1
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Anak adalah karunia Tuhan yang harus dijaga, dirawat, dan dilindungi. Anak membutuhkan peran orang dewasa untuk membantu mengembangkan
kemampuannnya karena anak lahir dalam kondisi yang lemah sehingga tidak mungkin dapat mencapai taraf kehidupan normal tanpa bantuan dari orang
dewasa. Sebagai makhluk sosial, kehidupan anak sejak lahir banyak dipengaruhi oleh lingkungan sosial dan interaksi dengan orang-orang sekitar
di mana ia berada secara terus-menerus. Izzaty, 2008. Anak memiliki hak-hak dasar yang harus di penuhi oleh orang dewasa.
Pemenuhan atas hak-hak anak khususnya di Indonesia diatur dalam Undang- Undang No. 35 Tahun 2014 yang menyebutkan bahwa hak anak adalah
bagian dari Hak Asasi Manusia yang wajib dijamin, dilindungi, dan dipenuhi oleh orangtua, keluarga, masyarakat, negara, pemerintah, dan pemerintah
daerah. Salah satu hak anak yang harus dipenuhi adalah hak untuk mendapatkan pendidikan yang layak seperti yang tercantum dalam Undang-
Undang No. 20 tahun 2003 pasal 5 yang menyatakan bahwa setiap warga negara memiliki hak yang sama untuk memperoleh pendidikan yang bermutu
dan pasal 6 yang menyebutkan bahwa setiap warga negara yang berusia tujuh sampai dengan lima belas tahun wajib mengikuti pendidikan dasar.
Pendidikan anak merupakan tanggung jawab berbagai pihak tidak hanya terbatas pada pendidikan formal namun juga pendidikan informal yang
menjadi tanggung jawab orangtua dan masyarakat. Pendidikan yang bermutu
2
hendaknya diberikan kepada anak sedini mungkin untuk menjamin terbentuknya manusia yang berkualitas di masa depan. Urgensi pendidikan
anak sejak dini adalah untuk mengenalkan anak tentang kemampuan mengenali lingkungan dan berkaitan dengan bagaimana anak ditempatkan
sebagai makhluk yang membutuhkan bimbingan intensif dalam mengenali dunianya. Pemikiran ini didasari oleh teori psikoanalisis yang mengemukakan
bahwa watak mental seseorang dibentuk oleh pengalaman-pengalaman masa lalu khususnya masa kanak-kanak Soyomukti, 2008.
Perkembangan anak dipengaruhi oleh kekuatan dari pembawaan dan kekuatan pengaruh lingkungan sekitar. Berdasarkan pernyataan tersebut,
dapat dikatakan bahwa dalam mendidik anak selain faktor dari dalam diri anak tersebut juga perlu diperhatikan faktor-faktor dari luar diri anak.
Beberapa hal yang harus diperhatikan dalam mendidik anak antara lain kondisi sosial ekonomi yang baik agar kebutuhan-kebutuhan biologis anak
terpenuhi, pergaulan sosial yang luas dan sehat agar kemampuan sosialisasi anak berkembang, olah seni dan budaya agar pengembangan intelektual anak
sejalan antara ilmu pengetahuan dan teknologi dengan seni dan budaya, kondisi sosial politik yang merdeka dan demokratis, serta kehidupan
keagamaan yang sehat dan maju agar anak memiliki keimanan dan ketakwaan kepada Tuhan Prawira, 2013.
Sebagai upaya menjamin terperpenuhinya hak anak untuk mendapat pendidikan, pemerintah membuat beberapa kebijakan yang berkaitan dengan
pendidikan anak. Salah satu kebijakan yang dibuat oleh pemerintah untuk
3
memenuhi hak pendidikan adalah program wajib belajar 9 tahun yang tertulis dalam Peraturan Pemerintah No. 47 Tahun 2008. Melalui peraturan
pemerintah tersebut pemerintah menjamin setiap anak di Indonesia mendapat pendidikan minimal pendidikan dasar tanpa dipungut biaya. Tujuan dari
kebijakan tersebut adalah untuk memberikan pemerataan kesempatan memperoleh pendidikan bagi anak-anak di Indonesia dari semua latar
belakang. Namun realitanya, belum semua hak anak di Indonesia terpenuhi
dengan baik termasuk hak untuk mengenyam pendidikan yang layak. Hasil Survey Sosial Ekonomi Nasional BPS pada tahun 2014 menyebutkan
sebanyak 31,44 anak usia 5-19 tahun sudah tidak bersekolah dan 31,05 anak usia 5-19 tahun sama sekali belum pernah bersekolah. Data lain yang
dihimpun oleh UNICEF pada tahun 2012 sebanyak 2,5 juta anak Indonesia yang seharusnya bersekolah tidak dapat menikmati pendidikan formal.
