46
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN
Penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui pengaruh tetrasiklin antibiotik dalam pakan terhadap perkembangan lobster air tawar
dalam habitat hidup lobster dibandingkan dengan kontrol dalam jangka waktu tertentu. Ada empat parameter yang diteliti dalam penelitian ini, meliputi jumlah
populasi mikroba dalam air, kandungan protein dalam sedimen, panjang dan berat lobster serta penetapan kadar tetrasiklin dalam daging lobster sebagai indikator
adanya akumulasi. Penelitian ini diawali dengan persiapan habitat dan pakan serta pembagian kelompok lobster.
A. Tahap Persiapan Habitat Lobster Air Tawar
Dalam penelitian ini digunakanbudidaya permodelan yaitu dengan melakukan modifikasi terhadap model pembiakan semi intensif, meliputi
pemberian sedimen dalam habitat, pemberian perlindungan rumah lobster dan tidak ada penggantian air selama perlakuan. Alat dan bahan yang dibutuhkan
untuk persiapan habitat adalah sedimen, air, rumah lobster, dan aerator. Sedimen berasal dari sisa pakan maupun hasil ekskresi lobster air tawar crayfish yang
mengendap sehingga habitat yang dibuat menyerupai habitat di alam. Dalam pemeliharan lobster air tawar crayfish ini diperlukan media yang layak untuk
tumbuh kembangnya, seperti kesadahan, ketersediaan oksigen, derajat keasaman, suhu dan kandungan kimia dalam air. Menurut Lukito dan Prayugo 2007, lobster
air tawar crayfish dapat hidup dalam air dengan kondisi kesadahan 50 mgL
CaCO
3
, kadar oksigen terlarut air sumur 4 ppm, suhuberkisar antara 25-29
°
C dan derajat keasamaan berkisar antara 6-9,5. Air yang digunakan dalam budidaya
lobster air tawar crayfish ini merupakan air sumur yang sudah memenuhi kriteria kualitas air sehingga selanjutnya digunakan sebagai media pemeliharan selama
perlakuan. Tindakan kontrol terhadap kondisi air tetap dilakukan seperti aerasi dan pencegahan paparan sinar matahari dengan tujuan menjaga ketersediaan
oksigen dalam media pemeliharaan selama proses perlakuan dan mencegah rusaknya struktur tetrasiklin akibat sinar matahari. Lobster yang digunakan
dideterminasi oleh Laboratorium Taksonomi Hewan Fakultas Biologi Universitas Gadjah Mada dan dinyatakan sebagai lobster air tawar jenis crayfish Cherax
quadricarinatus.
B. Tahap Persiapan Pakan Lobster
Pakan yang digunakan merupakan pakan jadi dengan penambahan senyawa tetrasiklin HCl sebagai pencegah penyakit pada lobster. Tetrasiklin HCl
yang digunakan adalah tetrasiklin dengan kualitas teknis sehingga perlu dilakukan penetapan kadar tetrasiklin HCl terlebih dahulu agar diketahui kadarnya. Selain
itu, untuk mendapatkan daya penghambatan pertumbuhan mikroba yang optimal, maka dilakukan optimasi terhadap dosis tetrasiklin HCl yang digunakan.
1. Validasi dan analisis kadartetrasiklinHCl TCH dalam sediaan kapsul
Penetapan kadar TCH dalam kapsul dilakukandengan menggunakan metode spektrofotometri uv. Sebelum dilakukan penetapan kadar TCH maka perlu
dilakukan validasi terhadap metode yang digunakan meliputi linearitas, akurasi,
presisi, LOD dan LOQ. Berdasarkan ketentuan FDA 2013, metode penetapan kadar senyawa tunggal yang baik memiliki kriteria linearitas r
2
0,995, akurasi D 20, dan presisi RSD 20. Sesuai tabel hasil validasi metode
penetapan kadar senyawa tunggal TCH dalam sampel kapsul, metode ini
memenuhi kriteria.
Tabel IV. Hasil validasi penetapan kadar TCH dalam kapsul Parameter
Hasil
Linearitas 0,15-0,5 mgml, r
2
=0,9953, y = 1,5176x + 0,0668
Akurasi D 0,6326
Presisi RSD 6,2821
LOD 0,0321 mgml
LOQ 0,0972 mgml
Analisis kadar TCH dalam kapsul dilakukan dengan menggunakan spektrofotometri uv pada panjang gelombang maksimum 276 nm. Kadar TCH
yang didapat adalah sebesar 94,1357 bb. Farmakope Indonesia 1995 menyatakan bahwa kadar TCH dalam kapsul yang dapat diterima adalah kadar
dalam interval 90-125, maka kapsul TCH dapat digunakan untuk perlakuan dalam penelitian ini.
