Menurut BPS 2000 secara umum rumahtangga diartikan sebagai seseorang atau sekelompok orang yang mendiami sebagian atau seluruh bangunan
fisik atau sensus dan umumnya tinggal bersama serta makan dari satu dapur. Yang dimaksud dengan satu dapur adalah bahwa pembiayaan keperluan juga
pengurusan kebutuhan sehari-hari dikelola bersama-sama. Adapun White 1978 mengemukakan bahwa rumahtangga pedesaan Jawa merangkap fungsi-fungsi
sebagai unit produksi, unit konsumsi, unit reproduksi, dan unit interaksi sosial ekonomi dan politik, dimana keberlangsungan beragam fungsi tersebut dilandasi
prinsip safety first. Prinsip ini mendahulukan selamat yang berimplikasi kepada kondisi dimana keputusan rumahtangga bertujuan utama lebih kepada untuk
menghindari kemungkinan gagal daripada mencari keuntungan sebanyak- banyaknya. Prinsip ini juga berimbas kepada kebiasaan dalam perilaku
rumahtangga miskin di pedesaan dalam penerimaan mereka terhadap teknik- teknik pertanian, pranata-pranata sosial dan cara merespon terhadap proyek-
proyek pembangunan. Sebagai unit ekonomi yang merangkap banyak fungsi, menurut White
1978, rumahtangga pedesaan Jawa harus mengalokasikan curahan waktu mereka diantara berbagai jenis kegiatan, yang mencakup: a pekerjaan yang tidak
semuanya menghasilkan pendapatan secara langsung, khususnya pekerjaan- pekerjaan pemeliharaan rumahtangga, seperti mengurus rumahtangga, mengasuh
anak, memasak, mencuci, mengambil air, mencari kayu bakar, dan memperbaiki rumah, b pekerjaan yang merupakan kewajiban sebagai anggota masyarakat
seperti kerja bakti, gotong royong, dan sambutan, serta, c pekerjaan yang langsung menghasilkan pendapatan.
2.1.4 Karakteristik Dataran Tinggi
2.1.4.1 Ekologi Dataran Tinggi
Hamparan lahan yang tidak pernah digenangi atau tergenang air pada sebagian besar waktu dalam setahun biasanya disebut sebagai lahan kering.
Sedangkan yang dimaksud lahan kering dataran tinggi adalah hamparan lahan kering yang terletak pada ketinggian lebih dari 700 mdpl 700-2500 mdpl.
Departemen pertanian 2006 dalam Sabiham et al 2008 bahkan mendefinisikan
wilayah dengan elevasi minimal 350 mdpl danatau memiliki tingkat kemiringan lereng minimal 15 persen sudah termasuk lahan pegunungan. Kegiatan pertanian
yang dilakukan pada lahan kering dataran tinggi memiliki ciri khas tidak didukung oleh irigasi teknis yang memadai, sehingga kebutuhan air bergantung
pada curah hujan atau mata air yang ada di sekitar areal pertanian. Lebih lanjut dijelaskan dalam Sabiham et al 2008, lahan dataran tinggi di Indonesia
berdasarkan tipe agroklimatnya dapat dibedakan menjadi dua, yaitu lahan kering beriklim basah dan lahan kering beriklim kering. Di daerah beriklim basah
alternatif jenis usaha yang dapat dilakukan oleh petani lebih beragam dibandingkan daerah yang beriklim kering.
Lahan kering memiliki karakteristik kemampuan tertentu yang ditentukan oleh jenis, letak, kemiringan, dan berbagai faktor lainnya. Secara implisit hal itu
mengindikasikan bahwa untuk setiap jenis penggunaan atau peruntukan lahan diperlukan perlakuan dan teknologi tertentu agar lahan tersebut memberikan
manfaat yang optimal dan lestari. Pola pemanfaatan lahan kering yang dimanfaatkan penduduk selama ini bervariasi dari satu daerah ke daerah lainnya
yang banyak tergantung pada tingkat kemampuan, keterampilan, dan peluang serta prospek yang terdapat pada setiap daerah. Sebagian besar jenis tanah lahan
kering adalah tanah podsolik merah kuning yang sangat peka terhadap erosi. Pori aerasi tanah rendah, terutama di lapisan bawah sehingga tanahnya memadat,
akibatnya infiltrasi air lambat dan erosi permukaan bertambah besar. Akibat lebih jauh adalah usaha tani pada lahan ini sering kekeringan meskipun intensitas hujan
cukup tinggi Rasahan et al, 1999. Dataran tinggi memiliki fungsi utama sebagai daerah tangkapan air
catchment area. Fungsi tersebut diyakini hanya dapat berlangsung jika vegetasi yang tumbuh di atas permukaannya adalah tanaman tahunan. Perakaran tanaman
tahunan yang dalam memiliki kemampuan untuk meresapkan air ke dalam tanah dan menahan tanah dari erosi permukaan. Namun, kenyataannya luasan kawasan
lindung di dataran tinggi terus berkurang, berubah menjadi kawasan budidaya untuk pemanfaatan pertanian dan pemukiman. Masyarakat cenderung
mengabaikan resiko kerusakan lingkungan yang ditimbulkan akibat perlakuan tersebut Sabiham et al, 2008. Lahan dataran tinggi pada batasan-batasan
tertentu, dan jika dikelola berdasarkan prinsip-prinsip berkelanjutan, memiliki potensi yang sangat besar sebagai penghasil pangan nasional. Harus diakui bahwa
dimasa mendatang ketergantungan produksi pangan dari kawasan tersebut akan terus meningkat seiring dengan konversi lahan pertanian produktif di dataran
rendah yang sulit dicegah lagi. Namun demikian, sedikitnya terdapat empat hal sama yang mencerminkan
kondisi pertanian lahan dataran tinggi pada saat ini yaitu: pertama, usahatani semakin tidak menguntungkan bagi petani sehingga tidak dapat mencukupi
kebutuhan ekonomi keluarganya. Kedua, menurunnya daya dukung lingkungan yang ditunjukkan oleh meningkatnya kerusakan lingkungan dan rendahnya
produktivitas lahan. Ketiga, meningkatnya volume hujan akibat anomali iklim yang memicu terjadinya ledakan serangan hama penyakit tanaman sehingga
mengakibatkan gagal panen dan kerugian materi yang tidak sedikit Anyamba et al, 2006 dalam Sabiham et al, 2008. Keempat, hilangnya kemampuan masyarakat
untuk membangun modal sosial social capital sehingga mereka tidak mampu mengendalikan terjadinya kerusakan lingkungan dan sangat tergantung kepada
modal usaha yang berasal dari luar.
2.1.4.2 Masyarakat Dataran Tinggi