Penyesuaian Diri Pada Pria Menduda Ditinjau dari Aspek Afektif

176 perpisahan dengan istri merupakan kehendak Tuhan, sedangkan pada MW menyesuaikan dengan menerima dengan pasrah perceraian sebagai jalan terbaik. Setelah menjadi duda, penyesuaian diri pada pria menduda ditunjukkan dari pertumbuhan pribadi subyek yang baik. Ketiga subyek tetap menunjukkan minatnya pada pekerjaan, menjalankan hobi, serta memiliki harapan untuk menikah kembali. Penelitian ini menemukan bahwa tingkat pendidikan, latar belakang penyebab perpisahan dan lama perkawinan dengan istri mempengaruhi kualitas penyesuaian diri ketiga subyek.

2. Penyesuaian Diri Pada Pria Menduda Ditinjau dari Aspek Afektif

Dalam penelitian ini, aspek afektif yang umumnya terjadi pada subyek yaitu pria yang menduda adalah: a. takut dan prihatin terhadap kehidupan dan masa depan anak, b. sedih secara mendalam, c. kehilangan dan kesepian, d. kangen, e. trauma. Berdasarkan tabel 7 diketahui subyek yang memiliki anak mengalami ketakutan dan keprihatinan terhadap kehidupan dan masa depan anak. Kedua subyek merasa takut mengarah pada masa depan anak dalam hal bagaimana perkembangan anak nantinya tanpa kehadiran ibu. Subyek yang bercerai khawatir jika anaknya juga akan mengalami hal yang sama dengan dirinya. Sejalan dengan pendapat Stahl 2004: 119 yang mengungkapkan bahwa setelah perceraian seseorang akan mengalami perasaan takut dan keprihatinan terhadap anak yang akan menyebabkan rasa tidak percaya diri seorang ayah dan keprihatinan terhadap kemampuan anak-anaknya dalam menyesuaikan diri terhadap perceraian 177 orangtuanya, takut terhadap masalah anak di sekolah dan hubungan anak di masa depan. Subyek yang mengalami kematian istri mengalami dampak berupa kesedihan yang mendalam akibat kematian istri. Selama 1 Minggu, keduanya mengalami susah tidur. Subyek DH merasa kehilangan semangat, susah tidur, cenderung menutup diri. Tri Marsiyanti dan Farida Harahap 2003: 37 menjelaskan bahwa seseorang yang mengalami kematian pasangan hidupnya mengalami kesedihan yang begitu mendalam yang disebut “bereavement”. Ciri- ciri “bereavement” adalah munculnya gejala-gejala fisik atau kejiwaan seperti keinginan untuk menyendiri, merasa lelah dan tidak bersemangat, sulit tidur dan kehilangan selera makan. Subyek DH juga seperti orang yang tidak ingat hingga tidak bisa mengenali diri sendiri dan orang-orang di sekelilingnya. J.T Brown dan Stoudemeire dalam Papalia dan Olds 2008: 957 menyebutkan bahwa segera setelah kematian, yang ditinggal seringkali merasakan kehilangan dan bingung. Sering dengan menurunnya perasaan duka, perasaan yang sebelumnya memberikan peluang pada membanjirnya perasaan sedih dan menangis. Tahap pertama ini terjadi berlangsung beberapa minggu, terutama setelah kematian yang tiba-tiba. Ketiga subyek mengalami kesepian karena mereka merasa kehilangan pasangan hidup sehingga merasa kehilangan teman untuk saling berbagi. Ketiga subyek tersebut mengalami kesepian saat sendiri, terutama MW merasa sangat kesepian saat anak dijemput ibunya. Hurlock 1980: 311 menyebutkan bahwa karena pria sudah menjadi kebiasaan sejak masa kanak-kanak sampai dengan 178 persahabatan yang mantap antar anggota keluarga kemudian mempunyai keluarga sendiri dan bercerai, maka mereka merasa kesepian pada saat-saat dia merasa dirinya tercabut dari persahabatan yang mantap dan kelompok orang-orang yang mempunyai keinginan dan nilai serupa. Hasil penelitian ini juga menunjukkan bahwa perpisahan karena perceraian berdampak positif yakni subyek yang bercerai merasa lega karena terbebas dari pertengkaran yang berdampak pada anak yang sering melihat pertengkaran kedua orang tuanya. Disamping itu, subyek merasa lega karena setelah bercerai dapat merawat, memberikan pendidikan, perhatian, dan kasih sayang kepada anak secara penuh karena sebelum perceraian peran istri untuk anak tidak berjalan sesuai harapannya. Hal ini sesuai dengan pendapat Mac Gregor 2004: 101 yang menjelaskan perceraian juga akan melibatkan perasaan lega bagi pasangan yang mengalami. Bagi salah satu atau kedua belah pihak yang bercerai, keputusan ini merefleksikan keinginan akan perubahan, membetulkan yang salah, membuat pilihan-pilihan baru dalam hidup yang lebih baik. Setelah bercerai dengan istri, perasaan trauma juga dialami subyek yang bercerai, perasaan takut dan khawatir terjadi kegagalan terhadap pernikahan berikutnya