tersebut, rezim Bashar Al Assad langsung merespon protes tersebut secara militer. Semakin  banyak  para  protestan  yang  mempertahankan  diri  dengan  persenjataan,
semakin banyak kekerasan yang dilakukan oleh rezim Assad. Dalam krisis politik di Suriah, rezim Assad memperoleh bantuan, baik secara militer maupun finansial,
dari  negara-negara  besar  seperti  Rusia  dan  Tiongkok.  Dalam  menghadapi  krisis tersebut,  rezim  Assad  juga  memperbaharui  beberapa  aturan  dalam  negeri  seperti
memodifikasi manajemen hubungan regional dan internasional untuk mengurangi sanksi diplomatik dan ekonomi.
58
2. Arab Spring di Libya Libya Spring
Arab  Spring  yang  terjadi  di  Libya  atau  dapat  dikatakan  sebagai  Libya Spring  merupakan  krisis  politik  yang  terjadi  di  Libya.  Pada  15  Februari  2011,
kerusuhan  mulai  terjadi  di  Libya  tepatnya  di  depan  markas  besar  kepolisian  di Benghazi. Kerusuhan tersebut semakin menyebar hingga pada 17 Februari terjadi
aksi  protes  di  kota  besar  Libya,  Benghazi  dan  Tripoli.
59
Ratusan  rakyat  Libya menjadi  korban  jiwa  hanya  dalam  hitungan  hari  dari  awal  kerusuhan  terjadi.
Berbeda dengan kepala pemerintah lain yang berupaya untuk melakukan negosiasi dengan  rakyat  atau  setidaknya  menawarkan  perubahan,  Moammar  Qaddafi  dan
juga anaknya Saif al-Islam menyatakan sikap keras terhadap pihak oposisi melalui ancaman penyerangan.
60
58
Steven Heydemann, “Tracking The Arab Spring: Syria and The Futur of Authoritarianism”, Journal of Democracy 24:4 Oktober, 2013: 62-63.
59
Simon Adams, “Libya and the Responsibility to Protect”,  Global Center for Responsibility to Protect: Occasional Paper Series,  3 Oktober, 2012: 5.
60
Adams, “Libya and the Responsibility to Protect”, 5.
Kerusuhan  yang  terjadi  di  Libya  diawali  oleh  aksi  seorang  individu  yang diketahui  tidak  memperoleh  akses  pendidikan  dan  informasi.  Organisasi
masyarakat  di  Libya  tidak  dibenarkan  keberadaannya  di  bawah  kepemimpinan Qaddafi  dan  sektor  swasta  juga  memiliki  andil  yang  lemah.  Ekonomi  menjadi
pemicu  dari  kerusuhan  yang  terjadi,  seperti  isu  pengangguran,  pendapatan  yang rendah, dan ketimpangan sosial.
61
Meskipun  memiliki  dasar  yang  sama  dengan  krisis  di  negara  Arab  lain, kerusuhan  di  Libya  berlangsung  lebih  lama  dan  menelan  lebih  banyak  korban
jiwa.  Hal  ini  dikarenakan  cara  dan  sikap  Qaddafi  dalam  menghadapi  para protestan,  yakni  dengan  menggunakan  kekerasan.  Semakin  banyaknya  korban
jiwa  semakin  banyak  pula  elit-elit  pemerintah  yang  membelot  dan  memutuskan untuk  bergabung  dengan  rakyat  Libya.  Akibatnya,  bentrokan  yang  terjadi  antara
militer Qaddafi dan rakyat Libya semakin sulit untuk ditangguhkan. Pembentukan badan  perwakilan  rakyat  Libya  atau  NTC  semakin  menguatkan  pihak  oposisi,
meskipun tidak membuat Qaddafi menyerah dan memutuskan untuk mundur dari kepemimpinannya.
62
Jumlah korban jiwa yang dihasilkan pada awal krisis di Libya mendorong banyak  pihak  untuk  memberikan  respon  terkait  krisis  tersebut.  Sejak  tanggal  15
Februari  hingga  22  Februari  2011  terdapat  200  korban  jiwa  yang  tercatat  oleh Dewan  HAM  PBB  UN  Human  Right  Council  dan  500-700  korban  jiwa  yang
tercatat  oleh  Pengadilan  Internasional  International  Criminal  Court,  ICC.
61
Wolfram Lacher, “The Libyan Revolution: Old Elites and New Political Forces”, dalam Muriel Asseburg,  “Protest,  Revolt  and  Regime  Change  in  The  Arab  World”,  German  Institute  for
International and Security Affairs, Research Paper 6 Februari, 2012: 11.
62
Asseburg, “Protest, Revolt and Regime Change in The Arab World”,  11.
Organisasi-organisasi seperti PBB, Uni Afrika, Liga Arab, Organisasi Konferensi Islam  OKI  turut  memberikan  respon  terhadap  krisis  yang  menelan  ratusan
korban jiwa tersebut.
