Implikasi Kebijakan HASIL DAN PEMBAHASAN

82 makin diperparah dengan ketidakmampuan menyusun rencana tindakan manajemen yang adaptif. Sehingga, seringkali rencana tindakan manajemen harus diperbaharui setiap tahun untuk mengikuti dinamika sosial politik. Implikasinya, identifikasi masalah menjadi program rutin lembaga-lembaga pemerintah yang dipercaya mengelola kawasan-kawasan hutan Hasil identifikasi masalah observasi terhadap situasi dan kondisi lapangan semestinya dilanjutkan dengan tahap refleksi untuk mengevaluasi taraf kebenaran atas persepsi pemerintah sebagai pemegang mandat pengelolaan kawasan hutan maupun masyarakat lokal. Analisis sistem dan pemodelan kualitatif yang berorientasi aksi sebagaimana dicontohkan dalam penelitian ini, dapat digunakan untuk merefleksi hasil-hasil observasi masalah. Refleksi akan membawa pencapaian konsep perencanaan aksi action planning. Konsep perencanaan seperti ini menjadi lebih adaptif, dalam arti akan mampu menyesuaikan dengan perubahan yang terjadi. Pengelola-pengelola kawasan hutan tidak perlu setiap tahun melakukan observasi masalah, sehingga terkesan melakukan pemborosan dan tidak berani bertindak apapun. Setiap tindakan manajemen diobservasi kembali manfaat dan dampaknya, kemudian secara iteratif berlanjut lagi pada proses pembelajaran berikutnya. Intervensi terhadap situasi masalah yang rumit tidak harus melibatkan pihak luar. Fasilitasi reflektif dalam penelitian ini terbukti mampu memecahkan kebekuan komunikasi antarpihak yang berseberangan perspektif dan kepentingan. Pihak pengelola kawasan hutan ―tidak terkelola‖ seharusnya dapat memanfaatkan stafnya sendiri untuk melakukan intervensi melalui fasilitasi. Pemerintah harus mulai bergeser dari cara rutin berpikir yang menganggap dirinya sebagai pelaksana kegiatan saja, menjadi fasilitator proses manajemen bagi kawasan hutannya. Fasilitator reflektif dapat diperankan oleh semua aktor dari pemerintah maupun masyarakat lokal. Hasil penelitian Kolfschoten et al. 2007 menunjukkan bahwa kinerja dan penggunaan informasi oleh fasilitator baru tidak sangat berbeda dengan fasilitator pada tingkat ahli, namun mereka fasilitator baru kurang fleksibel karena pengalamannya masih terbatas. Ini berarti, pihak pengelola kawasan hutan tidak perlu repot mengundang atau menunggu datangnya fasilitator handal untuk memulai intervensi, tetapi cukup memanfaatkan orang-orang mereka sendiri.

V. KESIMPULAN DAN SARAN

5.1. Kesimpulan

a. Prinsip-prinsip Metodologi Sistem Lunak yang dijalankan melalui strategi fasilitasi reflektif mampu mengubah suasana konflik yang disebabkan oleh perbedaan perspektif dan kepentingan, menjadi media pembelajaran sosial saling memahami, sehingga menghasilkan langkah pengelolaan bagi Blok Agroforestry Huta n Penelitian Benakat yang semula ―tidak terkelola‖. b. Fase intervensi dalam tahapan Metodologi Sistem Lunak ini tidak secara signifikan mengubah sikap para pihak terhadap preferensi tata guna lahan. Ini berarti potensi konflik dalam masa depan tetap ada.

5.2. Saran

a. Model konseptual sebagai representasi hubungan beragam aktivitas bertujuan dalam masa depan dapat dijadikan pedoman interaksi para pihak pada saat melaksanakan aksi menuju perubahan situasi masalah. Resolusi konflik dapat berwujud memperbaiki model konseptual yang ada sebagai refleksi sistem aktivitas yang lebih layak dan diterima. b. Metodologi Sistem Lunak dapat dijadikan alternatif pendekatan untuk mengintervensi kawasan-kawasan hutan yang dianggap rawan konflik di Indonesia. Aplikasi metodologi ini dalam konteks pengelolaan kawasan hutan yang lebih kompleks isu lebih luas, para pihak lebih banyak sebaiknya dikombinasikan dengan metodologi lainnya multi metodologi. DAFTAR PUSTAKA Adelson B. 1999. Developing strategic alliances: A framework for collaborative negotiation in design. Research in Engineering Design, 11:133-144. Asanga CA. 2005. Memfasilitasi kemitraan yang layak dalam pengelolaan hutan komunitas di Kamerun: Kasus kawasan hutan pegunungan Kilum-Ijim. Di dalam: Wollenberg E, Edmunds D, Buck L, Fox J, Brodt S, editor. Pembelajaran Sosial dalam Pengelolaan Hutan Komunitas. Bogor: Pustaka Latin. hlm 29-60. Barron P, Kaiser K, Pradhan P. 2004. Local conflict in Indonesia. Measuring incidence and identifying patterns. World Bank Policy Research Working Paper 3384, August 2004. Baskerville RL. 1999. Investigating information system with action research. Communications of AIS. Volume 2, Article 19. Bervall-Kareborn B, Mirijamdotter A, and Basden A. 2003. Basic principles of SSM modelling: An examination of CATWOE from a soft perspective. Systemic Practice and Action Research, Vol. 17. No.2: 55-73. Braithwaite J, Hindle D, Iedema R, Westbrook JI. 2002. Introducing soft systems methodology plus SSM+: Why we need it and what it can contribute. Australian Health Review Vol. 25 No. 2. Braver T, Edwards V, Phan AT. 2007. The gambler, the carrots, and the cook: A critical evaluation of investment potential in the Viatnamese software industry. Asia Pacific Business Review Vol 13 1:41-58 Brenton K. 2007. Using soft systems methodology to examine communication difficulties. Mental Health Practice Vol 10 5 : 12-16 Brits H, Plessis L du. 2007. Application of focus group interviews for quality management: An action research project. Syst Pract Act Res 20:117-126. Bunch MJ. 2003. Soft systems methodology and the ecosystem approach: A system study of the cooum river and environs in Chennai, India. Enviromental Management Vol. 31, No. 2, pp. 182-197. Chambers R. 1996. Memahami Desa secara Partisipatif. Sukoco, penerjemah; Nugroho PA, penyunting. Yogyakarta: Kanisius. Terjemahan dari: Rural Appraisal: Rapid, Rilex Participatory. Champion D, Stowell FA 2003. Validating action research field studies: PEArL. Syst Pract Act Res 161:21-36. Champion D. 2007. Managing action research: the PEArL framework. Syst Pract Act Res. In Press.