Analisis Penulis ANALISA TENTANG TRADISI RUWATAN LAUT
merupakan salah satu permohonan agar masyarakat setempat selalu dilindungi, dijauhkan dari segala marabahaya dan senantiasa mendapat keselamatan dalam
melaksanakan kegiatan pernelayanan. Ketiga, mohon pada Allah agar sumber penghasilan dilaut dapat dilestarikan serta diberikan hasil yang berlimpah.
Pada prosesi ruwatan laut ada sebagian kecil masyarakat yang mengikuti ritual pembakaran kemenyan serta mempercayai mitos akan adanya penunggu
laut, hal ini jika dianalisis menurut Hukum Islam, mendekati pada perbuatan musyrik. Sebagaimana terdapat pada surat An-Nisa ayat 48 dan Al-An’am ayat 82
yang berisi tentang larangan Alloh SWT pada umat manusia yang mecampuradukkan antara nilai keimanan dengan kemusyrikan.
Ruatan laut merupakan akulturasi antara budaya dan agama, karena dengan melaksanakan ruwatan laut tidak saja melestarikan nilai-nilai budaya,
tetapi pada ruwatan laut tersebut ada pelestarian nilai-nilai sosial keagamaannya. Adapun nilai-nilai sosial keagamaan yang terdapat pada tradisi ruwatan laut
antara lain : 1. Gotong Royong ta’awun
Pada pelaksanaan ruwatan laut masyarakat nelayan secara bersama-sama atas dasar keswadayaan dan kesukarelaan membantu pelaksanaan ruwatan laut
baik itu berupa tenaga maupun dana, sikap tolong menolong tersebut terdapat dalam firman Alloh SWT surat Al-Maidah ayat : 2 dan At-Taubah ayat : 71
sebagai berikut :
.
ﺓﺪﺋﺎﳌﺍ :
٥ ٢
Artinya : “Dan tolong menolonglah kamu dalam mengerjakan kebajikan dan
takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. Dan bertakwalah kamu pada Alloh SWT, sesungguhnya Alloh SWT amat berat
siksanya-Nya”.
. ﺔﺑﻮﺘﻟﺍ
: ۹
٧١
Artinya : “ Dan orang yang beriman laki-laki dan perempuan sebagian mereka
adalah menjadi penolong bagi sebagian yang lain. Mereka menyuruh mengerjakan yang ma’ruf, mencegah dari yang mungkar, mendirikan
sembahyang, menunaikan zakat, dan mereka taat kepada Alloh SWT dan Rasul- Nya. Mereka itu akan diberi rahmat oleh Alloh SWT, sesungguhnya Alloh SWT
maha perkasa lagi maha bijaksana”.
Dari ayat diatas telah jelas bahwasanya Alloh SWT menganjurkan untuk saling tolong-menolong dalam berbuat kebajikan dan memupuk jiwa sosial dalam
kehidupan bermasyarakat. 2. Silaturrahmi
Pada saat hari pelaksanaan ruwatan laut masyarakat nelayan libur dari kegiatan mencari ikan, mereka berkumpul di TPI tempat pelelangan ikan untuk
berdo’a bersama dan acara ruwatan laut ini dijadikan sebagai ajang silaturrahmi
antar nelayan. Nabi Muhammad SAW menganjurkan kepada umatnya agar senantiasa menjaga silaturrahmi, sebagaimana dijelaskan dalam hadits berikut ini:
ﻦﻋ ﺟﺒ
ﻴﹺﺮﺑ ﹺﻦ
ﻣ ﹾﻄ
ﻌﹴﻢ ﺭ
ﺿ ﻲ
ُﷲﺍ ﻋﻨ
ﻪ ﻋ
ﹺﻦ ﻨﻟﺍﹺﺒ
ﻲ ﺻ
ﱠﻠﻰ ُﷲﺍ
ﻋﹶﻠ ﻴﻪ
ﻭ ﺳﱠﻠ
ﻢ ﹶﻗ
ﹶﻝﺎ :
ﹶﻻ ﹸﻞﺧﺪﻳ
ﹶﺔﻨﺠﹾﻟﺍ ﻊﻃﺎﹶﻗ
، ﹶﻗ
ﹶﻝﺎ ﺑﺍ
ﻦ ﹶﺃ ﹺﺑ
ﻲ ﻋ
ﻤ ﺮ
: ﹶﻗ
ﹶﻝﺎ ﺳ
ﹾﻔﻴ ﹸﻥﺎ
: ﻳﻌﹺﻨ
ﻲ ﹶﻗ
ﻃﺎ ﻊ
ﺭ ﺣ
ﹺﻢ.
