13 Fasilitasi, jika dihubungkan dengan pengelolaan konflik, sangat berperan
dalam negosiasi. Negosiasi adalah sebuah bentuk pembuatan keputusan dimana dua pihak atau lebih saling berbicara dalam usaha untuk merubah kepentingan
mereka yang berlawanan Engel dan Korf 2005. Negosiasi selalu merupakan permulaan dari suatu proses pembelajaran, penyesuaian-penyesuaian dan
pembangunan hubungan-hubungan Malik et al. 2003. Tidak sempurnanya kesepakatan dikarenakan munculnya situasi yang tidak diharapkan serta adanya
kesalahfahaman terhadap tujuan sebenarnya dari kata-kata yang digunakan. Karena itu, penyesuaian adalah perlu. Hal yang terpenting adalah bahwa suatu
negosiasi harus dapat memperbaiki saling percaya dari para pihak yang berkonflik demi terfasilitasinya penyesuaian-penyesuaian dan kesepakatan-
kesepakatan tentang topik-topik lain.
2.3. Berpikir Sistem lunak dalam Mengelola Kawasan Hutan
Kawasan hutan disebut rawan konflik apabila terdapat kepentingan berbeda yang sulit dikompromikan antarpihak-pihak pengguna kawasan hutan,
karena dianggap mengganggu atau dapat menghilangkan kepentingan yang lain. Bagi pengelola kawasan hutan, situasi ini menimbulkan kompleksitas masalah
dan ketidakpastian. Cara yang diusulkan banyak ahli untuk memfasilitasi proses- proses yang kompleks dan dinamis adalah dengan berpikir sistem lunak soft
system thinking Groot dan Maarleveld 2000. 2.3.1. Pemikiran Sistem
Berpikir sistem adalah berpikir secara holistik dengan melihat obyek yang dikaji dalam kaitannya dengan komponen-komponen lainnya. Mengapa harus
berpikir sistem dalam pengelolaan sumberdaya alam. Karena sumberdaya alam didefinisikan sebagai sebuah sistem, maka pengelolaan sumberdaya alam
haruslah dipandang sebagai pengelolaan sistem. Secara definitif sistem adalah suatu gugus dari elemen yang saling berhubungan dan terorganisasi untuk
mencapai suatu tujuan atau suatu suatu gugus dari tujuan-tujuan Manetsch dan Park 1979 dalam Eriyatno 2003.
Checkland and Scholes 1990 dalam Lucket et al. 2001 mengartikan berpikir sistem lebih sederhana lagi. Menurut mereka berpikir sistem adalah
suatu cara memandang dan memahami dunia. Sistem didefinisikan sebagai suatu kumpulan ―benda‖ dan beragam aktivitas yang saling berhubungan
kemudian membentuk keseluruhan yang adaptif, untuk mencapai satu tujuan. Ini
14 berarti sistem tidak mengacu kepada sekumpulan benda dan aktivitas saja
namun ada saling keterkaitan antara elemen-elemen itu. Satu cara untuk memahami berpikir sistem adalah dengan
membandingkannya dengan pendekatan reduksionis dalam menangani kompleksitas Chapman 2004. Aspek penting pendekatan reduksionis adalah
bahwa kompleksitas disederhanakan dengan membagi sebuah masalah ke dalam sub masalah atau menjadi komponen-komponen sedemikian rupa
sehingga cukup sederhana untuk dianalisis dan dipahami. Operasi terhadap kompleksitas direkonstruksi dari operasi-operasi pada taraf sub masalah atau
komponen-komponen. Cara ini memiliki potensi masalah. Bisa jadi fitur penting dari entitas kompleksitas justru terletak pada hubungan antarkomponen.
Kompleksitas muncul ketika masing-masing komponen berkoneksi satu sama lain. Sehingga tindakan menyederhanakan dengan menghilangkan interkoneksi
antarkomponen tidak akan dapat mengatasi kompleksitas. Berpikir sistem memiliki sebuah strategi alternatif untuk menyederhanakan
kompleksitas, yaitu dengan meningkatkan taraf abstraksi. Taraf tertinggi dari abstraksi mampu menghilangkan detil masalah, dan ini berarti penyederhanaan.
Ketika orang berbicara tentang organisasi maka ia mengeliminasi fungsi individu- individu atau kelompok. Organisasi berada pada taraf abstraksi yang lebih tinggi
dari individu-individu di dalamnya. Namun, interkoneksi antarkomponen tetap dipertahankan
meski taraf
abstraksinya meningkat.
Abstraksi atau
penyederhanaan dari dunia nyata yang mampu menggambarkan struktur dan interaksi elemen serta perilaku keseluruhannya sesuai dengan sudut pandang
dan tujuan yang diinginkan didefinisikan sebagai model Purnomo 2005. Dalam mempelajari tentang berpikir sistem adalah sangat membantu untuk
membedakan dua kelas masalah, yaitu antara masalah yang rumit dan masalah yang sulit Chapman 2004. Sebuah kesulitan dikarakterisasi oleh kesepakatan
atas sebuah masalah dan oleh pemahaman tentang solusi apa yang mungkin, dan pemecahannya dibatasi oleh waktu dan sumberdaya. Sementara kerumitan
dikarakterisasi oleh kesepakatan yang tidak jelas tentang apa sebenarnya masalah dan oleh ketidakpastian dan ambiguitas bagaimana memperbaiki
masalah tersebut, dan ia tidak dibatasi oleh waktu dan sumberdaya. Perbedaan lainnya adalah jika seseorang mempunyai solusi atas suatu masalah yang sulit
maka ia adalah aset, tetapi jika seseorang ingin menyelesaikan masalah yang rumit maka ia sendiri adalah bagian dari masalah tersebut.