Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Anak-Anak Melanjutkan Sekolah atau Tidak

sekolah suruh nyuci piring dirumah gak enak…mending sekolah aja jadi kan gak kerjaan”. Inun, 12 tahun Pendapat berbeda juga dikemukakan seorang anak yang hanya tamat SD. Baginya sekolah itu buat sakit kepala, ditambah lagi nanti orang tuanya hanya mampu menyekolahkannya sampai jenjang SD saja. Baginya sekolah itu hanya ajang untuk menghabiskan uang. Seperti penuturan informan berikut: ”……ala kak buat apa sekolah buat pening ajanya itu, belum lagi nanti pelajarannya susah-susah nanti kalo ada PR gak dikerjakan karena gak ngerti dihukum lagi disekolah mending gak sekolah…toh ujung-ujungnya cuma tamat SD nya mau jadi apa lah nanti mending kerja aja dapat duet”. Aris, 17 tahun Walaupun pemahaman mereka berbeda-beda mengenai pendidikan formal akan tetapi satu hal yang pastinya tak berbeda, mereka menganggap pendidikan formal itu penting.

4.2 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Anak-Anak Melanjutkan Sekolah atau Tidak

Metode apa pun yang dipakai dan di tingkat sekolah yang mana saja yang diteliti, semua peneliti berkesimpulan bahwa putus sekolah lebih merupakan masalah sosial ekonomi dari pada masalah pendidikan. Mayoritas orang tua yang diwawancarai menjawab karena tidak mampu membiayai sebagai alasan utama. Sebab umum kedua terjadinya putus sekolah meskipun tidak sesering alasan kemiskinan adalah terbatasnya kesadaran orang tua terhadap pendidikan. Makin rendah tingkat pendidikan Universitas Sumatera Utara dan jabatan si ayah makin kecil kesempatan seorang murid menyelesaikan pendidikannya C. E. Beeby , 1980: 176. Faktor ekonomi menjadi salah satu faktor yang sangat berpengaruhi sehingga tingkat pendidikan di Desa Parbutaran ini rendah. Hampir sebagian besar masyarakat Parbutaran hanya bisa mengenyam pendidikan sampai tingkat SMP bahkan ada yang tidak pernah tamat SD. Alasan ekonomi menjadi penyebab utama mereka mengurungkan niatnya untuk melanjutkan sekolah ke tingkat yang lebih tinggi. Seperti penuturan informan berikut: “…….alasan wawak gak sekolah karena tidak punya duet kayak mana mau sekolah ditambah malas juga…zaman dulu itu pun masih jarang orang yang sekolah, jarang kali pun, sedangkan SMP nya jauh. Ngaisem, 53 tahun Ibu Ngaisem atau lebih sering dipanggil wak Isem ini adalah anak kedua dari 6 bersaudara. Berbeda dengan kelima saudaranya yang menamatkan SD, wak Isem malah memutuskan untuk berhenti sekolah ketika duduk di bangku kelas 4 SD. Bukan hanya kesulitan ekonomi yang menjadi penyebabnya akan tetapi malas sekolah juga menjadi salah satu penyebabnya. Ketika wak Isem memutuskan untuk berhenti sekolah, otomatis orang tuanya marah namun kemarahan itu tidak berlangsung lama. Banyak orang tua di desa Parbutaran ini yang ketika anaknya bersikukuh memutuskan untuk berhenti sekolah maka para orang tua hanya akan marah sebentar setelah itu para orang tua menyerahkan keputusan kepada anaknya. “kalau memang anak gak mau sekolah ya udah gak usah dipaksa, kalau dipaksa pun bakal percuma nanti disekolah pun gak masuk otak yang Universitas Sumatera Utara diajarkan gurunya”. Inilah jawaban pasrah yang sering dilontarkan para orang tua ketika anaknya memutuskan tidak sekolah. Bukan hanya anak yang orang tuanya berpendapatan rendah saja yang tidak sekolah akan tetapi anak yang pendapatan orang tuanya tinggi juga memilih untuk tidak melanjutkan sekolah karena malas dan mereka berpendapat sekolah itu hanya membuat lelah karena orang tuanya yang tamat SD saja juga bisa hidup sampai sekarang malah dengan ekonomi yang berlebih. Asal ada usaha untuk cari kerja tidak sekolah pun bisa makan. Sekolah sampai Perguruan Tinggi pun belum tentu menjamin bisa dapat kerja enak. Bagi sebagian besar masyarakat Parbutaran menganggap pendidikan bukanlah sesuatu yang dinomorsatukan karena sekolah tinggi pun belum tentu menjamin masa depan. Gaji yang didapat apa bila mereka tidak sekolah pun besar, lebih besar malah dari pada gaji PNS. Walaupun pekerjaan mereka memang belum tentu bertahan selamanya akan tetapi mereka tidak takut, asal mereka pintar menabung dari penghasilan yang di dapat sekarang kemudian mereka berinvestasi tanah dan lahan maka mereka bisa lebih menikmati hari tuanya, hanya tinggal memetik hasil. Mereka percaya rezeki seseorang itu tidak akan kemana selama mereka mau berusaha. Seperti penuturan informan berikut ini: “……malas sekolah enakan kerja dapet duet, bapakku aja yang gak tamat sekolah pun masih tetep bisa makan