Teknologi Pertanian (Study Deskriptif Tentang Perubahan Teknologi Pada Sektor Pertanian Masyarakat Pedesaan di Desa Sambaliang, Kec. Berampu, Kab. Dairi)

(1)

TEKNOLOGI PERTANIAN

(Studi Deskriptif tentang Perubahan Teknologi Pada Sektor Pertanian Masyarakat Pedesaan di Desa Sambaliang, Kec. Berampu, Kab. Dairi)

SKRIPSI

Diajukan Guna Memenuhi Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Sosial

Dalam Bidang Antropologi

Oleh:

ARNOVANDALA TAMPUBOLON

040905056

DEPARTEMEN ANTROPOLOGI

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

2011


(2)

PERNYATAAN

Teknologi pertanian

(study deskriptif tentang perubahan teknologi pada sektor pertanian masyarakat pedesaan di desa sambaliang, kec. Berampu, kab. Dairi)

SKRIPSI

Dengan ini saya menyatakan bahwa dalam skripsi ini tidak terdapat karya yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu perguruan tinggi, dan sepanjang pengetahuan saya juga tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh orang lain, kecuali yang secara tertulis diacu dalam naskah ini dan disebut dalam daftar pustaka.

Medan, Maret 2011


(3)

ABSTRAK

ARNOVANDALA TAMPUBOLON, 2011. Judul : TEKNOLOGI PERTANIAN (Studi Deskriptif tentang Perubahan Teknologi Pada Sektor Pertanian Masyarakat Pedesaan di Desa Sambaliang, Kec. Berampu, Kab. Dairi).

Skripsi ini terdiri dari 5 bab + 77 halaman + 5 daftar tabel + 18 daftar gambar + daftar pustaka + lampiran.

Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan gambaran secara jelas bagaimana peranan teknologi itu terhadap kehidupan sosial masyarakat dan juga bagaimana pengaruh masuknya teknologi pertanian terhadap perubahan sosial dan budaya di Desa Sambaliang serta aspek apa saja yang berubah. Fokus kajian ini adalah mendeskripsikan perubahan teknologi pada sektor pertanian masyarakat pedesaan di Desa Sambaliang, Kec. Berampu, Kab. Dairi. Pengumpulan data menggunakan teknik wawancara dan observasi untuk mendapatkan data yang akurat. Informan dalam penelitian ini dikategoriakan menjadi tiga yaitu informan pangkal, informan kunci dan informan biasa. Analisis dan pengolahan data menggunakan metode kualitatif yang bersifat deskriptif, dengan acuan daftar-daftar pertanyaan (interview guide) yang telah disusun terlebih dahulu oleh penulis.

Pertanian yang ada di Desa Sambaliang terbagi menjadi 3 teknologi pertanian yaitu : Teknologi pertanian awal (tahun 1890an-1930an), dimana menjelaskan bagaimana sistem pertanian awal sejak terbentuknya Desa Sambaliang, teknologi pertanian tahun 1930an-1990an, yang juga menjelaskan sistem pertanian yang ada di desa tersebut serta perubahan seperti apa yang terjadi pada sektor pertanian masyarakat petani, teknologi pertanian tahun 1990an sampai sekarang, menjelaskan bagaimana pola pertanian petani dengan hadirnya teknologi-teknologi pertanian yang semakin modern dan ekonomis.

Skripsi ini juga menjelaskan sebab-sebab yang mempengaruhi asupaun dari teknologi pertanian modern dari beberapa sumber antara lain yaitu : beberapa media cetak dan elektonik, keinginan dari dalam hati masing-masing masyarakat itu sendiri atau keluarga untuk meningkatkan taraf hidup para petani dan juga berdasarkan faktor agama yang menuntut setiap pemeluk agama Islam untuk bekerja dan berusaha sesuai dengan apa yang diajarkan oleh agamanya, dan sebagaimana yang telah dicanangkan tentang program pembangunan di setiap daerah di Indonesia maka peran serta dari pemerintah Kabupaten Dairi untuk mensejahterakan tingkat kehidupan masyarakatnya terutama sektor pertanian yang mayoritas penduduknya bermata pencaharian sebagai petani melalui program-program penyuluhan ke desa-desa.


(4)

UCAPAN TERIMA KASIH

Segala puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa. Karena atas segala kasih dan karunia-NYA, penulis bisa menyelesaikan skripsi ini yang berjudul “TEKNOLOGI PERTANIAN” (Studi Deskriptif Tentang Perubahan Teknologi Pada Sektor Pertanian Masyarakat Pedesaan di Desa Sambaliang, Kec. Berampu, Kab. Dairi). Dalam penyusunan skripsi ini penulis banyak menghadapi berbagai hambatan, hal ini karena keterbatasan pengetahuan, pengalaman, dan banyak hal lainnya. Namun berkat pertolongan Yesus Kristus yang memberi ketabahan, kesabaran dan kekuatan kepada penulis, hingga akhirnya penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi ini.

Penulis menyadari bahwasanya di dalam banyak hal, mulai dari awal sampai akhir dari proses penulisan skripsi ini telah melibatkan berbagai pihak yang turut serta membantu penulis dalam menyusun dan menyelesaikan skripsi ini.

Secara khusus dan teristimewa penulis mengucapkan terima kasih kepada kedua orang tua penulis, Ayahanda L. Tampubolon dan Ibunda S. Sihombing atas kasih sayang, didikan, perhatian, yang penulis terima sejak kecil hingga penulis tumbuh dewasa, terlebih jika mengingat badung dan keras kepalanya anak kalian yang satu ini, tidak pulang-pulang kerumah selama beberapa bulan yang membuat beban pikiran bagi kedua orang tuaku. Kakak dan adik-adikku tersayang, Elfrida Saroha Juliani br Tampubolon AmdKeb (kak Evie), adikku Aldeschart Tampubolon (Deskar), adikku Octaviani br Tampubolon (Octa). Kalianlah


(5)

motivasi terbesarku sehingga dapat menyelesaikan skripsi ini, sungguh semua jasa itu tidak akan terbalaskan.

Pada kesempatan ini penulis juga tidak lupa mengucapkan terima kasih kepada, Bapak Prof. Dr. Badarrudin, M. Si, selaku Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Sumatera Utara. Bapak Dr. Fikarwin Zuska, selaku Ketua Departemen Antropologi FISIP USU. Ibu Dra. Sri Alem Sembiring, M. Si, sebagai dosen penasehat akedemik dan pembimbing penulis terima kasih atas kesediaan membagi waktu dalam memberikan arahan dan bimbingan dari mulai proposal sampai skripsi ini selesai dan atas kesabaranya membimbing penulis selama mengerjakan skripsi ini. Bapak Drs. Irfan Simatupang, M. Si, selaku ketua penguji pada saat penulis ujian komperhensif. Terima kasih atas kesediaannya membagi waktu dan memberikan arahan dalam penyempurnaan skripsi ini. Bapak Drs. Lister Berutu, MA, selaku dosen penguji pada saat penulis melakukan ujian komperhensif. Terima kasih waktu dan saran yang diberikan dalam penyempurnaan skripsi ini. Seluruh staf pengajar FISIP-USU, khususnya dosen-dosen antropologi yang telah memberikan pengetahuan selama penulis melaksanakan perkuliahan. Seluruh staf pegawai FISIP-USU, terutama kak Nur dan kak Sopi yang telah membantu penulis dalam pengurusan administrasi dan seluruh berkas-berkas penulis.

Abang dan kakakku di Departemen Antropologi stambuk 2002, David Wirawan Sagala, S. Sos, Hovny Dede Sihombing, S. Sos (bang Bewok's), Novandi Siburian, S. Sos, Romy Ginting, S. Sos, Imam Sulaiman, S. Sos, Tohom Sihaloho, S. Sos, Aris Tanjung, S. Sos, kak Kekem S. Sos, Triono Pakpahan, S.


(6)

Sos (kak Tere), kak Nuriza Dora, M. Hum yang telah memberikan pengalaman yang sangat menarik terutama saat Inisiasi dan pengalaman sewaktu di kampus. Seluruh teman-teman sepermainan penulis di Binjai, Topan Sitompul, Sondang Panjaitan (jin), Liando Sirait, Roni Hutagaol, Doli Martin Sibarani, Harapan Panjaitan (Gepeng), Fansiscus Simanjuntak, Ferry Hutagaol dan teman-teman lain yang tidak bisa penulis sebutkan satu-persatu. Martua Tumanggor, terima kasih atas kesediaannya meminjamkan laptop kepada penulis. Sehingga penulis bisa mengerjakan skripsi ini tanpa harus repot-repot ke rental computer. The Best Friend yang tidak bisa aku lupakan, saat suka maupun duka yang selalu bersama Hizkia Alfred E.P Sagala, S. Sos (keong), Allessandro Turnip, S. Sos, maaf sudah membuat kalian menunggu lama agar aku menjadi sarjana. Serta kerabat-kerabat seperjuangan di Departemen Antropologi stambuk 2004, Joseph Silalahi, S. Sos, Hariman Silalahi, S. Sos ( Belanda), Erwind J.V Nababan, S. Sos (Bang Leboy), M. Gifari, S. Sos (Agif), M. Dian Safe’i, S. Sos, Siwa Kumar, S. Sos, Irma Friska Tambunan, S. Sos, Theodora Ginting, S. Sos, Adrianna Padang, S. Sos, Tetty Nadapdap, S. Sos, Frisahyani Nasution, S. Sos, Putri Arde Wulan, S. Sos, Yetty Silvia Oppungsunggu, S. Sos, Susi Pasaribu, S.Sos (Ncus), Yuditha Tobing, S. Sos, Rukun Hia, S. Sos, Rika Dewi, S. Sos, Lenti Sibarani, S. Sos, Arnila Telaumbanua, S. Sos, Rikardo Hutahuruk (Beko/Bang Jenggot), Ferdinand Sinaga (Ayak/Lae/Jamrud) daen temen-teman lain yang tidak bisa penulis sebutkan satu-persatu.

Komunitas RP ( Rumah Pohon ), Noprianto Tarigan, S. Sos (aa Toto), Imannuel Kevin Ginting, (Vidi Aldiano/Justien Beiber), Charlez D.S Gultom


(7)

(Budi), Feber Randy Sihotang, Luksan Pakpahan, Ruli Hariati Tumanggor, S. Sos (Mpok Atik), Hemalea Ginting (mengaku dirinya vokalis Kotak band), Helena Damanik, S. Sos, (Lemot/si Mutung). Adik-adikku di Departemen Antropologi, Bambang Napitupulu, S. Sos (Bembenk), Dangiel Sitorus, Herry Sianturi, Remaja Barus, Heri Manurung, Santi Maria Hutapea, S. Sos (bere), Kartika Ruth Yohanna Panjaitan, S. Sos (Menchi), Helen Silalahi (Luchen), Ervina Mayasari Pinem, Maria Silalahi, Harni Siboro, Rambo Fernandez Sitio, Hendra Sitinjak. Komunitas Warkop Oyas, Oyas Tarigan, Hotlas Sitorus (Lae Olmez), Togu Nababan, S. T Jimmy Sitorus, S. P, Nanda Damanik, Anja Damanik, Jopi Tobing, Hendrik Saragih, Ganda Saragih.

Terima kasih juga penulis ucapkan kepada Kepala Desa Sambaliang Bapak Jamidin Sihombing beserta seluruh perangkat desa, atas izin dan keramah tamahannya yang diberikan kepada penulis selama melakukan penelitian di Desa Sambaliang.

Penulis


(8)

KATA PENGANTAR

Skripsi ini disusun secara sederhana dengan harapan pembaca dapat mengerti dan memahami isinya dengan mudah. Skripsi ini disusun mengingat masih kurangnya pengetahuan oleh berbagai pihak tentang teknologi pertanian dalam kehidupan masyarakat petani di daerah pedesaan masa kini. Terutama bagaimana pengaruh masuknya teknologi pertanian terhadap kehidupan masyarakat petani. Mengingat hal ini sangat penting dalam hal perkembangan sisi kehidupan perekonomian masyarakat petani. Mudah-mudahan skripsi ini diterima dan diharapkan berguna untuk memperluas wawasan tentang modernisasi terutama terhadap teknologi-teknologi yang menyangkut segi pertanian di daerah pedesaan di Sumatera Utara khusunya dan di Indonesia umumnya.

Penulis berharap pembaca dapat memberikan kritik dan masukan agar skripsi ini dapat lebih baik dan sempurna. Atas kritik dan sarannya diucapkan terimakasih.


