59
ketentuan hukum. Tetapi di bagian-bagian lain, seringkali pula alasan atau tujuan hukum dibiarkan menjadi implisit atau bahkan tidak dinyatakan sama
sekali. Karena sudah menjadi ijma‟ ulama bahwa setiap ketentuan hukum itu pasti memiliki tujuan untuk kemaslahatan, maka illat dan tujuan itu harus
ditemukan dengan pengamatan dan penelitian secara seksama sehingga bisa dipahami dan dijadikan suatu rujukan penetapan hukum.
36
2. Kedudukan Maqasid Syariah dalam Lingkup Hukum Al Ahwal asy
Syaksshiyyah
Kata Al-Ahwal al-Syakhshiyyah merupakan istilah qanun atau perundang-undangan yang belum dikenal lama di kalangan pemikir fikih
terdahulu sehingga tidak terdapat dalam literatur fikih klasik. Penggunaan istilah Al-Ahwal al-Syakhshiyyah baru populer di abad terakhir ini sejak
Muhammad Qadri Pasha menggunakannya dalam kitab al ahkam al syar‟iyyah mengenai Al-Ahwal al-Syakhshiyyah dalam bentuk perundang-
undangan dengan rujukan mazhab Hanafi. Buku perundang-undangan ini mengatur hukum perkawinan, talak, waris, wasiat, hibah, perwalian dan
lainnya. UU mesir no. 147, disahkan pada tanggal 28 Agustus 1949.
37
Al-Ahwal al-Syakhshiyyah merupakan studi di bidang hukum keluarga yang meliputi hukum perkawinan termasuk perceraian, dan
hukum waris, wasiat dan hibah. Kajian terhadap studi ini perlu dilakukan dengan melihat aspek legal reasoning proses ijtihad dalam istinbath
36
Ahmad Imam Mawardi, Fiqh Minoritas-Fiqh al Aqalliyat dan Evolusi Maqasid Syariah dari Konsep ke Pendekatan, h. 209.
37
Ahmad al Gundur, Al Ahwal al Syakhshiyyah fi a t Tasyri‟ al Islami, Beirut: Maktabah
al Falah, 2001, h. 21-22.
60
hukumnya dari nash al- Qur‟an dan hadis agar terwujud apa yang
dikehendaki oleh pembuat syari‟ah Allah SWT di dalam kehidupan manusia sekarang ini.
38
Karena itulah pendekatan tujuan hukum maqasid syari‟ah penting dilakukan agar penerapan hukum Islam dapat diarahkan
untuk membentuk suatu tatanan masyarakat yang didasarkan pada kebaikan dan keadilan serta bersih dari kerusakan dan ketimpangan
sosial. Eksistensi maqasid syariah pada setiap ketentuan hukum syariah
termasuk bidang al ahwal al syahshiyya, menjadi hal yang tak terbantahkan. Jika ia berupa perbuatan wajib maka pasti ada manfaat yang terkandung di
dalamnya. Sebaliknya jika ia berupa perbuatan yang dilarang maka sudah pasti ada kemudaratan yang harus dihindari.
39
Karena sebagai tujuan dasar penetapan suatu syariat adalah untuk kemaslahatan manusia baik di
kehidupan dunia maupun akhirat.
40
Oleh karena itu, apabila seorang mujtahid bermaksud untuk memahami suatu praktik hukum, maka ia dapat merujuk pada pemahaman
terhadap nash untuk diaplikasikan dalam praktik. Dan jika ia bermaksud memecahkan suatu pertentangan zahir pada dua nash atau lebih maka ia bisa
menggunakan maqashid syariah untuk menyelesaikannya. Jika ia berada pada kondisi dalam penetapan hukum dengan perantara qiyas, istishlah atau
38
Bani Syarif Maula, Kajian Al Ahwal Al Syahshiyyah dengan Pendekatan Maqashid Syariah, STAIN Purwokerto, h. 10.
39
Hasbi Umar, Nalar Fikih Kontemporer, h.129.
40
Asy Syathibi, Al Muwafaqat Fi Ushul al Ahkam, Jilid. 2, h, 2.
61
istihsan dan sebagainya maka jalan keluarnya adalah dengan kembali memahami maksud dan tujuan syariah.
41
Syathibi mengembangkan perbedaan antara kewajiban moral dan kewajiban hukum dalam kaitannya dengan analisis mengenai tujuan
Pembuat hukum dalam menjadikan mukallaf tunduk kepada aturan-aturan syariat. Syathibi menyatakan bahwa meskipun kewajiban hukum juga
bertujuan ta‟abbud, namun huzhuzh tidaklah diingkari oleh gagasan
ta‟abbud. Dalam kenyataannya, kesesuaian perbuatan dengan kehendak pembuat hukum, itulah yang disebut
ta‟abbud.
