Latar Belakang Masalah PENDAHULUAN

1

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Sebagai bagian dari syariat Islam, „iddah merupakan satu di antara hukum yang berlaku khusus untuk perempuan. Kewajiban „iddah tersebut ditetapkan berdasarkan Alquran, Sunnah dan I jma‟. 1 „iddah merupakan salah satu akibat hukum dari putusnya suatu ikatan perkawinan. Pembahasannya yang kompleks, mulai dari pengertian, pembagian, serta ketentuan „iddah yang beragam, 2 menempatkan „iddah pada sub bab tersendiri dalam kajian fiqih munakahat. Secara eksistensial, kedudukan syariat atau hukum Islam dalam hukum nasional Indonesia merupakan sub sistem dari hukum nasional itu sendiri. Karenanya, hukum Islam juga mempunyai peluang untuk memberikan sumbangan dalam rangka pembentukan dan pembaharuan hukum nasional, meski harus diakui problema dan kendalanya yang belum pernah usai. 3 Keberadaan Undang-undang Perkawinan no.1 tahun 1974 dan Kompilasi Hukum Islam atau yang lebih dikenal dengan istilah KHI 1 Wahbah al Zuhaili, Al Fiqh al Islami wa Adillatuhu, Cet. IV, Damaskus: Dar al Fikr, 2004, Jilid . 9, h. 7167. 2 „iddah bagi istri yang ditalak adalah selama tiga quru‟ seperti yang termaktub dalam QS. Al-Baqarah: 228, berbeda dengan „iddah istri yang ditinggal mati oleh suaminya yaitu selama empat bulan sepuluh hari sesuai dengan QS.Al-Baqarah: 234, Istri yang menjalani masa „iddah dalam keadaan hamil maka „iddahnya hingga ia melahirkan, dengan dalil QS. Al-Thalaq: 4, berbeda dengan istri yang tidak hamil. Istri yang masih dalam usia haid juga memiliki ketentuan „iddah yang berbeda pula. 3 Said Agil Husin al Munawar, Hukum Islam dan Pluralitas Sosial, cet. I, Jakarta: Pena Madani, 2004, h.14. 2 merupakan salah satu bukti sekaligus hasil dari perjuangan eksistensi tersebut. Selain itu KHI menunjukkan bahwa hukum perkawinan dan juga kewarisan menjadi bidang hukum dalam kemasyarakatan yang mendapatkan pengaturan normatif secara rinci. Termasuk ketentuan „iddah, yang diatur dalam beberapa pasal dalam KHI. Ketentuan „iddah yang diatur dalam Alquran merupakan salah satu bukti bahwa bukan hanya sebagai sebuah kitab agama dan ajaran-ajaran moral, Alquran juga memuat unsur-unsur legislasi. Dalam mengemukakan pesan-pesannya, nabi Saw. secara terus terang ingin meninggalkan nilai-nilai dan institusi pra-Islam, tapi hanya sejauh ketika ia berusaha membangun, sekali dan untuk selamanya sebagai dasar-dasar agama baru, 4 yaitu Islam. Sehingga ditemukan beberapa hukum pada masa pra-Islam yang masih bertahan setelahnya namun dengan corak keIslaman. Sejalan dengan kaedah ushul “al muhafadhatu „ala al qadimi al shalih wa al akhdzu bi al jadid al ashlah ” memelihara yang lama yang masih baik seraya mengambil hal baru yang lebih baik. 5 Kearifan syariat Islam juga didukung oleh fakta turunnya Alquran secara berangsur-angsur yang dimaksudkan diantaranya untuk menguatkan makna hukum. Karena turunnya tepat pada waktu diperlukannya keterangan hukum. Hal ini sekaligus memperjelas sebagian maksud atau tujuan hukum. Sehingga sebab-sebab turunnya Alquran atau ashbabun nuzul tersebut dapat 4 Wael B. Hallaq, A History Of Islamic Legal Theories, Sejarah Teori Hukum Islam, Pengantar Untuk Ushul Fiqh Mazhab Sunni, Penerjemah E.Kusnadiningrat dan Abdul Haris Bin Wahid, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2001, h .4. 5 Said Agil Husin Al Munawar, Hukum Islam Dan Pluralitas Sosial, h. 4. 3 membantu dalam memahami dan menemukan tujuan ditetapkannya suatu hukum syariat. 