20
BAB II KRISIS POLITIK YANG TERJADI DI LIBYA
Krisis  politik  yang  terjadi  di  Libya  merupakan  salah  satu  dampak  dari fenomena Arab Spring yang melanda kawasan Timur Tengah. Pada Bab ini akan
dijelaskan  mengenai  awal  mula  terjadinya  Arab  Spring  hingga  berdampak  pada perpolitikan  di  negara-negara  Timur  Tengah  yang  salah  satunya  adalah  Libya.
Selain  itu  juga  akan  dijelaskan  bagaimana  pihak  oposisi  di  Libya  menghadapi krisis politik tersebut.
A. Awal Mula Terjadinya Krisis Politik di Libya
Krisis  politik  di  Libya,  seperti  yang  telah  dijelaskan  di  atas,  merupakan dampak dari fenomena Arab Spring yang menyebabkan krisis politik di beberapa
negara di Timur Tengah.
1. Arab Spring sebagai Fenomena Politik di Timur Tengah
Arab  Spring  merupakan  istilah  yang  digunakan  oleh  masyarakat  Barat untuk  menggambarkan  revolusi  politik  yang  terjadi  di  Timur  Tengah.  Terdapat
juga  istilah  Arab  Uprising  yang  diartikan  sebagai  pemberontakan  Arab  untuk menyebutkan  gerakan  revolusi  tersebut.  Orang  Arab  sendiri  lebih  memilih
menggunakan  Arab  Awakening  atau  kebangkitan  Arab  untuk  menggambarkan
fenomena  yang  lekat  dengan  reformasi  sosial,  nasional,  konstitusional,  dan gerakan Islamis modern.
47
Revolusi  yang  terjadi  di  dunia  Arab  ini  diawali  di  Tunisia.  Pada  17 Desember 2010, Muhammad Bouazizi melakukan protes melalui pembakaran diri.
Aksi  pembakaran  diri  yang  dilakukan  oleh  Bouazizi  mendorong  para  pemuda Tunisia  untuk  melakukan  protes  terhadap  pemerintah.  Aksi  protes  tersebut
merupakan  ekspresi  dari  ketidakpuasan  terhadap  isu-isu  sosial  yang  melanda Tunisia,  seperti  pengangguran,  korupsi,  inflasi  makanan,  dan  juga  tidak  adanya
kebebasan dalam berpolitik. Dalam waktu yang singkat, tepatnya pada 14 Januari 2011,  protes  yang  dilakukan  masyarakat  Tunisa  berhasil  mendorong  presiden
Zaenal  Abidin  Ben  Ali  yang  telah  memimpin  selama  23  tahun  untuk  turun  dari kursi kepemimpinan.
48
Di bawah pemerintahan Ben Ali, kebebasan pers terutama melalui internet, berada  di  bawah  kontrol  sang  diktator.  Halaman  wikipedia  mengenai  profil
dirinya, blog dan twitter dari pihak oposisi, serta artikel berita yang bersifat kritis tidak dapat diakses oleh pengguna internet karena telah di blok. Diskusi mengenai
sang diktator, Ben Ali,  juga tidak dapat dilakukan secara bebas terutama bahasan yang  bersifat  mengkritisi  dikarenakan  adanya  ketakutan  terhadap  polisi-polisi
rahasia yang dapat menangkap dan memenjarakan rakyat sipil.
49
47
Eugene Rogan, “The Arab Spring: Implications for British Policy”,  Conservative Middle East Council, Oktober, 2011: 4.
48
Alasdair MacKay, “The Arab Spring of Discontent”, E-International Relations, 2011: 4
49
Sami  Ben  Hassine,  We  Finally  have  Revolution  on  our  Minds,  dalam  Guardian  News  and Media, The Arab Spring, London: Guardian Books, 2012,  215.
Informasi  mengenai  revolusi  yang  terjadi  menyebar  secara  cepat  melalui media.  Protes  yang  pada  awalnya  merupakan  ekspresi  terhadap  banyaknya
penangguran,  tingginya  harga  makanan,  dan  keterbatasan  pers  menjalar  ke  isu yang  lebih  berat  seperti  keinginan  masyarakat  untuk  menurunkan  Ben  Ali  dari
kursi  pemerintahan.  Gerakan  yang  diawali  oleh  Bouazizi  tersebut  mendorong rakyat Tunisia untuk berani berekspresi.
50
Meskipun Tunisia mengalami beberapa perkembangan dalam isu sosial seperti tingkat pendidikan yang tinggi dan jumlah
masyarakat kelas menengah yang juga tinggi, adanya pembagian kelas sosial tidak dapat dihindarkan. Pembagian kelas sosial dan juga  gerakan buruh menjadi pilar
utama pemicu revolusi di Tunisia.
51
Aksi  pembakaran  diri  yang  dilakukan  oleh  Bouazizi  tidak  hanya berdampak  secara  lokal,  yakni  mendorong  masyarakat  Tunisia  untuk  melakukan
protes  terhadap  pemerintahan  Ben  Ali,  tetapi  juga  berdampak  pada  negara  Arab lainnya,  salah  satunya  adalah  Mesir.  Mundurnya  Ben  Ali  dari  kepemimpinan  di
Tunisia  pada  14  Januari  2011  memberikan  pencerahan  bagi  rakyat  Mesir  yang berusaha untuk menjatuhkan kepemimpinan Hosni Mubarak.