42
Pengertian sufi tentang ta‟abbud tersangkal lebih jauh oleh pembahasan lingkup ta‟abbud dalam pengertian kebutuhan semata-mata.
Bagi Syathibi, pengertian ini hanya berlaku pada ibadat, sedangkan adat dikendalikan oleh maslahah. Karena menurutnya, dalam analisis akhir
ta‟abbud dalam ibadat hanyalah satu aspek dari mashlahah, dan mashlahah dalam „adat tidaklah bertentangan dengan ta‟abbud, maka Syathibi
menyimpulkan bahwa kewajiban dimotivasi oleh maslahah-nya mukallaf.
43
41
Wahbah al Zuhaili, Al wajiz fi Ushul al Fiqh, h.218. lebih dari itu, tujuan hukum perlu diketahui dalam rangka, apakah terhadap suatu kasus masih dapat diterapkan satu ketentuan
hukum atau karena adanya perubahan struktur social hukum tersebut tidak bias lagi diterapkan. Sehingga, pengetahuan tentang maqashid syariah menjadi kunci bagi keberhasilan mujtahid dalam
ijtihadnya. Fathurrahman Djamil, Ijtihad Muhammadiyah dalam Masalah Fikih Kontemporer, Disertasi, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 1994, h. 56, yang dikutip dari Satria Efendi, Maqasid
Syariah dan Perubahan Sosial, dimuat dalam Dialog, Badan Litbang-Depag, No. 33 Tahun XV, Januari, 1991, h. 29.
42
Muhammad Khalid Mas‟ud, Islamic Legal Philosophy. A Study of Abu Ishaq al Syathibi‟s Life and Thought. Filsafat Hukum Islam Studi tentang Hidup dan Pemikiran Abu Ishaq
al Syathibi, Penerjemah Ahsin Muhammad, Bandung; Penerbit Pustaka, 1996, h. 289.
43
Muhammad Khalid Mas‟ud, Islamic Legal Philosophy. A Study of Abu Ishaq al Syathibi‟s Life and Thought, h. 290.
62
Al Syathibi memandang ta‟abbud sebagai pengertian umum hak-hak Tuhan. Dia membagi hak tersebut menjadi tiga kategori. Pertama adalah
hak-hak yang semata-mata adalah milik Tuhan saja, semisal ibadat. Kedua, hak-hak Tuhan yang juga melibatkan hak manusia, tetapi pertimbangan hak-
hak Tuhan lebih dominan. Ketiga, hak-hak manusia lebih dominan. Kepada kategori ketiga inilah maslahah atau ma‟na tercakup secara langsung, dan
karenanya kategori ini tidaklah bersifat ta‟abbudi secara mendasar.
44
Berdasarkan jangkauan hukumnya, maqashid syariah bisa jadi berupa
maqashid al syari‟ah al „ammah, yakni yang meliputi keseluruhan aspek syariat,
maqasid al syari‟ah al khassah yang dikhususkan pada satu bab dari bab-bab syariat yang ada, seperti maqashid al syariah pada bidang
ekonomi, hukum keluarga, dan lain-lain atau maqashid al syariah al juz‟iyyah yang meliputi setiap hukum syara‟ seperti kewajiban shalat,
diharamkannya zina dan sebagainya.
45
Berdasarkan jangkauan maqashid tersebut, maka pembahasan Al- Ahwal al-Syakhshiyyah bisa dikategorikan sebagai maqashid khusus atau al
maqashid al khassah. Dan dalam ketentuan „iddah, dapat dikategorikan
dalam cakupan maqasid parsial atau al maqashid al juz‟iyyah.
Bersamaan dengan kemajuan dalam berbagai bidang, dalam memahami ajaran Allah, muncul kecendrungan untuk menguak apa rahasia
di balik perintahNya. Cara pandang seorang dokter dipakai untuk menguak
44
Muhammad Khalid Mas‟ud, Islamic Legal Philosophy. A Study of Abu Ishaq al Syathibi‟s Life and Thought, h. 299-300.
45
Ahmad Imam Mawardi, Fiqh Minoritas-Fiqh al Aqalliyat dan Evolusi Maqasid Syariah dari Konsep ke Pendekatan, h. 183. Lihat Jasser Auda, Membumikan Hukum Islam
Melalui Maqasid Syariah, h. 36.