6 Hal ini menunjukkan bahwa sedikit banyaknya kebiasaan umat pada masa dan di tempat diturunkannya Alquran mempengaruhi hukum yang terbentuk. Termasuk dalam ketentuan „iddah. Kewajiban „iddah bagi perempuan tidak akan terlepas dari visi dan misi syariat Islam untuk mewujudkan kemaslahatan hidup manusia di dunia dan akhirat. Di dalamnya terkandung prinsip-prinsip kebijaksanaan, kasih sayang, keadilan, dan kemaslahatan. Aturan-aturan hukum bagi perempuan yang sedang menjalani masa „iddah yang tertuang dalam fiqih tentu memiliki relevansi dengan salah satu kemaslahatan yang ingin dicapai atau kemudaratan yang hendak dihindarkan. Di sisi lain maqashid hukum Islam atau maqasid syariah dapat mempresentasikan hubungan antara hukum Islam dengan ide-ide terkini tentang hak-hak manusia, pembangunan dan keadaban. 7 Wahbah al Zuhaili, seorang ulama fikih kontemporer kenamaan menyebutkan beberapa hikmah berlakunya ketentuan „iddah, diantaranya untuk mengetahui kosongnya rahim istri, sebagai ibadah, sebagai rasa berkabung atas kematian suami atau untuk memberikan kesempatan yang cukup untuk si suami setelah talak agar dia kembali kepada istrinya yang 6 Muhammad Abu Zahrah, Ushul Fiqh , Penerjemah Saefullah Ma‟shum, dkk, Cet. XVI, Jakarta: Pustaka Firdaus, 2012 ,h. 102. 7 Jasser Auda, Maqasid Syariah As Philosophy Of Islamic Law: A System Approach: Membumikan Hukum Islam Melalui Maqasid Syariah, Penerjemah Rosidin dan Ali Abdu El Mun‟im, Cet. I, Bandung: Mizan Pustaka, 2015, h. 32. 4 telah ia talak. 8 Hikmah-hikmah tersebut juga dapat ditemukan dalam banyak literatur fikih klasik. Tidak dapat dipungkiri bahwa perkembangan sosial akan mempengaruhi suatu hukum yang berlaku di dalamnya. Karena, jika prinsip utama Islam diletakkan sebagai bagian dari kerangka makro, yakni institusi sosial sebagai proses kebudayaan, maka pertama-tama yang perlu disadari bahwa institusi sosial tidak mungkin mengisolasikan diri dari perkembangan dan transformasi sosial, kultural maupun struktural. Karenanya cara pandang terhadap noktah-noktah ajaran Islam pun, dituntut secara terus-menerus melakukan penyesuaian dengan perkembangan masyarakat. Lebih dari itu, institusi Islam juga harus selalu memainkan peran strategis, terarah dan sejalan dengan karekteristik Islam selaku ajaran universal. 9 Kewajiban „iddah bagi perempuan tentu tidak terlepas dari pengaruh keadaan sosial arab pra-Islam terutama perihal peran dan kedudukannya dalam masyarakat pada masa itu. Sehingga dalam memahami ketentuan hukum „iddah juga harus disertakan dengan pemahaman terhadap kehidupan sosial pada masa disyariatkannya „iddah. Untuk mempertahankan eksistensi syariat Islam yang relevan untuk setiap tempat dan waktu. Sejalan dengan qa ‟iddah ushul “taghayyuru al ahkami, bi taghayyuri al azmani wa al amkani ”. Apalagi ketika memasuki era globalisasi seperti sekarang ini. 8 Wahbah al Zuhaili, Al Fiqh al Islami wa Adillatuhu, h. 7168. 9 Said Agil Husin al Munawar, Hukum Islam Dan Pluralitas Sosial, h. 201. 5 Karena hukum Islam dan era globalisasi sering dipersepsikan sebagai dua hal yang sangat berbeda dan bahkan dikatakan saling bertentangan. 10 Wacana hukum Islam dan era globalisasi dalam konteks ini, untuk menjelaskan bahwa membicarakan hukum Islam dalam globalisasi itu justru sesuatu yang sangat relevan. Hukum Islam bukan sesuatu yang statis, tetapi mempunyai daya lentur yang dapat sejalan dengan arus globalisasi yang bergerak cepat. 11 Hal ini dimaksud untuk menjaga kemaslahatan, menghilangkan kesempitan serta menolak bahaya sebagai tujuan adanya hukum syara‟. 12 Kemaslahatan dan bahaya dalam suatu hal tidak harus selalu relatif. Kebolehan dan pelarangannya masing-masing ditentukan oleh sebuah paradigma yang telah mapan, bukan atas dasar pertimbangan kemaslahatan manusia di dunia semata. 