(9)

DAFTAR ISI

PERNYATAAN ORIGINALITAS ... i

ABSTRAK ... ii

UCAPAN TERIMA KASIH ... iii

KATA PENGANTAR ... vii

DAFTAR ISI ... viii

DAFTAR TABEL ... xi

BAB I. PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang Masalah... 1

1.2.Rumusan Masalah ... 8

1.3.Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 9

1.4.Lokasi Penelitian ... 10

1.5.Tinjauan Pustaka ... 10

1.6.Metode Penelitian ... 14

1.6.1. Tipe Dan Pendekatan Penelitian... 14

1.6.2. Teknik Pengumpulan Data ... 15

1.7.Analisis Data ... 17

BAB II. GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN 2.1. Sejarah Singkat Kabupaten Dairi dan Desa Sambaliang. ... 18

2.1.1. Sejarah Singkat Kabupaten Dairi ... 18

2.1.2. Sejarah Desa Sambaliang ... 25

2.1.3. Deskrifsi Perjaanan dari Kota Medan Menuju Lokasi Penelitian ... 27

2.2. Keadaan Alam Dan Batas Wilayah ... 31


(10)

2.5. Sarana Fisik Di Desa Sambaliang ... 42

2.5.1. Sarana Transportasi ... 42

2.5.2. Sarana Pendidikan ... 43

2.5.3. Sarana Kesehatan ... 43

2.5.4. Sarana Ibadah... 44

BAB III. TEKNOLOGI PERTANIAN DESA SAMBALIANG 3.1. Teknologi Pertanian Awal di Desa Sambaliang (1890-1990an) ... 45

3.1.1. Tanaman Palawija ... 45

3.1.2. Tanaman Nilam ... 49

3.2. Teknologi Pertanian di Desa Sambaliang (1990-1930an) ... 51

3.2.1.Tanaman Padi... 51

3.2.2. Tanaman Kopi ... 52

3.3. Teknologi Pertaian di Desa Sambaliang Tahun 1930an Sampai Sekarang ... 55

3.3.1. Perkembangan Teknologi Pada Tanaman Padi ... 56

3.3.2. Perkembangan Tanaman Baru di Desa Sambaliang ... 59

BAB IV. PERUBAHAN TEKNOLOGI PERTANIAN di DESA SAMBALIANG 4.1. Jenis-jenis Perubahan Teknologi di Desa Sambaliang...62

4.1.1. Peralatan yang Digunakan dalam Pengelohan Pertanian... 63

4.2. Sumber-sumber Perubahan Teknologi Pertanian ... 65

4.2.1. Media Cetak dan Elektronik ... 65

4.2.2. Hubungan-hubungan Kekerabatan dan Pertemanan ... 67

4.2.3. Agen Pemerintah dan Penyuluhan Pertanian ... 68

4.2.4. Aparat Desa atau Kepala Desa Sambaliang... 70


(11)

4.3. Masalah-masalah dari Masuknya Teknologi Baru ... 74 4.3.1. Penggunaan Pestisida... 74 4.4. Perubahan-perubahan terhadap Masyarakat

akibat Teknologi Pertanian ... 75 4.4.1. Efesiensi dan Penggunaan Uang ... 75 4.4.2. Hubungan Komunikasi Dengan Keluarga dan Kerabat ... 76 4.4.3. Pola Pikir Masyarakat kearah Materialistis

dan Individualis... 77

BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN

5.1. Kesimpulan ... 79 5.2. Saran ... 82 DAFTAR PUSTAKA ...

LAMPIRAN 1. Daftar Tabel 2. Daftar Informan


(12)

Lampiran 1

DAFTAR TABEL

1. Tabel 1 : Daftar Nama Transportasi Dari Kota Medan Menuju

Kota Sidikalang... 29

2. Tabel 2 : Komposisi Penduduk Berdasarkan Umur... 35

3. Tabel 3 : Komposisi Penduduk Berdasarkan Pendidikan... 37

4. Tabel 4 : Komposisi Penduduk Berdasarkan Pekerjaan ... 39


(13)

ABSTRAK

ARNOVANDALA TAMPUBOLON, 2011. Judul : TEKNOLOGI PERTANIAN (Studi Deskriptif tentang Perubahan Teknologi Pada Sektor Pertanian Masyarakat Pedesaan di Desa Sambaliang, Kec. Berampu, Kab. Dairi).

Skripsi ini terdiri dari 5 bab + 77 halaman + 5 daftar tabel + 18 daftar gambar + daftar pustaka + lampiran.

Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan gambaran secara jelas bagaimana peranan teknologi itu terhadap kehidupan sosial masyarakat dan juga bagaimana pengaruh masuknya teknologi pertanian terhadap perubahan sosial dan budaya di Desa Sambaliang serta aspek apa saja yang berubah. Fokus kajian ini adalah mendeskripsikan perubahan teknologi pada sektor pertanian masyarakat pedesaan di Desa Sambaliang, Kec. Berampu, Kab. Dairi. Pengumpulan data menggunakan teknik wawancara dan observasi untuk mendapatkan data yang akurat. Informan dalam penelitian ini dikategoriakan menjadi tiga yaitu informan pangkal, informan kunci dan informan biasa. Analisis dan pengolahan data menggunakan metode kualitatif yang bersifat deskriptif, dengan acuan daftar-daftar pertanyaan (interview guide) yang telah disusun terlebih dahulu oleh penulis.

Pertanian yang ada di Desa Sambaliang terbagi menjadi 3 teknologi pertanian yaitu : Teknologi pertanian awal (tahun 1890an-1930an), dimana menjelaskan bagaimana sistem pertanian awal sejak terbentuknya Desa Sambaliang, teknologi pertanian tahun 1930an-1990an, yang juga menjelaskan sistem pertanian yang ada di desa tersebut serta perubahan seperti apa yang terjadi pada sektor pertanian masyarakat petani, teknologi pertanian tahun 1990an sampai sekarang, menjelaskan bagaimana pola pertanian petani dengan hadirnya teknologi-teknologi pertanian yang semakin modern dan ekonomis.

Skripsi ini juga menjelaskan sebab-sebab yang mempengaruhi asupaun dari teknologi pertanian modern dari beberapa sumber antara lain yaitu : beberapa media cetak dan elektonik, keinginan dari dalam hati masing-masing masyarakat itu sendiri atau keluarga untuk meningkatkan taraf hidup para petani dan juga berdasarkan faktor agama yang menuntut setiap pemeluk agama Islam untuk bekerja dan berusaha sesuai dengan apa yang diajarkan oleh agamanya, dan sebagaimana yang telah dicanangkan tentang program pembangunan di setiap daerah di Indonesia maka peran serta dari pemerintah Kabupaten Dairi untuk mensejahterakan tingkat kehidupan masyarakatnya terutama sektor pertanian yang mayoritas penduduknya bermata pencaharian sebagai petani melalui program-program penyuluhan ke desa-desa.


(14)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Masalah

Dalam GBHN (Garis-Garis Besar Haluan Negara) sudah dijelaskan bahwa pembangunan nasional bertujuan untuk mewujudkan suatu masyarakat yang adil dan makmur yang merata material dan spiritual berdasarkan Pancasila di dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang merdeka, bersatu, berdaulat serta adil dan makmur. Disamping itu juga dijelaskan bahwa landasan pelaksanaan pembangunan nasional tersebut adalah azas mufakat, azas usaha bersama dan kekeluargaan, azas demokrasi, azas adil dan merata, azas perikehidupan dalam keseimbangan, azas kesadaran hukum dan azas kepercayaan kepada diri sendiri ( Nirwan, 1990 ).1

Impian pembangunan yang bertujuan merubah merubah suatu keadaan masyarakat kearah yang lebih baik tidak selamanya dapat menjadi kenyataan. Margaret Haswell, 1975 dalam Nirwan, (1990), mengatakan dalam konteks pertumbuhan kota-kota dan kemajuan teknologi dalam bidang prasarana perhubungan telah menciptakan iklim yang kurang sehat dengan apa yang disebutkan dan menjadi tujuan pembangunan nasional. Secara mutlak dampak negatif dari keadaan ini menceraikan masyarakat desa dengan masyarakat kota.

Masuknya teknologi baru ke dalam sistem produksi desa sebagai bagian yang tidak terpisahkan dalam proses modernisasi yang dilancarkan telah menciptakan penciutan kesempatan kerja di daerah pedesaan (M. Fadhil Hasan,

1 Skripsi yang di buat pada tahun 1990 dengan judul “Pola Adaptasi Petani Terhadap Modernisasi


(15)

1983:16). Akibat dari keadaan ini adalah banyaknya anggota masyarakat yang pergi berbondong-bondong ke kota mencari hidup alternatif lain. Namun karena budaya kota berbeda dengan budaya desa, maka warga pedesaan tidak dapat bertahan hidup (survive) dalam kehidupan kota.

Mereka dengan terpaksa memasuki sektor informal, memilih pekerjaan yang tidak tetap. Seperti apa yang dikatakan oleh Umar Kayam (1984), mereka terlempar dari kehidupan desa dan terdampar dalam kehidupan kota, yang merupakan drop-out dari masyarakat pertanian dan sekaligus adalah misfit dari budaya kota dari masyarakat pasca pertanian.

Indonesia termasuk ke dalam barisan negara-negara yang sedang berkembang. Berdasarkan sensus Tahun 2000, penduduk Indonesia ± 70 % berada di daerah pedesaan yang menggantungkan kehidupannya dari usaha pertanian dan bahkan sebahagian besar masih hidup di bawah garis kemiskinan. Untuk memerangi kemiskinan tersebut pemerintah dengan strategi pembangunannya yang diarahkan pada sector pedesaan dengan menitik beratkan pembangunan bidang ekonomi dengan prioritas utama bidang pertanian telah diwujudkan ke dalam program Pelita yang dimulai sejak Tahun 1969, dan juga ketika memasuki Pelita II Tahun 1974.

Dalam Pelita tersebut dengan jelas dikemukakan, bahwa pembangunan di bidang pertanian adalah :

“Intensifikasi, yaitu meningkatkan hasil per hektar melalui penggunaan waktu kerja lebih banyak. Penyedian pupuk, obat-obatan, bibit unggul, dan alat-alat pertanian modern serta sarana-sarana pemasaran, penyuluhan dalam rangka


(16)

intensifikasi ; dan juga ekstensifikasi, perluasan kesempatan melalui perluasan tanah pertanian”.2

Apa yang telah dicapai dengan program Pelita ini yaitu dengan diintroduksinya barbagai teknologi pertanian modern adalah meningkatnya produksi padi yang merupakan unsur terbesar dalam masyarakat petani di Indonesia. Selama Pelita I terlihat bahwa produsi total beras setelah meningkat dengan rata-rata 4,4 % yang dihasilkan dari perluasan areal panen yang bertambah dengan 17,8 % Ahmad T. Birowo, 1974 dalam Nirwan (1990).

Namun menarik sekali bila pendapat di atas dibandingkan dengan pendapat Sayogno (1978), yang mengemukakan bahwa usaha untuk menjadikan sektor pertanian sebagai suatu sektor komersil, memang berhasil pada petani lapisan atas dan menengah sedang pada petani lapisan bawah praktis tertinggal. Berdasarkan pendapat Sayogno di atas diperoleh, dua pandangan yang menyimpulkan di satu pihak sisi keberhasilan dan kemajuan modernisasi pertanian dan di pihak lain kemunduran bagi petani lapisan bawah.

Hal ini dapat saja terjadi bagi masyarakat yang ingin mencoba suatu perubahan dalam sistem mata pencaharian, terutama dalam bidang ekonomi pertanian. Masalah yang menjadi dalam hal ini adalah bagaimana mengadopsi ide-ide baru untuk mewujudkan suatu perilaku, dan cara-cara yang baru dari suatu adopsi inovasi teknologi pertanian yang mengarah kepada efisiensi kerja dan penambahan pendapatan.

2 Progam yang dicanangkan oleh pemerintah tahun 1974 guna mensejahterakan kehidupan para


(17)

Di Indonesia usaha ke arah ini telah berulang kali dilaksanakan. Namun semakin hangat hal ini dibicarakan dalam proses evaluasi maka semakin kompleks pula masalah yang harus dihadapi. Ace Partadiredja (1988), mengatakan di negara-negara maju, angkatan kerjanya berpindah dari sektor pertanian ke sektor industri, kemudian ke jasa.

Di Indonesia jika dilihat beberapa ciri penduduk pedesaan maka tidak memungkinkan mereka untuk langsung beralih ke sektor industi, terlebih industri modern yang canggih. Yang terjadi adalah perpindahan dari pertanian ke jasa yang tidak banyak memerlukan keahlian, pendidikan khusus ataupun latihan. Banyak penduduk desa secara berangsur-angsur pindah ke jasa angkutan, perdagangan kecil, buruh bangunan, dan pekerjaan umum lainnya.

Salah satu ulasan tentang adopsi teknologi tersebut dibahas oleh Frans Husken, yang dilaksanakan pada tahun 1974. Penelitian yang mengulas tentang perubahan teknologi pertanian di masyarakat pedesaan Jawa yang terjadi akibat kebijakan pembangunan pertanian yang diambil oleh pemerintah. Penelitian itu dilakukan di Desa Gondosari, Kawedanan Tayu, Kabupaten Pati, Jawa Tengah. Kekhususan dan keunikan dari penelitian ini terletak pada isinya yang tidak saja merekam pengalaman perubahan teknologi (revolusi) tersebut, namun juga menggali studi dalam perspektif sejarah yang lebih jauh ke belakang.