Jumlah ini terdiri dari 600.000 anak usia sekolah dasar dan 1,9 juta anak usia sekolah menengah. Anak-anak yang berasal dari keluarga miskin 4 kali lebih
berisiko mengalami putus sekolah dibandingkan anak-anak dari keluarga berkecukupan. Risiko putus sekolah pada anak-anak keluarga miskin ini
menigkat menjadi 20 kali lebih tinggi untuk anak-anak yang ibunya tidak memiliki pendidikan daripada mereka yang memiliki ibu dengan pendidikan
tinggi. Sebanyak hampir 3 anak usia sekolah dasar di desa tidak bersekolah dan 1 dari 5 anak tidak dapat melanjutkan ke sekolah menengah UNICEF,
2012.
4
Berdasarkan data tersebut terlihat bahwa masalah pendidikan lebih banyak terjadi pada masyarakat miskin atau sering disebut masyarakat
marginal. Masyarakat marginal merupakan suatu kelompok masyarakat yang diidentikkan sebagai masyarakat kecil atau pra-sejahtera. Salah satu
karakteristik masyarakat marginal adalah tingkat pemahaman, pengetahuan, sikap, dan presepsi tentang pendidikan masih rendah. Salah satu faktor yang
menyebabkan rendahnya persepsi masyarakat marginal tentang pendidikan adalah pola pikir mereka yang sangat sederhana. Masyarakat marginal
menganggap pendidikan sebagai sesuatu yang kurang penting sehingga penghasilan yang mereka dapatkan lebih diprioritaskan untuk kebutuhan lain.
Selain itu, lingkungan di daerah tempat tinggal kaum marginal dapat dikatakan kurang kondusif untuk melaksanakan proses pendidikan. Padahal,
lingkungan tempat berlangsungnya proses pendidikan adalah salah satu faktor penting yang dapat menentukan kualitas dan keberlangsungan usaha
pendidikan. Kota Yogyakarta yang dikenal sebagai kota pendidikan berusaha
memberikan kesempatan pendidikan yang sama serta berusaha menciptakan iklim pendidikan yang kondusif bagi warganya. Pernyataan ini sejalan dengan
visi Kota Yogyakarta yang tercantum dalam Rencana Pembangunan Jangka Panjang Daerah 2005-2025 yaitu menjadikan Kota Yogyakarta sebagai kota
pendidikan yang berkualitas dengan menciptakan atmosfer pendidikan yang kondusif. Sayangnya, di Kota Yogyakarta masih bisa ditemui beberapa
5
daerah yang lingkungan pendidikannya kurang kondusif seperti yang terjadi di Kampung Pajeksan, Kelurahan Sosromenduran.
Kampung Pajeksan adalah salah satu kampung yang berada di wilayah Kelurahan Sosromenduran. Penduduk Kampung Pajeksan terdiri dari
bermacam-macam suku dan etnis sperti Jawa, Madura, Batak, dan mayoritas etnis Tionghoa yang menjadikan kultur Tionghoa sangat kental terasa di
Kampung Pajeksan. Keluarga di Kampung Pajeksan jika dilihat dari segi sosial-ekonomi
tergolong masyarakat
menengah ke
bawah yang
kehidupannya bergantung pada sektor pariwisata karena lokasi Kampung Pajeksan yang dekat dengan kawasan wisata Malioboro. Warga kampung
Pajeksan sebagian besar bermatapencaharian sebagai pembuat dan pedagang souvenir dan beberapa warga menyediakan tempat tinggal mereka untuk
disewakan sebagai home stay. Selain dekat dengan kawasan wisata Malioboro, lokasi Kampung
Pajeksan juga dekat dengan Pasar Kembang yang pernah dikenal sebagai lokalisasi terbesar di Yogyakarta namun saat ini sudah berubah menjadi
hotel-hotel mewah. Perubahan yang terjadi di Pasar Kembang ini mendesak para pekerja di Pasar Kembang untuk lari ke kempung-kampung di sekitarnya
salah satunya adalah Kampung Pajeksan. Selain itu, Kampung Pajeksan juga berada di lingkungan pabrik lapen yang dikenal sebagai minuman keras khas
Kampung Pajeksan. Lokasi Kampung Pajeksan ini tentu membawa pengaruh tersendiri bagi kehidupan masyarakat Kampung Pajeksan termasuk pengaruh
dalam pendidikan anak oleh orangtua di Kampung Pajeksan. Berdasarkan
6
hasil observasi, diketahui ada beberapa anak usia sekolah, sebagian besar lulusan SMP, di Kampung Pajeksan yang tidak melanjutkan sekolah dan lebih
memilih membantu orangtua mereka berdagang. Hal ini diperkuat dengan keterangan dari Ibu Ipung, ketua RT 42 RW 11 Kampung Pajeksan, bahwa
masih ada anak usia sekolah yang tidak melanjutkan sekolah karena keadaan ekonomi orangtua.
Berdasarkan latar belakang tersebut, penelitian tentang penelitian anak di masyarakat marginal khususnya di Kampung Pajeksan perlu dilakukan.
B. Identifikasi Masalah