٢١
Artinya : Dari Jubair bin Muth’im RA dari Rasulullah SAW beliay bersabda,“Tidak
akan masuk surga orang yang memutuskan”. Ibnu Abu Umar berkata, “Sufyan berkata, ‘yaitu orang yang suka memutuskan hubungan kerabat silaturrahmi”.
HR:Muslim.
ﻦﻣ ﺐﺣﹶﺍ
ﹾﻥﹶﺃ ﹶﻂﺴﺒﻳ
ﻪﹶﻟ ﻲﻓ
ﻪﻗﺯﹺﺭ ﻭ
ﹶﺄﺴﻨﻳ ﻪﹶﻟ
ﻲﻓ ﻩﹺﺮﹶﺛﹶﺃ
ﹾﻞﺼﻴﹾﻠﹶﻓ ﻪﻤﺣﺭ
.
22
Artinya : “Siapa yang ingin di luaskan rizkinya dan dilanjutkan umurnya maka
hendaknya menyambung hubungan family silaturrahmi” HR: Bukhari- Muslim.
3. Etos Kerja Pada pelaksanaan ruwatan laut ada nilai-nilai budaya yang terkandung di
dalamnya, yang tercermin pada makna syarat-syarat ruwatan laut. Kemudian masyarakat nelayan menjadikannya sebagai sebagai filosofi atau pandangan hidup
dalam kehidupan sosial kemasyarakatan, dan hal ini bisa membangkitkan semangat kerja etos kerja masyarakat nelayan. Dalam pandangan Islam terdapat
21
Muhammad Nashiruddin Al Albani, Mukhtashar Shahih Muslim, “Bab Menyambung dan Memutuskan Tali Silaturahim ”, Juz II. Beirut : Al Maktab Al Islami, h. 498.
22
Abi Abdillah Muhammad bin Ismail Al-Bukhari, Sahih al-Bukhari, “Bab Man Basatho Lahu Fi Rizqi bi Silati rahim ”, Juz 18. Kairo : Baitul Afkar Dauliyyah, 1414 H1994 M, h. 386.
anjuran untuk semangat dalam bekerja yang terdapat dalam firman Alloh SWT surat Al-Qashash ayat 77 dan Ar-Ra’du ayat 11 sebagai berikut :
.
ﺺﺼﻘﻟﺍ :
٢٨ ٧٧
Artinya : “Dan carilah apa yang telah dianugerahkan Alloh SWT kepadamu
kebahagiaan negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan kebahagiaan dari Alloh SWT telah berbuat baik kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan
di muka bumi. Sesungguhnya Allah SWT tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan”.
.
ﺪﻋﺮﻟﺍ :
١۳ ٧٧
Artinya : “Sesungguhnya Allah SWT tidak merubah keadaa suatu kaum sehingga
mereka merubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri”. Dari ayat diatas, maka jelaslah bahwasanya merupakan kewajiban kita
sebagai manusia untuk selalu berusaha dengan sungguh-sungguh dengan kemampuan yang kita miliki atau dengan profesi kita masing-masing, untuk
senantiasa mencari serta memanfaatkan sumber daya yang telah disediakan oleh Allah SWT, karena Allah SWT tidak akan merubah keadaan umatnya sebelum
mereka sendiri berusaha untuk merubahnya.
4. Persatuan dan Kesatuan Masyarakat nelayan yang ada di Ujung Bom Kelurahan Kangkung bersifat
heterogen, karena terdiri berbagai suku dan kebudayaan, mereka memiliki tradisi dan budaya yang bervariasi sesuai latar belakang sosiokultursl daerah asalnya
masing-masing dan tradisi ruwatan laut merupakan hasil akulturasi budaya yang mempersatukan baerbagai etnis yang ada disan, di dalam Al-Qur’an juga
disebutkan bahwasanya Allah AWT menciptakan manusia dengan beraneka- ragam suku, sebagaimana firman-Nya dalam surat Al-Hujarat ayat 13 sebagai
berikut :
. ﺕﺍﺮﺠﳊﺍ
: ٤۹
١۳
Artinya : “Hai manusia, sesungguhnya kami menciptakan kamu dari seorang laki-
laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling mengenal. Sesungguhnya orang yang paling
mulia diantara kamu disii Allah SWT adalah orang yang paling bertakwa diantara kamu. Sesunggunya Allah SWT maha mengetahui lagi maha mengenal”.