2. Optimasi dosis TCH
Dosis TCH yang digunakan untuk perlakuan sebesar 4,5 gkg pakan kering Johnson, 2010 dan dilakukan optimasi dosis TCH sebesar 2,25 gkg; 4,5
gkg; dan 9,0 gkg pakan. Dosis yang paling efektif yaitu dosis yang memberikan jumlah populasi mikroba paling kecil, ditetapkan dengan melihat jumlah koloni
mikroba yang tumbuh cfucm
2
dalam air habitat lobster yang diberi perlakuan antibiotik. Antibiotik merupakan senyawa kimia yang memiliki aktivitas
menghambat pertumbuhan mikroba sehingga dengan melihat jumlah populasi mikroba dalam air, dapat ditentukan dosis antibiotik yang menghambat
pertumbuhan mikroba paling efektif.
Tabel V. Jumlah populasi mikroba pada optimasi dosis TCH Perlakuan
Jumlah populasi mikroba cfucm
2
Tanpa tetrasiklin 2,4 x 10
3
2,25 gkg 4,8 x 10
5
4,5 gkg 25
9,0 gkg 2,3 x 10
3
Sesuai dengan hasil jumlah populasi mikroba pada sampel air, dipilih dosis TCH paling efektif adalah 4,5 gkg pakan dengan jumlah populasi mikroba
paling kecil yaitu 25 cfucm
2
.
3. Pembuatan dan pemberian perlakuan pakan antibiotik
Pembuatan pakan dan sistem pemberiannya ditentukan sesuai dengan jumlah lobster dan cara lobster mencerna makanan yang diberikan. Lobster
crayfish ini merupakan hewan nocturnal yaitu bersifat aktif pada malam hari sehingga pemilihan waktu pemberian porsi pakan lebih besar pada malam hari
Lukito dan Prayugo, 2007. Pembuatan pakan berantibiotik ini dilakukan dalam interval 5 hari sekali untuk 5 akuarium dengan tujuan menstabilkan efektivitas
antibiotik dalam pakan lobster, karena pembuatan pakan lebih dari 5 hari terjadi pertumbuhan jamur pada pakan. Pemberian pakan berantibiotik pada lobster
dilakukan selama 1 bulan 28 hari pada 6 akuarium yang berbeda yaitu 1 akuarium sebelum perlakuan hari ke 0 dan 5 akuarium perlakuan selama 3, 5, 7,
14, dan 28 hari. Sebagai pembanding, 6 akuarium untuk kelompok kontrol pakan tanpa antibiotik yaitu 1 akuarium hari ke 0 dan 5 akuarium diberi pakan tanpa
antibiotik selama 3, 5, 7, 14, dan 28 hari. Sampling dilakukan dengan mengambil sampel air, sedimen dan lobster yaitu pada hari setelah jangka waktu perlakuan
pada pukul 06.00 WIB agar kondisi saat sampling sama.
C. Tahap Ekstraksi Protein
Kadar protein dalam sedimen ini ditetapkan dengan menggunakan metode pewarnaan yaitu metode coomassie brilliant blue R CBB R dan
dideteksi dengan menggunakan spektrofotometri sinar tampak derivatif. Protein dalam penelitian ini berada dalam matriks sedimen sehingga perlu dilakukan
preparasi sampel supaya protein dapat keluar dari matriks sedimen dan terbentuk struktur protein yang lebih sederhana sehingga dapat dideteksi dengan
menggunakan metode CBB R dan spektrofotometri sinar tampak deriatif. Protein dalam sedimen ini diekstraksi dengan menggunakan basa yaitu
NaOH dengan cara merusak matriks sedimen dan melepas protein ke dalam air. Selain itu, basa juga mengakibatkan denaturasi protein menjadi senyawa lebih
sederhana. Sebagian besar protein di alam memiliki struktur tersier bahkan quarterner. Struktur tersier ini terbentuk akibat adanya interaksi antar asam amino
di rantai polipeptida. Adanya proses denaturasi gambar 4 mengakibatkan interaksi-interaksi gugus yang membentuk struktur tersier menjadi lemah
sehingga kemungkinan untuk terputus sangat besar dan pembentukan protein struktur primer dapat terjadi Campbell, Reece, Mitchell, 2002.
Gambar 4. Perubahan struktur protein akibat denaturasi Campbellet al., 2002
D. Validasi Metode Spektrofotometri Sinar Tampak Derivatif