13 Sehingga dalam pemilahannya tidak terlepas dari memahami nash hukum dengan benar, bukan hanya dengan pandangan nalar semata. Perubahan zaman dan keberagaman budaya dengan segala perkembangannya tidak jarang bahkan pasti diikuti dengan pergeseran posisi dan peran perempuan dalam tatanan kehidupan sosial khususnya. Hal ini tentu akan mempengaruhi kerelevanan ketentuan „iddah tersebut. Apalagi 10 Amir Syarifudin, Meretas Kebekuan Ijtihad, Isu-Isu Penting Hukum Islam Kontemporer di Indonesia, Cet ke. II, Jakarta: Ciputat Press, 2005, h. 3. 11 Amir Syarifudin, Meretas Kebekuan Ijtihad, Isu-Isu Penting Hukum Islam Kontemporer di Indonesia, h. 3. 12 Wahbah al Zuhaili, Al Wajiz fi Ushul al Fiqh, Damaskus : Dar al Fikr, 2014, h .32. 12 Muhammad Abu Zahrah, Ushul Fiqh, h.543, Wahbah al Zuhaili, Al Wajiz fi Ushul al Fiqh, h. 217. 13 Wael B. Hallaq, A History Of Islamic Legal Theories, Sejarah Teori Hukum Islam, Pengantar Untuk Ushul Fiqh Mazhab Sunni, Penerjemah, E.Kusnadiningrat dan Abdul Haris bin Wahid. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2001, h. 251. 6 ketika dihadapkan dengan kemajuan teknologi, ketika kekosongan rahim dapat diketahui dengan alat canggih tanpa harus menunggu selama waktu tertentu. Apalagi di era globalisasi dan reformasi sekarang, struktur peranan perempuan Indonesia khususnya akan mengalami perubahan akibat tranparansi dalam segala aspek kehidupan. 14 Dalam ketentuan „iddah diatur bahwa adanya larangan bagi perempuan untuk dipinang 15 ketika menjalani masa „iddahnya bahkan haram untuk dinikahi 16 oleh laki-laki lain, dan jika terlanjur terjadi pernikahan dengan keadaan istri masih dalam masa „iddahnya maka pernikahan tersebut harus dibatalkan. 17 Larangan ini berlangsung sekitar 90 hari hingga satu tahun. 18 Bukan hanya sekedar larangan untuk dipinang atau dinikahi, bagi istri yang ditinggal mati oleh suami juga diwajibkan menjalani masa berkabung atau ihdad. 19 Sedangkan dipihak suami diperbolehkan melakukan akad pernikahan bahkan ketika akad dengan istri lama masih berlangsung atau sah poligami. Secara sekilas, konsep „iddah tersebut akan menimbulkan suatu pandangan adanya keadaan bias gender. 20 Terutama bagi kalangan feminis yang menyuarakan kesetaraan gender dalam segala bidang termasuk ranah perkawinan. 14 Zaitunah Subhan, Perempuan Dan Politik Dalam Islam, Cet. I, Yogyakarta: Pustaka Pesantren, 2004, h. 54. 15 Juga dijelaskan dalam Pasal 12 KHI. 16 Pasal 40 KHI. 17 Pasal 71 KHI. 18 Pasal 153 KHI, tergantung penyebab putusnya perkawinan dan keadaan biologis istri. 19 Pasal 170 KHI. 20 Suatu kondisi yang dinilai memihak atau merugikan salah satu jenis kelamin. 7 Beranjak dari pembahasan „iddah, secara historis, konstruk syariah Islam tradisional tidak terbentuk sekali jadi, melainkan produk antar generasi Islam sejak abad ke-2 Hijrah ke-8 Masehi oleh para imam madzhab, kemudian dilanjutkan dengan generasi penerusnya di abad pertengahan abad ke13 hingga abad ke-17, bahkan hingga kini. Pada masa-masa pembentukannya, kandungan syariah Islam merefleksikan kondisi riil masyarakat Islam, terutama masa klasik, meskipun dalam banyak hal terdapat loncatan penting. 21 Namun kini formula-formula syariah dianggap tidak cukup pro-aktif dalam merespon perubahan sosial dunia Islam dewasa ini. Terutama dalam menyikapi semakin pentingnya Aspek HAM di tingkat nasional dan dalam pergaulan Internasional. 