Dari ayat diatas, tercermin bahwasanya jenis kelamin, bangsa maupun suku tidak membuat seseorang lebih mulia dari pada yang lainnya, karena hanya
ketakwaanyalah yang membedakan derajat manusia disisi Allah SWT dan ayat diatas juga menganjurkan bahwasanya sebagai manusia kita harus tetap menjaga
persatuan dan kesatuan.
Pada dasarnya hukum-hukum syar’i tidak hilang dan tidak berubah bila dikaitkan dengan peristiwa-peristiwa, kejadian-kejadian baru dan perkembangan
zaman. Yang berubah berganti hanyalah tempat bergantungnya hukum. Ketika kebiasaan dan tradisi suatu masyarakat pada zaman tertentu diangkat menjadi
ketentuan hukum, kemudian pada zaman berikutnya, kebiasaan dan tradisi masyarakat mengalami proses transformasi, maka hukum pun harus mengalami
proses transformasi, maka hukum pun harus mengalami transformasi untuk menyesuaikan dengan perubahan yang terjadi pada kebiasaan-kebiasaan
masyarakat yang ada. Dengan demikian yang dimaksud hukum bisa berubah adalah hukum yang
tercipta dari kebiasaan dan tradisi. Adapun hukum yang tercipta berdasarkan dalil nash baik Al-Qur’an maupun Al-Hadist, maka tidak bisa berubah. Berubahnya
hukum sebab berubahnya adat dari satu zaman ke zaman lain, adalah suatu keniscayaan yang tidak bisa dipungkiri dan dihindari.
Ali Haidar mengatakan bahwa hukum-hukum yang bisa berubah sebab berubahnya zaman adalah hukum-hukum yang terbangun di atas kebiasaan dan
tradisi. Sebab berubahnya zaman menyebabkan berubahnya kebutuhan-kebutuhan dan tuntunan masyarakat. Dari kebutuhan-kebutuhan dan tuntunan yang berbeda
ini menyebabkan adat dan kebiasaan yang berbeda dari zaman sebelumnya. Ketika adat dan kebiasaan telah berubah, maka hukum pun harus berubah.
Berbeda dengan hukum yang terbangun di atas dalil-dalil syar’i, maka selamanya tidak akan berubah.
23
Kebiasaan, perangai, kepercayaan, dan tingkah laku seseorang tumbuh dan berubah sampai batas minimal sesuai dengan tuntunan situasi yang terdekat
dalam hidupnya. Yang diperlukan disini adalah bahwa perangai dan persepsi hariannya harus utuh dan mempunyai makna. Kadang-kadang sebuah persepsi
sangat tergantung pada sejumlah dasar kepercayaan yang asasi, yang tidak memungkinkan lagi suatu perbuatan untuk dirubah tanpa mengubah seluruh
susunan kepercayaan itu. Sebab, bagi setiap masyarakat, tradisi itu merupakan suatu kesatuan yang hidup, sehingga adanya perubahan dalam suatu aspek mana
pun akan mempunyai dampak pada aspek-aspek yang lain. Setiap individu cenderung berkehendak mewujudkan tradisi, yang dengan
tradisi itu dia akan hidup, maka kesenjangan, penyimpangan, dan perbedaan laju perubahan pada bagian-bagian budaya itu akan mempunyai dampak dalam
susunan kepribadian individu-individu yang hidup dalam tradisi yang sedang mengalami perubahan tersebut. Oleh karena itu, perubahan yang sangat cepat
yang tidak terkejar oleh masyarakat atau individu-individu tertentu akan mengakibatkan permasalahan sosialpsikologis seperti dislokasi, disorientasi, dan
deprivasi relatif.
23
Sudirman Abbas, Qawaid Fiqhiyyah Dalam Perspektif Fiqh, Jakarta: Radar Jaya Offset, 2004, h. 194
Maka dari itu setiap tradisi memiliki sesuatu yang unik, dan karena setiap situasi yang menjadi latar suatu perubahan yang sedang berlangsung atau yang
sedang direncanakan adalah juga unik, maka tidak mungkin bagi kita meletakkan resep tentang apa yang harus diperbuat dalam setiap kasus perubahan. Tetapi,
semua perubahan jelas harus dilaksanakan dengan persetujuan dan partisipasi mereka yang kehidupan sehari-harinya akan terpengaruh oleh perubahan itu.
