Kebijakan Pemerintah dalam Tataniaga Cengkeh

Mubyarto dalam Sinaga, 1999. Dengan kondisi tersebut maka harga cengkeh yang terjadi tidak merupakan akibat langsung dari situasi panenan atau dengan kata lain tidak ada hubungan erat antara harga dengan permintaan, sehingga petani seharusnya dapat menyimpan cengkeh pada saat harga jatuh dan menjual pada saat harga meningkat. Tataniaga cengkeh adalah suatu sistem yang mengatur mekanisme transaksi perdagangan cengkeh hasil produksi dalam negeri dari tingkat produksi perkebunan rakyat, perkebunan negara dan perkebunan swasta hingga ke tingkat konsumen yaitu industri rokok dan obat-obatan dan rumah tangga. Tataniaga cengkeh memiliki suatu keunikan karena produsennya banyak tapi jumlah industri rokok serta pabrik lainnya yang menggunakan cengkeh sebagai bahan baku hanya sedikit. Strategi terhadap tataniaga cengkeh di Indonesia yang bersifat oligopsoni, di samping cengkeh merupakan komoditi pertanian yang memiliki nilai strategis bagi perekonomian nasional maka tataniaga cengkeh di atur melalui kebijakan pemerintah dengan tujuan: a. Agar petani sebagai produsen cengkeh menerima harga yang wajar sehingga tingkat pendapatan petani dapat meningkat. b. Agar dapat menjamin ketersediaan stok cengkeh sebagai persyaratan terjaminnya secara berkesinambungan produksi pabrik rokok kretek.

2.4.1. Kebijakan Pemerintah dalam Tataniaga Cengkeh

Kebijakan pemerintah terhadap tataniaga cengkeh pertama kali di atur dalam Keppres RI tanggal 28 Desember 1969 mengenai impor cengkeh, dengan pelaksanaan berdasarkan Surat Keputusan Menteri Perdagangan No. 167 tanggal 25 Juli 1970 dengan menetapkan Badan Pengadaan Cengkeh BPC sebagai badan tunggal yang dapat melakukan pengadaan dan penyaluran cengkeh di dalam negeri. Sedangkan importir cengkeh ditunjuk CV. Wijaya dan PT. Mega, yang kemudian pada tahun 1970 diganti oleh CV. Mercu Buana sedangkan BPC dibubarkan tahun 1972, tugasnya dialihkan kepada Direktorat Perdagangan Dalam Negeri. Tahun 1973, pemerintah menetapkan kebijakan dalam bentuk penurunan pajak penjualan cengkeh dari 10 persen menjadi 5 persen dan pengangkutan cengkeh antar pulau di wilayah Indonesia harus disertai Surat Ijin Pengangkutan Antar Pulau Cengkeh SIPAP-C. Kemudian Keppres No. 8 tahun 1980 tentang Tataniaga Cengkeh Hasil Produksi Dalam Negeri, yang mengatur harga dasar dan tataniaga cengkeh dalam negeri. Isi dari Keppres No. 8 tahun 1980 antara lain: 1. Pembelian dan pengumpulan cengkeh dari petani dilakukan oleh KUD. 2. Bank Rakyat Indonesia menyediakan dana atau kredit yang cukup untuk KUD. 3. Harga dasar pembeli dan lelang ditentukan oleh Menteri Perdagangan dan Koperasi. 4. Peserta lelang terdiri dari pedagang antar pulau dan PT. Kerta Niaga yang memiliki SIUPP. 5. PT. Kerta Niaga di tunjuk sebagai badan penyangga dan pemegang stok cengkeh nasional bila harga dasar tidak tercapai. 6. Dana pengelolaan stok cengkeh nasional disediakan melalui Kredit Likuiditas Bank Indonesia KLBI. 7. Cengkeh yang diantar pulaukan dikenakan Sumbangan Rehabilitasi Cengkeh SRC sebesar Rp 500kg. Tujuan dari Keppres No. 8 tahun 1980, adalah: 1. Stabilitas harga cengkeh. 2. Melindungi petani cengkeh. 3. Meningkatkan peran KUD. 4. Meningkatkan peran lembaga tataniaga seperti Perdagangan Antar Pulau PAP, PT Kerta Niaga sebagai perusahaan pemegang stok dan penyangga cengkeh nasional di tingkat KUD. Banyaknya masalah yang ditemui dalam kebijakan tataniaga cengkeh tahun 1980, menyebabkan pemerintah menetapkan kebijakan yang baru dalam tataniaga cengkeh Indonesia, yaitu dengan membentuk Badan Penyangga dan Pemasaran Cengkeh BPPC. Surat Keputusan Menteri Perdagangan No. 306 tahun 1990, BPPC berhak melakukan pembelian, penyanggaan dan stabilisasi harga di tingkat petani dan menjual kepada konsumen. BPPC dibentuk dengan tujuan meningkatkan pendapatan petani cengkeh akibat banyaknya keluhan dari petani dengan harga jual cengkeh yang sangat murah. Kebijakan tataniaga cengkeh berdasarkan Keppres No. 20 tahun 1992 tentang tataniaga cengkeh hasil produksi dalam negeri ditetapkan pada tanggal 11 April 1992. Inti dari kebijakan tersebut adalah: a. Pembelian cengkeh dari petani cengkeh dilakukan KUD dengan harga dasar yang telah ditetapkan pemerintah. b. KUD menjual cengkeh tersebut kepada badan penyangga yang di tunjuk oleh pemerintah. c. Penjualan cengkeh oleh badan penyangga kepada pabrik rokok atau konsumen lainnya dikenakan Sumbangan Diversifikasi Tanaman Cengkeh SDTC sebesar Rp. 150Kg. Berdasarkan Keppres No. 20 tahun 1992, ditetapkan juga harga cengkeh, dana pembelian, penyerahan pita cukai serta pembinaan dan pengawasan dalam tataniaga cengkeh. Sedangkan pelaksanaan tataniaga cengkeh berdasarkan Keppres No. 20 tahun 1992 dan Inpres No. 4 tahun 1996, kembali di atur melalui Keputusan Menperindag tahun 1996 dan keputusan MenkopPKK No. 335 tahun 1996. Sejak dikeluarkannya Keppres No. 21 tahun 1998 yang mengatur tentang perdagangan cengkeh, BPPC resmi dibubarkan dan Keppres No. 20 tahun 1992 tidak berlaku lagi. Isi Keppres No. 21 tahun 1998 adalah sebagai berikut: Pasal 1 Petani dan pedagang dapat menjual dan atau membeli secara bebas cengkeh kepada dan atau dari pihak manapun berdasarkan harga pasar. Pasal 2 Badan Penyangga dan Pemasaran Cengkeh BPPC wajib menyelesaikan semua hal yang menyangkut kegiatannya selambat-lambatnya sampai dengan 30 Juni 1998. Pasal 3 Ketentuan lebih lanjut yang diperlukan bagi pelaksanaan Keputusan Presiden ini ditetapkan oleh Menteri Perindustrian dan Perdagangan. Pasal 4 Dengan ditetapkan Keputusan Presiden ini, Keputusan No. 20 tahun 1992 tentang Tataniaga Cengkeh Hasil Produksi Dalam Negeri dan seluruh peraturan pelaksanaannya dinyatakan tidak berlaku lagi. Pasal 5 Keputusan ini berlaku pada tanggal 2 Febuari 1998.

2.4.2. Saluran Tataniaga Cengkeh Indonesia