BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Penelitian ini adalah mengenai persepsi masyarakat terhadap pendidikan formal di Desa Parbutaran Kecamatan Bosar Maligas Kabupaten
Simalungun. Pendidikan adalah situasi hidup yang mempengaruhi pertumbuhan individu sebagai pengalaman belajar yang berlangsung dalam
segala lingkungan dan sepanjang hidup. Dalam arti sempit pendidikan adalah pengajaran yang diselenggarakan umumnya di sekolah sebagai
lembaga pendidikan formal. Sedangkan para ahli psikologi memandang pendidikan adalah pengaruh orang dewasa terhadap anak yang belum
dewasa agar mempunyai kemampuan yang sempurna dan kesadaran penuh terhadap
hubungan-hubungan dan
tugas-tugas sosialnya
dalam bermasyarakat
1
. Di awal abad ke-21 ini, prestasi pendidikan di Indonesia tertinggal
jauh di bawah negara-negara Asia lainnya, seperti Singapura, Jepang, dan Malaysia. Lemahnya sumber daya manusia SDM hasil pendidikan juga
mengakibatkan lambannya Indonesia bangkit dari keterpurukan sektor ekonomi yang merosot secara signifikan
2
di tahun 1998. Namun saat negara-negara ASEAN
3
lainnya pulih, Indonesia masih belum mampu
1
Syaiful Sagala, Konsep dan Makna Pembelajaran Alpabeta, Bandung 2009, hal 1
2
Sesuatu atau hal yang berarti, sifatnya penting, dan patut diperhatikan
3
Association of Southeast Asian Nations ASEAN merupakan sebuah organisasi geo- politik dan ekonomi dari negara-negara di kawasan Asia Tenggara, yang didirikan di
Bangkok, 8 Agustus 1967 melaluiDeklarasi Bangkok oleh Indonesia, Malaysia, Filipina, Singapura, dan Thailand.
Universitas Sumatera Utara
melakukan recovery dengan baik. Dody Heriawan Priatmoko, dengan mengutip pernyataan Schutz dan Solow, menegaskan bahwa pendidikan
merupakan faktor penting dalam pertumbuhan ekonomi
4
melalui peningkatan kualitas SDM. Hal ini dapat dilihat pada negara Jepang, dimana
kemajuan ekonomi yang didapatnya sekarang tak lepas dari peranan pendidikan
5
. Sistem pendidikan Jepang yang baik telah menghasilkan manusia-
manusia berkualitas sehingga walaupun hancur setelah kekalahan dalam Perang Dunia II, mereka dapat cepat bangkit maju dan bersaing dengan
negara yang mengalahkannya dalam perang. Negara Asia lainnya seperti Korea Selatan, Taiwan, Hongkong, dan Singapura juga memperlihatkan
fenomena yang tidak jauh berbeda dari negeri matahari terbit ini, dimana kemajuan ekonomi yang mereka dapatkan adalah karena tingginya kualitas
SDM-nya. Keadaan Indonesia berbeda jauh sekali dengan negara-negara tersebut
6
. Indikator lain yang menunjukkan betapa rendahnya mutu pendidikan
di Indonesia dapat dilihat dari data UNESCO
United Nations Educational, Scientific and Cultural Organization
tahun 2000 tentang peringkat Indeks Pengembangan Manusia Human Development Index, yaitu komposisi dari
peringkat pencapaian pendidikan, kesehatan dan penghasilan per kepala yang menunjukkan bahwa indeks pengembangan manusia di Indonesia
makin menurun. Di antara 174 negara di dunia, Indonesia menempati urutan
4
Proses perubahan kondisi perekonomian suatu Negara secara berkesinambungan menuju keadaan yang lebih baik selama periode tertentu.
5
Dede Rosyada, Paradigama Pendidikan Demokratis Kencana, Jakarta 2004, hal 1
6
Ibid
Universitas Sumatera Utara
ke-102 pada tahun 1996, ke-97 tahun 1997, ke-105 tahun 1998, dan ke-109 tahun 1999, dan menurun ke urutan 112 pada tahun 2000
7
. Saat ini telah terjadi ketidakmerataan mutu pendidikan di berbagai
daerah di Indonesia. Di satu kondisi, orang tua berusaha keras mendaftarkan anaknya di sekolah terbaik, disisi lain masih banyak orang tua yang tak acuh
terhadap dunia pendidikan. Ditambah lagi adanya perbedaan antara fasilitas pendidikan di daerah kota dan di daerah pedesaan . Fasilitas pendidikan
yang lebih baik dan lebih lengkap di wilayah perkotaan menyebabkan orang perkotaan mendapatkan pendidikan yang lebih baik.