Namun tetap perlu diperhatikan bahwa setiap masyarakat mempunyai “ego”nya dalam segala bidang termasuk aspek teknologi. Perubahan yang diharapkan dengan mengintroduksi teknologi seharusnya sesuai dengan apa yang menjadi ego masyarakat tersebut, sehingga pola perubahan dapat diterima oleh


(18)

masyarakat. Setiap kebijakan dan introduksi teknologi yang diberikan pada masyarakat agraris di pedesaan akan memberikan dampak perubahan sosial yang multi dimensional. (Frans Husken,1974)

Banyak faktor yang menyebabkan terjadinya perubahan sosial di pedesaan, misalnya datangnya kolonialis dengan berbagai ciri kebudayaan yang dibawanya, pola pendidikan, sistem ekonomi, politik pemerintahan dan banyak hal yang tidak mungkin dipisahkan dari faktor-faktor individual yang berpengaruh tanpa disadari mampu mempengaruhi individu lainnya. Faktor yang penting dalam kaitannya dengan pembicaraan ini adalah teknologi, yang sangat nyata berkaitan dengan perubahan sosial di pedesaan. Hal ini terjadi karena pada pasca nasional ini, selalu dijadikan sasaran utama pembangunan.

Pada masa pembangunan ini, baik itu setelah Indonesia merdeka maupun orde baru, desa secara terus menerus mengalami perkembangan. Masyarakat desa menerima dan menggunakan hasil penemuan atau peniruan teknologi khususnya di bidang pertanian, yang merupakan orientasi utama pembangunan di Indonesia. (Moore, 1983)

Moore (1983), juga menjelaskan bahwa penerimaan terhadap teknologi baik itu dipaksakan ataupun inisiatif agen-agen perubah, tidak terelakkan lagi akan mempengaruhi perilaku sosial (social behavior) masyarakat penerima teknologi tersebut.. Lebih dari itu, introduksi teknologi yang tidak tepat mempunyai implikasi terhadap perubahan sosial, yang kemudian akan diikuti dan diketahui akibatnya. Contohnya, ketika teknologi berupa traktor atau mesin penggilingan padi awal gerakan revolusi hijau sekitar tahun60-an masuk ke desa,


(19)

banyak buruh tani di pedesaan jadi pengangguran akibat tenaganya tergantikan oleh mesin-mesin traktor.

Keadaan ini menimbulkan perubahan struktur, kultur dan interaksional di pedesaan. Perubahan dalam suatu aspek akan merembet ke aspek lain. Struktur keluarga berubah, dimana buruh wanita yang biasa menumbuk padi sebagai penghasilan tambahan, sekarang hanya tinggal di rumah. Masuknya traktor menyebabkan tenaga kerja hewan menganggur dan buruh tani kehilangan pekerjaannya. Keadaan demikian menyebabkan terjadinya urbanisasi, buruh tani dan pemuda tani lari ke kota mencari pekerjaan. Hal ini kemudian memberikan dampak kepadatan penduduk yang membeludak di perkotaan, lalu menjadikan perputaran ekonomi semakin besar dan desa semakin tertinggal. Namun keadaan ini tidak sampai di sini, ketika mereka kembali lagi ke desa timbul konflik kultur akibat budaya yang terbangun selama berada di kota terbawa ke desa. Dari contoh sederhana ini dapat dibayangkan betapa akibat perubahan suatu aspek dapat merembet ke aspek lainnya.

Perubahan-perubahan sebagaimana yang telah diuraikan di atas, Desa Sambaliang juga terjadi akibat introduksi teknologi pertanian. Desa Sambaliang, Kec. Berampu, Kab. Dairi merupakan wilayah yang mayoritas penduduknya bermata pencaharian sebagai petani. Berbagai macam hasil pertanian dapat dibudidayakan di lahan tersebut, misalnya tanaman kopi, padi, sayur-sayuran dan buah-buahan. Dalam mengolah pertanian alat-alat yang digunakan petani di desa tersebut awalnya masih menggunakan peralatan seperti cangkul, babat, arit dan lain-lain yang kesemuanya itu masih menggunakan tenaga manusia. Berbeda


(20)

dengan sekarang, saat ini pengolahan pertanian di Desa Sambaliang sudah dikategorikan mengalami perubahan. Teknologi yang bermacam-macam satu persatu masuk ke desa yang dianggap masyakat masih sangat asing bagi mereka.

Masuknya teknologi pertanian di Desa Sambaliang juga mengalami perubahan, dimana para buruh tani yang tidak mempunyai lahan atau ladang bekerja pada orang yang memiliki lahan sekarang menganggur karena tenaganya sudah tergantikan oleh mesin-mesin traktor. Pemilik tanah merasa bahwa dengan memakai mesin, waktu yang dibutuhkan dalam mengolah tanah relatif lebih singkat daripada menggunakan tenaga buruh.

Masuknya teknologi pertanian sekarang juga berdampak psikologis pada masyarakat Sambaliang. Dulunya dalam mengolah lahan pengetahuan masyarakat sudah sangat hapal, misalnya kapan harus padi itu ditanam, bagaimana perawatannya, alat-alat apa saja yang digunakan. Sekarang teknologi yang masuk seperti traktor harus mereka hadapi dengan pengetahuan yang tidak mereka tahu. Mereka harus beradaptasi dengan alat-alat traktor terlebih dahulu, dan itu memakan waktu yang relatif lama. Selain traktor, teknologi pertanian yang masuk ke Desa Sambaliang adalah masuknya jenis pupuk dan pestisida baru untuk aktivitas pertanian. Introduksi tanaman baru juga masuk ke desa yaitu tanaman jeruk pada awal tahun 2003. Warga Desa Sambaliang mengkonversi tanaman kopi mereka menjadi tanaman jeruk. Tahun 2007, masyarakat Sambaliang menambahkan tanaman cabai di sela-sela tanaman jeruk mereka.

Berangkat dari pemaparan di atas, saya mengambil suatu kajian dimana pembangunan seperti teknologi yang dilakukan di daerah pedesaan itu mempunyai


(21)

dampak terhadap perubahan di masyakatnya. Apakah masuknya suatu aspek teknologi baru di bidang pertanian di Desa Sambaliang berpengaruh pada masyarakat desa baik itu dari aspek sosial ataupun budaya masyarakat setempat akibat dari dorongan pembangunan teknologi tersebut. Serta bagaimana strategi masyarakat di Desa Sambaliang dalam mengatasi permasalahan pertanian akibat masuknya teknologi pertanian.

1.2. Rumusan Masalah

Seperti yang sudah dijelaskan pada latar belakang diatas, bahwa teknologi berperan dalam proses pembangunan pertanian. Tulisan ini juga melihat perubahan-perubahan yang terjadi pada petani di Desa Sambaliang sebagai akibat dari masuknya teknologi pertanian baru dan konversi tanaman baru di bidang pertanian.

Berdasarkan masalah di atas, beberapa pertanyaan dalam penelitian ini yaitu :

1. Jenis teknologi pertanian apa saja yang masuk ke Desa Sambaliang?

2. Masalah-masalah apa yang ditimbulkan akibat masuknya teknologi baru tersebut?

3. Perubahan-perubahan apa saja yang terjadi pada masyarakat Desa Sambaliang akibat dari masuknya teknologi baru tersebut.


(22)

1.3. Tujuan Dan Manfaat Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian yang bersifat deskriptif dengan tujuan untuk mendapatkan gambaran secara jelas bagaimana peranan teknologi itu terhadap kehidupan sosial masyarakat dan juga bagaimana pengaruh teknologi terhadap perubahan sosial di Desa Sambaliang tersebut serta aspek apa saja yang berubah. Secara akademis tujuan penelitian ini yaitu untuk mengumpulkan data-data guna menyusun skripsi atau karya ilmiah dalam bidang Ilmu Antropologi dan merupakan salah satu syarat untuk mencapai gelar sarjana pada Departemen Antropologi.

Penelitian ini bermanfaat sebagai suatu proses atau bagian untuk menerapkan pengetahuan yang telah didapat melalui masa-masa perkuliahan selama ini dan nantinya dapat diterapkan sebagai bahan pembelajaran untuk kedepannya. Secara akademis penelitian ini juga diharapkan sebagai referensi serta pengkaryaan studi di jurusan Antropologi dan juga melatih penulis untuk membuat karya ilmiah serta sebagai salah satu bahan kajian yang dapat diperdalam lagi oleh para peneliti lainnya. Secara teoritis pada masyarakat Desa Sambaliang penelitian ini juga bermanfaat sebagai bahan pembelajaran dan menambah wawasan para petani tentang bagaimana penggunaan alat-alat teknologi pertanian yang masuk ke Desa Sambaliang. Secara praktis penelitian ini bermanfaat sebagai sumbangan pemikiran dalam penanggulangan masalah-masalah pembangunan di daerah pedesaan.


(23)

1.4. Lokasi Penelitian

Penelitian yang dikaji oleh peneliti ini berada di Desa Sambaliang, Kecamatan Berampu, Kabupaten Dairi. Alasan mengapa memilih daerah tersebut karena di desa tersebut merupakan daerah yang masyarakatnya mayoritas bermata pencaharian sebagai petani. Hal itu dikarenakan lahan yang ada di daerah tersebut masih sangat subur, sehingga dapat diolah berbagai macam hasil-hasil pertanian pokok seperti padi, sayur-sayuran, buah-buahan, padi, kopi, dan lainnya. Juga mengapa memilih lokasi tersebut karena berdasarkan atas pertimbangan metodologis refresentatif dengan topik masalah yang dirumuskan.

1.5. Tinjauan Pustaka

Kata transformasi diambil dari terjemahan kata transformation (Bahasa Inggris). Istilah tranform (Neufebet and Guralnik, 1988) dapat diartikan sebagai perubahan, dan tranformation dapat diartikan sebagai proses perubahan. Dalam arti yang lebih luas, transformasi mencakup bukan saja perubahan pada bentuk luar, namun juga pada hakikat atau sifat dasar, fungsi, dan struktur atau karakteristik perekonomian suatu masyarakat. Transformasi pertanian atau agribisnis di pedesaan, dapat diartikan sebagai perubahan bentuk, ciri, struktur, dan kemampuan sistem pertanian yang dapat menggairahkan, menumbuhkan, mengembangkan, dan menyehatkan perekonomian masyarakat pedesaan.

Pengertian yang lebih luas yang dikaitkan dengan perekayaan sosial-budaya pedesaan, transformasi masyarakat pedesaan dapat dipandang sebagai proses modernisasi atau pembangunan (Dumont dalam Pranadji, 1999). Dalam


(24)

pembangunan, sektor pertanian atau kegiatan agribisnis dapat dipandang sebagai

leading sector-nya. Pranadji (1995), menjelaskan tentang transformasi ekonomi pertanian yang berciri budaya tradisional/subsisten ke yang berciri budaya modern/komersial. Tansformasi pertanian di pedesaan merupakan respon dan antisipasi terhadap tuntutan kemajuan untuk hidup lebih baik, dan globalisasi pasar.

Amanor dalam Sembiring, (2002:9) menjelaskan bahwa pertanian dikonseptualisasikan sebagai produk dari kebudayaan dimana teknologi dan pengetahuan pertanian diletakkan dalam sistem sosial budaya den ekologi dimana pengetahuan itu dikembangkan.

Menurut Kroeber dalam Marzali, (1998:91) petani adalah merupakan masyarakat pedesaan yang hidup berhubungan dengan kota-kota pusat pasar, kadang-kadang kota metropolitan. Mereka merupakan bagian atau sampalan dari budaya kota. Sedangkan Wolf (1983), menjelaskan petani merupakan seseorang yang bergerak di bidang pertanian yang mengkombinasikan faktor-faktor produksi yang dibeli di pasar, untuk memperoleh laba dengan jalan untuk menjual hasil produksinya secara menguntungkan di pasar hasil bumi. Radfield dalam Koentjaraningrat (1990:191), mengatakan bahwa petani merupakan masyarakat kecil yang tidak memenuhi semua kebutuhan anggotanya, tetapi disatu pihak mempunyai hubungan yang horizontal dan komuniti-komuniti disekitarnya tetapi dipihak lain juga secara vertikal dengan komuniti daerah perkotaan.

