45
Spektrum FTIR antara minyak biji karet dengan biodiesel yang dihasilkan pada penelitian ini tidak jauh berbeda. Dalam spektrum biodiesel terdapat puncak-
puncak yang lebih tajam daripada puncak dalam spektrum minyak biji karet. Hal ini menunjukkan bahwa gugus fungsi yang terkandung dalam biodiesel
mempunyai intensitas yang lebih tinggi dan reaksi transesterifikasi telah mengubah minyak biji karet menjadi biodiesel yang merupakan metil ester.
6. Analisis Parameter Biodiesel
Penentuan kualitas dari biodiesel yang dihasilkan dilakukan dengan cara melakukan pengujian berbagai parameter yang sesuai dengan SNI 7182: 2012.
Hasil yang diperoleh dari pengujian tersebut dibandingkan dengan data parameter biodiesel yang terdapat dalam SNI 7182: 2012. Uji parameter biodiesel yang
dilakukan pada penelitian ini antara lain: massa jenis, viskositas, titik tuang pour point, titik nyala flash point, serta kalor pembakaran.
a. Massa Jenis Menurut Tohari 2015: 51 massa jenis berkaitan dengan nilai kalor dan
daya yang dihasilkan oleh bahan bakar pada setiap satuan volume. Pengujian massa jenis biodiesel menggunakan piknometer. Perhitungan massa jenis
dilakukan dengan membandingkan massa zat dengan volume zat tersebut pada suhu tertentu. Pada penelitian ini, massa jenis biodiesel ditentukan pada suhu
25
o
C. Namun dalam SNI 7182: 2012 pengujian biodiesel dilakukan pada suhu 40
o
C, sehingga dilakukan konversi ke suhu 40
o
C. Hasil pengujian massa jenis untuk biodiesel B
1
, B
2
, B
3
, B
4
, B
5
, dan B
6
dapat ditunjukkan pada Gambar 15.
46
Gambar 15. Hubungan Massa Jenis dengan Suhu dan Rasio Metanol: Minyak Berdasarkan hasil pengujian massa jenis biodiesel B
1
, B
2
, B
3
, B
4
, B
5
, dan B
6
dengan perbedaan suhu dan rasio metanol: minyak akan menghasilkan nilai massa jenis yang berbeda. Penelitian ini menunjukkan bahwa semakin tinggi suhu
transesterifikasi akan menghasilkan massa jenis biodiesel yang semakin kecil dan semakin besar rasio metanol: minyak akan menghasilkan biodiesel dengan
massa jenis yang semakin besar. Massa jenis biodiesel pada suhu 40
o
C menurut SNI 7182: 2012 adalah
850-890 kgm
3
. Hasil pengujian biodiesel B
1
, B
2
, B
3
, B
4
, B
5
, dan B
6
menunjukkan bahwa biodiesel B
3
dan B
6
sudah memenuhi spesifikasi SNI 7182: 2012, sedangkan biodiesel B
1
, B
2
, B
4
, dan B
5
belum memenuhi spesifikasi SNI 7182: 2012. Densitas yang tinggi dapat disebabkan oleh adanya zat pengotor seperti
sabun kalium dan gliserol hasil reaksi penyabunan, air, kalium hidroksida sisa, kalium metoksida sisa ataupun sisa metanol Pramitha, et al., 2016: 162.
b. Viskositas Viskositas merupakan ukuran hambatan cairan untuk mengalir yang
disebabkan oleh adanya gaya gesek internal antar partikel. Viskositas berpengaruh
880 885
890 895
900 905
20 40
60 80
100
M assa J
e n
is k
g m
3
Suhu °C
8:1 6:1
47
pada injeksi bahan bakar. Pengujian viskositas dalam penelitian ini menggunakan alat Ostwald. Hasil dari pengujian viskositas biodiesel B
1
, B
2
, B
3
, B
4
, B
5
, dan B
6
dapat dilihat pada Gambar 16.