Banyaknya anak yang putus sekolah disebabkan karena masalah ekonomi. Tingkat pendidikan rumah tangga miskin ternyata jauh lebih
rendah dari rumah tangga bukan miskin. Rasio partisipasi dan rasio tamat dari setiap tingkat pendidikan SD, SMP, SMA, Akademi, dan Universitas
didalam penduduk miskin selalu lebih rendah dibanding pada penduduk bukan miskin.
Untuk tingkat SD, rasio partisipasi dan rasio tamat dari penduduk miskin sebesar 90, sedangkan penduduk bukan miskin sebesar 93,4.
Untuk tingkat SMP, penduduk miskin sebesar 53,5 ,sedangkan penduduk bukan miskin sebesar 64,55. Untuk tingkat SMA, penduduk miskin adalah
21,2, sedangkan bukan miskin adalah 42,7. Untuk tingkat akademi, penduduk miskin sebesar 14,4, sedangkan penduduk bukan miskin
sebesar 23,1, dan untuk tingkat universitas, penduduk miskin 23,1,
7
Ibid
Universitas Sumatera Utara
sedangkan penduduk bukan miskin sebesar 25,5
8
. Di sini terlihat bahwa lebih tinggi tingkat pendidikan, lebih rendah rasio partisipasi dan rasio tamat
belajar. Tingkat pendidikan penduduk miskin lebih rendah bila dibandingkan penduduk bukan miskin. Walaupun ada juga penduduk miskin
yang menamatkan sampai jenjang SMA, Diploma dan universitas, akan tetapi penduduk miskin lebih banyak hanya menamatkan sekolah sampai
jenjang SD dan SMP. Sekalipun kemiskinan berpengaruh besar terhadap anak-anak yang
tidak bersekolah, kemiskinan bukanlah satu-satunya faktor yang berpengaruh. Dalyono mengatakan:
“Rendahnya minat orang tua terhadap pendidikan disebabkan oleh beberapa faktor, misalnya faktor pribadi
tingkat kesadaran, faktor ekonomi, faktor sosial budaya social cultur, dan faktor letak geografis sekolah. Faktor
sosial budaya berkaitan dengan kultur masyarakat yang berupa persepsipandangan, adat istiadat, dan kebiasaan.
Peserta didik selalu melakukan kontak dengan masyarakat. Pengaruh-pengaruh budaya yang negatif dan salah
terhadap dunia pendidikan akan turut berpengaruh terhadap perkembangan dan pertumbuhan anak. Peserta
didik yang bergaul dengan teman-temannya yang tidak sekolah atau putus sekolah akan terpengaruh dengan
mereka
9
.
Rendahnya minat orang tua akan pendidikan bukan hanya disebabkan oleh faktor ekonomi, akan tetapi faktor sosial budaya dan letak
geografis juga menjadi faktor yang cukup berpengaruh. Lingkungan sosial budaya adalah semua orang yang dapat berpengaruh terhadap kehidupan
8
Sutyastie Soemitro Remi dan Prijono Tjiptoherijanto, Kemiskinan dan Ketidakmerataan di Indonesia Rineka Cipta, jakarta, 2002 hal 19
9
http:hmpfuntan.wordpress.com20130211rendahnya-tingkat-mutu-pendidikan-di- daerah-pedesaan
diakses tanggal 16 September 2013
Universitas Sumatera Utara
anak. Pengaruh sosial tersebut dapat dilihat secara langsung maupun tidak langsung. Pengaruh secara langsung, seperti terjadi di dalam pergaulan anak
sehari-hari dengan teman sebayanya atau orang lain. Ketika si anak bergaul dengan temannya, maka si anak pun akan terikut dengan temannya.
Pengaruh secara tidak langsung dapat terjadi melalui jalur informasi, seperti radio atau televisi.
Letak geografis daerah pedesaan membuat akses pendidikan sulit untuk dijangkau. Pada umumnya hanya ada SD dan SMP, sehingga apabila
ingin melanjutkan sekolah ke jenjang yang lebih tinggi si anak harus menempuh jarak jauh atau menyewa rumahkamar didaerah tersebut yan
tentunya lebih banyak membutuhkan biaya. Akan tetapi, ada juga beberapa daerah yang terpencil bahkan tidak ada SD, sehingga anak harus menempuh
jarak yang jauh. Berbeda dengan daerah perkotaan yang letak SD,SMP,SMA, Diploma, dan universitas yang saling berdekatan sehingga
memudahkan anak di perkotaan untuk mengenyam pendidikan dengan jarak yang relatif dekat.
