Perubahan Luasan dan Sebaran Jenis Tutupan Lahan di Kota Palu

Tabel 11. Luasan dan prosentase RTH di Kota Palu tahun 1997 – 2010 Tahun RTH Non RTH Luas Total Luas Ha Luas Ha Ha 1997 31 775,61 80,4 7 723,68 19,6 39 503,55 2005 32 429,13 82,1 7 070,14 17,9 39 503,55 2006 32 801,31 83,0 6 706,29 17,0 39 503,55 2007 31 321,08 79,3 8 178,12 20,7 39 503,55 2008 32 436,64 78,1 7 067,76 17,9 39 503,55 2009 30 694,82 77,7 8 812,77 22,3 39 503,55 2010 31 144,36 78,8 8 363,19 21,2 39 503,55 Dalam Tabel 11 di atas, dapat dilihat bahwa antara tahun 1997 hingga 2005 terjadi peningkatan luas RTH yaitu dari 80,4 menjadi 82,1. Fenomena ini juga terjadi antara tahun 2005 – 2006. Hal ini disebabkan karena adanya peningkatan luasan pada pertanian lahan kering yang sebelumnya merupakan lahan terbuka. Pada tahun 2007 terjadi penurunan prosentase RTH yang disebabkan oleh penurunan luas lahan pertanian lahan kering sedang luas lahan terbuka meningkat. Sedang pada tahun 2009 dan 2010 terjadi penurunan prosentase RTH akibat peningkatan luas lahan terbangun untuk peruntukan pemukiman dan sarana infrastruktur. Hal ini sejalan dengan pendapat Arifin 2006 bahwa pengembangan wilayah kota seringkali tidak sejalan dengan perluasan ruang terbuka. Bahkan dijumpai di mana-mana dengan semakin besarnya kota seringkali RTH jalan, taman-taman, pekarangan, kebun-campuran, lahan pertanian dan bantaran sungai justru menjadi korban. Luasannya menjadi berkurang karena telah beralih fungsi. Sedangkan menurut data laporan Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Palu RTRWK tahun 2010 – 2030 bahwa luas kawasan RTH di Kota Palu saat ini baru mencapai kurang lebih 1 280,5 ha atau kurang lebih 3,25 dari luas total kota Palu yang luasnya 39 503,55 ha Tabel 12. dan Gambar 17. Tabel 12. Luasan RTH di Kota Palu No. Jenis RTH Wilayah Luas Ha Persentase 1. Taman Kota Kec. Palu Timur, Palu Selatan dan Palu Barat 6 0,47 2. Hutan Kota Kec. Palu Timur, Palu Selatan dan Palu Barat 122.53 9,57 3. Pemakaman Umum dan Taman Makam Pahlawan Kec. Palu Timur, Palu Selatan dan Palu Barat 76 5,94 4. Arboretum Kelurahan talise 95 7,42 5. Daerah Penyangga Tahura Kelurahan Poboya 22 1,72 6. Daerah Penyangga Hutan Kec. Palu Barat 208 16,24 7. Daerah Penyangga Hutan Kec. Palu Timur 135 10,54 8. Daerah Penyangga Hutan Kec. Palu Utara 327 25,54 9. Daerah Penyangga Kawasan Industri Hilir Kec. Palu Timur 79 6,17 10. Daerah Penyangga Kawasan Industri Hilir Kec. Palu Selatan 58 4,53 11. Daerah Penyangga Kawasan Perkandangan Ternak Kec. Palu Selatan 95 7,42 12. Lapangan Terbuka Hijau Kec. Palu Utara, Kec. Palu Timur, Kec. Palu Barat, dan Kec. Palu Selatan 60 4,69 Total 1 280,5 100.00 Sumber: RTRWK Kota Palu, 2010. Sumber: RTRWK Kota Palu, 2010 Gambar 17. Peta penggunaan lahan eksisting Kota Palu Data tersebut menggambarkan kondisi RTH kota Palu cenderung belum terdistribusi merata menyebar di pusat perkotaan, terutama dari hasil penelitian bahwa wilayah pemukiman, pusat pertokoan dan perkantoran yang kondisi suhu udaranya yang paling tinggi yaitu 35,1 – 35,7 C, hal tersebut disebabkan adanya indikasi terjadinya alih fungsi lahan. Alih fungsi lahan di seluruh pelosok Indonesia tidak lepas dari dari pengaruh kapitalisme global. Tuntutan untuk mendapatkan keuntungan ekonomi telah mengorbankan keseimbangan alam yang pada akhirnya menimbulkan