Jenis Tanaman METODOLOGI PENELITIAN

g. Pemukiman Tanaman Hortikultura tanaman hias - h. Jalan raya 1. Flamboyan Delonix regia 2. Kayu jawa Lannea coromandelica 3. Angsana Pterocarpus indicus i. Pusat Pertokoan Non vegetasi - Pola pertumbuhannya alami umumnya berkelompok dan menyebar , juga yang dibudidayakan dijumpai di lokasi TAHURA Ngatabaru yang dapat dilihat pada Gambar 16 di bawah. Berdasarkan hasil inventarisasi dan beberapa hasil penelitian bahwa jenis tanaman tingkat pohon yang tumbuh secara alami dan juga dibudidayakan. Kondisi jenis tanaman yang terdapat dalam areal di Tahura Ngatabaru disusun oleh jenis sbb: Palaquium oboratum, Chionanthus nitens Koor.Veleton.Oleaceae, Disoxylum sp. Meliacea , Turpinia spaerocarpa Hassk Staphyllaceae, Chionanthus ramiflorus Roxb.Oleaceae, Celtis phyliphynensis Blonco Lauraceae, Nuclea sp. Rubiaceae, Ptospermum celebicum Sterculiaceae, Aglaia sp. Meliaceae dan lain- lain. Jenis yang mempunyai nilai INP= 33,706 adalah Palaquium obovatum dan disusul dengan Disoxylum sp. dengan nilai INP=27,437 dan Chionanthus nitens nilai INP=23,805. Sedangkan jenis tanaman tingkat pohon yang rendah INPnya adalah Caryota mitis dengan INP=1,31 Dinas Kehutanan, 2011 . f f Gambar 16. Ruang terbuka hijau di lokasi penelitian : a Taman hutan rakyat TAHURA, b Taman kota, c Semak belukar, d Tegalan, e Industri, f Pesisir, g Pemukiman, h Jalan raya, i Pusat pertokoan. c a b c e d h g i