Perubahan sosial merupakan bagian dari perubahan budaya. Perubahan dalam kebudayaan mencakup semua bagian, yang meliputi kesenian, ilmu


(25)

pengetahuan, teknologi, filsafat dan lainnya. Akan tetapi perubahan tersebut tidak mempengaruhi organisasi sosial masyarakatnya. Ruang lingkup perubahan kebudayaan lebih luas dibandingkan perubahan sosial. Namun demikian dalam prakteknya di lapangan kedua jenis perubahan perubahan tersebut sangat sulit untuk dipisahkan (Soekanto, 1990).3

Perubahan sosial dialami oleh setiap masyarakat yang pada dasarnya tidak dapat dipisahkan dengan perubahan kebudayaan masyarakat yang bersangkutan. Perubahan sosial dapat meliputi semua segi kehidupan masyarakat, yaitu perubahan dalam cara berpikir dan interaksi sesama warga menjadi semakin rasional; perubahan dalam sikap dan orientasi kehidupan ekonomi menjadi makin komersial; perubahan tata cara kerja sehari-hari yang makin ditandai dengan pembagian kerja pada spesialisasi kegiatan yang makin tajam; Perubahan dalam kelembagaan dan kepemimpinan masyarakat yang makin demokratis; perubahan dalam tata cara dan alat-alat kegiatan yang makin modern dan efisien, dan lain-lainnya.(Soekanto, 1990)

Perubahan kebudayaan bertitik tolak dan timbul dari organisasi sosial. Pendapat tersebut dikembalikan pada pengertian masyarakat dan kebudayaan. Masyarakat adalah sistem hubungan dalam arti hubungan antar organisasi dan bukan hubungan antar sel. Kebudayaan mencakup segenap cara berfikir dan bertingkah laku, yang timbul karena interaksi yang bersifat komunikatif seperti menyampaikan buah pikiran secara simbolik dan bukan warisan karena keturunan

3


(26)

(Davis dalam Soekanto, 1960). Apabila diambil definisi kebudayaan menurut Taylor dalam Soekanto (1990), kebudayaan merupakan kompleks yang mencakup pengetahuan, kepercayaan, kesenian, moral, hukum adat istiadat dan setiap kemampuan serta kebiasaan manusia sebagai warga masyarakat, maka perubahan kebudayaan adalah segala perubahan yang mencakup unsur-unsur tersebut. Soemardjan (1982), mengemukakan bahwa perubahan sosial dan perubahan kebudayaan mempunyai aspek yang sama yaitu keduanya bersangkut paut dengan suatu cara penerimaan cara-cara baru atau suatu perbaikan dalam cara suatu masyarakat memenuhi kebutuhannya

Salah satu pemikiran Geertz ;1963, yang mengandung relevansi dan merefleksikan kondisi masyarakat dan kebudayaan,4

Kedua, upaya pemerintah kolonial untuk meraih pasar internasional adalah mempertahankan pribumi tetap pribumi, dan terus mendorong mereka untuk berproduksi bagi memenuhi kebutuhan pasar dunia. Keadaan ini mewujudkan adalah tesis tentang involusi pertanian. Tesis tersebut dapat dipaparkan secara singkat sebagai berikut. Pertama, kebijakan kolonial Hindia Belanda (1619-1942) adalah membawa produk pertanian dari Jawa yang subur ke pasar dunia, di mana produk-produk tersebut sangat dibutuhkan dan laku, tanpa mengubah secara fundamental struktur ekonomi pribumi. Namun, pemerintah kolonial tak pernah berhasil mengembangkan ekonomi ekspor secara luas di pasar dunia, seperti halnya Inggris pada masa yang sama, sehingga kepentingan utama Pemerintah Belanda tetaplah bertumpu pada koloninya: Hindia Belanda.

4 Tesis tentang involusi pertanian. Ini bisa dilacak dalam buku Agricultural Involution: The


(27)

struktur ekonomi yang secara intrinsik tidak seimbang, yang oleh JH Boeke (1958) disebut dualisme ekonomi.

Ketiga, pada sektor domestik, ada satuan pertanian keluarga, industri rumah tangga, dan perdagangan kecil. Kalau pada sektor ekspor terjadi peningkatan yang dipicu oleh harga komoditas dunia, maka sektor domestik justru mengalami kemerosotan dan kemunduran. Tanah dan petani semakin terserap ke sektor pertanian komersial yang dibutuhkan Pemerintah Hindia Belanda untuk perdagangan dunia.

Keempat, akibatnya adalah semakin meningkatnya populasi petani yang berupaya melakukan kompensasi penghasilan uang-hal ini semakin dimantapkan menjadi kebiasaan-dengan intensifikasi produksi pertanian subsisten. Proses pemiskinan di pedesaan Jawa dijelaskan Geertz dalam konteks ini. Kemiskinan di Jawa adalah produk interaksi antara penduduk pribumi (petani di Jawa) dan struktur kolonial pada tingkat nasional dalam konteks politik-ekonomi.

1.6. Metode Penelitian

1.6.1. Tipe dan pendekatan penelitian

Penelitian ini bersifat deskriptif dengn menggunakan pendekatan kualitatif. Menurut Lexy J. Moleong (2006 : 6), penelitian kualitatif adalah penelitian yang bermaksud untuk memahami fenomena tentang apa yang terjadi dan dialami oleh subyek penelitian misalnya, perilaku, persepsi, motivasi, tindakan, dan lain-lain secara holistik dan dengan cara deskripsi dalam bentuk kata-kata dan bahasa, pada suatu konteks khusus yang alamiah dan dengan


(28)

memanfaatkan berbagai metode kualitatif yaitu berupa pengamatan, wawancara dan studi kepustakaan.Metode kualitatif mengahasilkan data yang deskriptif yang berisi kutipan dari hasil penelitian baik itu berupa hasil wawancara, catatan lapangan, foto atau dokumen pribadi yang tujuannya untuk mempermudah dalam membuat laporan penelitian.

Hebert dalam Koentjaraningrat, (1983: 30-32), bahwa maksud dari penelitian deskriptif adalah semata-mata untuk memberikan gambaran yang tepat dari suatu gejala dan pokok perhatian adalah pengaturan yang cermat dari suatu atau lebih variable terikat dalam suatu kelompok masyarakat tertentu.

1.6.2. Teknik Pengumpulan Data

Untuk dapat memperkuat data ketika penelitian dilakukan , diperlukan beberapa cara yang relevan dalam mencapai tujuan penelitian, yakni :

a. Observasi

Observasi adalah pengamatan terhadap suatu subjek. Adapun jenis observasi yang penulis lakukan adalah observasi langsung partisipant. Dalam pengamatan penulis turut aktif dalam kegiatan dan tugas yang dijalankan oleh para petani, baik itu kegiatan mereka sehari-hari diladang dimana penulis ikut ambil bagian dalam proses pekerjaan mereka serta dalam adaptasi dan interaksi antar setiap individu. Metode observasi dilakukan guna mengetahui situasi dalam konteks ruang dan waktu pada daerah penelitian. Data yang diperoleh dari hasil wawancara saja tidaklah cukup untuk menjelaskan fenomena yang terjadi, oleh


(29)

karena itu diperlukan suatu aktivitas dengan langsung mendatangi suatu tempat penelitian dan melakukan pengamatan.

b. Wawancara

Wawancara adalah percakapan dengan maksud tertentu. Percakapan dilakukan oleh dua pihak, yaitu pewawancara yang mengajukan beberapa pertanyaan pokok dan yang diwawancarai yaitu orang yang memberikan jawaban dari pertanyaan yang diajukan (Moleong, 1998: 115).

Wawancara yang dipakai dalam penelitian ini adalah bentuk wawancara mendalam ( depth interview ) kepada beberapa informan dengan menggunakan alat bantu berupa pedoman wawancara ( interview guide ) yang berhubungan dengan masalah penelitian. Wawancara mendalam dimaksudkan untuk memperoleh sebanyak mungkin data yang akurat dari subyek penelitian. Dalam penelitian ini wawancara dilakukan terhadap informan kunci dan informan biasa. Yang menjadi informan kunci dari penelitian ini adalah orang yang tahu betul seluk beluk Desa Sambaliang baik itu kepala desa, tokoh masyarakat dan tuan tanah. Sedangkan informan biasa dalam penelitian ini yaitu masyarakat petani yang ada di Desa Sambaliang. Materi utama dalam wawancara adalah beberapa pertanyaan penelitian yang telah penulis susun terlebih dahulu.

c. Studi Kepustakaan

Studi kepustakaan ini dimaksudkan untuk kepentingan teori-teori yang relevan yang dijadikan landasan berpikir dalam melihat masalah yang diteliti, yang diperoleh melalui buku-buku, hasil penelitian, dan skripsi atau karya ilmiah yang mempunyai hubungan dengan masalah yang diteliti. Studi kepustakaan ini


(30)

cukup penting sebab sebagian data yang diperlukan telah diungkapkan dalam berbagai bentuk tulisan sebelumnya.

1.7. Analisis Data

Analisis data dilakukan dengan menelaah seluruh data yang telah dikumpulkan dari hasil penelitian yang dilakukan, baik itu dari observasi wawancara dan studi kepustakaan yang telah dicatat dalam catatan lapangan ( field note ). Data yang telah terkumpul kemudian dibaca, diteliti kembali dan selanjutnya dibuat pengkategorisasian data sehingga dapat ditarik suatu kesimpulan. Maksudnya adalah dari hasil penelitian dilapangan nantinya dapat ditarik suatu hubungan atau kolerasi dari data yang telah dikumpulkan.


(31)

BAB II

GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN

2.1. Sejarah Singkat Kab. Dairi dan Desa Sambaliang

2.1.1. Sejarah Kabupaten Dairi

Dairi merupakan sebuah wilayah kabupaten yang terletak di Propinsi Sumatera Utara. Berdasarkan data resmi Kabupaten Dairi, pemerintahan ini telah terbentuk sebelum kehadiran kolonial Belanda, yaitu sekitar tahun 1852 - 1942.5

1. Raja Ekuten atau Takal Aur, sebagai pemimpin satu suak atau yang terdiri dari beberapa marga.

Adapun struktur pemerintahan saat itu adalah:

2. Pertaki, sebagai Pemimpin satu kuta atau kampung setingkat dibawah Raja Ekuten.

3. Sulang silima, sebagai pembantu Pertaki pada setiap kuta (kampung), yang terdiri dari: Perisangisang, Perekurekur, Pertulantengah,

Perpunca Ndiadep, Perbetekken

Struktur yang dimaksud dilaksanakan berdasarkan hubungan antar suak. Hubungan tersebut sangat erat kaitannya satu sama lain, hal ini dapat dilihat dari kesamaan kebutuhan aspek sosial budaya dan terjalinnya rantai perekonomian. Kondisi daerah Dairi sebagian besar pengunungan. Mata pencaharian penduduk umumnya memproduksi hasil hutan, seperti rotan, damar, kapur barus, kemenyan dan kayu. Hasil tersebut diperdagangkan melalui pelabuhan Barus, Singkil dan Runding.


(32)

Sesuai struktur tersebut, berdasarkan wilayah masyarakat Pakpak dibagi dalam 5 (lima) suak, yaitu:

1. Suak Simsim yakni orang Pakpak yang menetap dan memiliki hak

ulayat di wilayah Simsim. Dalam administrasi pemerintahan Republik Indonesia saat sekarang, wilayah wilayah tersebut adalah Kabupaten Pakpak Bharat yang dimekarkan dari Kabupaten Dairi tahun 2003.

2. Suak Keppas, yakni orang Pakpak yang menetap dan berdialek

Keppas. Dalam administrasi pemerintahan, mecakup wilayah Kecamatan Silima Pungga-pungga, Tanah Pinem, Parbuluan, Sidikalang dan lain-lain di Kabupaten Dairi.

3. Suak Pegagan, yakni orang Pakpak yang berasal dan berdialek

Pegagan. Dalam administrasi pemerintahan saat ini meliputi wilayah Kecamatan Sumbul, Pegagan hilir dan Kecamatan Tiga Lingga dan lain-lain di Kabupaten Dairi.

4. Suak Kelasen, yakni orang Pakpak yang berasal dan berdialek

Kelasen. Dalam admininstrasi pemerintahan Republik Indonesia, wilayah ini sejak tahun 2003 berada di Kabupaten Humbang Hasundutan (Kecamatan Perlilitan dan Kecamatan Pakkat) dan Kabupaten Tapanuli Tengah (Kecamatan Barus).

5. Suak Boang, yakni orang Pakpak yang berasal dan berdialek

Boang. Dalam administrasi pemerintahan Republik Indonesia, wilayah ini berada di wilayah Kotamadya Subusalam Kabupaten Aceh Singkil, Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam (Berutu, 2006).


(33)

Wilayah komunitas Pakpak yang tradisional (hukum adat) di atas tidak identik dengan wilayah administrasi pemerintahan zaman Belanda dan setelah kemerdekaan Republik Indonesia. Pada zaman Belanda misalnya, dengan politik pecah belah (de vide et impera), wilayah pemerintahan selalu berubah-ubah sesuai dengan kepentingan mereka.

Kehadiran kolonial Belanda di Indonesia, sangat mempengaruhi perubahan struktur pemerintahan komunitas Pakpak, khususnya Kabupaten Dairi. Berdasarkan Kabupaten Dairi dalam Angka (2007), bahwa perubahan tersebut dapat dilihat dimana Dairi menjadi satu Onderafdeling yang dipimpin oleh seorang Controleur berkebangsaan Belanda dan dibantu oleh seorang Demang yang berasal dari penduduk Bumiputera. Kemudian, daerah Dairi Landen menjadi bagian dari Asisten Residen Batak Landen yang berpusat di Tarutung. Pemerintahan tersebut sudah berlaku ketika adanya perlawanan Sisingamangaraja XII sampai menyerahnya Belanda atas pendudukan Nippon pada tahun 1942.