bencana ekologis Kompas, 2007. Lingkungan perkotaan sudah menjadi hal yang penting dan mendesak untuk dikelola secara baik karena pada saat ini hampir 50 populasi terkonversi di wilayah perkotaan, dan diperkirakan akan meningkat menjadi 60 pada tahun 2030. Kondisi itu akan menimbulkan dampak besar terhadap tidak hanya pada aspek sosial dan ekonomi, namun tentu saja juga terhadap lingkungan Barja, 2007. Dalam penjelasan Arifin 2011 bahwa sejak akhir tahun delapan puluhan telah muncul kota-kota baru. Kota baru merupakan “satelite city” yang dibangun di wilayah sub-urban dan mengelilingi kota utama. Di dalamnya terdapat berbagai fasilitas khususnya yang berkaitan dengan pemukiman atau properti. Hadirnya kota baru memberi beragam dampak salah satunya perubahan tata guna lahan dan penutupan lahan yang sangat cepat, hal tersebut menyebabkan munculnya kota baru sedikit banyak akan memberi efek dalam mewujudkan kota hijau. Kota hijau sendiri berusaha untuk menyediakan ragam ekosistem yang bisa dipertahakan dengan rasio yang lebih baik. Keterhubungan ekologis yang diharapkan kota hijau menuntut tingkat pemahaman komunitas masyarakat tentang keberlanjutan yang baik serta partisipasinya dalam gerakan hijau. Berdasarkan analisis citra secara spasial dalam bentuk peta diperoleh sebaran distribusi penutupan RTH pada tahun 1997 yang disajikan pada Gambar 20 a dan b bahwa persentase RTH sebesar 80,4 menyebar di semua wilayah kecamatan yang ada di kota Palu hingga tahun 2006 sebesar 83 terlihat warna Hijau tua untuk RTH hutan, warna hijau muda untuk lahan pertanian dan warna kuning untuk lahan semak belukar , sedang pada tahun-tahun berikutnya Gambar 18 c,d,e,f dan g di pusat kota hanya didominasi oleh lahan terbangun dan lahan terbuka terlihat pada gambar peta berwarna merah dan coklat. Dengan kata lain Hutan Lahan Terbuka Pertanian Lahan Kering Ruang Terbangun Semak Belukar Gambar 18. Peta penutupan lahan Kota Palu berdasarkan citra landsat band 5,4,2

5.2. Hubungan Luas RTH dan Distribusi Suhu di Kota Palu

Berdasarkan data suhu maksimum di Kota Palu antara tahun 1997 hingga tahun 2010 diketahui terjadi peningkatan suhu maksimum dari 34,5 o C menjadi 36 o C Gambar 19. Bahwa dalam hubungannya dengan peningkatan suhu terhadap luasan RTH terlihat hanya terhadap suhu maksimum, hal ini karena pada siang hari sekitar pukul 14.00 suhu udara akan mencapai paling tinggi. Hal tersebut mengindikasikan bahwa pemanasan udara berasal dari pemanasan permukaan. RTH hutan mempunyai peran besar dalam meredam suhu maksimum agar menjadi lebih rendah melalui dua mekanisme. Mekanisme pertama kanopi hutan mampu meredam radiasi matahari yang datang ke permukaan lantai hutan, sehingga suhu permukaan lantai hutan menjadi rendah, begitu pula dengan suhu udara di atas permukaan di bawah kanopi hutan. Mekanisme kedua melalui penggunaan energi netto di siang hari biasanya digunakan untuk evapotranspirasi sehingga untuk memanaskan udara lebih sedikit Effendy, 2011. Gambar 19. Data suhu udara Kota Palu tahun 1997 – 2010. RTH lewat proses transpirasi secara efektif menggunakan energi netto sebagai panas laten latent heat sehingga meminimalkan penggunaan energi untuk memanaskan udara sensible heat. Karena itu, Mool 1997 merekomendasikan kota harus memilki RTH dengan luasan sekitar 40 dari luas totalnya atau setara dengan 