Aspek Lingkungan Gambaran Sistem Nafkah pada Rumahtangga Petani Kentang

Dari gambar di atas diketahui bahwa kondisi pertanian di Desa Karangtengah saat ini menghadapi permasalahan jangka panjang yang pelik pada berbagai aspek. Permasalahan tidak hanya terjadi pada satu indikator saja, namun mencakup empat indikator yang telah diajukan yaitu lingkungan, ekonomi, sosial, dan kelembagaan.

6.1.1 Aspek Lingkungan

Keberhasilan usahatani kentang ditunjukkan dengan adanya peningkatan hasil per satuan luas tonha dan mutunya. Secara umum, usahatani kentang di kecamatan Batur hasilnya paling tinggi dibanding komoditi hortikultur lainnya yang dibudidayakan di dataran tinggi Dieng. Namun, produktivitas komoditi sayuran di kecamatan Batur terutama untuk komoditi kentang dan bawang daun cenderung menurun dalam kurun waktu lima tahun terakhir. Sumber: Diolah dari Data Dinas Pertanian Kabupaten Banjarnegara, 2010 Gambar 5. Produktivitas Komoditi Sayuran di Kecamatan Batur, Tahun 2006-2010 dalam Satuan Ton Dari gambar di atas dapat diketahui bahwa dari tahun 2006 hingga tahun 2008 produktivitas kentang relatif stabil meskipun terjadi penurunan beberapa ton tiap tahunnya. Pada tahun 2006 produksi kentang mencapai 7.887,10 ton, dan menurun pada angka 7.281,40 ton pada tahun 2007. Sedangkan di tahun 2008, produksinya kembali meningkat menjadi 7.400,10 ton. Penurunan produksi kembali terjadi di tahun 2009 dan 2010 yaitu pada kisaran 7.258,25 ton dan 7.134,22 ton. Demikian juga pada komoditi bawang daun, pada tahun 2006 produksinya masih mencapai 1.778,90 ton. Kemudian pada tahun 2007 turun menjadi 1.118,20 ton yang diikuti dengan penurunan kembali pada tahun 2008 yaitu menjadi 724,10 ton. Pada tahun 2009 produksinya lebih banyak dari tahun sebelumnya yaitu 920,30 ton, namun kembali turun pada tahun 2010 yang hanya mencapai 700,80 ton. Terjadinya penurunan angka produksi tersebut dipengaruhi oleh kondisi ekologi yang semakin buruk. Angka erosi yang semakin tinggi dan penggunaan bahan kimia yang semakin banyak sehingga berdampak negatif bagi tanah. Ketertarikan masyarakat Desa Karangtengah menanam kentang dikarenakan faktor harga kentang yang meskipun fluktuatif namun dirasakan memberikan keuntungan bagi petani. Walau pun tentu saja, ada masa-masa tertentu di mana harga kentang turun dan kadang tidak menutupi biaya produksi. Namun petani terus berusaha untuk memperoleh hasil panen sebanyak-banyaknya di atas lahan yang mereka garap. Demi panen yang berhasil dan banyak petani mengambil langkah antisipasi yaitu dengan menggunakan pupuk, pestisida, maupun insektisida kimia yang semakin banyak. Pada aspek lingkungan, penggunaan pupuk, pestisida, maupun insektisida yang berlebihan menyebabkan kesuburan tanah menurun, resistensi hama, dan matinya predator alami. Meskipun tidak melalui uji laboratorium namun pengalaman empiris petani telah membuktikan kondisi tersebut. Gagalnya panen yang berakibat pada menurunnya jumlah produksi dan pendapatan merupakan bukti bahwa daya dukung lingkungan semakin menurun. Akibat resistensi hama, petani harus melakukan perawatan yang lebih terhadap tanaman kentang, misalnya dengan menambah dosis input kimia. Kadang meskipun telah ditambah dosisnya, hama yang ada tidak semakin berkurang namun justru digantikan munculnya hama baru. Pestisida yang sebelumnya dipakai diganti dengan pestisida lain