Setelah perang Sisingamangaraja XII usai (1907), wilayah Dairi dimasukkan oleh pemerintahan kolonial Belanda ke dalam wilayah Keresidenan Tapanuli Utara/Tanah Batak/Bataklanden. Keresidenan Tapanuli Utara berpusat di Tarutung yang dipimpin seorang Residen. Keresidenan Tapanuli Utara dibagi menjadi 5 (lima) onderafdeeling yaitu; onderafdeeling Samosir, Toba (Balige),

Hoogvlakte Van Toba (Siborong-borong), Silindung (Tarutung) dan Dairilanden.

Onderafdeeling dipimpin seorang Demang. Wilayah onderafdeeling dibagi atas beberapa onderdistrik yang dipimpin Asisten Demang. Onderdistrik terdiri dari beberapa negeri (bius) yang dipimpin oleh seorang Kepala Negeri (jaihutan).


(34)

Negeri terdiri dari beberapa desa (horja) yang dipimpin Kepala Kampung (pengulu). Kampung terdiri dari beberapa dusun (huta) yang dipimpin Raja Huta. Pengulu biasanya dipilih dari salah seorang raja huta. OnderafdeelingDairilanden

berpusat di kota Sidikalang (Sangti, 1967).

Selama penjajahan Belanda, daerah Dairi mengalami pengurangan wilayah. Hal ini dikarenakan tertutupnya hubungan antar wilayah. Adapun wilayah-wilayah yang berkurang dari Dairi antara lain:

1. Tongging yang menjadi wilayah Tanah Karo

2. Menduamas dan Barus menjadi wilayah Tapanuli Tengah

3. Sienem Koden (Kecamatan Parlilitan) menjadi wilayah Tapanuli Utara

4. Simpang Kanan, Simpang Kiri, Lipat Kajang, Gelombang dan Runding menjadi wilayah Aceh Selatan.

Untuk mempermudah Pemerintahan Belanda, maka Belanda membagi daerah Dairi menjadi 3 (tiga) onderdistik antara lain:

1. Onderdistik Van Pakpak yang meliputi 7 kenegerian yakni; Sitelu

Nempu, Siempat Nempu Hulu, Siempat Nempu, Silima Pungga-pungga, Pegagan Hulu, Parbuluan dan Silalahi Paropo.

2. Onderdistik Van Simsim yang meliputi 6 kenegerian yakni; Kerajaan, Siempat Rube, Mahala Majanggut, Sitellu Tali Urang Jehe, Salak, Ulu Merah dan Salak Pananggalan.


(35)

3. Onderdistrik Van Karo Kampung yang meliputi 5 kenegerian yakni; Lingga (Tigalingga), Tanah Pinem, Pegagan Hilir, Juhar Kidupen Manik dan Lau Juhar.

Tahun 1942, kolonial Belanda jatuh atas pendudukan Dai Nippon. Pada saat itu hingga Republik Indonesia merdeka, Jepang tidak merubah pemerintahan. Namun Jepang mengganti istilah jabatan pemimpin dengan:

1. Demang menjadi Guntyo

2. Asisten Demang menjadi Huku Guntyo 3. Kepala Negeri menjadi Bun Dantyo 4. Kepala Kampung menjadi Kuntyo

Setelah kemerdekaan Indonesia diproklamirkan pada tanggal 17 Agustus 1945, dibentuk Komite Nasional di Dairi. Komite tersebut untuk mengatur pemerintahan Dairi sesuai dengan Undang-undang Nomor 1 tahun 1945. Untuk melengkapi dan menampung aspirasi masyarakat, anggota komite dipilih sebanyak 35 orang yang mewakili setiap daerah Dairi dan setiap Urung

(kewedanan). Agar mempermudah kerja komite maka dibentuk pembantu Komite Nasional. Adapun tugas utama dari Komite Nasional adalah:

1. Menyelesaikan pemilihan Dewan Negeri 2. Menyelesaikan Pemilihan Kepala Kampung 3. Membentuk Pemerintahan dan Badan Perjuangan

Pada tanggal 6 Juli 1947, Agresi Belanda menduduki Sumatera Timur. Hal ini membuat putera Dairi yang berada di sana kembali mengungsi ke Dairi. Demikian juga halnya dengan putera asal Tapanuli. Untuk melancarkan


(36)

pemerintahan serta menghadapi perang melawan agresi Belanda, maka Residen Tapanuli yang dipimpin oleh Dr. Ferdinan Lumban Tobing selaku Gubernur Militer Sumatera Timur dan Tapanuli menetapkan Tapanuli menjadi 4 (empat) Kabupaten. Pembagian wilayah meliputi; Silindung, Humbang, Toba Samosir dan Dairi. Keputusan tersebut berlaku mulai 1 Oktober 1947, yang kemudian ditetapkan mejadi hari jadi Kabupaten Dairi.

Setelah Dairi ditetapkan menjadi kabupaten, maka diangkat Bupati yang saat itu dipimpin oleh Paulus Manurung. Bupati berkedudukan di Sidikalang dengan memiliki 3 (tiga) wilayah kewedanan antara lain:

1. Kewedanan Sidikalang, terdiri dari Kecamatan Sidikalang dan Sumbul 2. Kewedanan Simsim, terdiri dari Kecamatan Kerajaan dan Salak

3. Kewedanan Karo Kampung, terdiri dari Kecamatan Tiga Lingga dan Tanah Pinem.

Menjelang Agresi Kedua tanggal 23 Desember 1948, Belanda menduduki Kota Sidikalang dan Tiga lingga. Hal ini membuat Bupati Dairi Paulus Manurung menyerah. Sebagian besar Pegawai Negeri mengungsi dari kota untuk menghindari serangan Belanda. Untuk menyusun strategi melawan agresi Belanda, maka Mayor Slamat Ginting selaku Komandan sektor III Sub teritorium VII menyusun strategi Pemerintahan Militer. Untuk lebih menyempurnakan Pemerintahan Militer, wilayah Dairi dimekarkan dari 6 Kecamatan menjadi 12 Kecamatan, antara lain; Kecamatan Sidikalang, Sumbul, Parbuluan, Silalahi Paropo, Pegagan Hilir, Tiga lingga, Gunung Sitember, Tanah Pinem, Silima Pungga-pungga, Siempat Nempu, Kerajaan, Salak.


(37)

Tahun 1949, Belanda menyerahkan kedaulatan Dairi kepada Pemerintahan Indonesia. Sejak saat itu, Pemerintahan Militer Dairi kembali dalam Pemerintahan Sipil. Selanjutnya, wilayah dairi kembali dibagi dari 12 kecamatan menjadi 8 kecamatan yakni; Kecamatan Sidikalang, Sumbul, Salak, Kerajaan, Silima Pungga-Pungga, Siempat Nempu, Tiga Lingga dan Tanah Pinem.

Tahun 1950, Kabupaten Dairi kembali masuk dalam wilayah Kabupaten Tapanuli Utara. Hal ini sesuai dengan Undang-undang Nomor 22 tahun 1948, yang menyatakan bahwa semua kabupaten yang dibentuk sejak Agresi I dan II harus kembali dilebur. Akibat dari peleburan wilayah, masyarakat Dairi dan tokoh masyarakat meminta kapada pemerintah pusat melalui Propinsi Sumatera Utara untuk menjadikan dairi daerah otonom Tingkat II.

Tahun 1958, hubungan daerah Dairi terputus dengan Tapanuli Utara (Tarutung). Hal ini dikarenakan terjadinya pemberontakan PRRI (Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia). Melihat hal tersebut serta menjaga Kefakuman pemerintahan, Gubernur KDH Sumatera Utara mengeluarkan Surat Perintah tanggal 28 Agustus 1958 No.565/UPS/1958 dengan menetapkan daerah Dairi menjadi wilayah Administratif yakni Koordinator Shap yang langsung berurusan dengan Propinsi Sumatera Utara. Selanjutnya, atas dasar pertimbangan efesiensi dan efektivitas pemerintahan, maka pemerintah pusat menyetujui serta menetapkan pembentukan kembali Kabupaten Dairi dengan UU No. 4 Perpu 1964, terhitung mulai 1 Januari 1964, kemudian menjadi UU No.15 Tahun 1964 yang berlaku sekarang (Kabupaetn Dairi Dalam Angka, 2007).


(38)

Tahun 2003, Kabupaten Dairi dimekarkan menjadi 2 (dua) kabupaten yaitu Kabupaten Dairi dan Kabupaten Pakpak Bharat. Mulai saat itu hingga sekarang Kabupaten Dairi terbagi menjadi 15 kecamatan, antara lain; Kecamatan Sidikalang, Sitinjo, Berampu, Parbuluan, Sumbul, Silahisabungan, Silima Pungga-Pungga, Lae Parira, Siempat Nempu, Siempat Nempu Hulu, Siempat Nempu Hilir, Tiga Lingga, Gunung Sitember, Pegagan Hilir dan Tanah Pinem.

2.1.2. Sejarah Desa Sambaliang

Pada tahun 1890-an di Kabupaten Dairi, banyak desa-desa yang terbentuk di kabupaten tersebut. Salah satu desa yang terbentuk akibat kepadatan penduduk di suatu desa itu adalah Desa Sambaliang. Menurut salah satu keturunan dari pembuka kampung Desa Sambaliang yaitu Sarina Br Ujung berumur 45 tahun, bahwa ayahnya pernah bercerita tentang bagaimana Desa Sambaliang terbentuk. Pembuka kampung Desa Sambaliang yaitu marga Pasi dan marga Ujung. Dulunya marga Pasi dan marga Ujung ini merupakan penduduk dari Desa Pasi yang sekarang menjadi satu kecamatan dengan Desa Sambaliang yaitu Kecamatan Berampu. Karena penduduk di Desa Pasi semakin bertambah dan wilayahnya yang kecil, sehingga banyak penduduk yang keluar dari Desa Pasi tersebut. Salah satunya yaitu marga Pasi dan marga Ujung.

Marga Pasi dan marga Ujung itu kemudian mendirikan tempat tinggal di daerah yang belum pernah ditinggali oleh manusia (hutan). Di tempat inilah mereka bermukim dan hidup dengan cara mengelola hasil hutan tersebut. Asal mula nama Desa Sambaliang menurut yang diceritakan oleh Sarina Br Ujung


(39)

berasal dari kata Somba yang artinya menyembah dan kata Liang yang artinya lubang atau gua. Jadi, arti dari Sombaliang itu adalah menyembah kepada gua atau lubang. Dikatakan seperti itu karena dulu di Desa Sambaliang tepatnya di kaki bukit Desa tersebut terdapat gua atau lubang yang besar yang dipercayai sebagi tempat keramat. Karena dipercayai sebagai tempat keramat, maka gua itu di sembah oleh masyarakat Desa Sambaliang. Kepercayaan masyarakat akan suatu hal yang gaib baik itu dalam bentuk apapun merupakan kepercayaan yang mereka peroleh dari nenek moyang mereka. Tetapi karena perubahan zaman dan pengucapan sehari-hari masyarakat di desa dan sudah menjadi kebiasaan, maka dalam penyebutan desa tersebut berubah pula pengucapannya dari yang kata sebelumnya Sombaliang menjadi Sambaliang dan nama itulah yang di kenal masyarakat sampai saat ini.

Pada masa itu banyak rakyat yang hidup dan tinggalnya berpindah-pindah. Tidak terlepas pada masyarakat etnis Batak Toba, mereka juga hidup berpindah-pindah hingga sampai ke Kabupaten Dairi. Dari alasan ibu Sarina br Ujung inilah maka banyak masyarakat yang berdatangan dan bermukim di Desa Sambaliang tersebut, khususnya masyarakat etnis Batak Toba yang datang dari daerah Tapanuli Utara. Mereka bermukim dan hidup secara berdampingan dengan marga Pasi da marga Ujung tersebut.

Sebagai pembuka kampung di Desa Sambaliang, marga Pasi dan marga Ujung merupakan pemilik dari tanah yang ada di Desa Sambaliang. Masyarakat pendatang yang bermukim di Desa Sambaliang tersebut harus bermuhon kepada tuan tanah yaitu marga pasi dan Marga Ujung agar diberikan sedikit lahan untuk


(40)

bercocok tanam sebagai mata pencaharian mereka. Sebagai tuan tanah, marga Pasi dan marga Ujung kemudian memberikan tanah sebagai lahan mereka untuk bercocok tanam. Selama beberapa tahun kemudian masyarakat di Desa Sambaliang semakin bertambah karena semakin banyak pendatang yang bermukim di desa tersebut. Sehingga kebanyakan dari penduduk di Desa Sambaliang yang bermukim dan menetap secara permanen adalah masyarakat yang ber etnis Batak Toba. Desa Sambaliang dikepalai oleh seorang Kepala Desa yang dipilih berdasarkan pemilihan yang diadakan setiap 5 tahun sekali. Kepala Desa Sambaliang saat ini adalah Jamidin Sihombing.

