1
BAB I PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Masalah
Dalam GBHN Garis-Garis Besar Haluan Negara sudah dijelaskan bahwa pembangunan nasional bertujuan untuk mewujudkan suatu masyarakat yang adil
dan makmur yang merata material dan spiritual berdasarkan Pancasila di dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang merdeka, bersatu, berdaulat
serta adil dan makmur. Disamping itu juga dijelaskan bahwa landasan pelaksanaan pembangunan nasional tersebut adalah azas mufakat, azas usaha
bersama dan kekeluargaan, azas demokrasi, azas adil dan merata, azas perikehidupan dalam keseimbangan, azas kesadaran hukum dan azas kepercayaan
kepada diri sendiri Nirwan, 1990 .
1
Impian pembangunan yang bertujuan merubah merubah suatu keadaan masyarakat kearah yang lebih baik tidak selamanya dapat menjadi kenyataan.
Margaret Haswell, 1975 dalam Nirwan, 1990, mengatakan dalam konteks pertumbuhan kota-kota dan kemajuan teknologi dalam bidang prasarana
perhubungan telah menciptakan iklim yang kurang sehat dengan apa yang disebutkan dan menjadi tujuan pembangunan nasional. Secara mutlak dampak
negatif dari keadaan ini menceraikan masyarakat desa dengan masyarakat kota. Masuknya teknologi baru ke dalam sistem produksi desa sebagai bagian
yang tidak terpisahkan dalam proses modernisasi yang dilancarkan telah menciptakan penciutan kesempatan kerja di daerah pedesaan M. Fadhil Hasan,
1
Skripsi yang di buat pada tahun 1990 dengan judul “Pola Adaptasi Petani Terhadap Modernisasi Pertanian”.
Universitas Sumatera Utara
2 1983:16. Akibat dari keadaan ini adalah banyaknya anggota masyarakat yang
pergi berbondong-bondong ke kota mencari hidup alternatif lain. Namun karena budaya kota berbeda dengan budaya desa, maka warga pedesaan tidak dapat
bertahan hidup survive dalam kehidupan kota. Mereka dengan terpaksa memasuki sektor informal, memilih pekerjaan
yang tidak tetap. Seperti apa yang dikatakan oleh Umar Kayam 1984, mereka terlempar dari kehidupan desa dan terdampar dalam kehidupan kota, yang
merupakan drop-out dari masyarakat pertanian dan sekaligus adalah misfit dari budaya kota dari masyarakat pasca pertanian.
Indonesia termasuk ke dalam barisan negara-negara yang sedang berkembang. Berdasarkan sensus Tahun 2000, penduduk Indonesia ± 70 berada
di daerah pedesaan yang menggantungkan kehidupannya dari usaha pertanian dan bahkan sebahagian besar masih hidup di bawah garis kemiskinan. Untuk
memerangi kemiskinan tersebut pemerintah dengan strategi pembangunannya yang diarahkan pada sector pedesaan dengan menitik beratkan pembangunan
bidang ekonomi dengan prioritas utama bidang pertanian telah diwujudkan ke dalam program Pelita yang dimulai sejak Tahun 1969, dan juga ketika memasuki
Pelita II Tahun 1974. Dalam Pelita tersebut dengan jelas dikemukakan, bahwa pembangunan di
bidang pertanian adalah : “Intensifikasi, yaitu meningkatkan hasil per hektar melalui
penggunaan waktu kerja lebih banyak. Penyedian pupuk, obat- obatan, bibit unggul, dan alat-alat pertanian modern serta
sarana-sarana pemasaran, penyuluhan dalam rangka
Universitas Sumatera Utara
3 intensifikasi ; dan juga ekstensifikasi, perluasan kesempatan
melalui perluasan tanah pertanian”.
2
Apa yang telah dicapai dengan program Pelita ini yaitu dengan diintroduksinya barbagai teknologi pertanian modern adalah meningkatnya
produksi padi yang merupakan unsur terbesar dalam masyarakat petani di Indonesia. Selama Pelita I terlihat bahwa produsi total beras setelah meningkat
dengan rata-rata 4,4 yang dihasilkan dari perluasan areal panen yang bertambah dengan 17,8 Ahmad T. Birowo, 1974 dalam Nirwan 1990.
Namun menarik sekali bila pendapat di atas dibandingkan dengan pendapat Sayogno 1978, yang mengemukakan bahwa usaha untuk menjadikan
sektor pertanian sebagai suatu sektor komersil, memang berhasil pada petani lapisan atas dan menengah sedang pada petani lapisan bawah praktis tertinggal.
