Sejarah Pengelolaan Blok Agroforestri

31 berpindah yang sebelumnya telah ikut membantu pengerjaan Proyek Reboisasi dan ATA-186. Keadaan umum areal Blok Agroforestri pada saat awal dibangun berupa hamparan alang-alang. Rancangan lapangan Agroforestri disusun dalam rangkaian rotasi penanaman tanaman kayu, yaitu dari jenis Acacia mangium dan Eucalyptus deglupta Gambar 4. Proyek ini direncanakan berlangsung selama 10 tahun. Gambar 4 Rancangan ujicoba pengembangan agroforestri di Benakat tahun 1982-1992 Sumber: Dirjen RRL 1988, dimodifikasi. 32 Daur tanaman pokok diasumsikan selama 10 tahun. Setiap tahun akan dibangun 30 petak tanaman pokok berukuran masing-masing satu hektar. Pembersihan lahan dilakukan secara mekanis, kemudian dilanjutkan dengan bajak I dan II, diakhiri dengan penggaruan. Peserta agroforestri berperan dalam kegiatan penanaman dan pemeliharaan tanaman pokok, dengan kompensasi upah. Setelah itu mereka diperbolehkan menggunakan petak tersebut untuk kegiatan pertanian tanaman semusim sampai tanaman pokok berumur 2 tahun. Dengan demikian, setelah tahun pertama kegiatan, setiap kepala keluarga kk dapat mengelola 2 hektar tanaman semusim. Setelah tanaman pokok berumur 10 tahun diasumsikan masak tebang, petani peserta akan mendapat upah dari kegiatan pemanenan dan kembali dapat memanfaatkan lahan tersebut pada daur kedua. Pada saat itu, akses masyarakat terdapat hasil tanaman pokok kayu belum terpikirkan. Selama masa proyek, berbagai kegiatan penelitian telah dilakukan oleh pihak Departeman Kehutanan. Pertumbuhan tanaman dan kondisi sosial ekonomi peserta program agroforestri dipantau setiap tahun. Ujicoba teknik agroforestri juga cukup intensif dilakukan, seperti penanaman kopi di bawah tanaman pokok dan introduksi beragam tanaman pangan. Selama masa 1982 hingga 1988, Blok Agroforestri merupakan pusat penyuluhan dan pelatihan teknik reboisasi di lahan alang-alang dan penanganan peladang berpindah di Sumatera. Kinerja kawasan ini dirasakan mulai menurun setelah terjadi perubahan organisasi pengelola. Intensitas pengelolaan Blok Agroforestri cenderung menurun setelah Proyek ATA-186 berubah menjadi Balai Teknologi Reboisasi BTR, di bawah koordinasi Direktorat Jenderal Reboisasi dan Rehabilitasi Lahan pada tahun 1986 dan kemudian Badan Penelitian dan Pengembangan Litbang Kehutanan pada tahun 1988. Minimnya anggaran dan sumberdaya manusia serta mulai beragamnya fokus kegiatan litbang dianggap sebagai kendala dalam mengelola areal ini Rimbawanto 2004. Pada tahun 1990-an, kantor Balai Teknologi Reboisasi dipindahkan dari Benakat ke Palembang. Sejak saat itu, pengelolaan Blok Agroforestri kehilangan visi dan tujuan yang jelas. Hasil-hasil Proyek Benakat ATA-186 dimanfaatkan untuk membangun hutan tanaman industri. Pada awal dekade 1990-an, PT. Musi Hutan Persada MHP menanami seluruh kawasan hutan produksi di Benakat dengan jenis Acacia mangium. Perubahan tata guna lahan di sekitar Blok Agroforestri ini 33 cukup memengaruhi tekanan dan ketergantungan masyarakat terhadap kawasan budidaya tanaman kehutanan ini. Kebakaran hutan yang terjadi pada tahun 1994 dan 1997 merusak sebagian besar tanaman di Blok Agroforestri. Kerusakan petak-petak tanaman ini dimanfaatkan oleh masyarakat Dusun Benakat Minyak menjadi areal penanaman tanaman semusim yang dilanjutkan dengan penanaman karet. Aksi ini menjadi marak pada masa reformasi tahun 1998. Masyarakat peserta agroforestri yang bermukim di dalam kawasan menunjukkan kegelisahannya atas pengabaian keadaan lapangan yang dilakukan pihak pengelola Departemen Kehutanan dengan ikut pula menanam karet di koridor petak. Kegelisahan dan pembenaran atas aksi yang dilakukan peserta agroforestri ini, seperti diungkapkan oleh Mat Tayib, Kepala Dusun Tumpangsari 1 : ―Dulu tahun 1982an kami dijadikan peserta penelitianprogram tumpangsari dengan caro neken kontrak selama 2 dua tahun. Pihak kehutanan proyek JICA pergi begitu saja, tanpa kejelasan program lanjutan. Kami merasa tertipu. Na, Kayu yang masih ado ni akhirnya habis oleh cukong kayu, kami cuman nonton bae. Masyarakat akhirnyo memanfaatkan lahan koridor untuk nanam karet, dan sudah itu menanami hampir seluruh areal tumpang sari dengan karet setelah terjadi kebakaran tahun 1997 dan sesudah penebangan sengon oleh BTR Palembang”. Pada tahun 2004, Menteri Kehutanan menetapkan Hutan Penelitian Benakat, termasuk Blok Agroforestri sebagai Kawasan Hutan dengan Tujuan Khusus KHDTK Hutan Penelitian, melalui Surat Keputusan No. 111 tanggal 24 April 2004. Semangat untuk merevitalisasi kembali Hutan Penelitian Benakat makin kuat setelah Badan Litbang Kehutanan menandatangani nota kesepahaman dengan PT. MHP guna menghindari kerusakan yang lebih parah terhadap kawasan ini. Namun hingga penelitian ini akan dilaksanakan, Blok Agroforestri belum tersentuh tindakan manajemen sama sekali. Pemanfaatan areal Blok Agroforestri menjadi perkebunan karet oleh sebagian masyarakat Desa Benakat Minyak dan Semangus merupakan bentuk 1 Diungkapkan pada saat wawancara kelompok fokus di Dusun Tumpangsari Desa Semangus, 4 Agustus 2007. 