sekarang, sekolah pun tinggi-tinggi belom tentu dapet kerja toh ujung- ujungnya jadi pengangguran juganya”. Topik, 22 tahun Universitas Sumatera Utara Namun tidak semua orang tua atau anak yang berpikiran seperti itu. Ada juga orang tua yang mendukung anaknya untuk terus melanjutkan sekolah sampai perguruan tinggi karena sekolah dianggap penting untuk masa depan. Untuk keluarga dengan pendapatan yang tinggi menyekolahkan anak mungkin bukan hal yang sulit, akan tetapi bagi keluarga dengan ekonomi tidak berlebih, menyekolahkan anak butuh perjuangan yang berat. Berhutang adalah pilihan terakhir ketika mereka mengalami kesulitan. Berhemat adalah hal yang harus dilakukan sang anak untuk meringankan beban orang tua. Tidak jarang pula sang anak kuliah sambil bekerja agar tidak terlalu bergantung pada orang tuanya. Seperti yang dikemukakan oleh salah seorang informan yang mengatakan bahwa walaupun ketersediaan dana untuk sekolah terbatas akan tetapi tidak sekalipun terbesit niat untuk berhenti sekolah. Baginya pendidikan itu sangat penting ditambah lagi orang tua juga mendukungnya mengenyam pendidikan lebih tinggi karena baginya ibu yang pintar akan melahirkan anak yang pintar juga. Berikut penuturan informan: …..memang pernah saya mengalami kesulitan uang saat sekolah dulu, tapi gak pernah saya berniat untuk berhenti sekolah, apa pun yang terjadi saya harus tetap sekolah walaupun orang tua ku harus berhutang dulu sama orang, ditambah lagi banyaknya orang-orang yang enak aja beranggapan bahwa seorang wanita harus di dapur membuat saya semakin geram, saya ingin menunjukkan bahwa wanita juga perlu pendidikan”. Frista, 22 tahun Banyak orang tua di Parbutaran ini khususnya suku Jawa, ketika anak perempuanya tidak mau sekolah mereka tidak terlalu mempermasalahkan karena anggapan bahwa anak perempuan tidak perlu sekolah tinggi-tinggi. Universitas Sumatera Utara Mereka berpendapat sekolah pun sampai tinggi ujung-ujungnya akan di dapur juga, kemudian mengurus anak dan suami. Ketika anak perempuan memutuskan tidak sekolah maka sebagian orang tua tidak terlalu marah dan bahkan ada juga orang tua yang memang menyuruh anaknya hanya menamatkan SMP atau SMA saja. Pada hal menurut laporan Bank Dunia tentang “Gender Perspective Development Through gender Equality of the Rights, Resources, and Aspiration ” tahun 2000 menyatakan, ketidaksetaraan jender berdampak negatif terhadap kesehatan dan kesejahteraan hidup laki-laki, perempuan dan anak-anak. Dalam laporan itu lebih lanjut dijelaskan, ketidaksetaraan jender merupakan kendala bagi upaya penghapusan kemiskinan dan perkembangan ekonomi suatu negara. Konsekuensinya, dalam periode jangka panjang keadaan seperti ini akan melemahkan pemerintah dalam pengembangan kebijakan yang lebih efektif. Laporan yang sama menunjukkan, tingkat pendidikan perempuan dapat mendorong produktivitas, serta meningkatkan kesempatan kerja dan upah. Dalam kondisi demikian, keluarga menjadi lebih sejahtera yang akhirnya berdampak pada menurunnya angka kematian ibu dan anak, memperpanjang harapan hidup bagi seluruh anggota keluarga, menurunkan angka fertilitas, meningkatkan status keluarga, dan meningkatkan kapasitas perempuan untuk mengelola sumber daya dengan lebih efektif. Karena itu, pendidikan bagi anak perempuan merupakan faktor penting dalam kerangka mengurangi kemiskinan Yayasan Toyota dan astra, 2004 : 154. Universitas Sumatera Utara Banyak ibu-ibu di Parbutaran yang pendidikannya rendah, tidak bekerja sehingga tidak bisa membantu perekonomian keluarga. Ada pun yang bekerja biasanya sebagai buruh dengan pendapatan Rp. 500.000 sampai Rp. 700.000, sedangkan ibu-ibu dengan tamatan SMA, D3 dan S1 bisa bekerja di pabrik bahkan ada juga yang menjadi PNS dengan pendapatan yang lebih tinggi dibandingkan ibu-ibu yang cuma tamat SD. Pada umumnya anak gadis yang hanya menamatkan sekolah sampai jenjang SMP memutuskan untuk bekerja sebagai pengasuh bayi atau pelayan di rumah makan, dengan alasan tidak memerlukan ijazah. Sedangkan yang tamatan SMA atau SMK lebih memilih bekerja di pabrik di Batam. Alasan mereka memilih kerja di Batam karena ada saudara dan gaji yang lumayan. Bukan hanya itu saja, orang tua yang pintar atau tamatan SMA atau D3 lebih bisa mengajari anaknya belajar atau membantunya mengerjakan PR, sedangkan ibu yang tamatan SD hanya bisa mengajari anaknya setingkat SD juga, sehingga tidak jarang anak merasa tertekan ketika ada PR karena dia tidak tahu mengerjakan tambahan lagi orang tua yang tidak bisa membantu.

