Skenario Pesimis Penyusunan Skenario Model Hutan Kota untuk Ameliorasi Iklim Mikro

variabel-variabel yang banyak mempengaruhi peningkatan suhu udara di perkotaan. Perlu dilakukan pengendalian pada beberapa variabel yang sangat berpengaruh dan sangat besar berkontribusi dalam peningkatan suhu udara maksimum pada siang hari. Pada variabel laju peningkatan lahan terbangun yang perlu dilakukan yaitu adanya keseimbangan proporsi ruang terbuka hijau yang mengikuti peraturan Penataan Ruang yang seharusnya menjadi acuan dalam pengembangan pola ruang di setiap wilayah perkotaan.

5.6. Rumusan Arahan Kebijakan Pembangunan Hutan Kota di Kota Palu

Hirarki model pengambilan keputusan ini disusun berdasarkan studi pustaka, wawancara dengan masyarakat. Hasil dari penyusunan hirarki diperoleh lima level yaitu fokus, faktor, aktor, tujuan dan alternatif. Pada tingkat hirarki pertama atau level 1 dibuat tujuan model pembangunan hutan kota.di Kota Palu Selanjutnya pada level 2 dianalisis faktor pendukung yang dapat menentukan keberhasilan suatu program. Dalam kajian ini diperoleh empat faktor pendukung yaitu kebutuhan pemukiman, ketersediaan lahan, kebijakan tata ruang dan disain hutan kota. Adapun aktor dalam kebijakan pembangunan hutan kota adalah pemerintah, LSM, masyarakat, perguruan tinggi dan swasta. Tujuan yang merupakan hirarki keempat terdiri atas kelestarian lingkungan, ketersediaan ruang terbuka, ameliorasi iklim mikro dan kesehatan masyarakat. Pada alternatif sebagai level kelima terdapat tiga pilihan yaitu Penyempurnaan peraturan PPK, Penyediaan RTH dan tanaman serta kebijakan insentif dan disinsentif. Hasil analisis AHP memberikan hasil faktor prioritas berdasarkan bobot Gambar 44. Hasil analisis pada level faktor menunjukkan bahwa kebutuhan pemukiman merupakan faktor utama yang menentukan keberhasilan kebijakan pembangunan hutan kota Palu dengan bobot 0,30. Prioritas kedua dalam pengembangan hutan kota adalah kebijakan tata ruang dengan bobot 0,25. Faktor ini memiliki bobot yang hampir sama dengan prioritas ketiga yaitu ketersediaan lahan dengan bobot 0,24. Adapun desain hutan kota merupakan prioritas terakhir dalam kebijakan ini. Gambar 44. Nilai bobot prioritas pada level faktor Faktor kebutuhan pemukiman di Kota Palu sangat mempengaruhi kebijakan pembangunan hutan Kota Palu. Kebutuhan pemukiman meningkat sejalan dengan peningkatan jumlah penduduk. Dengan demikian, peningkatan jumlah penduduk maka menyebabkan terjadinya peningkatan kebutuhan pemukiman. Disisi lain, pola sebaran pemukiman yang cenderung terpusat pada pusat pelayanan publik juga merupakan ancaman penurunan luas hutan kota. Olehnya itu, maka pengembangan pemukiman di pusat Kota Palu hendaknya memperhitungkan syarat luas lahan terbuka hijau atau dengan kata lain luas lahan yang dimanfaatkan untuk pemukiman harus dibatasi. Kebijakan tata ruang yang merupakan faktor penentu kedua dalam kebijakan pembangunan hutan Kota Palu merujuk pada kebijakan tata ruang nasional yaitu Undang-Undang No. 26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang. Kebijakan ini merupakan alat pengendalian alih fungsi lahan pada suatu kota. Namun demikian implementasi kebijakan ini masih minim terbukti dengan adanya pemanfaatan lahan yang tidak sesuai dengan Rencana Tata Ruang. Berdasarkan data Peta Penggunaan Lahan 2006 Kota Palu terjadi penyimpangan pemanfaatan lahan yang cukup besar yaitu melebihi 50 Rahmawaty, 2008. Hal ini juga mengindikasikan penurunan luas hutan kota di Kota Palu dan memerlukan pengendalian akan pemanfaatan lahan. Hasil analisis AHP pada level ketiga atau aktor memberikan gambaran prioritas Gambar 45. Hasil analisis AHP menunjukkan bahwa aktor utama dalam kebijakan pembangunan hutan kota di Kota Palu adalah pemerintah dalam hal ini pemerintah daerah. Bobot terbesar ditunjukkan oleh aktor ini dengan jumlah 0,33. Masyarakat merupakan aktor dengan prioritas kedua dengan bobot 0,24 dan perguruan tinggi merupakan prioritas ketiga dengan bobot 0,21. Pihak swasta dan LSM memiliki bobot yang relatif kecil masing-masing sebesar 0,12 dan 0,10. Gambar 45. Nilai bobot prioritas pada level aktor Pemerintah Kota Palu memiliki peran terbesar dalam kebijakan pembangunan hutan Kota Palu. Regulasi yang mendukung peran tersebut adalah Undang Undang No 27 tahun 2006 tentang Penataan Ruang. Olehnya itu, maka Pemerintah Kota Palu menyusun Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Palu tahun 2010 – 2030 yang bertujuan untuk mewujudkan ruang Kota Palu sebagai kota teluk berwawasan lingkungan yang berbasis pada jasa, perdagangan, dan industri, yang didasari kearifan dan keunggulan lokal bagi pembangunan berkelanjutan. Faktor kedua dalam kebijakan pembangunan hutan Kota Palu adalah masyarakat. Masyarakat merupakan elemen yang sangat penting untuk turut dilibatkan dalam kegiatan pembangunan karena masyarakat sendirilah yang merasakan langsung dampak dari pembangunan. Ditambah pula dengan bergesernya paradigma pembangunan dari top-down planning menjadi bottom-up