Aspek Sosial Gambaran Sistem Nafkah pada Rumahtangga Petani Kentang

“Model-model pakaian yang dijual harus menyesuaikan dengan tren yang ada di TV supaya yang beli tertarik. Biasanya sekali lihat di TV dan dianggap bagus, maka ada aja yang pesen mbak. Sutera yang harganya hingga lima ratus ribu juga laku dalam sekali tawar.” Kondisi yang demikian dimanfaatkan juga oleh pedagang dari luar Desa Karangtengah. Berbagai jenis barang dagangan mulai dari makanan, perlengkapan dapur, mainan anak-anak, hingga sales dari dealer motormobil menyambangi petani untuk menawarkan dagangannya. Pedagang-pedagang tersebut seringnya menawarkan dagangan dengan sistem pembayaran kredit kepada petani. Harga yang dianggap murah, namun jika ditotal maka akan lebih mahal. Hanya saja karena merasa memiliki dana untuk membelinya maka mereka tidak berkeberatan meskipun barang yang dibeli belum tentu menjadi kebutuhan mendesak. Kredit formal merupakan hal yang belum dijangkau oleh petani di Desa Karangtengah. Petani masih bergantung kepada tengkulak, petani kaya, maupun distributor pupukobat untuk memperoleh modal usahatani yang mereka garap. Kondisi ini menimbulkan polemik diantaranya ketika petani gagal panen maka mereka akan terjerat hutang kepada pemilik modal yang telah disebutkan. Ditambah lagi dengan sifat konsumtif yang dimiliki, maka beban hutang akan semakin berat. Sebagian petani ada yang mengakses kredit via bank, hanya saja kredit tersebut biasanya digunakan untuk membayar barang-barang yang mereka beli seperti motormobil.

6.1.3 Aspek Sosial

Masyarakat pertanian pedesaan merupakan komunitas yang memiliki watak khas dengan pola pencarian nafkah di sektor pertanian. Pola pertanian yang terdapat di Desa Karangtengah memiliki ciri yang menunjukkan stratifikasi sosial. Sebagai wilayah yang berbasis pertanian hortikultur, pemilihan komoditi yang ditanam serta luasan lahan yang dimiliki akan menunjukkan prestise sosial masyarakat. Seorang petani yang menanam kentang dengan luas di atas lahan miliknya sendiri yang lusannya lebih dari 1 ha atau bahkan lebih dari 5 ha, maka status sosialnya akan lebih dibandingkan dengan petani yang lahannya sempit apalagi yang hanya menyewa lahan. Ukuran tersebut dibuat berdasarkan standar berapa resiko usahatani yang berani ditanggung oleh seorang petani. Semakin luas lahan yang dimiliki maka resiko usahataninya akan semakin besar. Timpangya kepemilikan lahan tersebut menyebabkan ketidaksetaraan pendapatan antar rumahtangga petani dalam komunitas. Hal ini menyebabkan terjadinya pembedaan yang mendasar yaitu petani dengan kekayaan melimpah dari hasil pertanian akan segera naik haji. Petani yang sudah menjadi haji akan memperoleh prestise yang lebih tinggi lagi berupa penghormatan atau menjadikan mereka sebagai tokoh kaji. Pola hubungan masyarakat petani di Desa Karangtengah umumnya menganut sistem patron-klien yang modelnya bisa melibatkan lebih dari satu patron dan lebih dari satu posisi klien. Hal ini berlaku mulai dari berbagai kondisi dan pola hubungan ekonomi-sosial. Seorang petani kecil umumnya memiliki dua atau tiga patron dengan posisi klien yang berbeda-beda. Jika musim panen, maka patron petani adalah tengkulak. Sedangkan jika musim tanam tiba, maka patronnya beralih pada penjual pupukobat. Begitu pula jika berurusan dengan persoalan sewa-menyewa tanah, maka petani kecil akan berpatron kepada petani kaya. Hubungan patron-klien yang melemahkan posisi petani terutama petani kecil semakin menunjukkan bahwa pola stratifikasi muncul pada hubungan sosial di Desa Karangtengah, terutama terkait dengan proses produksi.

6.1.4 Aspek Kelembagaan