4.3 Alasan Memilih Sekolah

Dokumen yang terkait

Persepsi Keluarga Pemulung Terhadap Pendidikan Formal Anak (Studi Deskriptif Terhadap Keluarga Pemulung di Daerah Pinang Baris, Medan)

14 168 105

Persepsi Masyarakat Tentang Pengobatan Tradisional Di Desa Percut Kecamatan Percut Sei Tuan Kabupaten Deli Serdang Tahun 2004

0 27 124

Pengaruh Tingkat Pendidikan Formal Terhadap Partisipasi Masyarakat Dalam Pembangunan Kesehatan Masyarakat (Studi Kantor kelurahan Kendana Kabupaten Labuhan Batu)

15 92 101

Persepsi Masyarakat Tentang Pentingnya Pendidikan Formal 12 Tahun (Studi kasus kp.pejamuran, Ds.Pasilian, Kec.Kronjo, Kab.Tangerang)

2 47 111

Persepsi Masyarakat Nelayan terhadap Pendidikan Formal (Kasus di Pantai Pamayang Desa Cikawungading, Kecamatan Cipatujah, Kabupaten Tasikmalaya, Propinsi Jawa Barat)

0 13 136

PENGARUH TINGKAT PENDIDIKAN FORMAL DAN PENDIDIKAN NON FORMAL TERHADAP PARTISIPASI MASYARAKAT PENGARUH TINGKAT PENDIDIKAN FORMAL DAN PENDIDIKAN NON FORMAL TERHADAP PARTISIPASI MASYARAKAT DALAM MENSUKSESKAN PEMBANGUNAN MASYARAKAT DI KELURAHAN TRUKAN, PRACI

0 1 13

PERSEPSI KELUARGA PETANI TERHADAP PENDIDIKAN FORMAL ANAK DI DESA SUNGAI TOMAN KECAMATAN SALATIGA KABUPATEN SAMBAS ARTIKEL PENELITIAN

0 0 12

BAB II GAMBARAN UMUM - Persepsi Masyarakat Desa Parbutaran Terhadap Pendidikan Formal (Studi Etnografi Mengenai Persepsi Masyarakat Terhadap Pendidikan Formal di Desa Parbutaran Kec. Bosar Maligas Kab. Simalungun)

0 1 27

BAB I PENDAHULUAN - Persepsi Masyarakat Desa Parbutaran Terhadap Pendidikan Formal (Studi Etnografi Mengenai Persepsi Masyarakat Terhadap Pendidikan Formal di Desa Parbutaran Kec. Bosar Maligas Kab. Simalungun)

0 2 24

Persepsi Masyarakat Desa Parbutaran Terhadap Pendidikan Formal (Studi Etnografi Mengenai Persepsi Masyarakat Terhadap Pendidikan Formal di Desa Parbutaran Kec. Bosar Maligas Kab. Simalungun)

0 0 15