Konsep ‘Iddah dalam KHI

44 atau penghormatan terhadap suami. Ketentuan „iddah, menghapus kebiasaan jahiliah yang tak jarang berupa penindasan, diskriminasi, penghinaan. Bahkan perempuan dianggap sebagai bahan permainan laki- laki, menjadi barang transaksi, ditindas dan dizalimi. Kemudian Islam datang dengan misi kemaslahatan, salah satunya menjaga hak-hak perempuan dalam pernikahan, kewarisan dan mengangkat derajatnya dan mengembalikan kemuliaanya yang sempat terkubur dan mengembalikan kemerdekaanya yang lama terkekang. Sebagaimana disyariatkannya talak untuk melindungi perempuan dari kezaliman, penindasan dalam perkawinan. 65

2. Konsep ‘Iddah dalam KHI

Pada akhir tahun 1991 berhasil disusun Kompilasi Hukum Islam atau KHI di Indonesia mengenai perkawinan, pewarisan dan perwakafan. Kompilasi ini berlaku dengan instruksi presiden no.1 tahun 1991 tanggal 10 juni 1991, yang kemudian diikuti dengan keluarnya keputusan menteri agama RI No. 154 tahun1991 tentang pelaksanaan intruksi presiden no.1 tahun 1991 tersebut. 66 Kompilasi hukum Islam atau KHI merupakan hukum materiil pengadilan di lingkungan peradilan agama di Indonesia, yang dikeluarkan melalui Instruksi Presiden pada 1991. Penyusunan KHI melibatkan banyak 65 Abu Said al Amrawi, Ahkam al Thalaq, h. 96. 66 M.Atho‟ Muzdar, Hukum Keluarga Di Dunia Islam Modern, Studi Perbandingan dan Keberanjakan UU Modern dari Kitab-Kitab Fikih, Jakarta: Ciputat Press,2003, h.35 45 pihak dan beberapa langkah atau kegiatan. 67 Langkah pertama yang dilakukan adlah pengkajian kitab-kitab fikih dari berbagai mazhab. Hal ini mencerminkan pentingnya upaya menghimpun berbagai pendap dan sebagai upaya untuk memahami perbandingan pemikiran. Langkah berikutnya adalah wawancara para ulama sebagai upaya untuk menciptakan suasana dan kondisi yang penuh dengan aspirasi dan KHI diharapkan bisa menghadirkan hukum yang mapan dan sesuai bagi umat Islam. Langkah ketiga adalah meneliti yurisprudensi pengadilan agama. Langkah selanjutnya melakukan analisis perbandingan terhadap hukum keluarga Islam yang diterapkan di berbagai negara muslim lainnya. Terkait dengan isinya, meski pada banyak masalah KHI umumnya merujuk doktrin-doktrin hukum Islam klasik, khususnya doktrin kitab- kitab f ikih syafi‟i, KHI juga memperkenalkan sejumlah aspek pembaruan. Aspek-aspek itu mencakup masuknya adat istiadat setempat, kepentingan negara dan kecendrungan baru dalam wacana Islam Indonesia. 68 Undang-undang no.1 tahun 1974 tentang perkawinan tidak mengatur tentang „iddah ataupun waktu tunggu secara rinci. 69 Satu- satunya pasal yang bicara tentang waktu tunggu adalah pasal 11 ayat 1 dan 2 sebagai berikut; 1 Bagi seorang yang putus perkawinannya berlaku jangka waktu tunggu. 67 Asep Saepudin Jahar,Dkk, Hukum Keluarga, Pidana dan Bisnis, Kajian Perundang- Undangan Indonesia, Fikih dan Hukum Internasional, Jakarta: Kencana Prenadamedia, 2013, h .17. 68 Asep Saepudin Jahar,Dkk, Hukum Keluarga, Pidana dan Bisnis, Kajian Perundang- Undangan Indonesia, Fikih Dan Hukum Internasional, h. 23. 69 Aminur Nurudin dan Azhari Akmal Taringan, Hukum Perdata Islam di Indonesia, Jakarta: Kencana, 2004, h. 252. 46 2 Tenggangwaktu jangka waktu tunggu tersebut ayat 1akan diatur dalam Peraturan Pemerintah lebih lanjut. Selanjutnya waktu tunggu ini dimuat di dalam PP No. 91975 pasal 39 yang berbunyi sebagai berikut; 1 Waktu tunggu bagi seorang janda sebagai dimaksud dalam Pasal 11 ayat 2 Undang-undang ditentukan sebagai berikut: a. Apabila perkawinan putus karena kematian, waktu tunggu ditetapkan 130 seratus tiga puluh hari; b. Apabila perkawinan putus karena perceraian, waktu tunggu bagi yang masih berdatang bulan ditetapkan 3 tiga kali suci dengan sekurang-kurangnya 90 sembilan puluh hari dan bagi yang tidak berdatang bulan ditetapkan 90 sembilan puluh hari; c. Apabila perkawinan putus sedang janda tersebut dalam keadaan hamil, waktu tunggu ditetapkan sampai melahirkan. 