22 Sehingga untuk membuktikan pernyataan bahwa Islam Shalihun likulli zaman wa makan harus mempertimbangkan beberapa sudut pandang dalam memahami suatu konteks hukum. Ada dua hal yang perlu diperhatikan. Pertama , dari segi penjagaan eksistensi atau kemurnian hukum Islam agar tidak keluar dari ketentuan syari‟ yaitu berupa nash. Kedua, dari segi penjagaan terhadap kedinamisan suatu hukum dalam merespon perubahan sosial. Islam sebagai agama yang Shalihun likulli zaman wa makan, mungkin bisa dinilai sebagai suatu hukum responsif. Suatu institusi yang responsif 21 Syukron Kamil,dkk., Syariah Islam dan HAM ; Dampak Perda Syariah Terhadap Kebebasan Sipil, Hak-Hak Perempuan Dan Non-Muslim, Jakarta: CSRC UIN Syarif Hidayatullah,2 007, h.xxi. 22 Syukron kamil,dkk., Syariah Islam dan HAM ; Dampak Perda Syariah Terhadap Kebebasan Sipil, Hak-Hak Perempuan Dan Non-Muslim, h.xxi. 8 mempertahankan secara kuat hal-hal yang esensial bagi integritasnya sembari tetap memperhatikan keberadaan kekuatan-kekuatan baru di dalam lingkungannya. Untuk melakukan hal ini, hukum yang responsif memperkuat cara-cara bagaimana keterbukaaan dan integritas dapat saling menopang walaupun terdapat pertentangan diantara keduanya. 23 Di sisi lain, faktor yang juga berpengaruh adalah pemahaman terhadap istilah fikih dan syariat itu sendiri. Secara praktis, kekaburan garis pembeda antara fikih dan syariat membuka peluang adanya klaim „keilahian‟ atau „kesucian‟ terhadap hasil ijtihad manusia. Secara historis, kedua klaim tersebut mengakibatkan dua fenomena serius yaitu tuduhan bid‟ah dan penolakan terhadap pembaruan hukum Islam. Saling menuduh bid‟ah ataupun murtad, yang bukan hanya menuduh bersalah atau berdosa. Bahkan menimbulkan konflik berdarah salah satunya peperangan sengit antara pengikut Syafi‟i dengan Hanafi yang dipicu oleh sedikit perbedaan pendapat. 24 Untuk zaman sekarang, walaupun tidak sampai menyebabkan pertumpahan darah, tapi di sekitar kita dapat kita jumpai banyaknya fatwa- fatwa baru termasuk pembahasan hukum keluarga yang terkadang dinilai oleh suatu kelompok menyimpang dari ajaran agama. Banyak terjadi penafsiran serta ijtihad bebas yang terkadang menghasilkan fatwa hukum yang “nyeleneh”. Biasanya hal ini mengatasnamakan nilai kemanusiaan termasuk 23 Philippe Nonet dan Philip Selznick, Hukum Responsif, Cet. II , Bandung: Nusamedia, 2008, h. 87. 24 Jasser Auda, Maqasid Shariah As Philosophy Of Islamic Law, A System Approach, Membumikan Hukum Islam Melalui Maqasid Syariah, Pendekatan Sistem, h. 103. 9 kesetaraan gender. Begitu juga sebaliknya, tidak sedikit pihak yang dengan mudah menganggap sesat ketika ada suatu pembaharuan hukum yang dinilai tidak senada dengan hukum yang terdapat dalam kitab fikih klasik. HAM adalah salah satu isu yang sering diangkat sebagai pembanding suatu konsep hukum termasuk syariat Islam. Tak jarang Islam digambarkan sebagai agama yang tidak menjunjung nilai kemanusiaan apalagi kesetaraan. Harus diakui bahwa sebagai konsep, HAM merupakan rumusan dan temuan masyarakat modern di abad ke-20. Namun sebagai sistem nilai HAM dapat dilacak dalam masyarakat Islam. 25 Masyarakat Islam Indonesia pada umumnya dapat menerima dan mengakui gagasan HAM, karena ajaran Islam sesungguhnya menjunjung tinggi nilai-nilai HAM. Pengalaman Indonesia sebagai bangsa yang pernah terjajah telah menjadi pendorong utama untuk menerima dan mengakui HAM, 26 salah satunya mengenai kesetaraan gender yang juga dikuatkan oleh adanya CEDAW Convension on the Elimination of All Forms of Discrimination Against Women sebagai sebuah konvensi yang berusaha menghapus segala bentuk pendiskriminasian terhadap perempuan. Apalagi, pada tanggal 24 Juli 1984 diundangkan Undang-undang Republik Indonesia No.7 tahun 1984 tentang pengesahan konvensi mengenai penghapusan segala bentuk diskriminasi terhadap wanita tersebut. 27 25 Seperti yang terkandung dalam Piagam Madinah. Lihat, Sukron Kamil, dkk., Syariah Islam Dan HAM; Dampak Perda Syariah Terhadap Kebebasan Sipil, Hak-Hak Perempuan Dan Non-Muslim, h. 17. 