2.1.3. Deskripsi Perjalanan Dari Kota Medan Menuju Lokasi Penelitian Lokasi penelitian yang yang penulis kaji berada di Kabupaten Dairi, Kecamatan Berampu tepatnya di Desa Sambaliang. Untuk menuju lokasi penelitian tersebut menggunakan alat transportasi darat. Transportasi yang digunakan dapat dijumpai di Jalan. Jamin Ginting, tepatnya daerah Padang Bulan, Kotamadya Medan. Beberapa angkutan jurusan kota Medan-Sidikalang antara lain Po. DATRA (Dairi Transport), CV. BTN (Bintang Tani Jaya), Po. SAMPRI (Samosir Pribumi), CV. PAS Transport, CV. HIMPAK. Angkutan tersebut kebanyakan menggunakan jenis mobil Mitsubishi L 300 Sparta. Harga tiket untuk penumpang menuju Kota Sidikalang bervariasi, untuk penumpang yang mengambil tempat duduk kelas ekonomi dikenakan biaya Rp. 25.000,- sedangkan untuk penumpang yang mengambil tempat duduk kelas executive dikenakan biaya sebesar Rp. 30.000,-. Semua jenis angkutan ini ada setiap hari mulai dari hari


(41)

Senin-Minggu dan beroperasi pada pukul 05.00 WIB – 20.00 WIB dan rentang keberangkatan antar setiap unit bis antara 15-30 menit. Kapasitas setiap unit bis bervariasi dilihat dari kelasnya, kelas ekonomi dapat menampung penumpang sebanyak 14 orang sedangkan kelas executive dapat menampung penumpang sebanyak 11 orang.

Jarak yang ditempuh mulai dari Kota Medan menuju Kota Sidikalang ± 160 Km memakan waktu 4-5 jam perjalanan. Jalan yang dilewati beraspal dan berliku-liku mulai dari Kecamatan Pancur batu sampai pada Kecamatan Sitinjo. Hal ini dikarenakan daerah yang diteliti oleh penulis berada di antara Bukit Barisan, jalan yang begitu panjang itu berbentuk dakian dan berliku sehingga dapat dilewati oleh bermacam kendaraan. Bentuk jalannya pun ada yang beraspal mulus, semi aspal dan ada yang berlubang. Daerah-daerah yang dilewati angkutan dari Medan menuju kota Sidikalang antara lain, Kecamatan Sibolangit, Kecamatan Bandar Baru yang termasuk kedalam Kabupaten Deli Serdang; Kecamatan Berastagi, Kecamatan Kabanjahe, Kecamatan Tiga Panah, Kecamatan Merek yang kesemuanya berada di Kabupaten Karo; Kecamatan Tanjung Beringin, Kecamatan Sumbul, Kecamatan Sitinjo dan akhirnya Kecamatan Sidikalang yang berada di Kabupaten Dairi.


(42)

Tabel 1

Daftar Nama Transportasi Umum Dari Kota Medan Menuju Kota Sidikalang

No Jasa Pengangkutan Lokasi Harga Tiket Kapasitas Lama Waktu yang

ditempuh 1 Po. DATRA (Dairi

Transport)

Jln. Jamin ginting (depan komplek perumahan Citra Garden, pasar 4, Padang Bulan, Kotamadya Medan)

Rp. 30.000,- 11 orang 4 – 5 jam

2 o.SAMPRI (Samosir Pribumi)

Jln. Jamin Ginting (daerah Simpang Pos depan pos polisi, pasar baru, Padang Bulan, Kotamadya Medan)

Ekonomi Rp. 25.000,- Executive Rp. 30.000,- 14 orang 11 orang

4 – 5 jam

3 V. BTN (Bintang Tani Jaya)

Jln. Jamin Ginting, (samping pajak sore, daerah Padang Bulan, Kotamadya Medan) Ekonomi Rp. 25.000,- Executive Rp. 30.000,- 14 orang 11 orang

4 – 5 jam

4 CV. PAS Jln. Jamin Ginting (depan simpang Pasar 3, padang Bulan, Kotamadya Medan)

Rp. 30.000,- 11 orang 4 – 5 jam

5 CV. HIMPAK Jln. Jamin Ginting (dekat simpang Pos, Pasar 7, Padang Bulan, Kotamadya

Medan)


(43)

Sesampainya di Kota Sidikalang, bis akan berhenti di stasiun atau loket masing-masing yang berada di Jln. Gereja/Nusantara (loket SAMPRI), Jln Sisingamangaraja (PAS Transport), Jln. Merdeka (DATRA). Kemudian dari Kota Sidikalang penulis menaiki lagi angkutan pedesaan yang bisa ditemukan di pasar tradisional Sidikalang (dulunya merupakan terminal pusat yang ada di Kota Sidikalang). Angkutan yang dapat ditemukan di pasar tradisional antara lain angkutan desa yang bernama CV. Koko dan becak bermotor. Kalau menggunakan becak bermotor menuju lokasi penelitian mengeluarkan biaya sebesar Rp 15.000-Rp. 20.000,-, sedangkan kalau menggunakan angkutan desa mengeluarkan biaya sebesar Rp. 7.000,-. Jarak yang ditempuh dari pasar tradisional sampai ke Desa Sambaliang ± 12 Km dan memakan waktu 1,5 jam perjalanan. Jalan yang dilalui menuju lokasi penelitian masih semi aspal berbatu dan ada juga yang berlubang, hal ini dikarenakan pembangunan jalan di sepanjang desa yang berada di Kecamatan sidikalang sampai desa-desa yang berada di Kecamatan Berampu masih minim. Daerah-daerah yang dilewati menuju lokasi penelitian antara lain Desa Huta Rakyat yang berada di Kecamatan Sidikalang; Desa Berampu, Desa Pasi, Desa Karing yang berada di di Kecamatan Berampu; Desa Bantu Horbo yang berada di Kecamatan Lae Parira, lalu kemudian sampailah dilokasi penelitian yaitu Desa Sambaliang.


(44)

2.2. Keadaan Alam dan Batas Wilayah

Berdasarkan admistrasi pemerintahan, Desa Sambaliang merupakan salah satu desa yang berada di Kecamatan Berampu, Kabupaten Dairi, Propinsi Sumatera Utara. Luas wilayah keseluruhan desa 780 Ha dengan batas-batas administrasi sebagai berikut :

• Sebeleh Utara berbatasan dengan Desa Kentara, Kabupaten Lae Parira.

• Sebelah Selatan berbatasan dengan Desa Pasi, Kabupaten Berampu.

• Sebelah Barat berbatasan dengan hutan lindung.

• Sebelah Timur berbatasan dengan Desa Sumbul, Kabupaten Lae Parira.

Desa Sambaliang terdiri dari 4 (empat) dusun yaitu ; yang pertama Dusun I disebut Barisan atau biasanya masyarakat setempat mengatakan Bariba, dikatakan demikian karena dusun tersebut letak perumahannya membentuk barisan yang panjang dan diatas dusun ini berada dusun II. Dusun II disebut Bukit atau biasanya masyarakat setempat mengatakan Dolok, dikatakan demikian karena dusun tersebut letaknya berada diatas bukit dan dibawah dusun tersebut merupakan dusun I. Dusun III disebut Pakpak, dikatakan demikian karena mayoritas masyarakat yang beretnis Pakpak tinggal di dusun tersebut dan letak perumahannya berbentuk barisan memanjang dan ada juga yang berada diatas bukit. Dusun IV disebut ujung atau biasanya masyarakat setempat mengatakan Kepar, dikatakan demikian karena dusun tersebut berada paling ujung dari desa tersebut dan letak perumahannya sama seperti dusun III ada yang memanjang dan juga ada yang berada diatas bukit. Jenis perumahan di setiap dusun pun bervariasi antara lain masih ada bentuk bangunan lama yang terbuat dari kayu, ada juga yang


(45)

semi permanen (sebagian bentuk rumah menggunakan bahan kayu dan sebagian lagi menggunakan bahan batu bata serta semen), ada juga yang permanen yang keseluruhan bentuk rumah sudah menggunakan batu bata dan semen.

Keadaan alam Desa Sambaliang berada diketinggian ± 500-800 meter dari permukaan laut dengan curah hujan 1500-2500 milimeter per tahun. Suhu rata-rata harian di Desa Sambaliang antara 28-29 ºC dengan kelembapan antara 70-75%. Secara umum, Desa Sambaliang daerahnya berbentuk perbukitan, dimana pada kaki bukit dimanfaatkan masyarakat sebagai lahan pertanian. Sebagian daerah berbentuk dataran dengan permukaan yang bergelombang. Daerah yang berbentuk dataran rendah dijadikan sebagai tempat pemukiman dan bercocok tanam. Adapun perincian penggunaan lahan pedesaan adalah sebagai berikut; persawahan 160 Ha, pemukiman serta pekarangannya 40 Ha. Perladangan 200 Ha dan hutan 210 Ha.

Wilayah Desa Sambaliang yang berbukit tidak terlepas dari bentuk keseluruhan Kabupaten Dairi. Dairi merupakan deretan panjang pegunungan Bukit Barisan yang terbentang sepanjang pulau Sumatera. Di punggung Bukit Barisan tersebut letak Kabupaten Dairi, sehingga topografi dan permukaan tanah terlihat berbukit-bukit, bergunung, berlembah, dan hanya sedikit yang mendatar.


(46)

Berikut ini merupakan gambaran lokasi pertanian Desa Sambaliang :

Gambar 16 Gambar 27

2.3. Pola Pemukiman dan Tata Guna Lahan

Desa Sambaliang merupakan salah satu desa yang berada di Kecamatan Berampu, Kabupaten Dairi. Jarak dari ibukota kabupaten dengan Desa Sambaliang ±12 Km yang memakan waktu ±1,5 jam dan jarak dari ibukota Kecamatan Berampu dengan Desa Sambaliang ±4 Km yang memakan waktu ±0,5 jam. Alat transportasi yang biasa digunakan oleh masyarakat Desa Sambaliang yaitu becak bermotor, sepeda motor dan angkutan desa, biasanya angkutan desa hanya akan masuk ke Desa Sambaliang pada saat ada pekan di kota atau masyarakat menyebutnya “maronan”. Sebelum menemukan desa ini, dari jalan yang dilalui angkutan kita akan menjumpai simpang. Dari simpang tersebut kita akan melewati Desa Bantu Horbo yang berbeda kecamatan dengan Desa Sambaliang, dimana Desa Bantu Horbo ini berada di Kecamatan Lae Parira. Desa Bantu Horbo ini merupakan tanah kelahiran dari mantan ketua DPRD Sumatera Utara yaitu Alm. H.Abdul Azis Angkat. Dari simpang tersebut ±2 km setelah

6 Jalan menuju ke Desa Sambaliang


(47)

melewati Desa Bantu Horbo, kita akan menemukan dua jalan menuju Desa Sambaliang. Jalan yang kearah kanan merupakan jalan menuju dusun I yaitu Bariba dan jalan yang kearah kiri merupakan jalan menuju dusun II yaitu Dolok. Dari dua arah jalan ini nantinya bertemu dusun III yaitu Pak-Pak sampai pada akhir jalan ini akan bertemu dengan dusun yang terakhir yaitu Kepar. Pertama-tama ketika memasuki Desa Sambaliang kita akan menemukan kantor Kepala Desa. Ketika memasuki Desa Sambaliang, beberapa rumah pertama yang dijumpai terlihat permanen, sebahagian lagi semi permanen dengan lantai semen, dinding setengah batu, setengah papan. Umumnya bangunan rumah cenderung semi permanen. Kebanyakan rumah penduduk dicat berwarna terang dan beratap seng yang sudah berwarna kecoklatan. Hampir seluruh rumah penduduk memiliki perkarangan (halaman) yang luas. Perkarangan tersebut dijadikan sebagai tempat menjemur hasil tani seperti padi, jagung, kopi, nilam serta sebagai tempat saat acara pesta.

Beberapa rumah penduduk dibangun di lokasi kebun mereka, sehingga rumah terlihat dikelilingi oleh tanaman kopi, durian, kelapa dan beberapa pisang, tanaman nilam, kacang-kacangan. Selain itu, rumah penduduk yang beragama Kristen umumnya memiliki kandang ternak babi di belakang perkarangannya sedangkan yang beragama Islam memiliki kadang ternak kambing ataupun kerbau.


(48)

2.4. Keadaan Penduduk

Penduduk Desa Sambaliang dihuni oleh etnis Batak dengan sub etnis yaitu etnis Batak Pak-Pak dan etnis Batak Toba. Enits Pak-Pak merupakan etnis asli dari Desa Sambaliang tersebut sementara etnis Batak Toba merupakan kelompok pendatang. Marga-marga yang ada di desa ini antara lain marga Pasi, Ujung. Tetapi saat ini, menurut data yang saya peroleh penduduk di daerah Desa Sambaliang mayoritas sudah di dominasi oleh masyarakat etnis Batak Toba yang antara lain bermarga Sihombing, Lumban Toruan, Silaban, Nababan.