34 aktivitas yang saat ini berlangsung. Secara faktual, penguasaan sumberdaya 2 Blok Agroforestri berada pada pemanfaat lahan dari kedua desa itu. Ketika areal telah menjadi kebun karet, maka pemanfaat diakui secara sosial memiliki hak untuk melarang siapapun memasuki lahan tersebut dan bebas melakukan transaksi jual beli atas aset di dalamnya. 4.2. Desa-desa pemanfaat lahan Blok Agroforestri 4.2.1. Desa Benakat Minyak Desa Benakat Minyak merupakan pengembangan dari Desa Sungai Baung. Desa yang berpenduduk 387 kk dengan 1.837 jiwa ini ditetapkan secara definitif sejak 1 Agustus 2002, dengan luas administrasi 4.851 ha. Letak desa persis di sebelah timur Blok Agroforestri. Mayoritas penduduk desa bekerja sebagai petanipeladang dengan pekerjaan sampingan sebagai buruh PT. MHP dan atau buruh eksplorasi minyak 80, pedagang 10, kontraktor atau subkontraktor PT. MHP atau Pertamina 5, PNS dan karyawan PT. MHP 5. Sebagian besar masyarakat Desa Benakat Minyak 80 berasal dari suku Jawa dan hanya sekitar 20 merupakan penduduk asli dari Marga Benakat. Perkembangan Desa Benakat Minyak cukup pesat dalam lima tahun terakhir. Selain telah memiliki Sekolah Dasar Negeri dan Sekolah Menengah Pertama Negeri, desa ini telah dilengkapi pula dengan sarana kantor desa permanen, masjid, dan pasar tradisional Gambar 5. Pesatnya pembangunan desa tidak terlepas dari keberadaan usaha pengeboran minyak yang dilakukan Pertamina dan hutan tanaman industri oleh PT. MHP. Namun aksesibilitas di dalam dan menuju desa masih berupa jalan tanah yang diperkeras Gambar 6, sehingga sulit dilalui pada saat musim hujan. Cikal bakal Desa Benakat Minyak adalah Dusun Benakat Minyak yang pada dekade 1980-an dianggap sebagai pemukiman liar, karena kawasan ini dikenal masyarakat sebagai Register 32. Pengesahan pemukiman penduduk menjadi sebuah desa menjadi pertanyaan bagi masyarakat: ‖Mengapa di dalam kawasan hutan dapat ditetapkan menjadi desa?‖. Padahal, syarat mutlak untuk pembentukan desa selain ada masyarakat adalah harus ada wilayah. Legitimasi 2 Menurut Schlager Ostrom 1992 hak-hak penguasaan sumberdaya terdiri atas hak akses, pemanfaatan, pengelolaan, pembatasan, dan pelepasan. Secara faktual sekumpulan hak-hak tersebut telah dikuasai masyarakat, namun secara hukum aktivitas mereka masih dianggap illegal. 35 politik terbentuknya desa ini kemudian dipahami masyarakat sebagai dukungan atas tindakan mereka memanfaatkan kawasan hutan untuk keperluan hidup, dimana pada masa lalu hal tersebut dianggap terlarang. Berdasarkan informasi dari beberapa tokoh masyarakat, pada saat acara peresmian desa, tim terpadu dari Pemerintah Daerah dan DPRD Kabupaten Muara Enim menyatakan bahwa masyarakat diperkenankan memanfaatkan lahan sampai radius 500 meter dari batas luar pemukiman desa untuk kepentingan usahatani. Padahal areal tersebut merupakan konsesi PT. MHP 3 dan Blok Agroforestri Hutan Penelitian Benakat. Sejak menjadi desa definitif, masyarakat Benakat Minyak secara aktif memperjuangkan kepastian penguasaan lahan yang umumnya telah mereka tanami dengan karet. Tawaran PT. Musi Hutan Persada untuk melibatkan masyarakat dalam program perhutanan sosial, Membangun Hutan Bersama Masyarakat MHBM dan Mengelola Hutan Rakyat MHR, mereka tolak. Hal ini disebabkan program MHBM dan MHR dipandang hanya memprioritaskan tanaman Acacia mangium yang tidak sesuai dengan keinginan masyarakat Suardi Salam, Kepala Desa Benakat Minyak. Akibat dari perbedaan keinginan antara masyarakat dengan PT. Musi Hutan Persada, tercatat terjadi beberapa kali kejadian konflik terbuka. Pada saat penelitian ini dilaksanakan misalnya, terjadi demonstrasi massa yang menuntut pembebasan lahan-lahan yang telah dikuasai masyarakat Harian Sumatera 3 Pada tahun 2002, masyarakat mengambil alih areal pascapanen Acacia mangium di sekitar Desa Benakat Minyak dan menjadikannya sebagai areal usahatani, khususnya karet. Ini menjadi pemicu konflik terbuka antara PT. MHP dengan masyarakat hingga sekarang. Gambar 5 Kondisi jalan dan pemukiman masyarakat Desa Benakat Minyak Foto: Martin 2007 Gambar 6 Pasar tradisional kalangan setiap Hari Kamis di Desa Benakat Minyak Foto: Martin 2007