26 Sukron Kamil, dkk., Syariah Islam dan HAM; Dampak Perda Syariah Terhadap Kebebasan Sipil, Hak-Hak Perempuan dan Non-Muslim, h. 19. 27 Achie Sudiarti Luhulima, CEDAW Menegakkan Hak Asasi Perempuan, Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia, 2014, h. 37. 10 Di lain sisi, dengan melepaskan diri dari ajaran agama, sekularisme menawarkan hak yang sama bagi semua orang, hak yang sama bagi laki-laki dan perempuan atau yang dikenal dengan emansipasi perempuan. Sebaliknya revivalisme yang lahir terhadap respon terhadap sekularisme mengajak kembali kepada agama, sebagai politik anti feminisme. 28 Adapun posisi hukum Islam merupakan hukum yang meliputi dimensi Ilahiah dan dimensi insaniah. Bahwa hukum Islam bersumber dari Allah Swt. sehingga harus selalu didasarkan pada sumber utamanya yaitu Alquran dan sunah Nabi Saw. Namun, di sisi lain hukum Islam dibuat untuk kemaslahatan manusia ,untuk diterapkan di alam manusia, sehingga pemikiran yang bersentuhan dengan pelaksanaannya harus mempertimbangkan realitas yang melingkupi kehidupan manusia, terutama yang berkaitan dengan bidang hukum muamalah, terkait dengan interaksi antar manusia. 29 Sehingga dibutuhkan suatu teori atau metode tertentu untuk menemukan titik temu antara kedua sisi tersebut dan menjaga keseimbangan antara keduanya yang memiliki porsi masing-masing. Meskipun ada penolakan beberapa fakih terhadap ide „kontemporerisasi‟ terminologi maqasid, namun tidak sedikit fakih atau cendekiawan muslim kontemporer mengembangkan terminologi Maqasid tradisional dalam bahasa masa kini. Pada abad ke-20 M para penulis Maqasid secara signifikan mengembangkan „perlindungan keturunan‟ atau Hifdz an 28 Siti Musdah Mulia, Islam dan Inspirasi Kesetaraan Gender, Jogjakarta: Kibar Press, 2006, h. 7. 29 Asni, Pembaruan Hukum Islam Di Indonesia: Telaah Epistemologis Kedudukan Perempuan Dalam Hukum Keluarga, Cet. I, Kementerian Agama Republik Indonesia, 2012, h.189. 11 Nasl menjadi teori “berorientasi keluarga”. Ibn „Asyur, misalnya menjadikan „peduli keluarga‟ sebagai Maqasid hukum Islam. 30 Ini menunjukkan bahwa maqashid syariah juga berusaha untuk menyelaraskan hukum Islam dengan perubahan sosial. Dan diantara perubahan sosial tersebut adalah isu kesetaraan gender yang merupakan turunan dari penghormatan terhadap nilai kemanusiaan atau HAM. Adapun pembahasan kesetaraan jender, seiring berjalannya waktu masih menjadi hal yang menarik untuk diperbincangkan. Baik dalam pembahasan sosial masyarakat, politik, ekonomi terutama ranah hukum. Tidak luput dari kritik para kaum feminis, yaitu kedudukan perempuan dalam Islam dalam hubungan perkawinan misalnya. Sehingga tidak dipungkiri, Syariah atau fikih Islam yang mengatur tentang perempuan khususnya menjadi sasaran empuk para feminis. Perlu kiranya diadakan suatu penelitian mengenai hukum „iddah ini dalam dua kacamata yang berbeda untuk menemukan titik terang. Agar hukum yang dihasilkan bukan merupakan hukum yang lari dari nilai esensialnya sehingga hilang nafas keislamannya. Dan bukan juga hukum yang kaku, yang melupakan sisi kedinamisannya. Dengan harapan adanya keseimbangan pemahaman dan penerapan hukum Islam dalam kehidupan. Berdasarkan uraian di atas, penulis tertarik untuk melakukan penelitian lebih mendalam mengenai ketentuan „iddah. Hasil penelitian tersebut kemudian akan penulis tuangkan dalam sebuah skripsi yang berjudul 30 Jasser Auda, Maqasid Shariah As Philosophy Of Islamic Law, A System Approach, h. 56. 12 “Komparasi Analisis Maqasid Syariah Dan Kesetaraan Gender Tentang Hukum „iddah”

B. Identifikasi Masalah