2.4.1. Komposisi Penduduk Berdasarkan Golongan Umur

Berdasarkan data yang diperoleh dari kantor Kepala Desa Sambaliang, komposisi penduduk dilihat dari golongan umur pada Tahun 2009 adalah sebagai berikut :

Tabel 2

Komposisi Penduduk Berdasarkan Golongan Umur

No Golongan Umur

Jenis Kelamin

Jumlah Persentase Pria Wanita

1 0 – 12 bulan 40 orang 49 orang 89 orang 7, 67 % 2 13 bulan – 4 tahun 32 orang 38 orang 70 orang 6, 03 % 3 5 tahun – 6 tahun 48 orang 72 orang 120 orang 10, 34 % 4 7 tahun –12 tahun 151 orang 164 orang 315 orang 27, 15 % 5 13 tahun–15 tahun 30 orang 42 orang 72 orang 6, 20 %


(49)

6 16 tahun–18 tahun 32 orang 38 orang 70 orang 6, 03 % 7 19 tahun–25 tahun 70 orang 87 orang 157 orang 13, 53 % 8 26 tahun–35 tahun 35 orang 40 orang 75 orang 6, 46 % 9 36 tahun– 45 tahun 25 orang 28 orang 53 orang 4, 56 % 10 46 tahun– 50 tahun 21 orang 21 orang 42 orang 3, 62 % 11 51 tahun– 60 tahun 15 orang 22 orang 37 orang 3, 18 % 12 61 tahun– 75 tahun 10 orang 25 orang 35 orang 3, 01 % 13 > 76 tahun 10 orang 15 orang 25 orang 2, 15 % Jumlah 519 orang 641 orang 1160 orang 100 %

Sumber : Data Statistik Pengolahan Profil Desa Sambaliang Tahun 2009, dikelola penulis

Dari tabel 2 di atas, dapat di jelaskan bahwa usia produktif di Desa Sambaliang yaitu antara usia 16 – 46 tahun. Selain itu, data tersebut menunjukkan bahwa terdapat penduduk yang masih usia sekolah dan lanjut usia. Usia produktif tersebut, memungkinkan para petani dapat mengelola lahan pertanian mereka. Di samping itu, usia produktif yang masih sekolah dapat membantu orang tua mereka di ladang atau di sawah setelah mereka pulang dari sekolah.


(50)

2.4.2. Komposisi Penduduk Berdasarkan Pendidikan

Berdasarkan data Tahun 2009, komposisi penduduk Desa Sambaliang dilihat dari pendidikan adalah sebagai berikut :

Tabel 3

Komposisi Penduduk Berdasarkan Tingkat Pendidikan

No Pendidikan

Jenis kelamin

Jumlah Persentase Pria Wanita

1 Buta huruf atau aksara

27 orang 35 orang 62 orang 5, 34 %

2 Putus sekolah 178 orang 115 orang 293 orang 25, 25 %

3 Tamat

SD/Sederajat

270 orang 230 orang 500 orang 43, 10 %

4 Tamat

SLTP/Sederajat

80 orang 30 orang 110 orang 9, 48 %

5 Tamat

SMA/Sederajat

70 orang 115 orang 185 orang 15, 94 %

6 Universitas/PT 3 orang 7 orang 10 orang 0, 86 %

7 Akademi - - - 0 %

Jumlah 100 %

Sumber : Data Statistik Pengolahan Profil Desa Sambaliang tahun 2009, dikelola penulis

Pendidikan merupakan salah satu faktor penting bagi kehidupan manusia. Sehingga setiap orang atau keluarga selalu berusaha untuk memenuhi


(51)

kebutuhannya akan pendidikan. Begitu juga yang terjadi di Desa Sambaliang, dimana peran pendidikan itu berpengaruh dan merupakan bagian dalam kehidupan sehari-hari. Dari tabel 3 di atas dapat dijelaskan bahwa tingkat pendidikan di Desa Sambaliang sangat bervariasi. Dimulai dari masyarakatnya yang buta huruf atau aksara berjumlah 62 orang dengan persentase sebesar 5, 34 %, kemudian yang putus sekolah atau tidak bisa melanjutkan sekolahnya berjumlah 293 orang dengan persentase sebesar 25, 25 %, tamat SD atau sederajat berjumlah 500 orang dengan persentase sebesar 43,10 %, tamat SLTP atau sederajat berjumlah 110 orang dengan persentase sebesar 9, 48 %, tamat SMA atau sederajat berjumlah 185 orang dengan persentase sebesar 15, 94 %, yang masuk atau tamat perguruan tinggi berjumlah 10 orang dengan persentase sebesar 0, 86 %.

Dari data ini dapat disimpulkan bahwa tingkat atau daya minat masyarakat Desa Sambaliang terhadap pendidikan masih minim. Hal ini dikarenakan faktor kebutuhan hidup mereka, dimana dengan membantu orang tua bekerja di ladang lebih baik daripada sekolah. Sehingga banyak anak-anak di Desa Sambaliang yang putus sokolahnya karena kurang biaya atau keharusan membantu orang tua bekerja di ladang setiap hari. Hal ini sudah ditanamkan pada mereka saat usia mereka masih anak. Ketika orang tua mereka pergi bekerja di ladang, anak-anak mereka pun diajak ikut serta membantu orang tua mereka bekerja misalnya dengan menbantu orang tua mereka mencangkul di ladang.


(52)

Gambar 38

2.4.3. Komposisi Penduduk Berdasarkan Pekerjaan

Berdasarkan data yang diperoleh Tahun 2009, komposisi penduduk dilihat dari pekerjaan masyarakat Desa Sambaliang adalah sebagai berikut :

Tabel 4

Komposisi Penduduk Berdasarkan Pekerjaan

No Pekerjaan Jumlah Persentase

1 Petani 995 orang 85, 77 %

2 Wiraswasta 73 orang 6, 29 %

3 PNS 19 orang 1, 63 %

4 Tukang Kayu 15 orang 1, 29 %

5 Supir Becak 10 orang 0, 86 %

6 Tidak Bekerja 48 orang 4, 13 %

Jumlah 100 %

Sumber : Data Statistik Pengolahan Profil Desa Sambaliang Tahun 2009, dikelola penulis

8 SD 037147 yang berada di dusun III


(53)

Dari tabel 4 di atas, terlihat umumnya masyarakat Desa Sambaliang bermata pencaharian sebagai petani. Berbagai jenis tanaman ditanam didaerah ini antara lain padi, jagung, kopi, jeruk, cabai dan sayur-sayuran. Hasil pertanian yang sering ditanam selama tahun 2009 adalah padi dan jagung serta tanaman cabai yang semakin marak di Desa Sambaliang. Hal ini karena hasil yang didapat dari tanaman cabai ketika panen sangat menjanjikan. Harga cabai mencapai Rp.25.000/kg pada saat itu, tetapi masalah yang ditimbulkan sekarang adalah datangnya serangan hama dan naiknya harga pupuk untuk petani kecil. Inilah yang membuat petani di Desa Sambaliang menjadi resah manakala panen mereka nanti mengalami kegagalan.

Selain petani, masyarakat yang berada di Desa Sambaliang juga ada bermata pencaharian sebagai wiraswasta. Ada sebagai pedagang yang menjual produk-produk bahan pokok dan ada juga yang menjual minuman khas Batak yaitu tuak. Biasanya ada orang yang mengambil nira pohon aren pada sore hari atau masyarakat setempat menyebutnya maragat. Harga dari 1 liter tuak yang sudah diramu adalah Rp.5.000, hal ini sudah menjadi kebiasaan bagi masyarakat Desa Sambaliang setiap selesai bekerja diladang pada sore harinya para lelaki ataupun pemuda akan pergi kelapo tuak untukmenghilangkan rasa letihnya karena lelah bekerja di ladang selama satu hari.


(54)

Gambar 49 Gambar 510

2.4.4. Komposisi Penduduk Berdasarkan Agama

Berdasarkan data dari kantor Kepala Desa Sambaliang pada Tahun 2009, komposisi penduduk Desa Sambaliang berdasarkan agama dapat dilihat pada tabel dibawah ini :

Tabel 5

Komposisi Penduduk Berdasarkan Agama

No Agama Jumlah Persentase

1 Islam 345 orang 29, 74 %

2 Kristen protestan 815 orang 70, 25 %

3 Kristen Khatolik - 0 %

4 Hindhu - 0 %

5 Budha - 0 %

Jumlah 100 %

Sumber : Data Statistik Pengolahan Profil Desa Sambaliang tahun 2009, dikelola penulis

9 Petani yang sedang menanam padi di sawah


(55)

Dari tabel 5 di atas, maka terlihat komposisi penduduk Desa Sambaliang berdasarkan agama hanya didominasi oleh 2 agama saja yaitu agama Islam dan agama Kristen Protestan. Pemeluk agama Kristen Protestan yang ada di Desa Sambaliang lebih besar dibandingkan dengan pemeluk agama Islam. Hal ini dapat diperincikan bahwa jumlah pemeluk agama Kristen Protestan adalah 815 orang dengan persentase sekitar 70, 25 %, sedangkan jumlah pemeluk agama Islam di Desa Sambaliang adalah 345 orang dengan persentase sekitar 29,74 %. Hal ini juga ditandai dengan banyaknya gereja yang ada di Desa Sambaliang yaitu HKBP (Huria Kristen Batak Protestan), GKPI (Gereja Kristen Protestan Indonesia), HKI (Huria Kristen Indonesia), GPdI (Gereja Pentakosta di Indonesia).

2.5. Sarana Fisik Di Desa Sambaliang 2.5.1. Sarana Transportasi

Sarana transportasi yang ada di Desa Sambaliang ada bebagai jenis yang diantaranya yaitu angkutan desa, becak bermotor, sepeda motor. Angkutan desa yang mengangkut masyarakat di Desa Sambaliang sudah semakin sedikit, karena kebanyakan warga pedesaan sudah banyak yang menggunakan kendaraan sendiri untuk bepergian ke kota. Biasanya angkutan desa datang ke Desa sambaliang jika ada pekan di kota yang masyarakat setempat menyebutnya maronan. Selain angkutan desa ada juga becak bermotor yang dapat membantu masyarakat dalam mengangkut segala hasil petanian mereka ke kota. Becek bermotor sudah semakin banyak di Desa sambaliang ini dan jenis angkutan inilah yang banyak sekarang digunakan oleh masyarakat setempat. Sedangkan sepeda motor merupakan


(56)

kendaraan pribadi yang digunakan oleh masyarakat di Desa Sambaliang. Sepeda motor merupakan alat transportasi yang praktis dan ekonomis karena tidak seperti angkutan kota yang harus menunggu dan memakan waktu yang singkat.

2.5.2. Sarana Pendidikan

Sarana pendidikan yang ada di Desa Sambaliang ini masih sangat minim. Hanya ada satu Sekolah Dasar saja. Jika masyarakat Desa Sambaliang ingin melanjutkan pendidikan kejenjang yang lebih tinggi lagi mereka harus ke ibukota kecamatan untuk bersekolah. Tetapi hanya ada satu Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama dan jika ingin melanjut haruslah keibukota kabupaten. Waktu yang dibutuhkan masyarakat Desa Sambaliang keibukota kecamatan adalah 0,5 jam, sedangkan keibukota kabupaten memakan waktu 1 jam dengan menggunakan angkutan desa atau becak bermotor.

2.5.3. Sarana Kesehatan

Sarana kesehatan yang ada di Desa Sambaliang adalah PUSTU (Puskesmas Pembantu). Puskesmas pembantu didesa ini sekarang sudah tidak aktif lagi. Terakhir pada tahun 2008 puskesmas ini beroperasi. Alasan kenapa puskesmas ini tidak beroperasi lagi karena tenaga kesehatan tidak ada didatangkan oleh pihak pemerintah kabupaten. Sehingga taraf kesehatan di Desa Sambaliang masih minim, Hal ini ditandai ketika seseorang yang sakit harus berobat keluar dari desa sendiri dan pergi ke desa yang lain atau ke ibukota Kabupaten.


(57)

2.5.4. Sarana Ibadah

Sarana peribadatan yang ada di Desa Sambaliang terdiri dari 4 gereja dan 1 mesjid. Hal ini ditandai dengan banyaknya masyarakat yang memeluk agama Kristen yang ada di Desa Sambaliang. Pada hari Minggu biasanya digunakan oleh pemeluk agama Kristen untuk beribadah sedangkan pada hari Jumat digunakan oleh pemeluk agama Islam untuk beribadah.


(58)

BAB III

TEKNOLOGI PERTANIAN DESA SAMBALIANG

3.1. Teknologi Pertanian Awal di Desa Sambaliang (tahun 1890an - 1930an). Pada masa 1890an setelah terbentuknya Desa Sambaliang, menurut perkataan informan dilapangan yaitu Asmin Sihombing, 46 tahun, bahwa mata pencaharian masyarakat pada saat itu adalah bercocok tanam. Jenis tanaman yang ditanam di desa tersebut masih hanya jenis tanaman muda (palawija) seperti : padi-padian, sayuran dan nilam. Dulunya tanaman padi-padian dan sayur-sayuran di desa ini hasilnya masih digunakan sebagai kebutuhan pokok sehari-hari.

3.1.1. Tanaman Palawija

Jenis tanaman palawija yang ditanam pada masa itu adalah jenis padi sawah dan umur tanaman ini berkisar antara 5–6 bulan. Proses penanaman padi pada awalnya dimulai dengan penanaman biji atau butir padi selama 1–1,5 bulan di tanah yang gembur. Proses penanaman butir padi itu sangat sederhana, hanya dengan menaburkan biji padi ketanah dengan menggunakan tangan. Setelah butir padi yang ditanam selama 6 minggu itu tumbuh menjadi bibit padi, kemudian bibit tesebut dapat dipindahkan ke sawah yang sudah dipersiapkan.