20 pohon besar setiap 4 000 m 2 . Dalam penelitian Weng dan Yang 2004 di Kota Guangzhou, Cina Selatan mengungkapkan bahwa tumbuhan mempunyai peran penting dalam menurunkan radiasi termal yang dipancarkan ke atmosfer sehingga suhu udara menjadi rendah. Tumbuhan berupa pohon dapat menurunkan suhu udara sebesar 2,1 o C dan penanaman pohon di kiri kanan jalan dapat menurunkan suhu sebesar 0,9 o C Gambar 20. Gambar 20. Hubungan antara prosentase RTH hutan dengan suhu udara maksimum dan suhu udara minimum. Berdasarkan Gambar 20 diperoleh bentuk persamaan linier antara RTH hutan dengan suhu maksimum udara o C adalah Y= 39,511 – 0,1203X dengan R 2 sebesar 0,503 hubungan yang sangat kuat. Jika nilai Y = 33,8 o C suhu maksimum RTH dari rata-rata pengamatan di titik sampel maka diperoleh nilai X= 47, atau membutuhkan luasan hutan kota 18 648 ha. nilai tersebut mengartikan bahwa hasil analisis spasial pada penentuan luasan hutan kota ditekankan pada analisis suhu, maka hal tersebut sesuai dengan analisis sistem dinamik yang terlihat pada Gambar 21. Hal ini menunjukkan bahwa terdapat keterkaitan berbanding terbalik antara prosentase RTH hutan dengan suhu maksimum rata-rata yaitu semakin rendah prosentase RTH hutan menyebabkan suhu udara maksimum meningkat. Menurut Colton, kekuatan hubungan dua variabel secara kualitatif dapat dibagi dalam empat area yaitu r = 0 – 0,25, berarti tidak ada hubungan atau hubungan rendahlemah; r = 0,26 -0,5, berarti hubungan sedang; r = 0,51 – 0,75 berarti hubungan kuat; sedangkan r = 0,76 – 1 berarti hubungan sangat kuatsempurna. Dari hasil analisis citra secara spasial RTH hutan yang paling mampu menurunkan suhu maksimum yang diperoleh dari persamaan Y= a x + b. RTRWK Kota Palu tentang rencana ruang terbuka hijau, yang terlihat pada Gambar 21. Pemerintah merencanakan alokasi hutan kota ±100 ha, ±200 ha untuk kebun raya, rencana tersebut dialokasikan di dua kecamatan, yaitu Kecamatan Palu Utara dan Kecamatan Palu Selatan. Dari hasil analisis distribusi suhu maksimum yang diperoleh dari pengamatan langsung di lapangan diperoleh suhu maksimum tertinggi pada titik pengamatan di lokasi pemukiman sebesar 35,7 o C. Hal tersebut dalam kaitannya dengan rencana sebaran hutan kota berdasarkan kondisi suhu maka dapat di sajikan pada Gambar 22. Jika dibandingkan dengan rencana pemerintah daerah Kota Palu berdasarkan RTRWK maka hanya ada dua kecamatan yang difokuskan oleh pemerintah, sedangkan sebaran hutan kota seharusnya terdistribusi di empat kecamatan yang ada. Adapun luasan hutan kota yang diharapkan berdasarkan hasil penelitian yang mengacu kepada peraturan perundang-undangan, maka luasan untuk setiap kecamatan berdasrkan luas wilayah sebagai berikut, 1 Kecamatan Palu Barat memiliki luas wilayah 57,47 Km 2 , maka luas hutan kota sebesar 5,74 Km 2 , 2 Kecamatan Palu Selatan memiliki luas wilayah 61,35 Km, maka luas hutan kota sebesar 6,13Km 2 , 3 Kecamatan Palu Timur memiliki luas wilayah 186,55Km 2 , maka luas hutan kota 18,65 ha, 4 Kecamatan Palu Utara memiliki luas wilayah 89,69Km 2 , maka luas hutan kota sebesar 8,96 Km 2 . Gambar 21. Peta rencana ruang terbuka hijau Kota Palu RTRWK,2010 a b c d Gambar 22. Peta rencana luasan dan sebaran hutan kota di setiap kecamatan di Kota Palu: a Kec. Palu Utara, b Kec. Palu Timur, c Kec. Palu Selatan, d Kec. Palu Bara