Berdasarkan pendapat Sayogno di atas diperoleh, dua pandangan yang menyimpulkan di satu pihak sisi keberhasilan dan kemajuan modernisasi
pertanian dan di pihak lain kemunduran bagi petani lapisan bawah. Hal ini dapat saja terjadi bagi masyarakat yang ingin mencoba suatu
perubahan dalam sistem mata pencaharian, terutama dalam bidang ekonomi pertanian. Masalah yang menjadi dalam hal ini adalah bagaimana mengadopsi ide-
ide baru untuk mewujudkan suatu perilaku, dan cara-cara yang baru dari suatu adopsi inovasi teknologi pertanian yang mengarah kepada efisiensi kerja dan
penambahan pendapatan.
2
Progam yang dicanangkan oleh pemerintah tahun 1974 guna mensejahterakan kehidupan para petani di Indonesia melalui Pelita I dan II
Universitas Sumatera Utara
4 Di Indonesia usaha ke arah ini telah berulang kali dilaksanakan. Namun
semakin hangat hal ini dibicarakan dalam proses evaluasi maka semakin kompleks pula masalah yang harus dihadapi. Ace Partadiredja 1988,
mengatakan di negara-negara maju, angkatan kerjanya berpindah dari sektor pertanian ke sektor industri, kemudian ke jasa.
Di Indonesia jika dilihat beberapa ciri penduduk pedesaan maka tidak memungkinkan mereka untuk langsung beralih ke sektor industi, terlebih industri
modern yang canggih. Yang terjadi adalah perpindahan dari pertanian ke jasa yang tidak banyak memerlukan keahlian, pendidikan khusus ataupun latihan.
Banyak penduduk desa secara berangsur-angsur pindah ke jasa angkutan, perdagangan kecil, buruh bangunan, dan pekerjaan umum lainnya.
Salah satu ulasan tentang adopsi teknologi tersebut dibahas oleh Frans Husken, yang dilaksanakan pada tahun 1974. Penelitian yang mengulas tentang
perubahan teknologi pertanian di masyarakat pedesaan Jawa yang terjadi akibat kebijakan pembangunan pertanian yang diambil oleh pemerintah. Penelitian itu
dilakukan di Desa Gondosari, Kawedanan Tayu, Kabupaten Pati, Jawa Tengah. Kekhususan dan keunikan dari penelitian ini terletak pada isinya yang tidak saja
merekam pengalaman perubahan teknologi revolusi tersebut, namun juga menggali studi dalam perspektif sejarah yang lebih jauh ke belakang.
Namun tetap perlu diperhatikan bahwa setiap masyarakat mempunyai “ego”nya dalam segala bidang termasuk aspek teknologi. Perubahan yang
diharapkan dengan mengintroduksi teknologi seharusnya sesuai dengan apa yang menjadi ego masyarakat tersebut, sehingga pola perubahan dapat diterima oleh
Universitas Sumatera Utara
5 masyarakat. Setiap kebijakan dan introduksi teknologi yang diberikan pada
masyarakat agraris di pedesaan akan memberikan dampak perubahan sosial yang multi dimensional. Frans Husken,1974
Banyak faktor yang menyebabkan terjadinya perubahan sosial di pedesaan, misalnya datangnya kolonialis dengan berbagai ciri kebudayaan yang dibawanya,
pola pendidikan, sistem ekonomi, politik pemerintahan dan banyak hal yang tidak mungkin dipisahkan dari faktor-faktor individual yang berpengaruh tanpa disadari
mampu mempengaruhi individu lainnya. Faktor yang penting dalam kaitannya dengan pembicaraan ini adalah teknologi, yang sangat nyata berkaitan dengan
perubahan sosial di pedesaan. Hal ini terjadi karena pada pasca nasional ini, selalu dijadikan sasaran utama pembangunan.
Pada masa pembangunan ini, baik itu setelah Indonesia merdeka maupun orde baru, desa secara terus menerus mengalami perkembangan. Masyarakat desa
menerima dan menggunakan hasil penemuan atau peniruan teknologi khususnya di bidang pertanian, yang merupakan orientasi utama pembangunan di Indonesia.