63
Ban  Ki-Moon,  selaku  Sekertaris-Jenderal  PBB,  pada  20  Februari  2011 melakukan  negosiasi  dengan  Qaddafi  melalui  telepon  untuk  mengajak  sang
diktator  menghentikan  kekerasan  terhadap  rakyat  Libya  secepatnya.  Sikap Qaddafi yang menolak ajakan tersebut mendorong para elit politik di Libya untuk
memihak  kepada  sipil.  Dua  hari  berikutnya,  Komisaris  PBB  untuk  HAM,  Navi Pillay, menyatakan kepada otoritas Libya untuk menghentikan kekerasan terhadap
HAM dan menggamb arkan situasi di Libya sebagai “kejahatan terhadap manusia”
atau “crimes against humanity”.
64
Dalam  merespon  perang  saudara  di  Libya,  Dewan  Keamanan  PBB  DK- PBB    pada  26  Februari  2011  mene
tapkan  Resolusi  1970  mengenai  “tanggung jawab  otoritas  Libya  dalam  melindungi  populasinya”.  Dalam  resolusi  tersebut
ditetapkan  embargo  senjata,  pembekuan  aset,  pelarangan  bepergian  dan menyerahkan  situasi  krisis  ke  pihak  ICC.  Eskalasi  kekerasan  terhadap  sipil
mendorong  DK-PBB  untuk  mengadopsi  Resolusi  1973  pada  17  Maret  2011  dan disetujui oleh 10 dari 15 anggota DK-PBB. Resolusi 1973 lebih menekankan pada
upaya  gencatan  senjata  untuk  menghentikan  penyerangan  terhadap  sipil  serta
63
Adams, “Libya and the Responsibility to Protect”, 5-6.
64
Adams, “Libya and the Responsibility to Protect”, 6.
upaya  intensif  untuk  mencari  solusi  atas  krisis  termasuk  di  dalamnya  aksi militer.
65
Selain dari pihak PBB, organisasi internasional lain seperti Liga Arab, Uni Afrika  dan  OKI,  masing-masing  memberikan  respon  terhadap  krisis  yang
dihadapi  rakyat  Libya.  Pada  22  Februari  2011,  Uni  Afrika  dan  OKI  sama-sama memberikan  pernyataan  tegas  terhadap  otoritas  Libya  untuk  segera  menyudahi
penyerangan terhadap rakyat sipil. Liga Arab  melarang Libya untuk menghadiri pertemuan  yang dilakukan oleh organisasi tersebut. Pada 14 Maret 2011, Dewan
Keamanan dan Perdamaian Uni Afrika membentuk Komisi Tingkat Tinggi.
66
18  Maret  2011,  DK-PBB  memberikan  izin  terhadap  NATO  untuk menerapkan no-fly zone di Libya.
67
Kebijakan tersebut dilakukan juga oleh negara koalisi  NATO  seperti  Swedia,  Yordania,  Qatar  dan  Uni  Emirat  Arab.  Pada  29
Maret,  NATO  secara  resmi  mengambil  alih  seluruh  operasi  militer  di  Libya melalui
“Operations  Unified  Protector”.  Koalisi  yang  dilakukan  negara-negara tersebut  juga  memberikan  bantuan  langsung  terhadap  pihak  oposisi  yang
bermarkas di Benghazi, Misrata, Tripoli, dan juga di Sirte.
68
Meskipun  telah  banyak  keterlibatan  pihak  asing  beserta  sanksi  terhadap Libya,  tidak  membuat  sikap  Qaddafi  melunak.  Sikap  keras  Qaddafi  mendorong
NATO  untuk  melakukan  penyerangan  terhadap  lokasi-lokasi  ditempat  sang
65
“10  anggota  DK  PBB  yang  menyetujui  Resolusi  1973:  Bosnia-Herzegovina,  Kolombia, Perancis, Gabon, Libanon, Nigeria, Portugal, Afrika Selatan, Inggris dan Amerika Serikat; dan 5
anggota DK PBB yang tidak memberikan suara: Brasil, Cina, Jerman, India dan Rusi a”.
Simon Adams, “Libya and the Responsibility to Protect”, 6.
66
Adams, “Libya and the Responsibility to Protect”, 6.
67
Dabashi, The Arab Spring,  20.
68
Marianne  Mosegaard  Madsen  dan  Simone  Sophie  Wittstrøm  Selsbæk,  “The  Responsibility  to Protect  and  the  intervention  in  Libya”,  Roskilde  University:Department  of  Society  and
Globalisatio,  Desember, 2012: 17.
diktator  berada.  Bom  yang  sempat  diluncurkan  di  Tripoli  dan  Misrata  tidak berhasil  mengenai  Qaddafi  melainkan  salah  satu  anaknya  dan  tiga  orang
cucunya.
69
Banyaknya  kekerasan  yang  dilakukan  oleh  Qaddafi,  pada  bulan  Agustus, ICC  menyatakan  bahwa  Qaddafi  dan  anaknya  serta  kepala  intelijen  Libya
dinyatakan  sebagai  pidana  atas  kejahatan  yang  diperbuat.  Otoritas  Libya kemudian  diserahkan  kepada  pihak  oposisi  NTC.  Pada  24  Oktober  2011,  NTC
menyatakan  berakhirnya  perang  saudara  diikuti  dengan  tewasnya  Qaddafi  dan anaknya pada 20 Oktober 2011. Selanjutnya, pada 26 Oktober 2011 kebijakan no-
fly zone berakhir diikuti dengan misi NATO di Libya pada 31 Oktober 2011.
70
B. Pihak Oposisi dalam Krisis Politik di Libya