Pengolahan tanah menjadi persawahan juga masih menggunakan alat-alat sederhana atau tradisional seperti cangkul yang berguna untuk menggemburkan tanah sehingga tanah tersebut menjadi lunak. Cangkul yang digunakan untuk menggemburkan tanah tersebut terbuat dari besi dan gagangnya terbuat dari kayu.


(59)

Cangkul ini bisa diperoleh petani dengan cara membeli di tukang jual besi sementara gagangnya biasanya dibuat sendiri oleh petani, dari pohon durian, pohon kemenyan atau masyarakat setempat menyebutnya haminnjon / kemenjen.

Setiap tumbuhan tidak bisa tumbuh dengan baik tanpa adanya air, begitu juga dengan tanaman padi. Sistem pengairan sawah yang dibuat oleh masyarakat pada waktu itu juga sangat sederhana. Lahan persawahan masyarakat di Desa Sambaliang umumnya dekat dengan sumber mata air sehingga sangat menguntungkan tanaman padi dapat tumbuh dengan subur. Masyarakat pada masa itu membuat pengairan atau irigasi dengan cara mengalirkan aliran sungai. Dari sumber air dilakukan pencangkulan tanah agar air dapat mengalir sampai kelahan persawahan.

Pemeliharaan tanaman padi ini dulunya tidak mengenal proses pemupukan. Pada masa itu dalam menanam padi tidak banyak kesulitan yang dihadapi, misalnya tidak adanya serangan hama tikus seperti zaman sekarang. Ketika padi telah berbuah dan mengeluarkan bijinya, lahan persawahan tidak lagi dialiri dengan air. Hal ini berguna untuk pertumbuhan tanaman padi, padi yang terlalu banyak dialiri dengan air akan membusuk. Pada umur 5–6 bulan dan biji padi sudah berubah warna menjadi kekuningan, tanaman padi dapat dipanen.

Menurut pemaparan dari salah seorang informan, Bapak Jamidin Sihombing, 48 tahun mengatakan :

“kami (maksudnya orang-orang yang dulu hidup pada masa itu) hanya menggunakan tangan sendiri untuk mencangkul…itupun kami lakukan sampai sore, tidak ada alat-alat yang canggih macam sekarang ini, paling-paling kami menggunakan alat-alat sederhana seperti, cangkul ini (sambil menunjukkan cagkul yang


(60)

Alat-alat yang digunakan masyarakat untuk memanen padi masih tradisional yaitu mengunakan arit / sabit atau ani-ani. Arit atau ani-ani ini terbuat dari besi yang bentuknya melengkung dan mata pisaunya bergerigi tajam yang gunanya memotong batang padi, sedangkan bagian gagangnya terbuat dari kayu hutan atau pohon durian. Alat ini bisa digunakan oleh laki-laki maupun perempuan, karena bentuknya kecil dan tidak berat sehingga pemakaiannya sangat cocok ketangan para petani. Cara petani menggunakan alat ini pertama-tama tangan yang satu memegang batang padi yang akan dipotong kemudian tangan yang satunya memegang sabit. Mata pisau sabit yang bergerigi dan tajam sehingga memungkinkan batang padi terpotong.

Proses pemanenan dilakukan dengan cara memotong batang padi dengan menggunakan arit atau ani-ani tadi. Dalam pemanenan padi ini dilakukan secara bergotong royong. Pemotongan batang padi untuk luas lahan persawahan sekitar 1 rantai memakan waktu berkisar 1 jam untuk 2 orang petani. Padi yang telah dipotong kemudian dipisahkan biji dengan batangnya, dalam istilah Batak Toba dinamakan maspas sehingga didapatlah biji padi yang bersih dari batang dan daun-daunnya.

Proses maspas ini dilakukan dengan cara memukul batang padi kesebuah batang bambu besar (pada masa sekarang masyarakat menggunana sebuah drum) yang sudah dipersiapkan. Batang bambu yang panjang dibentangkan secara horizontal dan dibuat penyangga dari ujung keujung sepanjang batang bambu. Biasanya panjang batang bambu yang digunakan.berkisar 8-10 M. Maspas ini juga dilakukan secara bergotong royong dan para petani mempunyai tugas-tugas


(61)

tersendiri dalam proses maspas. Beberapa orang bertugas melakukan pemukulan batang padi, sebagian orang lagi bertugas menampi biji padi. Hal ini dilakukan untuk memisahkan biji padi dari sampah yang menyatu dengan biji padi seperti daun-daun padi yang kecil dan biji padi yang tidak ada buahnya. Proses penampian dilakukan dengan tangan manusia misalnya mengambil segenggam biji padi yang kemudian dijatuhkan kembali. Biji padi yang dijatuhkan tadi merupakan hasil akhir dari proses pemanenan., sedangkan sampah yang menyatu dengan biji padi terpisah karena diterbangkan oleh angin. Ada juga proses penyortiran dengan menggunakan tampi atau tampah. Butir-butir padi diletakkan dalam tampi kemudian dipiar-piari secara naik-turun untuk membuang sampah seperti daun-daun padi yang pada butir-butir padi.

Setelah proses memaspas di ladang dilakukan dan pemisahan biji padi dari batangnya selesai, kemudian hasil biji padi tadi dikumpulkan dalam beberapa kantung goni kemudian dijunjung di atas punggung atau kepala untuk dibawa ke rumah. Kegiatan yang dilakukan kemudian adalah proses pengeringan, untuk proses pengeringan tidak membutuhkan banyak orang dalam pelaksanaannya, cukup 1 atau 2 orang saja, padi dijemur di sekitar pekarangan rumah, dengan membentangkan tikar atau goni dan padi di jemurkan di atasnya. Proses penjemuran padi tidak membutuhkan waktu yang lama, karena tergantung kepada terik matahari pada saat menjemur padi. Padi ini dijemur supaya dapat ditumbuk menjadi beras dan beras ini yang akan dimasak untuk dimakan ataupun dijual

Proses penumbukan padi masih mengunakan alat yang tradisional di mana masyarakat setempat berdasarkan observasi yang dilakukan masih menggunakan


(62)

alu atau penumbuk padi, yang dikerjakan sendiri oleh tangan manusia. Setelah padi ditumbuk, maka selanjutnya akan ditampi dan dipisahkan beras yang bagus dalam arti masih utuh dengan beras yang sudah terbelah-belah. Setelah semuanya itu selesai maka beras tersebut sudah dapat dikonsumsi dengan cara dimasak.

3.1.2. Tanaman Nilam

Tanaman nilam, merupakan pertanian yang menguntungkan pada saat itu. Tanaman nilam dulunya tumbuh di daerah perbukitan atau kaki bukit dan merupakan jenis tanaman liar tetapi sekarang sudah menjadi salah satu jenis tanaman yang ditanam oleh para petani. Bentuk tanaman nilam ini seperti sayur

bangun-bangun atau seperti tanaman sayur bayam. Tanaman ini pertumbuhannya

dengan menjulang ke atas, ketika berumur ± 9-11 bulan tanaman ini sudah dapat dipetik dan jka warna daunya sudah berwarna kecokelatan, kemudian dikeringkan di bawah sinar matahari selama 3–4 hari.

Tanaman nilam ini yang diolah adalah daunnya, dimana nantinya daun nilam yang kering dimasak dalam tungku tradisional yang dibuat masyarakat setempat kemudian hasil yang diambil dari pengukusan tanaman nilam ini adalah minyak nilam. Proses pemasakan untuk 30 kg nilam, membutuhkan waktu sampai setengah hari atau 12 jam dan hasil yang didapat dari pengukusan nilam untuk 30 kg adalah 1 liter minyak nilam. Biasanya minyak nilam ini digunakan sebagai bahan baku pembuatan parfum, kosmetik, dan lain-lain.


(1)

53 5.2.Saran

Berangkat dari kesimpulan yang telah diuraikan oleh penulis, maka dapat ditarik beberapa saran yang nantinya dapat bermanfaat bagi sector pertanian ataupun para petani sendiri dan juga untuk sektor-sektor pertanian pedesaan untuk tahun-tahun berikutnya, antara lain :

1. Hadirnya teknologi pertanian ke tengah-tengah masyarakat belum tentu secara mutlak diterima oleh seluruh masyarakat tersebut. Untuk itu kepada pihak pemerintah haruslah tanggap akan situasi masyarakat dan dapat memberikan jalan keluar yang benar-benar arif dan bijaksana.

2. Dalam menumbuh-kembangkan sektor pertanian, teknologi pertanian di pedesaan kiranya pihak tokoh masyarakat (elit desa) haruslah bersatu padu dan mempunyai kesatuan pandangan. Dan secara bersama-sama mengajak dan menghimbau masyarakat agar melaksanakan program yang telah digariskan.

3. Kepada pihak pemerintah dalam merumuskan sesuatu langkah kebijaksanaan, seharusnyalah lebih dulu mengetahui dengan baik apa yang menjadi nilai budaya masyarakatnya, dan mengusahakan menciptakan iklim yang sehat. Dengan demikian program kebijaksanaan tersebut dapat lebih dirasakan manfaatnya oleh masyarakat.

4. Kepada warga masyarakat petani diharapkan agar jangan bertanya dahulu, akan tetapi kerjakanlah dahulu kebijaksanaan tersebut. Sedang bagi para tokoh-tokoh desa setempat, lakukanlah tugas dan tanggung jawab sesuai dengan jabatan yang dipegang dan kepengurusan yang telah terstruktur di desa.


(2)

5. Akhirnya perlu pula disadari bahwa bagaimanapun baiknya sesuatu program tersebut, masih perlu diadakan pengkajian dampak negatifnya. Dengan demikian tindakan mengantisipasinya dapat secepatnya dilakukan


(3)

DAFTAR PUSTAKA

Koentjaraningrat. 1985. Metode Penelitian Masyarakat. PT. Gramedia. Jakarta. 1985. “Persepsi Tentang Kebudayaan Nasional”, dalam

Alfiand (ed.) Persepsi Masyarakat Tentang Kebudayaan. PT. Gramedia. Jakarta.

Moleong, Lexy. J. 2006. Metode Penelitian Kualitatif. PT. Remaja Rosdakarya. Bandung.

Salim, Agus. 2002. Perubahan Sosial. Tiara Wacana. Yogyakarta.

Schoorl, J. W. 1991. Modernisasi. PT. Gramedia. Jakarta.

Selo Soemardjan dan Soeleman Soemardi. 1964. Setangkai Bunga Sosiologi. Fakultas Ekonomi Indonesia. Jakarta.

Soemardjan, Selo. 1986. Perubahan Sosial di Yogyakarta. UGM Press. Yogyakarta.

Soekanto, Soerjono. 1983. Teori Sosiologi Tentang Perubahan Sosial. Ghalia Indonesia. Jakarta.

Strasser, H. and S.C. Randall. 1981. An Introdustion to Theories of Social Change. London: Routledge & Kegan Paul

Sunarto, Kamanto. 2000. Pengantar Sosiologi. Fakultas Ekonomi. Jakarta

Suwarsono, dan Alvin Y. (1991). Perubahan Sosial dan Pembangunan di Indonesia. Jakarta: LP3S.

Taneko, Soleman B. (1993). Struktur dan Proses Sosial. (Cetakan II).: PT. Raja Grafindo Persada. Jakarta


(4)

Winarto, T.Y. 1996. Pembangunan Pertanian Pemasungan Kebebasan Petani. Indonesia Journal Of Social and Anthropology thn Xxiii No. 59 mei-Agustus 1999.

Sumber-sumber lain :

http://www.duniaesai.com/direktori/esai/34-antropologi-/71-refleksi-pemikiran-geertz-involusi-pertanian-involusi-kita.html


(5)

DAFTAR INFORMAN

1. Nama : Bpk Surung Sihombing 8. Nama : Herbin Sihombing Umur : 52 tahun Umur : 25 tahun

Pekerjaan : Guru SD Pekerjaan : Petani

2. Nama : Ibu Berliana br Lubis 9. Nama : Rudi Nababan Umur : 53 tahun Umur : 30 tahun

Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga/Petani Pekerjaan : Petani

3. Nama : Asmin Sihombing 10. Nama : Benny Pasi Umur : 46 tahun Umur : 34 tahun Pekerjaan : Petani Pekerjaan : Petani

4. Nama : Ibu Nurmaya Br Nainggolan 11. Nama : Nurmaini Br Pasi Umur : 43 tahun Umur : 31 tahun

Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga/Petani Pekerjaan : Petani

5. Nama : Ibu Ruslan Br Sihombing 12. Nama : Melsen Siburian Umur : 50 tahun Umur : 19 tahun

Pekerjaan : Petani Pekerjaan : Petani


(6)

6. Nama : Ibu Sarina Br Ujung 13. Nama : Jamidin Sihombing

Umur : 45 tahun Umur : 48 tahun

Pekerjaan : Petani Pekerjaan : Kepala Desa

7. Nama : Luster Sianturi 14. Nama : Josep Silalahi Umur : 26 tahun Umur : 28