24
Perubahan dapat terjadi dalam dua bentuk yaitu perubahan kuantitatif dan perubahan kualitatif. Perubahan kuantitatif terlihat dalam jumlah penganut atau
pendukungnya. Rakyat dapat ditarik untuk mengikuti tradisi tertentu yang kemudian mempengaruhi seluruh rakyat satu Negara atau bahkan dapat mencapai
skala global. Demikianlah penyebaran tradisi yang berkaitan dengan agama besar seperti Islam, Kristen, dan Budha. Doktrin politik dan tradisi yang
dikembangkannya meliputi : demokrasi liberal, sosialisme, dan konservatissme. Sebalikny, rakyat mungkin bosan atau kecewa terhadap tradisi tertentu sehingga
secara bertahap atau tiba-tiba meninggalkannya. Sedangkan arah perubahan lain adalah perubahan kualitatif yakni
perubahan kadar tradisi. Gagasan, simbol, dan nilai tertentu ditambahkan dan yang lainnya dibuang. Benda material tertentu dimasukkan ke dalam lingkup
tradisi yang diakui, yang lainnya dibuang. Misalnya tradisi pribumi cukup kuat atau bila tradisi dari luar tak terlalu dipaksakan maka sebagian unsur tradisi dari
24
Nurcholis Madjid, Tradisi Islam Peran dan Fungsinya Dalam Pembangunan Di Indonesia, Jakarta: Penerbit Paramadinan, 1997, cet , ke-1, h. 171-172
luar itu akan diserap oleh tradisi pribumi. Bila tradisi yang berinteraksi itu hampir sama kuat maka akan terjadi percampuran tradisi. Meski unsur-unsur pokok
masing-masing dipertahankan namun akan terjadi perubahan di kedua pihak.
25
Di dalam merubah tradisi ruwatan laut yang menggunakan sesajen sebagai persembahan kepada penunggu laut dan upaya meminta pertolongan kepadanya
di masyarakat muslim Nelayan Ujung Bom Kelurahan Kangkung Teluk betung Selatan Kota Bandar Lampung ke dalam hukum Islam. Penulis hendak
menstandarisasikan sesajen dengan kepala kerbau dan perangkat lainnya serta keyakinan pada masyarakat akan adanya penuggu laut dengan menggunakan
media lain serta dengan niat yang lurus kepada Alla SWT, sehingga tidak ada satupun warga yang masih meyakini kekuatan selain dari kekuatan yang maha esa
yaitu Alloh SWT. Karena kurban yang berupa sesajen tersebut sangat bertentangan dengan akidah islam serta mubazzir hukumnya membuang kepala
kerbau di laut. Maka dari itu diperlakukan standarisasi tradisi ruwatan laut yang menggunakan syarat-syarat sesajen serta niat dari para pelaku dengan metode
ruwatan yang lain, sesuai dengan tuntunan agama Islam. Dalam ilmu huku sosiologi, perubahan terjadi menentang latar belakang
yang banyak kesamaannya. Kebanyakan apa yang dilakukan, dipikirkan, dan dicita-citakan orang merupakan apa yang telah dilakukan dan dipikirkan sejak
lam, jauh sebelum orang yang masih hidup kini lahir ke dunia. Bahkan perubahan
25
Piotr Sztompka, Sosiologi Perubahan Sosial, Jakarta: Prenada Media, 2004, Cet. Ke-1, hlm. 72-74
revolusioner yang paling menyeluruh dan paling radikal pun tetap meninggalkan berbagai aspek kehidupan masyarakat yang tak berubah. Di sisi lain,
kelangsungan pun tak pernah absolute. Warisan sosial dibentuk ulang, diubah, dimodifikasi atau diperkaya dan setiap saat berikutnya dalam kehidupan
masyarakat akan berbeda dari keadaan sebelumnya.
26
Oleh karena itu, menurut penulis standarisasi yang perlu dilakukan adalah dengan merubah ketentuan-ketentuan sesajen serta niat lurus kepada seluruh
nelayan, untuk benar-benar hanya tertuju kepada Alloh SWT. Yaitu dengan menggantikan kedudukan sesajen tersebut dengan benda lain ataupun merubah
serangkain acara tradisi ruwatan laut dengan kegiatan yang lebih bermanfaat dan ada hikmahnya kepada seluruh lapisan nelayan ujung bom Kelurahan kangkung.
