN KELURAHAN BATU PUTUK KECAMATAN TELUK BETUNG BARAT KOTA BANDAR LAMPUNG TAHUN 2014

3 13 46

DAMPAK KETIDAKSESUAIAN LOKASI PASAR TRADISIONAL TERHADAP KONDISI SOSIAL EKONOMI PENDUDUK DI KELURAHAN TELUKBETUNG KECAMATAN TELUK BETUNG SELATAN BANDAR LAMPUNG

3 17 72

TRADISI RUWATAN BERSIH BUMI KEARIFAN LOK

0 4 18

PENGARUH PINJAMAN BERGULIR TERHADAP PENDAPATAN DALAM PERSPEKTIF EKONOMI ISLAM (Studi pada Program KOTAKU di Kecamatan Teluk Betung Utara Kota Bandar Lampung) - Raden Intan Repository

0 0 117

ANALISIS IMPLEMENTASI PROGRAM REVITALISASI PASAR TRADISIONAL TERHADAP PENDAPATAN PEDAGANG DAN MINAT BELI KONSUMEN DALAM PERSPEKTIF EKONOMI ISLAM (Studi Pada Pasar Tradisional Kangkung, Kelurahan Teluk Betung, Kecamatan Teluk Betung Selatan, Bandar Lampung

0 5 141

EFEKTIFITAS PROGRAM INDONESIA PINTAR TERHADAP UPAYA PENINGKATAN KESEJAHTERAN MASYARAKAT DALAM PERSPEKTIF EKONOMI ISLAM (Studi Di Kelurahan Kupang Teba Kecamatan Teluk Betung Utara Kota Bandar Lampung) - Raden Intan Repository

0 0 139

ANALISIS KONTRIBUSI BUDIDAYA KERANG HIJAU TERHADAP PENDAPATAN MASYARAKAT PERSPEKTIF EKONOMI ISLAM (Studi di Pulau Pasaran Kelurahan Kota Karang Kecamatan Teluk Betung Timur Kota Bandar Lampung) - Raden Intan Repository

0 0 147

DAKWAH PERSUASIF PADA MASYARAKAT MARJINAL DI UJUNG BOM KELURAHAN KANGKUNG KECAMATAN TELUK BETUNG SELATAN KOTA BANDAR LAMPUNG - Raden Intan Repository

0 2 100