52
Tidak jauh berbeda dengan aksi yang dilakukan Bouazizi, protes di Mesir juga diawali dengan aksi pembakaran diri oleh Abdou Abdel-Monaam Hamadah
yang merupakan seorang pemilik restoran yang putus asa dengan kondisi ekonomi di  Mesir.  Meskipun  aksi  tersebut  tidak  memperoleh  perhatian  langsung  yang
50
Alyssa Alfano, “A Personal Perspective on Tunisian Revolution”, dalam Alasdair MacKay, :The Arab Spring of Discontent”, E-International Relations, 2011:  7.
51
Jason  William  Boose,  “Democratization  and  Civil  Society:  Libya,  Tunisia,  and  The  Arab Spring”, International Journal of Social Science and Humanity, 2:4 Juli, 2012: 314.
52
Hamid Dabashi, “The Arab Spring: The End of Postcolonialism”, London: Zed Books, 2012, 18.
signifikan selayaknya yang terjadi di Tunisia, tetapi aksi tersebut mampu memicu aksi protes  yang lebih besar melalui
“Day of Rage” pada 25 Januari 2011 untuk menurunkan rezim Mubarak.
53
Pada akhir Januari 2011, ribuan rakyat Mesir berkumpul di Tahrir Square masih  dengan  agenda  yang  sama,  meminta  mundurnya  Mubarak  dari  kursi
kepemimpinan.  Mubarak  menolak  untuk  mundur,  namun  berjanji  akan memberikan  reformasi  demokratis  serta  tidak  akan  mencalonkan  diri  kembali
dalam  pemilu  berikutnya.  Rakyat  tetap  memaksa  Mubarak  untuk  turun  melalui aksi protes lainnya pada 1 Februari 2011 di lokasi yang sama, Tahrir Square. Aksi
protes  masih  berlanjut  pada  4  Februari  2011  melalui “Day of Departure”. Aksi
tersebut mendapatkan  respon dari Omar Suleiman selaku Perdana Menteri untuk melakukan negosiasi dengan pihak oposisi, termasuk Muslim Brotherhood. Sang
presiden  masih  menolak  untuk  mengundurkan  diri.  Pada  11  Februari,  Omar Suleiman  yang  baru  saja  diangkat  menjadi  wakil  presiden  menyatakan
pengunduran  diri  Hosni  Mubarak  dan  dengan  demikian  kekuasaan  sementara berada di tangan militer.
54
Selanjutnya,  aksi  protes  menyebar  di  negara  lainnya  seperti  Yaman, Bahrain, hingga Suriah. Tidak berbeda dengan negara-negara sebelumnya, rakyat
Yaman  juga  menginginkan  kemunduran  sang  presiden,  Ali  Abdullah  Saleh. Presiden Saleh yang telah menjabat sejak tahun 1990 merespon aksi protes dengan
menyatakan bahwa dirinya tidak akan melakukan re-eleksi pada pemilu yang akan datang  dan  hanya  akan  menjabat  hingga  masa  kepemimpinannya  berakhir  pada
53
Dabashi, The Arab Spring, 18.
54
Dabashi, The Arab Spring, 18-19.
2013. Namun, rakyat Yaman tetap melanjutkan aksi protes melalui “Day of rage”
pada 3 Februari 2011.
55
Selama  proses  demonstrasi  yang  terjadi,  tokoh  militer  dan  beberapa menteri  beralih  memberikan  dukungan  kepada  para  demonstran,  berbeda  dengan
sang Presiden yang masih mempertahankan kepemimpinannya. Aksi demonstrasi ini masih terus berlanjut hingga Mei 2011 yang menimbulkan banyak korban jiwa
akibat bentroknya militer pemerintah dengan pihak oposisi. Pada bulan Juni 2011, Presiden  Saleh  terkena  tembakan  roket  di  kediaman  kepresidenan  dan
diterbangkan ke Arab Saudi.
56
Aksi  protes  dengan  menggunakan  istilah “Day  of  Rage”  tidak  hanya
dilakukan  oleh  para  protestan  di  Mesir  dan  Yaman,  rakyat  Bahrain  juga melakukan aksi yang sama pada 14 Februari 2011. Namun, aksi protes di Bahrain
ini  dikatakan  berbeda  dengan  Arab  Spring  karena  dipicu  oleh  perbedaan  Sunni- Siah yang ada dalam struktur sosial Bahrain. Meskipun demikian, pemicu lainnya
tidak dapat dilepaskan dari hal-hal ekonomi yakni adanya tindak korupsi oleh para elit politik. Aksi protes yang dilakukan di Pearl Square menelan korban jiwa dan
mendorong sang pemimpin, Hamad bin Isa Al Khalifa yang telah menjabat sejak 1942, melepaskan beberapa tahanan politik sebagai langkah damai dengan pihak
oposisi.
57
Di Suriah, aksi protes pertama terjadi di bagian selatan Suriah, tepatnya di kota  Dera
’a  pada  18  Maret  2011.  Pada  aksi  protes  awal  yang  terjadi  di  Suriah
55
Dabashi, The Arab Spring, 20.
56
Dabashi, The Arab Spring, 21
57
Dabashi, The Arab Spring, 21.
tersebut, rezim Bashar Al Assad langsung merespon protes tersebut secara militer. Semakin  banyak  para  protestan  yang  mempertahankan  diri  dengan  persenjataan,
semakin banyak kekerasan yang dilakukan oleh rezim Assad. Dalam krisis politik di Suriah, rezim Assad memperoleh bantuan, baik secara militer maupun finansial,
dari  negara-negara  besar  seperti  Rusia  dan  Tiongkok.  Dalam  menghadapi  krisis tersebut,  rezim  Assad  juga  memperbaharui  beberapa  aturan  dalam  negeri  seperti
memodifikasi manajemen hubungan regional dan internasional untuk mengurangi sanksi diplomatik dan ekonomi.
58
2. Arab Spring di Libya Libya Spring