Anak-anak yang dibesarkan di kota pola pikirnya berbeda dengan anak di desa. Pada umumnya anak yang tinggal di kota lebih bersikap aktif,
bila dibandingkan dengan anak desa yang selalu bersikap statis. Banyak fasilitas yang memang mendukung untuk anak yang berada di perkotaan
lebih bersikap aktif yaitu adanya tempat les. Sedangkan kalau di desa jarang ada tempat les. Ditambah lagi fasilitas yang disediakan di sekolah yang
berada di perkotaan lebih lengkap dibandingkan dengan sekolah yang berada di desa seperti laboratorium, dan fasilitas untuk kegiatan olahraga.
Universitas Sumatera Utara
Ada pendapat masyarakat yang memandang bahwa menyekolahkan anak hanya akan menambah pengangguran. Hal ini disebabkan oleh para
lulusan sekolah yang belum mampu memenuhi dunia kerja. Sekolah adalah salah satu tempat yang bukan hanya berfungsi untuk memperoleh ilmu
pengetahuan, tetapi juga tempat untuk seseorang bisa menjadi pribadi yang lebih baik lagi. Gunawan mengatakan bahwa:
“Sekolah sebagai lembaga pendidikan sangat berperan dalam proses sosialisasi individu agar menjadi anggota
masyarakat yang bermakna bagi masyarakatnya.” Melalui pendidikan formal akan terbentuk kepribadian seseorang
yang diukur dari perkembangan aspek kognitif, afektif, dan psikomotor seperti terdapat dalam teori Bloom
10
.
Konsep taksonomi bloom mengklasifikasikan tujuan pendidikan dalam tiga ranah kawasan atau domain. Ketiga ranah yang dimaksud, yaitu
: pertama, ranah kognitif cognitive domain meliputi fungsi memproses informasi, pengetahuan dan keahlian mentalitas. Ranah ini berisi perilaku-
perilaku yang menekankan aspek intelektual, seperti pengetahuan, pengertian, dan keterampilan berpikir. Kedua, ranah afektif affective
domain meliputi fungsi yang berkaitan dengan sikap dan perasaan. Domain ini berisi perilaku-perilaku yang menekankan aspek perasaan dan emosi,
seperti minat, sikap, apresiasi, dan cara penyesuaian diri. Ketiga, ranah psikomotorik psyomotor domain berkaitan dengan fungsi manipulatif dan
kemampuan fisik. Kawasan ini berisi perilaku-perilaku yang menekankan
10
http:tarmizi.wordpress.com20100301faktor-sosial-budaya-penyebab-rendahnya- minat-terhadap-pendidikan diakses tanggal 16 September 2013
Universitas Sumatera Utara
aspek keterampilan motorik, seperti tulisan tangan, mengetik, berenang, dan mengoperasikan mesin
11
. Masyarakat yang tidak menyadari pentingnya pendidikan formal
akan menjadi masyarakat yang minim pengetahuan, kurang keterampilan, dan kurang keahlian. Mereka akan menjadi masyarakat yang tertinggal dan
terbelakang. Dalam persaingan, mereka akan kalah bersaing dengan masyarakat lain yang pendidikannya sudah maju, terlebih-lebih bersaing
pada era globalisasi dan informasi pada saat ini. Yang akan terjadi di kemudian hari, anak-anak yang tidak mengikuti pendidikan formal akan
menjadi beban bagi masyarakat bahkan sering menjadi pengganggu ketentraman masyarakat. Hal ini diakibatkan oleh kurangnya pendidikan
atau pengalaman intelektualnya, serta tidak memiliki keterampilan yang menopang kehidupan sehari-hari
12
. Hal ini juga terjadi di Desa Parbutaran, terlihat dari rendahnya
persentase anak-anak yang menamatkan sekolah tingkat SMA sebesar 12,49, Diploma sebesar 1,12 , dan Universitas sebesar 0,59 . Dari
hasil observasi sementara rendahnya tingkat pendidikan di Desa Parbutaran bukan hanya disebabkan karena masalah ekonomi melainkan karena
sebagian besar masyarakat di Desa Parbutaran beranggapan pendidikan di sekolah bukanlah hal penting yang harus dinomorsatukan. Oleh karena itu
peneliti pun tertarik untuk meneliti tentang
“Persepsi Masyarakat Terhadap Pendidikan Formal di Desa Parbutaran Kecamatan Bosar
Maligas Kabupaten Simalungun.
11
Ibid
12
Ibid
Universitas Sumatera Utara
1.2 Tinjauan Pustaka