yang efeknya lebih kuat lagi. Begitu seterusnya dan hingga saat ini, menurut petani belum ada pestisida yang sangat manjur untuk hama tertentu. Petani juga menyadari bahwa kesuburan tanah sudah tidak sama lagi dengan kondisi sekitar tahun 1985-an. Dahulu tidak perlu banyak pupuk yang diberikan untuk tanaman, namun kentang bisa tumbuh subur dan hasilnya banyak. Namun saat ini jika tidak diberi pupuk banyak maka tanaman kentang tidak akan menghasilkan. Sesuai dengan Sunito 2007, karakter pertanian kentang di Desa Karangtengah adalah HEIA High External Input Agriculture yaitu pertanian dengan input luaran kimia tinggi. Sistem HEIA mengejar produktifitas yang tinggi namun menuntut pengorbanan dalam bentuk menurunnya keberlanjutan. Selain itu, pola pertanian monokultur kentang yang bertumpu pada produktivitas panen juga mempengaruhi masyarakat yang lebih makro. Sebagaimana diketahui bahwa Dieng merupakan bagian hulu dari Daerah Aliran Sungai Serayu maka jika terjadi kerusakan di atasnya imbasnya akan sampai ke wilayah di bawahnya. Kondisi lahan yang kritis akan mempengaruhi tingkat erosi tanah yang dibawa oleh air hujan. Erosi akan terbawa oleh aliran sungai yang salah satu muaranya adalah waduk Panglima Besar Jenderal Soedirman waduk Mrica. Waduk ini merupakan salah satu pemasok energi listrik untuk wilayah Jawa dan Bali. Berdasarkan hasil intensifikasi Badan Pengendalian Dampak Lingkungan Daerah Propinsi Jawa Tengah, bahwa tingkat erosi di Dieng cukup tinggi sebagai akibat konversi lahan dari kawasan hutan menjadi lahan usaha tani, yaitu erosi DAS mencapai 4,06 mmtahun dan di sub Merawu mencapai 5 – 14 mmtahun. Secara akumulatif volume sedimen Waduk MricaPB Soedirman tahun 2000 mencapai 52,865 juta m 3, tahun 2001 mencapai 56,247 juta m 3 , tahun 2002 volume sedimen mencapai 59,770 juta m 3 , sedangkan tahun 2003 mencapai 64,205 juta m 3 PT Indonesia Power, 2003. Dari data tersebut dapat terlihat bahwa sedimentasi waduk Mrica dari tahun ke tahun selalu bertambah sehingga dapat mengurangi umur efektif waduk. Umur efektif yang semula diproyeksikan 60 tahun, dapat menjadi 30 tahun atau kurang jika laju erosi dan sedimentasi tidak dikendalikan. Pertanian kentang memang sangat menjanjikan. Namun jika petani terus menerus mengedepankan kepentingan ekonomi di atas lingkungan yang daya dukungnya makin berkurang, maka kemungkinannya adalah sumberdaya yang masih tersisa akan habis. Kawasan hutan di pegunungan pun habis dikonversi menjadi kebun kentang. Jajaran perbukitan gundul dan berisi tanaman kentang. Tegakan pohon penahan erosi sangat minim bahkan bisa dikatakan nyaris tidak ada. Kementrian Lingkungan Hidup mencatat, dari luas Dataran Tinggi Dieng 619.846 ha, hutan yang tersisa tinggal 20,1 persen padahal idealnya 30 persen Kompas, 03 Juni 2011. Kondisi tersebut tidak sejalan dengan tinjauan tentang sistem nafkah yang berkelanjutan dari Meikle, Ramasut dan Walker 2001 bahwa salah satu indikator sustainable livelihood adalah mampu meraih hasil dari sumber nafkah tanpa merongrong dasar-dasar sumberdaya alam. Demikian juga dengan amanat Undang-Undang No. 13 Tahun 2010 tentang hortikultura dimana pada pasal 17 Bagian Ketiga mengenai sumberdaya alam yaitu penggunaan lahan budidaya hortikultura wajib mengutamakan kelestarian fungsi lingkungan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

6.1.2 Aspek Ekonomi