sehingga tidak segera untuk memutuskan menikah kembali. Menurut Agoes Dariyo 2003: 168 menyebutkan bahwa perceraian memberikan pengalaman traumatis pada salah satu pasangan hidup. Individu yang telah berupaya sungguh-sungguh dalam menjalankan kehidupan pernikahan pernikahan dan ternyata harus berakhir dalam perceraian, akan dirasakan kesedihan, kekecewaan, frustasi, tidak nyaman, tidak tentram, tidak bahagia, stres, depresi, 179 takut, dan khawatir dalam diri individu. Akibatnya, individu akan memiliki sikap benci, dendam, marah, menyalahkan diri sendiri atau menyalahkan mantan pasangannya. Selama menjalani hidup menduda, ketiga subyek harus mengatasi berbagai perubahan perasaan karena subyek tidak dapat memberikan kasih sayang, perhatian kepada pasangan. Untuk itu, guna mengurangi atau menghilangkan perubahan perasaannya ketiga subyek melakukan upaya-upaya, seperti DH yang pada awal-awal berpisah dengan istri meskipun hatinya sedang sedih DH cenderung menekan kesedihan dengan cara berpura-pura tersenyum. Hal tersebut sesuai dengan pendapat Sunarto dan Hartono 2002: 226 menyebutkan bahwa salah satu bentuk reaksi yang dilakukan dalam penyesuaian adalah represi yakni berusaha untuk menekan pengalamannya yang dirasakan kurang enak ke alam tidak sadar, individu berusaha melupakan pengalamannya yang kurang menyenangkan. Saat ini DH cenderung mengalihkannya dengan cara membagi kasih sayang, perhatian dengan keponakan dan orangtua. Sedangkan subyek yang memiliki anak lebih mencurahkan kasih sayang dan perhatian kepada anak, MW juga mengalihkan dengan kegiatan olahraga tenis. Siswanto 2007: 39 menyebutkan bahwa jika individu merasa gagal dalam menghadapi masalah, maka ia dapat memperoleh penyesuaian dengan jalan mencari pengganti. Setelah menjadi duda, DH dan RW dapat menerima dengan rela kepergiaan istri, selama menjalani kehidupan menduda seringkali merasa sedih dan kangen terhadap istri. Untuk mengatasi perubahan perasaannya DH mengalihkannya dengan kesibukan bekerja, berbaur dengan keluarga dan teman. 180 Sedangkan RW cenderung mempertahankan perasaannya dan mengalihkan dengan kegiatan ikhtiar, mengaji, menulis. Hurlock 1980: 360 menjelaskan pada tahap menerima seseorang bangkit kembali ke masa biasa dimana ia telah menerima dengan rela istri yang dicintainya dan mencoba membangun pola hidup baru dengan pelbagai minat dan aktivitas untuk mengisi kekosongan. Penelitian ini menunjukkan bahwa ketiga subyek secara afektif memiliki penyesuaian diri yang baik. Hal tersebut ditunjukkan ketiganya dapat mengekspresikan perasaannya secara tidak berlebihan seperti saat perasaannya kangen dengan istri subyek DH dan RW merasa kangen cenderung mengekspresikannya dengan menangis, sedangkan pada MW sering mengalami kesedihan saat tidak dapat menuruti kemauan anak diekspresikan menitihkan air mata. Hal tersebut sejalan dengan pendapat Siswanto 2007: 37-39 yang menjelaskan ciri-ciri individu yang dapat menyesuaikan diri dengan baik dicirikan memiliki kehidupan emosi yang sehat. Orang tersebut mampu menyadari dan merasakan emosi atau perasaan yang saat itu dialami serta mampu untuk mengekspresikan perasaan dan emosi tersebut dalam spektrum yang luas. Selain itu orang yang memiliki kehidupan emosi yang sehat mampu memberikan reaksi- reaksi emosi yang realistis dan tetap dibawah kontrol sesuai dengan situasi yang dihadapi. Dalam penelitian ini dapat diambil kesimpulan bahwa aspek afektif yang terjadi pada pria menduda pasca berpisah dengan istrinya yaitu pada umumnya mengalami ketakutan dan keprihatinan terhadap kehidupan dan masa depan anak, sedih secara mendalam dan mereka merasa kehilangan dan kesepian. MW yang 181 menjadi duda karena perceraian mengalami dampak yang berbeda dengan dua subyek lainnya. MW merasa lega karena terbebas dari pertengkaran dengan istri dan dapat merawat anak secara mandiri, namun saat ini MW merasa trauma yakni merasa takut dan khawatir mengalami kegagalan lagi dalam pernikahan berikutnya. Untuk mengatasi berbagai masalah yang dialami tersebut ketiga subyek berupaya melakukan penyesuaian agar kehidupannya berjalan selaras dan harmonis. Secara afektif penyesuaian diri yang dilakukan subyek bervariatif, ketiga subyek cenderung melakukan penyesuaian dengan mencari pengganti yakni mencurahkan kasih sayang dan perhatian kepada saudara atau anak.

3. Penyesuaian Diri Pada Pria Menduda Ditinjau dari Aspek Sosial