Gambar 16. Hubungan Viskositas dengan Suhu dan Rasio Metanol: Minyak Hasil pengujian viskositas dari biodiesel menunjukkan bahwa perbedaan
suhu dan rasio antara metanol dengan minyak dalam proses transesterifikasi akan menghasilkan nilai viskositas biodiesel yang berbeda. Menurut standar SNI 7182:
2012 tentang biodiesel, menyebutkan bahwa viskositas untuk biodiesel pada 40
o
C antara 2,3-6 cSt. Hasil pengujian yang dilakukan pada biodiesel B
1
, B
2
, B
3
, B
4
, B
5
, dan B
6
menunjukkan bahwa keenam biodiesel tersebut mempunyai nilai viskositas yang melebihi nilai viskositas dalam SNI 7182: 2012. Arita, et al. 2009: 58
menyatakan bahwa waktu reaksi esterifikasi berpengaruh terhadap viskositas biodiesel yang dihasilkan. Semakin lama waktu reaksi esterifikasi akan
menghasilkan viskositas yang semakin kecil. Viskositas biodiesel yang tinggi juga dapat disebabkan oleh masih panjangnya rantai karbon metil ester di dalam
biodiesel Kusumaningtyas Bachtiar, 2012: 16. Dalam penelitian ini tidak
5 10
15 20
25
20 40
60 80
100
Vi sko
si tas
c S
t
Suhu °C
8:1 6:1
48
dilakukan analisa menggunakan GC-MS, sehingga tidak dapat diketahui jenis rantai karbon yang terkandung di dalam biodiesel. Menurut Hardjono 2001: 93
viskositas yang tinggi dapat mempengaruhi kerja alat injeksi bahan bakar dan mempersulit pengabutan bahan bakar.
c. Titik tuang pour point Titik tuang merupakan suhu terendah yang menyatakan bahan bakar masih
dapat dituang. Hal ini diperlukan terutama di daerah yang beriklim dingin, karena berkaitan dengan kemampuan mengalir BBM atau minyak pelumas. Menurut
Tohari 2015: 54 kemampuan mengalir biodiesel akan mengalami penurunan pada saat titik tuangnya, jika dibandingkan saat suhu normal. Hal ini karena saat
kondisi temperatur titik tuang biodiesel akan terbentuk gel yang menghambat laju aliran biodiesel. Hasil pengujian titik tuang biodiesel B
1
, B
2
, B
3
, B
4
, B
5
, dan B
6
terdapat pada Gambar 17.
Gambar 17. Hubungan Titik Tuang dengan Suhu dan Rasio Metanol: Minyak Hasil pengujian titik tuang biodiesel yang dilakukan menurut metode
pemeriksaan ASTM D 97, menunjukkan bahwa semakin besar rasio antara metanol dengan minyak menghasilkan biodiesel dengan titik tuang yang lebih
-4 -2
2 4
6 8
20 40
60 80
100
Ti tik
Tu an
g °C
Suhu °C
8:1 6:1
49
tinggi. Nilai titik tuang biodiesel B
1
, B
2
, B
3
, B
4
, B
5
, dan B
6
sudah memenuhi standar biodiesel yaitu pada kisaran -15
–13
o
C Crimson Renewable Energy. d. Titik nyala flash point
Titik nyala merupakan suhu terendah ketika uap suatu zat bercampur dengan udara dan mengakibatkan nyala sebentar kemudian mati. Titik nyala
digunakan sebagai mekanisme untuk membatasi jumlah alkohol sisa dalam bahan bakar. Biodiesel murni mempunyai titik nyala yang lebih tinggi dari batasannya.
Adanya alkohol sisa reaksi menyebabkan penurunan titik nyala dari biodiesel, sehingga titik nyala digunakan untuk indikator adanya metanol dalam biodiesel.