Hal tersebut selaras dengan apa yang diungkapkan oleh Pak Aang Tajrin, SE, beliau adalah sekretaris 1 serta panitia ruwatan laut atau yang mewakili ketua
KUD Nelayan Mina Jaya pada wawancara penulis. Mengungkapkan bahwa, tradisi ruwatan laut akan kami rubah setahap-demi setahap, yaitu dengan cara
merubah serangkaian acara yang mengandung manfaat langsung kepada masyarakat Nelayan seperti : mengalokasikan dana ruwatan laut ke acara khitanan
massal, santunan yatim piatu dan fakir miskin serta disi dengan acara penaburan benih ikan ke laut dan juga perawatan terumbu karang. Hal tersebut dirasa lebih
bermanfaat dan akan menyentuh langsung manfaatnya kepada para nelayan, dan
26
Piotr sztompka, Sosiologi Perubahan Sosial, Sosiologi Perubahan Sosial, Jakarta: Prenada Media, 2004, Cet. Ke-1, hlm. 68-69
juga dapat menjaga kelestarian ikan di laut sehingga tangkapan ikan menjadi melimpah. Hal ini tentunya sangat masuk di akal dan logika, daripada meruwat
laut dengan acara sesajen yang tidak masuk akal tujuannya. Tantunya hal ini kami sosialisasikan dengan tahapan, dan tidak mungkin secara revolusioner, di
harapkan masyarakat akan lebih mengerti dan memahami sehingga tidak terjadi salah paham akan maksud dari tradisi ruwatan laut tersebut.
27
Pak Aang Tajrin, mengatakan bahwa dengan adanya transformasi yang terjadi dalam berbagai lini kehidupan yang terjadi akhir-akhir ini, orientasi
masyarakat adat muslim Nelayan Ujung Bom Gudang Lelang Kelurahan Kangkung sudah mulai berangsur meninggalkan kebiasaan lama. Dan mereka
mulai menerima perubahan yang datang dengan jiwa terbuka tidak seperti sebelumnya yakni tertutup tanpa mau menerima perubahan itu.
Jadi, tradisi mencakup kelangsungan masa lalu di massa kini kettimbang sekedar menunjukkan fakta bahwa masa kini berasal dari masa lalu.
Kelangsungan masa lalu di masa kini mempunyai dua bentuk: material dan gagasan, atau objektif dan subjektif. Menurut arti yang lebih lengkap, tradisi
adalah keseluruhan benda material dan gagasan yang berasal dari masa lalu namun benar-benar masih ada kini, belum dihancurkan, dirusak, dibuang, atau
27
Aang Tajrin, Kepala KUD Mina Jaya Ujung Bom, Wawancara, Lampung 25 April 2011
dilupakan. Di sini tradisi hanya berarti warisan, apa yang benar-benar tersisa dari masa lampau.
28
Adapun beberapa agenda perubahan yang direncanakan dalam merubah ketentuan tradisi meruwat laut atau sedekah laut denga sesajen dan niat para
nelayan. Agenda yang dimaksud sudah direncanakan oleh para pemuka desa, agama, dan panitia ruwat laut dengan wawancara yang penulis laksanakan, dapat
diambil kesimpulan bahwasanya yang diperlukan untuk meluruskan tradisi tersebut adalah dengan cara memberikan pencerahan kepada para nelayan di saat
acara ruwatan laut. Hal ini seperti yang selalu dilakukan dan di agendakan pada setiap tahunnya di acara ruwatan laut, pada sesi penutupan yaitu hari ketiga tradisi
ruwatan selalu diisi dengan acara ceramah agama, diharapkan masyarakat mendapatkan pencerahan agama yaitu pengetahuannya tentang ajaran keimanan
dan ketauhidan yang lurus hingga tidak bertentangan dengan Syari’at Islam. Perlu kita sadari bahwa dunia manapun tidak pernah ada manusia yang
tidak bertradisi, hanya saja tradisi itu ada yang relevan dan ada yang tidak, tetapi dapat dibedakan oleh kita bahwa tidak relevan itu karena tidak tahu dan yang
relevan ialah yang harus diikuti secara arif dan bijak. Adapun fungsi tradisi berkaitan perubahan suatu masyarakat, diantaranya adalah :
28
Sztompka, Sosiologi Perubahan Sosial, Sosiologi Perubahan Sosial, Jakarta: Prenada Media, 2004, Cet. Ke-1, hlm. 69-70
1. Dalam bahasa klise dinyatakan, traisi adalah kebijakan turun temurun. Tempatnya di dalam kesadaran, keyakinan, norma, dan nilai yang dianut kini