2 Tidak ada waktu tunggu bagi janda yang putus perkawinan karena perceraian sedang antara janda tersebut dengan bekas suaminya belum pernah terjadi hubungan kelamin. 3 Bagi perkawinan yang putus karena perceraian, tenggang waktu tunggu dihitung sejak jatuhnya putusan Pengadilan yang mempunyai kekuatan hukum yang tetap, sedangkan bagi perkawinan yang putus karena kematian, tenggang waktu tunggu dihitung sejak kematian suami. Di dalam Kompilasi Hukum Islam masalah „iddah diatur di dalam pasal 153 yang berbunyi; 1. Bagi seorang isteri yang putus perkawinannya berlaku waktu tunggu atau „iddah, kecuali qobla al dukhul dan perkawinannya putus bukan karena kematian suami. 2. Waktu tunggu bagi seorang janda ditentukan sebagai berikut : a. Apabila perkawinan putus karena kematian, walaupun qobla al dukhul, waktu tunggu ditetapkan 130 seratus tiga puluh hari: 47 b. Apabila perkawinan putus karena perceraian,waktutunggu bagi yang masih haid ditetapkan 3 tiga kali suci dengan sukurang-kurangnya 90 sembilan puluh hari, dan bagi yang tidak haid ditetapkan 90 sembilan puluh hari; c. Apabila perkawinan putus karena perceraian sedang janda tersebut dalam keadaan hamil, waktu tunggu ditetapkan sampai melahirkan; d. Apabila perkawinan putus karena kematian, sedang janda tersebut dalam keadaan hamil, waktu tunggu ditetapkan sampai melahirkan. 3. Tidak ada waktu tunggu bagi yang putus perkawinan karena perceraian sedang antara janda tersebut dengan bekas suaminya qobla al dukhul. 4. Bagi perkawinan yang putus karena perceraian, tenggang waktu tunggu dihitung sejak jatuhnya, Putusan Pengadilan Agama yang mempunyai kekuatan hukum yang tetap, sedangkan bagi perkawinan yang putus karena kematian, tenggang waktu tunggu dihitung sejak kematian suami. 5. Waktu tunggu bagi isteri yang pernah haid sedang pada waktu menjalani „iddah tidak haid karena menyusui, maka „iddahnya tiga kali waktu haid. 6. Dalam hal keadaan pada ayat 5 bukan karena menyusui, maka „iddahnya selama satu tahun, akan tetapi bila dalam waktu satu tahun tersebut iahaid kembali, maka „iddahnya menjadi tiga kali waktu suci. Pasal 154 Apabila isteri bertalak raj`I kemudian dalam waktu „iddah sebagaimana yang dimaksud dalam ayat 2 huruf b, ayat 5 dan ayat 6pasal 153, di tinggal mati oleh suaminya, maka „iddahnya berubah menjadi empat bulan sepuluh hari terhitung saat matinya bekas suaminya. Pasal 155 Waktu „iddah bagi janda yang putus perkawinannya karena khuluk, fasakh dan li`an berlaku „iddah talak. Jika disederhanakan penjelasan pasal-pasal tersebut adalah sebagai berikut; 70 a. „Iddah wanita yang masih haid, tetapi tidak hamil, „iddahnya adalah tida kali quru‟.tiga kali haid atau suci= 90 hari 70 Aminur Nurudin dan Azhari Akmal Taringan, Hukum Perdata Islam di Indonesia, h. 255. 48 b. „Iddah wanita yang tidak haid baik karena masih kecil atau memasuki masa menopause, „iddahnya tiga bulan. c. „Iddah wanita hamil baik ditinggal mati oleh suaminya ataupun karena perceraian „iddahnya sampai melahirkan. d. „Iddah wanita sebab kematian suami adalah empat bulan sepuluh hari. Dari penjelasan di atas, dapat disimpulkan tidak keberanjakan dalam ketentuan „iddah tidak mengalami keberanjakan yang begitu signifikan. Konsep „iddah yang diatur KHI tak lain adalah konsep „iddah yang dijelaskan dalam fikih sebelumnya. 49