Moore, 1983 Moore 1983, juga menjelaskan bahwa penerimaan terhadap teknologi
baik itu dipaksakan ataupun inisiatif agen-agen perubah, tidak terelakkan lagi akan mempengaruhi perilaku sosial social behavior masyarakat penerima
teknologi tersebut.. Lebih dari itu, introduksi teknologi yang tidak tepat mempunyai implikasi terhadap perubahan sosial, yang kemudian akan diikuti dan
diketahui akibatnya. Contohnya, ketika teknologi berupa traktor atau mesin penggilingan padi awal gerakan revolusi hijau sekitar tahun60-an masuk ke desa,
Universitas Sumatera Utara
6 banyak buruh tani di pedesaan jadi pengangguran akibat tenaganya tergantikan
oleh mesin-mesin traktor. Keadaan ini menimbulkan perubahan struktur, kultur dan interaksional di
pedesaan. Perubahan dalam suatu aspek akan merembet ke aspek lain. Struktur keluarga berubah, dimana buruh wanita yang biasa menumbuk padi sebagai
penghasilan tambahan, sekarang hanya tinggal di rumah. Masuknya traktor menyebabkan tenaga kerja hewan menganggur dan buruh tani kehilangan
pekerjaannya. Keadaan demikian menyebabkan terjadinya urbanisasi, buruh tani dan pemuda tani lari ke kota mencari pekerjaan. Hal ini kemudian memberikan
dampak kepadatan penduduk yang membeludak di perkotaan, lalu menjadikan perputaran ekonomi semakin besar dan desa semakin tertinggal. Namun keadaan
ini tidak sampai di sini, ketika mereka kembali lagi ke desa timbul konflik kultur akibat budaya yang terbangun selama berada di kota terbawa ke desa. Dari contoh
sederhana ini dapat dibayangkan betapa akibat perubahan suatu aspek dapat merembet ke aspek lainnya.
Perubahan-perubahan sebagaimana yang telah diuraikan di atas, Desa Sambaliang juga terjadi akibat introduksi teknologi pertanian. Desa Sambaliang,
Kec. Berampu, Kab. Dairi merupakan wilayah yang mayoritas penduduknya bermata pencaharian sebagai petani. Berbagai macam hasil pertanian dapat
dibudidayakan di lahan tersebut, misalnya tanaman kopi, padi, sayur-sayuran dan buah-buahan. Dalam mengolah pertanian alat-alat yang digunakan petani di desa
tersebut awalnya masih menggunakan peralatan seperti cangkul, babat, arit dan lain-lain yang kesemuanya itu masih menggunakan tenaga manusia. Berbeda
Universitas Sumatera Utara
7 dengan sekarang, saat ini pengolahan pertanian di Desa Sambaliang sudah
dikategorikan mengalami perubahan. Teknologi yang bermacam-macam satu persatu masuk ke desa yang dianggap masyakat masih sangat asing bagi mereka.
Masuknya teknologi pertanian di Desa Sambaliang juga mengalami perubahan, dimana para buruh tani yang tidak mempunyai lahan atau ladang
bekerja pada orang yang memiliki lahan sekarang menganggur karena tenaganya sudah tergantikan oleh mesin-mesin traktor. Pemilik tanah merasa bahwa dengan
memakai mesin, waktu yang dibutuhkan dalam mengolah tanah relatif lebih singkat daripada menggunakan tenaga buruh.
Masuknya teknologi pertanian sekarang juga berdampak psikologis pada masyarakat Sambaliang. Dulunya dalam mengolah lahan pengetahuan masyarakat
sudah sangat hapal, misalnya kapan harus padi itu ditanam, bagaimana perawatannya, alat-alat apa saja yang digunakan. Sekarang teknologi yang masuk
seperti traktor harus mereka hadapi dengan pengetahuan yang tidak mereka tahu. Mereka harus beradaptasi dengan alat-alat traktor terlebih dahulu, dan itu
memakan waktu yang relatif lama. Selain traktor, teknologi pertanian yang masuk ke Desa Sambaliang adalah masuknya jenis pupuk dan pestisida baru untuk
aktivitas pertanian. Introduksi tanaman baru juga masuk ke desa yaitu tanaman jeruk pada awal tahun 2003. Warga Desa Sambaliang mengkonversi tanaman kopi
mereka menjadi tanaman jeruk. Tahun 2007, masyarakat Sambaliang menambahkan tanaman cabai di sela-sela tanaman jeruk mereka.
Berangkat dari pemaparan di atas, saya mengambil suatu kajian dimana pembangunan seperti teknologi yang dilakukan di daerah pedesaan itu mempunyai
Universitas Sumatera Utara
8 dampak terhadap perubahan di masyakatnya. Apakah masuknya suatu aspek
teknologi baru di bidang pertanian di Desa Sambaliang berpengaruh pada masyarakat desa baik itu dari aspek sosial ataupun budaya masyarakat setempat
akibat dari dorongan pembangunan teknologi tersebut. Serta bagaimana strategi masyarakat di Desa Sambaliang dalam mengatasi permasalahan pertanian akibat
masuknya teknologi pertanian.
1.2. Rumusan Masalah