63
apa rahasia shalat tahajud, cara pandang sosiologi dipakai untuk menganalisa mengapa Allah memancarkan Islam di tanah Arab, metodologi
ahli biologi-fisiologi dipakai untuk menyingkap rahasia mengapa najis anjing perlu dihilangkan dengan debu, dan lain sebagainya. Semua itu
berhasil menampakkan diri ke alam realitas berkat ketundukan kepada syariat, kecanggihan dan kritisme cara berfikir.
46
Namun keterbatasan
kemampuan manusia,
menyebabkan keberadaan ajaran Allah berada di ruang supra-rasional, dalam arti ajaran itu
logis namun akal kita tidak mampu menjangkaunya. Maka dengan menyadari keterbatasan ini tidak seharusnya batas-batas yang belum mampu
dijangkau nalar, dipaksa agar dapat dikonsumsi oleh nalar manusia yang lemah.
47
Seperti itu juga halnya dengan konsep kesetaraan dalam ajaran Islam. Walaupun secara eksplisit dalam hukum-hukum Islam terutama dalam
masalah perkawinan terlihat adanya bias gender. Namun, Islam sebagai agama yang sangat menghormati nilai keadilan tentu tidak mungkin akan
melanggar nilai keadilan itu sendiri dengan hukum yang bias gender. Bahkan bisa jadi pemeliharaan Islam terhadap perempuan secara tersirat
yang belum dipahami umum secara benar, melebihi apa yang dikoarkan, misalnya dalam CEDAW sebagai konvensi wanita tentang penghapusan
setiap bentuk diskriminasi terhadap wanita.
46
Forum KALIMASADA, Kearifan Syariat ; Menguak Rasionalitas Syariat Dari Perspektif Filosofis, Medis Dan Sosiohistoris, cet.IV, Kediri: Lirboyo Press, 2012, h.2.
47
Forum KALIMASADA, Kearifan Syariat, h.12.
64
Sehingga dalam pembaharuan hukum Islam, ada kemungkinan bisa digunakan sebagai acuan adalah paradigma teo-Antroposentris. Yang
merupakan gabungan dari teori teosentris dengan antroposentris.
48
Sekiranya pemahaman dan penerapan teori ushul fiqh yang disertai dengan pandangan yang terbuka terhadap perubahan sosial yang juga
mempengaruhi suatu hukum namun tetap dalam bingkai maqasid syariah dalam jalur Alquran dan sunnah diharapkan akan membawa pada syariat
yang syarat akan rahmatan lil „alamin. Dengan tetap menempatkan akal
pada porsinya tanpa harus menodai nilai kesucian Islam. Secara tradisional, hifzu al nasl perlindungan terhadap keturunan
adalah salah satu keniscayaan yang menjadi tujuan hukum Islam atau maqasid syariah. Pada abad ke 20 para penulis maqasid secara signifikan
mengembangkan perlindungan keturunan menjadi teori berorientasi keluarga. Ibn „Asyur, misalnya menjadikan peduli keluarga sebagai maqasid
hukum Islam. Dalam monografinya, ushul al nizam al ijtima‟I al Islam
dasar-das ar system social dalam Islam, Ibnu „Asyur mengelaborasi
maqasid yang berorientasi pada keluarga dan nilai-nilai moral dalam hukum Islam.
49
Sebagai salah satu hukum yang dipaparkan secara rinci dalam Alquran menunjukkan berapa pentingnya mengoptimalkan perhatian
terhadap kajian Al-Ahwal al-Syakhshiyyah. Karena keluarga mempunyai
48
Asni, Pembaruan Hukum Islam Di Indonesia H.189.
49
Jasser Auda, Membumikan Hukum Islam Melalui Maqasid Syariah, h. 56.
65
pengaruh yang luas terhadap masyarakat. Jika keluarga baik maka masyarakat pun akan menjadi baik.
Di samping itu, agar seseorang tidak mengingkari disayriatkan hukum-hukum keluarga, sebagaimana yang dilakukan oleh orang-orang
yang berusaha menentang hukum Alquran tentang pernikahan, perceraian dan hukum waris.
50
Berdasarkan pendekatan tujuan hukum tersebut, seorang pengkaji al ahwal al syakhsiyyah tidak dapat menentukan hukum suatu perbuatan
kecuali setelah melalui analisis dampak hukum al nazar fi al ma alat untuk melihat efek yang ditimbulkan oleh perbuatan tersebut, sehingga
menjadi jelas tingkatan kemaslahatan manusia sebagai maqasid syariah tujuan hukum.
51
3. Maqashid Syariah dalam Pandangan Jasser Auda