BAB III TINJAUAN UMUM TENTANG MAQASID SYARIAH DAN

KESETARAAN GENDER DALAM CEDAW

A. Tinjauan Umum tentang Maqasid Syariah

1. Pengertian dan Perkembangan Maqasid Syariah

Term maqashid berasal dari bahasa Arab àصÄĎę maqashid yang merupakan bentuk jamak kata àصĎę maqsad, berasal dari kata àصč artinya maksud, sasaran, prinsip, niat, tujuan akhir. 1 Term itu berarti telos dalam bahasa Yunani, finalite Prancis, atau zweck Jerman. 2 Sementara itu, syari‟ah yang secara etimologis bermakna jalan menuju mata air, dalam terminologi fikih berarti hukum-hukum yang disyariatkan oleh Allah untuk hambaNya, baik yang ditetapkan melalui Alquran maupun sunnah nabi Muhammad Saw. yang berupa perkataan, perbuatan atau keketapan nabi Saw. 3 Syariah merupakan salah satu istilah umum dalam mempresentasikan hukum Islam 4 di samping fikih dan fatwa. Ketiga term tersebut memiliki 1 Ahmad Warson Munawwir, Kamus Munawwir Arab Indonesia, h. 1125. lihat juga, Majma‟ Al Lugah Al „Arabiyah, Al Mu‟jam al Wasith, Cet. V, Mesir: Maktabah al Syuruq al Dauliyah, 2011, h. 765. kata maqsad semakna dengan kata wijhah yang berarti arah atau tujuan. 2 Jasser Auda, Maqasid Syariah As Philosophy Of Islamic Law: A System Approach: Membumikan Hukum Islam Melalui Maqasid Syariah, Penerjemah Rosidin dan Ali Abdu El Mun‟im, Cet. I, Bandung: Mizan Pustaka, 2015, h. 33. 3 „Abd al Karim Zaidan, al Madkhal li Dirasah al Syariah al Islamiyyah, Beirut: Muassasah al Risalah, 1976, h. 39. 4 Ketika ulama menyebutkan kata syariat, kata tersebut bisa mengandung dua arti; Pertama, seluruh agama yang mencakup ak ‟iddah, ibadah, adab, akhlak, hukum dan muamalah. Dengan kata lain, syariat mencakup ushul dan furu‟, ak‟iddah dan amal, teori dan aplikasi. Kedua, sisi hukum amal agama. Seperti ibadah dan muamalah yang mencakup hubungan dan ibadah kepada Allah. Serta mencakup juga urusan keluarga al ahwal al syakhshiyyah, masyarakat,