serta di dalam benda yang diciptakan dimasa lalu. 2. Memberikan legitimasi terhadap pandangan hidup, keyakinan, pranata, dan
aturan yang sudah ada. 3. Menyediakan simbol identitas kolektif yang meyakinkan, memperkuat
loyalitas primodial terhadap bangsa, komunitas, dan kelompok. 4. Membantu menyediakan tempat pelarian dari keluhan, ketidakpuasan, dan
kekecewaan kehidupan moderen. Di samping itu semua ciptaan manusia, tradisi tak selalu menguntungkan
bagi masyarakat atau anggotanya. Tradisi berfungsi ambivalen. Selain fungsional, tradisi pun berakibat disfungsional diantaranya:
1. Setiap tradisi, terlepas dari kadarnya, dapat menghambat kreativitas atau semangat pembaruan dengan menyediakan solusi siap pakai untuk masalah
kotemporer. Tradisi cenderung menggantikan upaya penemuan cara baru dengan metode kuno, teruji, dan aman. Kemungkinan akibatnya adalah
stagnasi. 2. Ada kecenderungan untuk mempercayai pandangan hidup, metode
memerintah, dan strategi ekonomi tradisional, meski sudah terjadi perubahan radikal dalam kondisi historis. Terikat pada tradisi kuno di tengah keadaan
yang sudah berubah adalah cerminan kelambanan.
3. Tradisi tertentu mungkin disfungsional atau membahayakan karena kadar khususnya. Tak semua yang berasal dari masa lalu itu bernilai baik. Sejarah
manusia penuh dengan tragedi dan penderitaan kehancuran, percekcokan, penindasan, diskriminasi, ideologi jahat, keyakinan tak rasional, hukum yang
tak adil, tirani dan keditaktoran. Sebagian di antaranya mungkin dijadikan tradisi dilestarikan dan dihargai oleh individu atau kelompok tertentu.
4. Ada tradisi yang terpelihara bukan karena pilihan sadar tetapi karena kebiasaan semata. Dipertahankan bukan karena dihargai atau dipuja tetapi
dinilai sebagai cara hidup yang tidak menyusahkan.
29
Maka dari itu kelestarian tradisi menjadi amat penting, karena ketulusan serta kesungguhan berfikir dan kepercayaan memerlukan rasa keabsahan dan
keotentikan. Kita tidak akan memiliki kemantapan dalam kepercayaan, berpandangan hidup, atau menganut suatu etos jika kepercayaan, pandangan
hidup atau etos itu tidak kita rasakan sebagai absah dan otentik. Dan biasanya rasa keabsahan dan keotentikan itu kita peroleh antara lain karena adanya
kesinambungan dengan masa lalu dan kelestariannya. Sudah tentu semua harus terjadi dalam kerangka sikap kritis yang
merupakan fungsi kepahaman yang tepat dan terbuka sehingga tidak jatuh kedalam atavisme dengan menganggap bahwa apa saja yang berasal dari masa
lampau tentu benar dan baik. Atavisme atau obsesi masa lampau dan
29
Piotr Sztompka, Sosiologi Perubahan Sosial, Sosiologi Perubahan Sosial, Jakarta: Prenada Media, 2004, Cet. Ke-1, hlm. 74-77
pengagungannya biasanya berjalan seiring dengan sikap-sikap konservatif, karena itu justru akan menghambat kemajuan dan daya inovasi. Dari sinilah mulai
tampak persoalan kesinambungan dan keterputusan. Kesinambungan diperlukan untuk rasa keabsahan dan keontetikan yang akan berfungsi sebagai landasan
kemampuan dan kreatifitas. Tetapi kreatifitas itu sendiri akan terhambat jika suatu masyarakat terjerumus ke dalam pandangan-pandangan avistik dan pemujaan
masa lampau. Maka, dalam keadaan tertentu diperlukan kemampuan memutuskan diri
dari tradsi masa lampau yang negatif, yang kempuannya itu sendiri dihasilakan oleh sikap-sikap kritis yang bersifat membangun. Dan sikap kritis yang
membangun itu antara lain merupakan hasil adanya pengertian menyeeluruh terhadap eksistensi nilai-nilai tradisi masa lampau tersebut termasuk pengertian
tentang dinamika interaksinya dengan tuntunan sejarah dan keberhasilan menangkap tantangan zaman mutakhir.
Jadi disini diperlakukan kecakapan dalam mengelola secara kreatif dinamika ketegangan antara keperluan kepada kelestarian atau kesinambungan
dankemampuan melakukan inovasi untuk memberi responsi kepada tuntunan zaman yaitu memerlukan sikap-sikap: “al-muhafazhatu ‘ala ‘l-qadim al-shalih wa
al-akhdzdu bi ‘l-jadid al-ashlah” yang artinya memelihara yang lam yang baik dan mengambil yang baru yang lebih baik.
Disamping itu diperlakukan pula sikap amar ma’ruf yang secara kebahasaan, al-ma’ruf yang telah diketahui, yakni yang telah diketahui sbagai
baik dalam pengalaman manusia menurut ruang dan waktu. Oleh karena itu secara etimologis pula perkataan itu berkaitan dengan perkataan al-‘Urf yang
berarti “adat”, dalam hal ini adat yang baik. Dalam pengertiannya sebagai adat yang baik itulah al-“Urf diakui aksistensinya dan fungsinya dalam islam,
sehingga dalam teori pokok yurisprudensi disebutkan bahwa adat dapat dijadikan hukum.
Dalam pengertiannya yang lebih luas dan mendalam, perkataan al-ma’ruf dapat berarti kebaikan yang “diakui”, atau “diketahui” oleh hati nurani, sebagai
kelanjutan dari kebaikan universal tersebut al-islam adalah agama fitrah yang suci. Karena al-ma’ruf dalam pengertian ini sebagai lawan dari al-munkar.
Sebab, al-munkan adalah apa saja yang “diingkari”, yakni diingkari oleh fitrah, atau ditolak oleh hati nurani. Kemudian kedua-duanya ini menunjuk pada
kenyataan kebaikan dan keburukan dalam masyarakat. Maka dari itu masyarakat muslim Nelayan Ujung Bom Gudang lelang
Kelurahan Kangkung Kota Bandar Lampung khususnya dan umat Islam pada umumnya dituntut untuk mampu mengenali kebaikan dan keburukan dalam
masyarakat itu, kemudian mendorong, memupuk, dan memberanikan tindakan- tindakan kebaikan, dan pada waktu yang sama mencegah, menghalangi, dan
menghambat tindakan-tindakan keburukan. Berdasarkan firman Allah SWT dalam surat al-Imran 3 ayat 104:
.
ﻝﺍ ﻥﺍﺮﻤﻋ
: ۳
١٠٤
Artinya: “Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru
kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang munkar dan merekalah orang-orang yang beruntung”.
Pada ayat di atas dapat dipetik trilogy Da’wah ila ‘l-khayr, Amr ma’ruf,
dan Nahy munkar yang merupakan poros perjuangan umat Islam sepanjang sejarah. Trilogi itulah yang menjadi dasar keunggulan umat Islam atas umat-umat
lain. Sehingga mereka disebut sebagai yang beruntung, yang menang, atau yang berbahagia al-mflihun. Namun, semua ini tidak bisa disikapi secara taken for
granted. Adapun trilogi yang dimaksud adalah : a. Yang pertama dari trilogi yaitu : Da’wah ila ‘l-khayr, menurut kemampuan
umat Islam melalui para pemimpinnya untuk dapat memahami nilai-nilai etnis dan moral yang universal, yang berlaku disetiap zaman dan tempat. Tanpa
kemampuan itu kita tidak akan mempunyai pedoman yang jelas, yang menjadi tuntunan da bimbingan kita masa depan.
b. Yang kedua dari trilogi itu adalah : Amar ma’ruf, menuntut kemampuan memahami lingkungan hidup sosial, politik dan kultural. Yaitu lingkungan
yang menjadi wadah terwujudnya al-khayr sdecara kongkrit, dalam konteks
ruang dan waktu. Juga lingkungan dalam konteks ruang dan waktu itu yang menjadi wadah terjadinya keburukan nyata, yang beroperasi dalam
masyarakat. Lingkungan buruk akan menjadi “wada” bagi al-munkar, sehingga masyarakat bersangkutan mungkin akan terkena wabah dosa dan
kedzaliman. c. Karena itu, yang ketiga dari trilogi perjuangan tersebut, yaitu Nahy munkar,
menuntut kemampuan kita dapat mengidentifikasi faktor-faktor lingkngan hidup kultural, sosial politik, juga ekonomi, yang sekiranya akan menjadi
wadah bagi munculnya perangai, tindakan, dan perbuatan yang berlawanan dengan hati nurani jadi tidak ma’ruf. Kemudian dusahakan untuk mencegah
dan menghambat pertumbuhan lingkungan serupa itu.
30
Zaman sekarang, yang sangat penting untuk diperhatikan adalah masalah bagaimana agar taat menjalankan agama tidak berhenti dan terbatas hanya pada
pelaksanaan segi-segi formal simbolik, seperti ibadah, ritual, dan selamatan. Tetapi, sikap taat ini ditindak lanjuti dengan amal perbuatan atas dasar kesadaran
mendalam dan menyeluruh akan makna dan semangat ajaran agama itu. Simbolisme memang penting, dan tidak ada individu atau masyarakat yang dapat
hidup tanpa simbol-simbol tertentu, karena simbol-simbol itu pada hakekatnya adalah penyederhanaan permasalahan sehingga dapat dipahami dengan mudah.
Tetapi jika simbol menjadi mutlak, dan makna dibalik simbol itu terlupakan,
30
Nurcholis Madjid, Tradisi Islam Peran dan Fungsinya Dalam Pembangunan Di Indonesia, Jakarta: Penerbit Paramadinan, 1997, cet , ke-1, h. 165
maka hal itu berarti menukar tujuan dan alat yang mengganti intrinsik dengan yang instrumental.
Oleh karena itu, harus diurahakan penataan kemabali, sedikit demi sedikit, susunan dan hirarki dalam agama sehingga yang primer tetaplah primer dan yang
sekunder tetap sekunder, begitu seterusnya. Kondisi ini diperlukan agar tidak terjadi kekacauan dan pertukaran nilai hirarki. Ini bukan berarti kita harus
merombak, mengubah, dan menukar ajaran dan nilai agama dan tradisi, karena sepanjang mengenai agama, manusia tidak berhak melakukan suatu perubahan
apa pun yang datang dari Allah SWT. Tetapi karena persepsi dan pemahaman terhadap agama ada dalam
lingkungan tradisi ciptaan manusia, maka adalah suatu hal yang musstahil bahwa persepsi dan pemahaman itu tidak dipengaruhi oleh kerangka dan sistem tradisi
ciptaan manusia itu. Maka, yang diperlukan disini adalah sekedar penyusunan kembali urutan hirarki nilai-nilai itu secara proporsional.
Karena itu selain ada tantangan, dari zaman ke zaman, bagian yang mana dari suatu paham keagamaan dalam masyarakat itu yang benar-benar asli berasal
dari agama yang bersangkutan, dan bagian mana pula yang merupakan produk tradisi manusia. Juga dari zaman ke zaman selalu ada usaha untuk meemberi
tafsiran baru dan pengertian yang lebih segar serta relevan terhadap aturan-aturan tertentu agama sebagai sistem simbolik. Dengan pengenalan mana yang asli ini
akan diperoleh keabssahan dan otentisitas, dan dengan kemampuan memberi
tafsiran baru yang segar dan relevan yang diperoleh dari hasil kreativitas pemikiran.
Agaknya sikap ideologis paling pantas terhadap tradisi adalah yang berpandangan kritis terhadap tradisionalisme. Pandangan kritis dimaksud adalah
bersikap analitis dan skeptis terhadap manfaat dan mudharat tradisi tersebut di setiap kasus yang kongkret, memperhatikan kadar dan lingkungan historis
pengaruhnya. Sikap semacam ini menghindarkan sikap taklid buta terhadap tradisi, mengikuti tradisi keliru yang menyamakan masa lalu dengan kebaikan.
Sikap kritis ini pun menghindarkan anti tradisionalisme secara dogmatis, tidak mengabaikan peran tradisi yang menguntungkan.
31
31
Piotr Sztompka, Sosiologi Perubahan Sosial, Sosiologi Perubahan Sosial, Jakarta: Prenada Media, 2004, Cet. Ke-1, hlm. 79
102