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

5.1. Perubahan Luasan dan Sebaran Jenis Tutupan Lahan di Kota Palu

Berdasarkan analisis penginderaan jauh Kota Palu tahun 1997 – 2010 diketahui distribusi tutupan lahan terbagi atas lima jenis, yaitu hutan, semakbelukar, pertanian lahan kering, ruang terbangun dan lahan terbuka Tabel 10. Dari data tersebut terlihat bahwa tutupan lahan dari tahun ke tahun mengalami perubahan baik dari segi fungsinya maupun luasannya. Berdasarkan prosentasi berdasarkan sebaran luasan RTH yang berupa hutan dari tahun 1997 hingga 2010 terjadi penurunan sebesar 7 653,9 ha 19,4, dan terjadi peningkatan luasan lahan semakbelukar 6 400,99 ha dan lahan terbangun sebesar 2 658,8 ha 6,73. Begitu pula pada luas lahan terbuka, terjadi penurunan sebesar 2 019,32 ha 5,1 Tabel 10. Secara umum di Kota Palu mengalami penurunan ruang terbuka hijau sebesar 1,6, sedangkan lahan non RTH meningkat pula sebesar 1,6 Tabel 10. Tabel 10. Luas jenis penutupan lahan pada tahun 1997-2010 Tahun Luas hektar Hutan Semak Belukar Pertanian Lahan Kering Lahan Terbuka Ruang Terbangun Total 1997 19 300,15 5 468,45 7 007,01 4 786,09 2 937,59 39 503,55 2005 18 243,82 6 286,02 7 899,29 2 316,21 4 753,93 39 503,55 2006 17 937,71 5 802,61 9 060,99 1 922,83 4 783,46 39 503,55 2007 14 548,25 10 998,97 5 663,86 3 496,24 4 791,88 39 503,55 2008 14 394,29 10 379,03 7 663,32 2 190,89 4 876,87 39 503,55 2009 12 649,92 12 825,17 5 219,73 3 596,68 5 216,09 39 503,55 2010 11 646,25 11 869,44 7 628,67 2 766,77 5 596,42 39 503,55 Hal ini menunjukkan bahwa kecenderungan telah terjadi pembabatan hutan dan perubahan alih fungsi lahan dari lahan RTH menjadi lahan terbangun yang berdampak pada penurunan presentase luas RTH hutan di Kota Palu. Keberadaaan RTH penting dalam mengendalikan dan memelihara integritas dan kualitas lingkungan Lab. Perencanaan Lanskap Departemen Arsitektur Lanskap, 2005. Menurut Canadarma dan Kristanto 2006, pengembangan tata guna lahan di kota besar dapat berdampak pada kualitas udara di perkotaan, di mana dengan pengembangan area terbuka hijau akan berdampak positif bagi kualitas udara di perkotaan, karena sedikitnya area terbuka hijau dan kapasitas resapan tanah meningkatkan emisi serta suhu udara. Mather 1974 serta Weng dan Yang 2004, menjelaskan bahwa pengendalian laju pertumbuhan lahan terbangun di perkotaan harus menjadi perhatian agar tidak terjadi perluasan pulau bahang kota serta peningkatan suhu udara. Hasil penelitian tersebut mengungkapkan bahwa efek termal dari pembangunan perkotaan yang dilakukan sejak tahun 1960 sampai tahun 1997, menyebabkan luas pulau bahang kota meningkat sebesar enam kali lipat. Oleh karenanya upaya untuk membangun hutan kota menjadi salah satu solusi dalam mengameliorasi kondisi iklim mikro. Jenis tutupan lahan hutan, semakbelukar dan pertanian lahan kering digolongkan dalam kelompok RTH. Sedangkan jenis ruang terbangun dan lahan terbuka dikategorikan kedalam non-RTH Tabel 11. Tabel 11. Luasan dan prosentase RTH di Kota Palu tahun 1997 – 2010 Tahun RTH Non RTH Luas Total Luas Ha Luas Ha Ha 1997 31 775,61 80,4 7 723,68 19,6 39 503,55 2005 32 429,13 82,1 7 070,14 17,9 39 503,55 2006 32 801,31 83,0 6 706,29 17,0 39 503,55 2007 31 321,08 79,3 8 178,12 20,7 39 503,55 2008 32 436,64 78,1 7 067,76 17,9 39 503,55 2009 30 694,82 77,7 8 812,77 22,3 39 503,55 2010 31 144,36 78,8 8 363,19 21,2 39 503,55 Dalam Tabel 11 di atas, dapat dilihat bahwa antara tahun 1997 hingga 2005 terjadi peningkatan luas RTH yaitu dari 80,4 menjadi 82,1. Fenomena ini juga terjadi antara tahun 2005 – 2006. Hal ini disebabkan karena adanya peningkatan luasan pada pertanian lahan kering yang sebelumnya merupakan lahan terbuka. Pada tahun 2007 terjadi penurunan prosentase RTH yang disebabkan oleh penurunan luas lahan pertanian lahan kering sedang luas lahan terbuka meningkat. Sedang pada tahun 2009 dan 2010 terjadi penurunan prosentase RTH akibat peningkatan luas lahan terbangun untuk peruntukan pemukiman dan sarana infrastruktur. Hal ini sejalan dengan pendapat Arifin 2006 bahwa pengembangan wilayah kota seringkali tidak sejalan dengan perluasan ruang terbuka. Bahkan dijumpai di mana-mana dengan semakin besarnya kota seringkali RTH jalan, taman-taman, pekarangan, kebun-campuran, lahan pertanian dan bantaran sungai justru menjadi korban. Luasannya menjadi berkurang karena telah beralih fungsi. Sedangkan menurut data laporan Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Palu RTRWK tahun 2010 – 2030 bahwa luas kawasan RTH di Kota Palu saat ini baru