Gambar 18. Hubungan Titik Nyala dengan Suhu dan Rasio Metanol : Minyak Hasil pengujian titik nyala biodiesel yang dilakukan menurut metode
pemeriksaan ASTM D 93, menunjukkan bahwa titik nyala dari biodiesel B
1
, B
2
, B
3
, B
4
, B
5
, dan B
6
sudah sesuai dengan SNI 7182: 2012 yaitu minimal 100
o
C. Hal ini menunjukkan bahwa biodiesel tersebut tidak mudah terbakar pada suhu yang
rendah.
50 100
150 200
250
20 40
60 80
100
Ti tik
N y
al a
° C
Suhu °C
8:1 6:1
50
e. Kalor pembakaran Nilai kalori merupakan angka yang menyatakan jumlah panas atau kalori
yang dihasilkan dari proses pembakaran sejumlah bahan bakar dengan udara oksigen. Pengukuran kalor pembakaran bertujuan untuk mengetahui energi kalor
yang dapat dibebaskan oleh suatu bahan bakar dengan terjadinya proses pembakaran. Hasil pengujian kalor pembakaran menggunakan alat bom
kalorimeter dari biodiesel B
1
, B
2
, B
3
, B
4
, B
5
, dan B
6
terdapat pada Gambar 19.
Gambar 19. Hubungan Kalor Pembakaran dengan Suhu dan Rasio Metanol: Minyak
Nilai kalori bahan bakar minyak berkisar antara 10.160-11.000 Kkalkg, sehingga dari keenam biodiesel tersebut masih belum memenuhi syarat untuk
dijadikan sebagai bahan bakar. Penelitian yang pernah dilakukan, diantaranya sintesis biodiesel dari minyak biji ketapang Yuniastuti, 2014: 57 dan sintesis
biodiesel dari minyak biji kapuk randu Kinasih, 2016: 66 menunjukkan bahwa nilai kalor pembakaran dari biodiesel hasil transesterifikasi di bawah standar SNI.
Menurut Komariah, et al., 2013: 54 nilai kalor yang rendah dapat disebabkan oleh adanya air dalam bahan bakar cair, yang merupakan air eksternal dan
9350 9400
9450 9500
9550 9600
9650 9700
9750
20 40
60 80
100
K al
o r Pe
m b
akar an
kal g
Suhu °C
8:1 6:1
51
berperan sebagai pengganggu. Dalam penelitian ini tidak dilakukan analisa kadar air dalam biodiesel. Kalor pembakaran yang paling mendekati standar kalor
pembakaran untuk bahan bakar minyak adalah biodiesel B
2
dengan rasio metanol: minyak adalah 8: 1 dan suhu proses transesterifikasi 65
o
C yaitu mencapai 9724,1315 kalg. Hal ini dapat diatasi dengan mencampur biodiesel dari minyak
biji karet tersebut dengan solar agar diperoleh nilai kalor pembakaran yang sesuai dengan standar bahan bakar minyak.
Biodiesel hasil proses transesterifikasi menggunakan katalis KOH sebanyak 1 dari berat minyak, selama 60 menit, dengan variasi rasio mol
metanol: minyak 8: 1 dan 6: 1, secara berturut-turut dilakukan pada suhu 45, 65, dan 85
o
C menghasilkan enam biodiesel yang mempunyai karakter berbeda. Biodiesel B
3
dan B
6
yang mempunyai karakter mendekati standar
SNI 7182: 2012. Apabila keenam biodiesel tersebut akan digunakan sebagai bahan bakar
, perlu dilakukan pencampuran biodiesel dengan solar untuk memperoleh kualitas yang
sesuai dengan SNI 7182: 2012. Campuran biodiesel dengan solar dilakukan pada tingkat konsentrasi tertentu BXX, seperti 10 biodiesel dicampur dengan 90
solar yang disebut dengan nama B10 Hambali, et al., 2007: 9.
52
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN