Hubungan Merokok dengan Karsinoma Nasofaring

(1)

HUBUNGAN MEROKOK

DENGAN KARSINOMA NASOFARING

T E S I S

Diajukan untuk melengkapi tugas dan memenuhi salah satu syarat

untuk mencapai spesialis dalam bidang Ilmu Kesehatan Telinga Hidung

Tenggorok dan Bedah Kepala Leher

Oleh :

IBRAHIM IRSAN NASUTION

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

PROGRAM PENDIDIKAN DOKTER SPESIALIS BIDANG STUDI

ILMU KESEHATAN TELINGA HIDUNG TENGGOROK

DAN BEDAH KEPALA LEHER

MEDAN

2007


(2)

HALAMAN PENGESAHAN

Medan, Desember 2007

Tesis dengan judul

HUBUNGAN MEROKOK

DENGAN KARSINOMA NASOFARING

Diketahui oleh:

Ketua Departemen Ketua Program Studi

Prof.dr.Abdul Rachman S, SpTHT-KL(K) Prof.dr. Askaroellah Aboet, SpTHT-KL(K)

Telah disetujui dan diterima baik oleh Pembimbing:

Ketua

Prof.dr.Ramsi Lutan, SpTHT-KL(K)

Anggota


(3)

KATA PENGANTAR

Bismillahirrahmanirrahim.

Syukur alhamdulillah penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang maha pengasih lagi maha penyayang atas segala rakhmat dan karuniaNya sehingga tesis ini dapat diselesaikan. Tesis ini merupakan salah satu syarat dalam menyelesaikan pendidikan untuk memperoleh Spesialis dalam bidang Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok dan Bedah Kepala Leher di Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara Medan. Saya menyadari, penulisan tesis ini masih jauh dari sempurna, baik isi maupun bahasanya. Walaupun demikian, mudah-mudahan tulisan ini dapat menambah perbendaharaan penelitian tentang Hubungan Merokok dengan Karsinoma Nasofaring (KNF).

Dengan telah selesainya tulisan ini, pada kesempatan ini dengan tulus hati saya mengucapkan terima kasih yang tak terhingga dan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada yang terhormat :

Prof. dr. Ramsi Lutan, SpTHT-KL (K) atas kesediaannya sebagai ketua pembimbing penelitian ini, begitu juga kepada dr. Hafni, SpTHT-KL (K), Dr. dr. Delfitri Munir, SpTHT-KL (K) selaku anggota pembimbing dan dr. Arlinda Sari Wahyuni, Mkes sebagai konsultan statistik. Ditengah kesibukan beliau, dengan penuh perhatian dan kesabaran, telah banyak memberi bantuan, bimbingan, saran dan pengarahan yang sangat bermanfaat kepada saya dalam menyelesaikan tulisan ini.

Dengan telah berakhirnya masa pendidikan saya, pada kesempatan yang berbahagia ini saya menyampaikan penghargaan dan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada :

Yang terhormat Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara Prof. dr. Gontar Alamsyah Siregar, SpPD (KGEH) dan mantan Dekan Fakultas Kedokteran USU


(4)

Prof. dr. Bahri Djohan SpJP (K) atas kesempatan yang diberikan kepada saya untuk mengikuti program pendidikan dokter spesialis (PPDS) I di Fakultas Kedokteran USU.

Yang terhormat Direktur RSUP H.Adam Malik Medan, drg. Arman Daulay, Direktur RSUD dr. Pirngadi Medan, dr. Syahrial Annas, Direktur RS Tembakau Deli Medan, dr. Tuti R. Ketaren dan Direktur RSUD Lubuk Pakam yang telah memberikan kesempatan pada saya untuk menjalani masa pendidikan di Rumah Sakit yang beliau pimpin.

Yang terhormat Ketua Departemen Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok dan Bedah Kepala Leher Fakultas Kedokteran USU Prof. dr. Abdul Rachman Saragih, SpTHT-KL (K) dan Ketua Program Studi Ilmu Kesehatan THT-KL FK-USU, Prof. dr. Askaroellah Aboet, SpTHT-KL (K) yang telah memberikan izin, kesempatan dan ilmu kepada saya dalam mengikuti pendidikan spesialisasi sampai selesai.

Yang terhormat supervisor di jajaran Departemen THT-KL Fakultas Kedokteran USU / RSUP H.Adam Malik Medan, dr. Asroel Aboet, SpTHT–KL, dr. Yuritna Haryono, SpTHT–KL (K), dr. T. Sofia Hanum, SpTHT–KL (K), dr. Muzakkir Zamzam, SpTHT–KL (K), dr. Mangain Hasibuan, SpTHT–KL, dr. Linda I. Adenin, SpTHT–KL (K), dr. Rizalina A. Asnir, SpTHT–KL, dr. Ainul Mardhiah, SpTHT–KL, dr. Adlin Adnan, SpTHT–KL, dr. Siti Nursiah, SpTHT–KL, dr. Andrina Y.M. Rambe, SpTHT–KL, dr. Ida Sjailandrawaty, SpTHT–KL, dr. Harry Agustaf Asroel, SpTHT–KL, dr. Farhat, SpTHT–KL, dan dr. T. Siti Hajar H, SpTHT–KL. Terima kasih atas segala ilmu, keterampilan dan bimbingannya selama ini.

Yang tercinta teman-teman sejawat PPDS Ilmu Kesehatan THT-KL Fakultas Kedokteran USU, atas bantuan, nasehat, saran maupun kerjasamanya selama masa pendidikan.

Yang terhormat perawat/paramedis dan seluruh karyawan/karyawati RSUP H.Adam Malik Medan, khususnya Departemen/SMF THT-KL yang selalu membantu dan


(5)

bekerja sama dengan baik dalam menjalani tugas pendidikan dan pelayanan kesehatan selama ini.

Yang saya hormati, seluruh pasien-pasien yang telah secara ikhlas telah banyak memberikan banyak hal tentang penyakit yang dideritanya kepada saya. Terima kasih yang tak terhingga atas semua hal tersebut. Tanpa itu semua, mustahil saya mendapatkan ilmu dan keterampilan dalam menyelesaikan pendidikan ini.

Yang saya hormati, guru-guru saya, seluruh penulis buku-buku dan jurnal-jurnal yang pernah saya baca selama masa pendidikan, sejak pendidikan dasar hingga pencapaian pendidikan saya sekarang ini. Terima kasih yang sebanyak-banyaknya atas segala didikan, ilmu dan informasi yang telah diberikan kepada saya.

Yang mulia dan tercinta Ayahanda Sulaiman Nasution SmHk (Alm) dan Ibunda Purnama Rangkuti, ananda sampaikan rasa hormat dan terima kasih serta penghargaan yang setinggi-tingginya atas kasih sayang yang telah dilimpahkan kepada ananda sejak dalam kandungan, dilahirkan, dibesarkan dan diberi pendidikan yang terbaik serta diberi contoh suri tauladan sampai sekarang ini. Ya Allah ampunilah dosa kami dan dosa kedua orangtua kami, serta kasihanilah mereka sebagaimana mereka mengasihi kami sejak kecil.

Yang tercinta almarhum Bapak mertua Ir. Abdullah dan almarhumah Ibu mertua Ance Sarianah, yang semasa hidupnya selalu memberikan dorongan dan restu untuk selalu menuntut ilmu setinggi-tingginya.

Terima kasih tiada terhingga pada istriku tercinta Dien Mediena Ssos, dan buah hati kami tersayang Fikri Roja Nasution dan Fahri Zuhdi Nasution yang dengan penuh kesabaran dan ketabahan telah memberikan dorongan, semangat dan inspirasi yang tiada henti pada ayahanda dalam menyelesaikan pendidikan ini.

Kepada saudara-saudaraku tersayang kakanda Dra. Enny Sulprimawati Nasution, Latifah Khairani Nasution, adinda dr. Akhmad Rusdy Nasution dan Yunita Nasution SH, terima kasih yang sebesar-besarnya atas bantuannya selama ini.


(6)

Akhirnya saya haturkan permohonan maaf yang setulus-tulusnya atas segala kesalahan dan terima kasih saya sampaikan kepada handai taulan, keluarga dan semua pihak yang telah membantu saya dengan ikhlas dalam menyelesaikan pendidikan ini. Semoga Allah SWT membalas budi baik yang diberikan dengan berlimpah.

Amin, amin ya Rabbal alamin.

Medan, Desember 2007

Penulis


(7)

ABSTRAK

Etiologi KNF adalah multifaktor, dan banyak dari faktor-faktor tersebut saling tumpang tindih dimana salah satu faktor mungkin terjadi bersamaan dengan faktor lain sebagai penyebab.

Merokok diduga berperan dalam timbulnya karsinoma nasofaring (KNF). Untuk mengetahui hubungan merokok dengan KNF, dilakukan penelitian kasus kontrol, dengan sampel kasus sebanyak 96 orang dan kontrol 96 orang. Sampel kelompok kasus dan kontrol diambil dari RSUP H.Adam Malik Medan dan RSU dr. Pirngadi Medan. Mayoritas penderita KNF adalah; laki-laki (perbandingannya dengan perempuan 2,84:1), 50-59 tahun (29,2%), dan bertani (32,3%). Suku batak merupakan kelompok suku terbanyak yang menderita KNF 54 orang (56,3%) dan diikuti ditempat kedua terbanyak adalah suku Jawa (29,2%). Jenis histopatologi terbanyak adalah WHO tipe 3 (38,6%). Stadium terbanyak adalah III (58,4%), diikuti stadium IV (40,6%), stadium II (1%), dan tidak terdapat penderita dengan stadium I.

Hasil analisis regresi logistik univariat, memperlihatkan hubungan yang bermakna antara perokok dengan konsumsi rokok 11-20 batang perhari dengan nilai OR=2,530 (p=0,021) dengan terjadinya KNF. Namun dalam analisis regresi logistik multivariat, jumlah batang rokok perhari tidak memperlihatkan hubungan yang bermakna (p=0,587).

Hasil analisis regresi logistik multivariat, karsinoma nasofaring berhubungan secara bermakna dengan orang yang sudah mulai merokok sebelum usia 20 tahun (p=0,000; OR 5,35 dan CI 95% 2,290 - 12,499), kebiasaan makan ikan asin sebelum berusia 10 tahun dengan frekuensi konsumsi ikan asin kadang-kadang p=0,000; OR 7,766 (CI 95% 2,937 - 20,538), sering p=0,000; OR 16,515 (CI 95% 5,300 - 51,463), dan kebiasaan memakai kayu bakar p=0,014; OR 3,147 (CI 95% 1,260 - 7,860). Tidak terdapat hubungan bermakna antara lama merokok (p=0,293), jumlah batang rokok (p=0,021) dan jenis rokok yang dihisap (p=0,081) dengan kejadian KNF.


(8)

Merokok sebagai faktor risiko terjadinya KNF tidak dapat berperan sebagai faktor risiko yang berdiri sendiri, namun ada peran faktor lain yang juga mempengaruhi sebagai faktor risiko.


(9)

DAFTAR ISI

Halaman

Halaman Judul ... i

Halaman Pengesahan ... ii

Kata Pengantar ... iii

Abstrak ... vii

Daftar isi ... ix

Daftar tabel ... xii

BAB 1. Pendahuluan ... 1

1.1. Latar Belakang ... 1

1.2. Perumusan Masalah ... 3

1.3. Hipotesis ... 4

1.4. Tujuan Penelitian ... 4

1.5. Manfaat Penelitan ... 4

1.6. Kontribusi Penelitian ... 4

BAB 2. Tinjauan Pustaka ... 5

2.1. Anatomi ... 5

2.1.1. Nasofaring ... 5

2.1.2. Batas-batas nasofaring ... 5

2.1.3. Jaringan lunak pembentuk nasofaring ... 6

2.1.4. Pendarahan dan persarafan ... 7

2.1.5. Sistem limfatik nasofaring ... 7

2.2. Karsinoma Nasofaring ... 8

2.2.1. Karsinoma nasofaring (KNF) ... 8

2.2.2. Patologi karsinoma nasofaring ... 8

2.2.3. Epidemiologi ... 11


(10)

2.2.5. Karsinogenesis secara umum ... 18

2.2.6. Zat-zat karsinogen berdasarkan struktur dan kerjanya.. 20

2.2.7. Mekanisme karsinogenesis ... 22

2.2.8. Hubungan merokok dengan karsinoma nasofaring... 24

2.2.9. Gejala Klinis ... 32

2.2.10. Diagnosis ... 34

2.2.11. Stadium ... 39

2.2.12. Diagnosis banding ... 40

2.2.13. Terapi ... 41

2.2.14. Prognosis ... 44

BAB 3. Metodologi Penelitian ... 46

3.1. Rancangan Penelitian ... 46

3.2. Lokasi dan Waktu Penelitian ... 46

3.3. Sampel ... 46

3.4. Kriteria Karsinoma Nasofaring ... 46

3.5. Penentuan Besar Sampel ... 46

3.6. Teknik Pengambilan Sampel ... 47

3.7. Variabel Penelitian ... 48

3.8. Kerangka Teori ... 48

3.9. Kerangka Konsep Penelitian ... 48

3.10. Kerangkan Kerja ... 49

3.11. Pengolahan Data ... 49

3.12. Analisa Data ... 50

3.13. Faktor Perancu (Confounding) ... 51

3.14. Batasan Operasional ... 51


(11)

BAB 4. Hasil Penelitian ... 54

4.1. Hasil Analisis Regresi Logistik Univariat ... 54

4.2. Hasil Analisis Regresi Logistik Multivariat ... 59

BAB 5. Pembahasan ... 61

BAB 6. Kesimpulan dan Saran ... 72

6.1. Kesimpulan ... 72

6.2. Saran ... 72

Daftar Pustaka ... 74

Lampiran 1. Kuisioner ... 82

Lampiran 2. Tabulasi Data Kuisioner Kelompok Kasus ... 84

Lampiran 3. Tabulasi Data Kuisioner Kelompok Kontrol ... 86

Lampiran 4. Persetujuan Penelitian oleh Komite Etik ... 88


(12)

DAFTAR TABEL

Tabel 4.1.1. Distribusi karakteristik subjek penelitian ... 54

Tabel 4.1.2. Distribusi penderita KNF berdasarkan jenis histopatologi dan

stadium tumor ... 55

Tabel 4.1.3. Hubungan merokok dengan KNF berdasarkan status merokok, usia mulai merokok, lama merokok, konsumsi rokok perhari dan jenis rokok ... 56

Tabel 4.1.4. Hubungan antara konsumsi ikan asin dengan KNF ... 58

Tabel 4.1.5. Hubungan antara adanya keluarga yang menderita kanker, pemakaian lampu minyak, kayu bakar dan obat anti nyamuk bakar dengan KNF ... 59

Tabel 4.2.1. Hasil analisis logistik multivariat hubungan antara usia mulai merokok, pemakaian kayu bakar dan konsumsi ikan asin saat


(13)

BAB 1 PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Karsinoma Nasofaring (KNF) adalah penyakit yang penyebabnya multifaktor. Insiden dan distribusi geografiknya tergantung pada beberapa faktor, seperti kerentanan genetik, faktor lingkungan, diet dan kebiasaan personal (Dhingra, 2004). Banyak teori faktor-faktor etiologi telah dikemukakan, tapi penyebab pasti masih belum ditemukan (Holt dan Shockley, 1993). Sejumlah penelitian menunjukkan bahwa etiologi KNF adalah multifaktor, termasuk genetik, lingkungan dan virus (Yang et al, 2005). Faktor-faktor etiologi ini akan sangat bergantung kepada individu. Faktor-faktor tersebut saling tumpang tindih dan salah satu faktor mungkin terjadi bersamaan dengan faktor lain sebagai penyebab terjadinya KNF (McDermott, et al, 2001).

Hipotesis tentang etiologi KNF dimulai pada awal abad 20, pertama kali dikemukakan oleh Jackson tahun 1901, yang mengajukan hipotesis bahwa iritasi debu pada pekerja gabus akan merusak epitel saluran nafas. Sejak itu patogenesis KNF secara intensif diteliti, khususnya ditujukan pada gambaran geografi dan variasi rasial. Tahun-tahun belakangan ini banyak faktor lingkungan dan biologi telah menunjukkan hubungan risikio terjadinya KNF dan hasil penelitian termutakhir menunjukkan adanya peran faktor genetik dan virus dalam perkembangan penyakit ini (McDermott et al, 2001).

Udara yang kita hirup merupakan campuran dari berbagai komponen, yaitu oksigen, nitrogen dan uap air. Udara juga mengandung bahan lain berupa gas dan partikel yang berbahaya. Salah satu masalah kesehatan masyarakat yang terjadi akibat kontaminasi udara adalah pengaruh asap rokok (Drastyawan et al, 2001).

Selama tahun 1950, mulai terbukti dengan cukup jelas bahwa asap rokok tembakau sebagai zat karsinogen. Karsinogen telah teridentifikasi dalam asap rokok tembakau, dan kondensasi asap rokok dapat menyebabkan terjadinya tumor ketika dioleskan pada kulit tikus percobaan. Pada akhir tahun 1950 tersebut, bukti yang meyakinkan tentang hubungan


(14)

merokok dengan kanker paru dan kanker-kanker lainnya telah diperoleh dari penelitian-penelitian kasus kontrol dan kohort (Vinies et al, 2004).

Pada dekade sebelumnya, jumlah kematian akibat merokok meningkat tajam, dimana gambaran ini terjadi pada perokok-perokok berat. Pada tahun 1986, International Agency for Research on Cancer (IARC) Working Group menemukan cukup bukti bahwa merokok dapat menyebabkan kanker pada manusia, dan disimpulkan bahwa merokok dapat menyebabkan tidak hanya kanker paru, tapi juga dapat terjadi pada saluran kemih, termasuk ginjal dan kandung kemih, saluran nafas bagian atas termasuk rongga mulut, faring, laring, esofagus, dan pankreas. Vineis et al (2004) menemukan terjadinya peningkatan risiko kanker sinonasal dan kanker nasofaring diantara para perokok, yang secara konsisten dilaporkan dalam beberapa penelitian kasus-kontrol, dengan tren positive dose-response berhubungan dengan banyaknya dan lamanya merokok.

Asap rokok mengandung lebih dari 4000 bahan campuran dan dalam analisis kimia diketahui telah teridentifikasi sedikitnya 50 jenis karsinogen. Dari penelitian yang ada, karsinogen yang telah teridentifikasi diantaranya adalah polycyclic aromatic hydrocarbons (PAHs), nitrosamines, aromatic amines, aza-arenes, aldehydes, various organic compounds, inorganic compounds; seperti hydrazine dan beberapa logam, dan beberapa radikal bebas (Armstrong et al, 2000; Drastyawan et al, 2001).

Selain komponen gas, pada asap rokok terdapat komponen padat atau partikel yang terdiri dari nikotin dan tar. Tar mengandung bahan karsinogen, sedangkan nikotin merupakan bahan adiktif yang menimbulkan ketergantungan atau kecanduan (Aditama, 2001).

Letak nasofaring pada saluran napas bagian atas dimana merupakan tempat aliran polusi udara dan asap rokok, serta merupakan lokasi yang dapat berpengaruh buruk terhadap mukosa dilokasi tersebut. Karsinogen yang dibawa oleh udara dapat menginduksi kanker

(Zhuolin et al, 2005). Mukosa nasofaring dapat langsung terpapar oleh asap rokok yang

dihisap, dan kanker dapat diinduksi pada daerah kontak dengan karsinogen (Mabuchi et al, 1985).

Merokok sebagai faktor risiko, cukup berarti menyebabkan terjadinya kanker pada


(15)

mempunyai potensi karsinogenik. Menghisap rokok akan memberi pajanan bahan karsinogenik yang ada di dalam rokok secara langsung terhadap nasofaring, dengan demikian hubungan antara merokok dan KNF secara biologi cukup dapat diterima. Beberapa hasil penelitian yang meneliti hubungan antara merokok dan KNF menunjukkan hasil yang tidak sama. Namun, Lin et al pada tahun 1971, pada penelitian di Taiwan, melaporkan adanya peningkatan risiko yang signifikan terjadinya KNF dengan peningkatan lamanya merokok. Hasil penelitian ini didukung oleh beberapa penelitian selanjutnya, akan tetapi beberapa penelitian yang lain menunjukkan hasil yang berlawanan tentang hubungan antara merokok dan KNF (Cheng et al, 1999).

Enzyme Cytochrome P450 2EI (CYP2EI) yang diketahui merupakan enzim aktivasi

pada nitrosamine dan karsinogen lainnya, mungkin terlibat dalam perkembangan terjadinya

KNF. Hildesheim et al (1997) dalam penelitian secara case control mengemukakan bahwa asap rokok adalah sumber paparan nitrosamine, sehingga dapat mengaktivasi CYP2EI, dan dia melihat efeknya sebagai faktor risiko pada KNF, dimana merokok mempunyai hubungan dengan risiko terjadinya KNF.

Hubungan antara merokok dan KNF telah banyak diteliti di daerah geografik dengan insiden tinggi dan sedang, seperti di China Selatan dan sebagian daerah di Asia Tenggara. Hasil dari penelitian-penelitian tersebut bervariasi, ada yang mempunyai hubungan sampai tidak jumpai adanya hubungan (Zhu et al, 1995). Di Indonesia, khususnya di Medan Sumatera Utara dengan insiden KNF relatif sedang, belum ada penelitan tentang hubungan merokok dengan KNF. Atas dasar inilah peneliti tertarik meneliti hubungan antara merokok dengan KNF di Medan Sumatera Utara.

1.2 Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan di atas, dapat dirumuskan masalah sebagai berikut :

Apakah merokok merupakan faktor risiko terjadinya karsinoma nasofaring.


(16)

1.3. Hipotesis

Ada hubungan antara merokok dengan karsinoma nasofaring.

1.4 Tujuan Penelitian

3.4.1 Tujuan Umum

Untuk mengetahui apakah ada hubungan merokok dengan karsinoma nasofaring.

3.4.2 Tujuan Khusus

1. Mengetahui risiko perokok dapat menderita karsinoma nasofaring.

2. Melihat karakteristik demografi penderita karsinoma nasofaring berdasarkan suku bangsa, pekerjaan, umur, dan jenis kelamin.

3. Melihat hubungan usia mulai merokok, jumlah batang rokok yang dihisap perhari, lama merokok, dan jenis rokok yang dihisap dengan risiko terjadinya karsinoma nasofaring.

4. Melihat hubungan faktor-faktor lain selain rokok dengan terjadinya karsinoma nasofaring.

1.5 Manfaat Penelitian

Sebagai bahan pertimbangan dalam usaha pencegahan risiko terjadinya karsinoma nasofaring.

1.6 Kontribusi Penelitian

Sebagai pengembangan keilmuan dibidang Ilmu Kesehatan Telinga, Hidung, Tenggorok dan Bedah Kepala Leher.


(17)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anatomi 2.1.1 Nasofaring

Nasofaring merupakan suatu ruangan yang terletak di belakang rongga hidung di atas tepi bebas palatum mole yang secara anatomis termasuk bagian faring (Chew, 1997). Nasofaring merupakan rongga dengan dinding kaku di atas, belakang dan lateral (Ballenger, 1994). Disamping dilapisi jaringan limfoepitelium, di dinding nasofaring juga terdapat kelenjar dan jaringan ikat yang dibentuk oleh tulang dan kartilago dari dasar tengkorak. Ukuran rata-rata dimensi nasofaring pada orang dewasa adalah dengan tinggi 4 cm, lebar 4 cm dan jarak anteroposteriornya 3 cm (Chew, 1997).

2.1.2 Batas-batas nasofaring

• Dinding anterior dibentuk oleh koana dan batas posterior dari septum nasi.

• Dinding bawahnya dibentuk oleh permukaan atas dari palatum mole yang membentuk

duapertiga depan nasofaring dan oleh itsmus nasofaringeal.

• Atap dan dinding posterior membentuk permukaan yang miring dibentuk oleh tulang

sfenoid, basioksiput dan dua tulang servikal yang paling atas sampai pada level palatum mole. Bagian paling atas dari dinding posterior, tepat di depan dari tulang atlas terdapat jaringan limfoid yang melekat pada mukosa (tonsil faringeal atau adenoid) (Chew, 1997).

• Tiap dinding lateral nasofaring terdapat muara dari tuba faringotimpanik (tuba

eustakhius). Muara tuba ini terletak sekitar 1 cm dibelakang ujung posterior dari konka inferior, sedikit di level bawah dari palatum durum. Ujung medial dari kartilago tuba membuka, terbentuk seperti koma. Di belakang dan atas dari kartilago tuba terdapat faringeal reses atau fossa Rosenmuller (Beasley, 1997).


(18)

2.1.3 Jaringan lunak pembentuk rongga nasofaring a. Selaput lendir (mukosa) nasofaring

Mukosa nasofaring permukaannya tidak rata dan mempunyai tonjolan dan lekukan. Pada orang dewasa luasnya lebih kurang 50 cm persegi. Kira-kira 60% dari total permukaan epitel dilapisi oleh epitel skuamosa stratified. Disekitar koana dan atap nasofaring diliputi oleh epitel bersilia. Dinding lateral dan sebagian atap nasofaring terdiri dari kumpulan epitel skuamosa dan epitel bersilia, bercampur dengan kumpulan-kumpulan epitel kecil transisional. Dinding belakang sebagian besar terdiri dari epitel skuamosa (Chew, 1997).

Selaput lendir ini terdiri dari lapisan epitel, jaringan limfoid dan kelenjar saliva. Jaringan kelenjar limfoid terletak di dalam dan di bawah mukosa yang merupakan kumpulan sel limfoid tipe B dan sedikit tipe T yang membentuk folikel-folikel dan pusat germinal tanpa kapsul. Aliran limfe dari nasofaring bersifat bilateral dan langsung ke bagian lateral kelenjar limfe retrofaringeal dari Rouviere, kelenjar limfe jugulodigastrik, dan rantai kelenjar limfe spinalis. Jaringan epitel mukosa nasofaring bentuknya sangat bervariasi dan terdiri dari epitel skuamosa bertingkat, pseudoepitel bertingkat bersilia dan epitel tak beraturan. Selama masa kehidupan janin terdapat perubahan secara bertahap dari epitel saluran nafas bersilia sampai epitel skuamosa di bagian bawah dan belakang nasofaring (Chew, 1997; Witte dan Bryan, 1998).

b. Jaringan submukosa nasofaring

Dinding posterior dibentuk oleh 4 lapisan yaitu (1) mukosa faring, (2) aponeurosis faring, (3) otot konstriktor faringeus superior, (4) fasia bukofaringeal. Otot dinding nasofaring tidaklah lengkap, pada bagian atas dinding lateral hanya terdiri atas 2 lapisan yaitu, mukosa dan aponeurosis faring. Daerah dengan struktur otot 2 lapis ini disebut sinus morgagni.

Fasia faring dinding posterior dan lateral meekest at panda tuberculin faring yang merupakan tonjolan tulang dari basis oksiput dan berada tepat di depan foramen magnum. Ke arah lateral dari masing-masing sisi, fasia ini berada pada permukaan


(19)

bawah pyramid petrosus dan terdapat di depan kanalis karotikus dan anterior terdapat pada apeks dari pars petrosus os temporal dan merupakan batas posterior dari lamina pterigoid interna. Fasia ini melanjutkan diri sebagai jaringan fibrosa dan mengisi foramen laserum yang hanya dipisahkan dari fossa kranii media oleh jaringan fibrokartilago (Ackerman dan Del Regato, 1970; Cottrill dan Nutting, 2003).

2.1.4 Pendarahan dan persarafan

Pendarahan nasofaring berasal dari cabang-cabang arteri karotis eksterna, yaitu arteri faringeal ascenden, arteri palatina ascenden dan descenden, dan cabang faringeal arteri sfenopalatina. Pleksus vena terletak di bawah selaput lendir nasofaring dan berhubungan dengan pleksus pterigoid di atas dan vena jugularis interna di bawah.

Daerah nasofaring dipersarafi oleh pleksus faringeal di atas otot konstriktor faringeus media. Pleksus faringeus terdiri atas serabut sensoris saraf glossofaringeus (IX), serabut motoris saraf vagus (X) dan serabut saraf ganglion servikalis simpatikus. Sebagian besar saraf sensoris nasofaring berasal dari saraf glossofaringeus hanya daerah superior nasofaring dan anterior orifisium tuba yang mendapat persarafan sensoris dari cabang faringeal ganglion sfenopalatina yang berasal dari cabang maksila

saraf trigeminus (V1) (Ackerman dan Del Regato, 1970; Cottrill dan Nutting, 2003).

2.1.5 Sistem limfatik nasofaring

Nasofaring mempunyai anyaman limfatik submukosa yang banyak. Bagian aliran limfe yang pertama adalah pada kelenjar di retrofaringeal yang terdapat diantara dinding posterior nasofaring, fascia faringobasilar dan fascia prevertebra (Chew, 1997). Pada nasofaring terdapat banyak saluran limfe yang terutama mengalir ke lateral, bermuara di kelenjar retrofaring Krause (kelenjar Rouviere) (Ballenger, 1994). Kumpulan jaringan limfe, disebut tonsil faringeal, dijumpai pada membran mukosa yang melapisi basis sfenoid (Beasley, 1997).

Dibandingkan dengan mukosa saluran napas lainnya, mukosa nasofaring mengandung banyak sekali jaringan limfoid. Struktur limfoid ini banyak terdapat di


(20)

dinding lateral terutama disekitar muara tuba eustakius, dinding posterior dan bagian nasofaring di palatum mole. Struktur limfoid ini merupakan lengkung bagian atas dari cincin Waldeyer (Chew, 1997).

2.2 Karsinoma Nasofaring (KNF) 2.2.1 Karsinoma nasofaring

Karsinoma nasofaring (KNF) adalah karsinoma sel skuamosa yang terjadi pada lapisan epitel di nasofaring. Tumor ini menunjukkan derajat diferensiasi yang bervariasi dan sering tampak pada pharyngeal recess (fossa Rosenmuller’s) (Wei dan Sham, 2005). Karsinoma nasofaring termasuk karsinoma sel skuamosa kepala dan leher yang unik. Insiden terjadinya secara geografis menunjukkan gambaran yang bervariasi. Walaupun KNF jarang terjadi di seluruh dunia, tumor ini merupakan salah satu tumor ganas yang sering terjadi di negara-negara Asia Tenggara maupun di China, dimana insidennya dari 20 sampai 50 per 100.000 penduduk (Krishna et al, 2004).

2.2.2 Patologi Karsinoma Nasofaring a. Makroskopis

Secara makroskopis pertumbuhan karsinoma nasofaring dapat dibedakan menjadi 3 bentuk, yaitu ulseratif, nodular, dan berbentuk eksofitik. Dari 211 kasus KNF, Choa mendapatkan 59% (124) berbentuk ulseratif, 25% (55) nodular, dan 15% (32) eksofitik.

1. Bentuk ulseratif

Bentuk ini paling sering dijumpai pada dinding posterior atau di daerah fosa Rosenmuller. Kadang-kadang terdapat di dinding lateral di depan tuba eustakhius dan di atap nasofaring. Lesi ini biasanya kecil disertai jaringan nekrotik dan sangat mudah mengadakan infiltrasi ke jaringan sekitarnya. Tumor bentuk ini dapat berkembang dari dinding lateral atau atap nasofaring ke daerah petrosfenoid di basis kranii melalui saluran yang dibentuk oleh faring. Penjalaran ke intrakranial sangat mudah terjadi melalui daerah lemah foramen laserum dan ovale. Penjalaran secara petrosfenoid ini akan mengenai ganglion Gaseri dan sinus kavernosus beserta


(21)

saraf-saraf kranial di sekitarnya. Tumor cepat membesar, meluas dan merusak foramen-foramen di basis kranii dan masuk kedalam fosa kranii media.

2. Bentuk noduler/lobuler

Bentuk ini paling sering timbul di daerah tuba eustakhius, sehingga cepat menyebabkan sumbatan tuba. Tumor ini biasanya berbentuk seperti anggur atau polipoid tanpa ada ulserasi kecil bila dibandingkan dengan besarnya tumor yang terlihat. Tumor ini mula-mula mengadakan infiltrasi di sekitar tuba eustachius dan meluas masuk ke dalam ruang maksilofaring dan mengadakan kompresi cabang mandibular saraf trigeminus (V2), tumor dapat menjalar ke bawah mendesak palatum mole dan mudah menyebar ke daerah petrosfenoid di basis kranii. Walaupun saraf-saraf kranial berada di sekitar tumor dan pertumbuhan tumor sangat cepat, tetapi kompresi saraf-saraf kranial baru timbul setelah terjadi erosi basis kranii dan masuk ke dalam fosa serebri media. Pada stadium lanjut tumor dapat mengadakan invasi ke dalam rongga orbita melalui fisura orbita inferior dan melalui sinus etmoid masuk ke sinus maksila.

3. Bentuk eksofitik

Bentuk ini biasanya tumbuh pada satu sisi nasofaring, tidak terdapat ulserasi, kadang-kadang bertangkai dan permukaannya licin. Tumor ini tumbuh dari atap dapat mengisi seluruh rongga nasofaring. Tumor dapat mendorong palatum mole ke bawah dan tumbuh ke arah koana dan masuk ke kavum nasi. Tumor bentuk ini cepat mencapai sinus maksila dan rongga orbita sehingga menyebabkan eksoptalmus unilateral atau menonjol ke luar nares anterior. Pada daerah tuba eustakhius, tumor bentuk ini lebih cenderung tumbuh secara submukosa ke arah basis kranii. Kompresi saraf kranial terjadi bila besarnya tumor cukup besar (Ackerman dan Del Regato, 1970, Armiyanto, 1993).

b. Mikroskopis (histopatologi)

Klasifikasi histologi secara garis besar membagi jenis histologi KNF menjadi 2 kelompok yaitu: karsinoma sel skuamosa dengan beberapa tingkat diferensiasi dan


(22)

karsinoma tidak berdiferensiasi dengan beberapa variasi sel limfoepithelioma (Cottrill dan Nutting , 2003)

Tumor ganas nasofaring terdiri dari : 1. Karsinoma nasofaring (KNF)

a. WHO Tipe 1 : Karsinoma sel skuamosa keratinisasi b. WHO Tipe 2 : Karsinoma sel skuamosa tanpa keratinisasi c. WHO Tipe 3 : Karsinoma sel tidak berdiferensiasi

2. Limfoma non-Hodgkin’s (jarang terdapat limfoma Hodgkin’s) 3. Karsinoma adenoid kistik

4. Adenokarsinoma dan tumor-tumor kelenjar saliva minor 5. Placmacytoma

6. Melanoma

7. Sarkoma (terutama rabdomiosarkoma)

8. Chordoma (Cottrill & Nutting, 2003).

Klasifikasi menurut WHO sejak tahun 1978 ada tiga tipe histologik karsinoma nasofaring (Chew, 1997; Licitra et al 2003) :

1. Karsinoma sel skuamosa keratinisasi (keratinizing)

a. well differentiated

b. moderately differentiated

c. poorly differentiated

2. Karsinoma sel skuamosa tanpa keratinisasi (non-keratinizing) 3.

Karsinoma sel tidak berdiferensiasi (undifferentiated)

WHO tipe I. Karsinoma sel skuamosakeratinisasi (keratinizing)

Tampilannya mirip dengan karsinoma sel skuamosa pada traktus aerodigestif. Ditandai dengan adanya bentuk kromatin di dalam mutiara skuamosa atau sebagian sel mengalami keratinisasi (diskeratosis), adanya stratifikasi dari sel terutama pada sel yang terletak di permukaan atau suatu rongga kistik, dan adanya jembatan intersel (intercellular bridges). Jembatan intersel ini mungkin disebabkan karena sel


(23)

mengalami pengkerutan akibat dehidrasi pada waktu membuat sediaan. Dua puluh lima persen KNF merupakan karsinoma WHO tipe 1 di Amerika Serikat, namun hanya 1-2% di populasi endemik

WHO tipe 2. Karsinoma sel skuamosa tanpa keratinisasi (non-keratinizing)

Menunjukkan sekuensi maturasi yang karakteristik untuk epitel skuamosa, namun secara mikroskopis tidak terdapat pembentukan keratin. Ditandai dengan masing-masing sel tumor mempunyai batas yang jelas dan terlihat tersusun teratur/berjajar, dan sering terlihat bentuk pleksiform yang mungkin terlihat sebagai sel tumor yang jernih/terang yang disebabkan adanya glikogen dalam sitoplasma sel, serta tidak terdapat musin atau diferensiasi dari kelenjar.

WHO tipe 3. Karsinoma sel tidak berdiferensiasi (undifferentiated)

Sesuai pada reklasifikasi WHO (1991). Ditandai dengan susunan sel tumor yang berbentuk sinsitial, batas sel yang satu dan lainnya sulit dibedakan, sel tumor berbentuk spindel dan beberapa sel mempunyai nukleolus (inti) yang hiperkromatik dan sel ini sering bersifat dominan, sel tumor tidak memproduksi musin. KNF WHO tipe 3 ditemukan sebanyak 95% pada semua kasus di daerah endemik, namun di populasi risiko rendah seperti pada populasi kulit putih Amerika Utara hanya ditemukan sebanyak 60% (Armiyanto, 1993; Witte dan Neel, 1998; Lin et al, 2003; Zimmermann et al, 2006).

2.2.3 Epidemiologi

Karsinoma nasofaring mempunyai pola yang berbeda secara epidemiologi (Chew, 1997). Tumor ganas ini termasuk penyakit yang jarang terjadi disebagian besar bagian dunia, dimana insidennya secara umum rata-rata kurang dari 1 per 100.000 penduduk tiap tahunnya. Namun, penyakit ini merupakan salah satu tumor ganas yang sangat biasa terjadi pada penduduk di China Selatan dan Asia Tenggara, dengan insiden antara 20 sampai 50 per 100.000 penduduk tiap tahunnya (Wei dan Sham, 2005; Yang et al, 2005).


(24)

Insidennya diantara penduduk China dan Asia Tenggara 10 – 50 kali lebih tinggi dibanding dengan negara-negara lainnya. Tumor ini tidak secara kuat berhubungan dengan ras mongoloid secara serta merta, seperti yang ada di China bagian Utara, Korea, dan Jepang yang insidennya adalah rendah. Insiden paling tinggi, 30 – 50 per 100.000 penduduk laki-laki, terjadi di China bagian Selatan, di pusat Propinsi Guangdong dan di daerah otonomi Guangxi. Insiden tinggi, 15 – 30 per 100.000 penduduk laki-laki, terjadi di Hong Kong, ras china di Asia Tenggara dan emigran ras china ditempat lainnya. Insiden sedang, 5 – 15 per 100.000 penduduk laki-laki dijumpai diantara ras Asia Tenggara lainnya (orang Malaysia, Indonesia, Thailand, Vietnam dan Filipina), orang Eskimo (di Kanada, Alaska dan Greenland) dan beberapa orang Afrika Utara. Populasi di Malta, Tunisia, Algeria, Maroko dan Sudan mempunyai insiden paling rendah dibanding negara-negara Asia, tapi tetap lebih tinggi dibanding kejadian di Amerika dan Eropa (Chew, 1997).

Karsinoma nasofaring merupakan tumor ganas daerah kepala dan leher terbanyak ditemukan di Indonesia, menduduki urutan pertama dari seluruh keganasan pada pria dan urutan ke-4 dari seluruh keganasan pada wanita setelah tumor ganas mulut rahim, payudara, dan kulit, dapat terjadi pada semua golongan umur, insiden meningkat pada dekade II akhir dan mencapai puncaknya pada usia 40-50 tahun (Roezin, 1995; Susworo, 2004).

Hampir 60% tumor ganas kepala dan leher merupakan KNF, kemudian diikuti oleh tumor ganas hidung dan sinus paranasal (18%), laring (16%), dan tumor ganas rongga mulut, tonsil, hipofaring dalam persentase rendah (Roezin dan Syafril, 2001). Prevalensi KNF di Indonesia 3,9 per 100.000 penduduk pertahun (Fachiroh et al, 2004).

Di RSUP H.Adam Malik Medan selama Januari 1991 sampai April 1996 didapatkan 94 kasus KNF dari 160 kasus tumor ganas (Adnan,1996), sementara pada tahun 1998 – 2002 ditemukan 130 penderita KNF dari 1370 pasien baru onkologi kepala dan leher (Lutan, 2003). Dari data rekam medik jumlah pasien KNF yang datang berobat dari tahun 2002 - Agustus 2007 ditemukan 924 orang, laki-laki


(25)

berjumlah 630 orang dan perempuan 294 orang, dengan rentang usia 15-82 tahun (Devira, 2007).

Di Indonesia frekuensi penderita ini hampir merata di setiap daerah. Di RSUPN Dr.Cipto Mangunkusumo Jakarta saja ditemukan lebih dari 100 kasus setahun, RS Hasan Sadikin Bandung rata-rata 60 kasus, Ujung Pandang 25 kasus, Palembang 25 kasus, Denpasar 15 kasus, di Padang dan Bukit Tinggi 11 kasus. Demikian pula angka-angka yang didapatkan di Medan, Semarang, Surabaya dan daerah lain menunjukkan bahwa tumor ganas ini terdapat merata di Indonesia (Roezin dan Syafril, 2001).

Dalam banyak studi dilaporkan insiden kejadian KNF menurut jenis kelamin, penderita laki-laki selalu lebih banyak dibanding perempuan. Pada populasi dengan risiko tinggi, perbedaan ini sangat signifikan, seperti di Cina dan Singapura, rasio laki-laki dan perempuan adalah 2,3 : 1; dan di Hongkong rasionya 2,5 :1. Perbandingan di Indonesia adalah 2-3 : 1 (Susworo, 2004). Berdasarkan umur, dilaporkan penderita KNF termuda berumur 2 tahun dan paling tua 91 tahun (McDermott et al, 2001), sedangkan di Indonesia umur termuda 4 tahun dan tertua 84 tahun (Roezin,1995).

2.2.4 Etiologi dan faktor predisposisi

Etiologi KNF masih belum pasti (Chew, 1997) Sekarang ini, sejumlah penelitian menunjukkan bahwa etiologi KNF adalah multifaktor, termasuk genetik, lingkungan dan virus (Licitra et al, 2003; Yang et al, 2005).

Spekulasi dan hipotesis tentang etiologi dari KNF dimulai pada awal abad 20. Hipotesis tentang etiologi KNF pertama kali dikemukakan oleh Jackson tahun 1901, yang mengajukan hipotesis bahwa iritasi debu pada pekerja gabus, merusak epitel saluran nafas. Dia menyimpulkan iritasi tersebut tidak dapat menyebabkan KNF, seperti kejadian pada kanker laring yang lebih sering. Sejak itu patogenesis KNF secara intensif diteliti, khususnya perhatian ditujukan pada gambaran geografi dan variasi rasial. Tahun-tahun belakangan ini banyak faktor lingkungan dan biologik telah menunjukkan hubungan risikio terjadinya KNF, dan hasil riset termutakhir


(26)

menunjukkan adanya peran faktor genetik dan virus dalam perkembangan dari penyakit ini (McDermott et al, 2001).

a. Faktor genetik

Pada sel normal pertumbuhan (pembelahan/proliferasi) dan diferensiasi diatur oleh gen yang disebut proto-onkogen. Pembelahan pada sel normal terjadi bila ada rangsang pertumbuhan yang diterima oleh reseptor faktor pertumbuhan (growth factor receptor) yang terletak pada membran sel. Pesan tersebut kemudian diteruskan melalui membran sel ke dalam sitoplasma, yang seterusnya melalui penghantar isyarat di dalam sitoplasma akan disampaikan ke dalam inti. Rangsang pertumbuhan selanjutnya akan mengaktifkan faktor pengatur inti untuk memulai transkripsi DNA (Tjarta, 1998).

Onkogen terjadi melalui mutasi somatik proto-onkogen. Dalam keadaan normal ekspresi proto-onkogen diperlukan untuk pertumbuhan dan diferensiasi sel dan tidak mengakibatkan keganasan, karena aktivitasnya dikontrol secara ketat. Aktivasi proto-onkogen menjadi proto-onkogen dapat terjadi melalui perubahan struktural dalam gen, translokasi kromosom, amplifikasi gen atau mutasi dalam berbagai elemen yang dalam keadaan normal berfungsi untuk mengontrol ekspresi gen bersangkutan. Mutasi proto-onkogen relatif sering terjadi dalam sel yang berproliferasi aktif, namun perubahan ke arah ganas dapat dicegah dengan bantuan ekspresi berbagai gen supresor (tumor suppresor genes atau anti-onkogen) yang berperan menginduksi terhentinya siklus sel atau menginduksi proses apoptosis. Apabila fungsi gen-gen yang berperan dalam pengawasan ini terganggu akibat mutasi atau hilang (delesi), maka sel bersangkutan akan menjadi rentan terhadap transformasi ganas (Murphy dan Levine, 2001; Kresno, 2005).

Perubahan yang dialami proto-onkogen seluler pada aktivasi menjadi onkogen selalu menstimulasi suatu fungsi sel yang mengakibatkan pertumbuhan dan diferensiasi sel. Sejauh aktivasi ini terjadi karena mutasi, hal ini disebut mutasi


(27)

dominan. Mekanisme onkogen merangsang pertumbuhan pada sel neoplastik adalah sebagai berikut:

a. Mengkode pembuatan protein yang berfungsi sebagai faktor pertumbuhan (growth factor) yang berlebihan (overekspresi) dan merangsang diri sendiri (autokrin), misalnya c-sis (cellular-sis)

b. Memproduksi reseptor faktor pertumbuhan (growth factor receptor) yang tidak sempurna, yang memberi isyarat pertumbuhan terus menerus, meskipun tidak ada rangsang dari luar, misalnya c-erb B

c. Pada amplifikasi gen terbentuk reseptor faktor pertumbuhan yang berlebihan, sehingga sel tumor sangat peka terhadap faktor pertumbuhan dengan konsentrasi di bawah ambang rangsang normal, misalnya c-neu.

d. Memproduksi protein yang berfungsi sebagai penghantar isyarat di dalam sel yang tidak sempurna, yang terus menerus menghantarkan isyarat, meskipun tidak ada rangsang dari luar sel, misalnya c-K-ras

e. Memproduksi protein yang berkaitan langsung dengan inti yang merangsang pembelahan sel, misalnya c-myc

Tumor tidak hanya terbentuk karena aktivasi onkogen yang bekerja dominan, tetapi dapat terjadi akibat hilangnya atau tidak aktifnya gen yang bekerja menghambat pertumbuhan sel yang disebut anti-onkogen atau gen supresor tumor. Pada pertumbuhan dan diferensiasi sel normal, anti-onkogen bekerja menghambat pertumbuhan dan merangsang diferensiasi sel. Beberapa anti-onkogen ialah gen p53, Rb, APC, WT, DCC, NFI, NF-2 (Suryanto, 2006).

b. Faktor lingkungan

Sangkaan bahwa faktor genetik berperan jelas sebagai penyebab dan juga peran beberapa kofaktor lingkungan adalah sama pentingnya. Berbagai faktor lingkungan dan agent yang termasuk dalam etiologi karsinoma nasofaring adalah; Virus Epstein-Barr (peningkatan antibodi, viral genome di dalam sel tumor), bahan kimia (tembakau, obat-obatan, jamu-jamuan, produk tanaman, makanan atau diet


(28)

seperti ikan asin, nitrosamin, makanan fermentasi), kebiasaan memasak (asap bakaran dan uap), praktek keagamaan (dupa cina dan harum-haruman), terpapar lingkungan kerja (uap dan kimia industri, partikel logam, debu kayu, formaldehid), dan lain-lain (status ekonomi, penyakit-penyakit THT sebelumnya, defisiensi gizi, logam seperti arsenik, kromium, dan nikel) (Chew, 1997).

1. Infeksi Virus Epstein-Barr (VEB)

Virus ini pertama kali ditemukan oleh Epstein dan Barr pada tahun 1960 dalam biakan sel limfoblas dari pasien limfoma Burkitt. Virus ini merupakan virus DNA yang diklasifikasi sebagai anggota famili virus Herpes (Herpesviridae) yang saat ini telah diyakini sebagai agen penyebab beberapa penyakit yaitu, mononukleosis infeksiosa, penyakit Hodgkin, limfoma-Burkitt dan KNF. Genom DNA VEB mengandung 172 kbp dan memiliki kandungan guanin-plus-sitosin sebesar 59%. Melalui tempat replikasinya di orofaring, VEB dapat menginfeksi limfosit B yang immortal, sebagai virus laten pada sel ini, menetap pada pasien yang terinfeksi tanpa menyebabkan suatu penyakit yang berarti (McDermott et al, 2001).

Ada dua jenis infeksi VEB yang terjadi, yaitu infeksi litik, dimana DNA dan protein virus disintesis, disusul dengan perakitan partikel virus dan lisis sel. Jenis infeksi kedua adalah infeksi laten non litik, disini DNA virus dipertahankan di dalam sel terinfeksi sebagai episom. Infeksi laten inilah yang sering berlanjut menjadi keganasan. Berbagai antigen yang disandi oleh virus dapat diidentifikasi dalam nucleus, sitoplasma dan membrane sel terinfeksi. Antigen ini dapat menginduksi respon imun seperti EBNA (Epstein-barr nuclear antigen) yang diekspresikan pada infeksi litik dini tapi juga dapat diekspresikan pada infeksi laten. Protein lain adalah LMP (laten membrane protein) dan VCA (viral capsid antigen). Infeksi VEB mempunyai dampak yang jelas pada sel B. Percobaan invitro membuktikan bahwa virus ini merupakan aktivator proliferasi poliklonal sel B yang tidak tergantung pada sel T, dan mengakibatkan sel B yang terinfeksi menjadi immortal dan mengalami transformasi ganas. Walaupun dapat terjadi respon seluler atau respon humoral terhadap antigen yang disandi oleh virus DNA tersebut, ternyata hanya sel T spesifik


(29)

terhadap antigen tersebutlah yang dapat memperantarai penolakan terhadap tumor tersebut secara in vivo. Jadi untuk mengatasi infeksi VEB diperlukan respon imun seluler atau respon sel T. Pada keadaan defisiensi respon imun seluler, dapat mengakibatkan sel yang terinfeksi VEB secara laten mengalami transformasi ganas (McDermot et al, 2001).

2. Faktor makanan

Ho (1971) yang pertama kali menghubungkan ikan yang diasinkan yang merupakan makanan kegemaran penduduk Cina Selatan kemungkinan sebagai salah satu faktor etiologi terjadinya KNF. Teori ini didasarkan atas insiden KNF yang tinggi pada masyarakat nelayan tradisionil di Hongkong yang mengkonsumsi ikan yang diasinkan dalam jumlah yang besar dan kurang mengkonsumsi vitamin, sayur dan buah segar. Penelitian di Hongkong tahun 1986 menyebutkan bahwa dari 250 pasien KNF dibawah usia 35 tahun, sebagian besar ternyata mengkonsumsi ikan asin semenjak usia di bawah 10 tahun.Kebiasaan makan ikan yang diasinkan ini juga terdapat pada penduduk keturunan Cina yang beremigrasi ke Negara lain seperti Malaysia Timur (Kadazans) dan negara Asia Tenggara lainnya. Zat nitrosamin juga didapati pada makanan yang dikonsumsi masyarakat Tunisia, Cina Selatan, dan Greenland dimana angka kejadian KNF cukup tinggi (Ahmad, 2002).

Ikan asin ala orang Kanton dimakan dalam bentuk digoreng atau berupa sup kepala ikan asin yang merupakan makanan tradisional penduduk Cina Selatan. Makanan ini dibuat dari ikan laut yang isi perutnya dikeluarkan melalui mulut (tanpa disayat) kemudian direndam dalam air garam dalam tong yang terbuat dari kayu selama 1-5 hari, kemudian dikeringkan di bawah sinar matahari selama 7 hari. Selama pengeringan sering terdapat infestasi lalat yang menyebabkan pembusukan sebelum terjadi proses pengasinan. Konsumsi ikan asin secara banyak dimasa kecil mempunyai resiko tinggi untuk terjadinya KNF. Yu dkk mendapatkan kira-kira 50 % kasus KNF di kota Tianjin Cina selatan yang mempunyai insidens KNF yang rendah, mengkonsumsi ikan asin sejak usia muda (Yu et al, 1990; McDermott et al, 2001)


(30)

Beberapa penelitian juga mendapatkan bahwa makanan yang mengandung nitrosamin dan nitrit yang dikonsumsi semasa kecil mempunyai resiko untuk terjadinya KNF pada umur dewasa (Roezin, 1996).

3. Radang kronis

Dengan adanya peradangan menahun di nasofaring, maka mukosa nasofaring menjadi lebih rentan terhadap karsinogen penyebab KNF (Ahmad, 2002).

4. Sosial ekonomi, lingkungan dan kebiasaan hidup

Faktor lingkungan yang diduga berperan dalam terjadinya KNF adalah debu, asap rokok, uap zat kimia, asap kayu bakar, asap dupa (kemenyan), obat-obatan tradisional, tetapi hubungan yang jelas antara zat-zat tersebut dengan KNF belum dapat dijelaskan. Serbuk kayu pada industri mempunyai hubungan yang kuat dengan pasien KNF. Kebiasaan merokok dalam jangka waktu yang lama juga mempunyai resiko menderita KNF. Sedangkan peminum alkohol tidak dijumpai ada hubungan resiko terjadinya KNF. Yu dkk tahun 1990, melaporkan bahwa pada orang merokok lebih dari 30 batang mempunyai resiko 3 kali lebih besar daripada yang bukan perokok

(Yu et al, 1990). KNF juga berhubungan akibat sering kontak dengan bahan

karsinogen antara lain bezopyrenen, benzo anthrancene, gas kimia, asap industri, asap kayu dan beberapa ekstrak tumbuhan. Adanya peradangan menahun di nasofaring maka mukosa nasofaring menjadi lebih rentan terhadap karsinogen penyebab KNF (McDermott et al, 2001; Ahmad, 2002).

2.2.5 Karsinogenesis secara umum

Sel tumor ialah sel tubuh kita sendiri yang mengalami perubahan (transformasi) sehingga bentuk, sifat dan kinetikanya berubah, sehingga tumbuhnya menjadi autonom, liar tidak terkendali dan terlepas dari koordinasi pertumbuhan normal. Akibatnya timbul tumor yang terpisah dari jaringan tubuh normal (Sukardja, 2000).

Transformasi sel terjadi karena mutasi gen yang mengatur pertumbuhan dan diferensiasi sel, yaitu proto-onkogen dan atau supresor gen (anti onkogen). Spektrum


(31)

kerusakan itu sangat luas, dapat dari ringan dan terbatas sampai berat serta luas (Sukardja, 2000; Irish et al, 2003).

Pada manusia selama hidup diperkirakan rata-rata sel tubuh mengalami

sebanyak 1016 mitose, dengan masing-masing gen mempunyai kemungkinan 106

mengalami mutasi spontan dan menyalin (translate) 1010 mutasi. Jika tiap mutasi dapat

merubah sel normal menjadi kanker, maka kita tidak mungkin dapat berfungsi sebagai makhluk hidup. Penelitian epidemiologi menunjukkan kemungkinan perubahan menjadi kanker tidaklah konstan, tetapi bertambah dengan bertambahnya umur. Penelitian komparatif dari berbagai tumor menunjukkan bahwa aktivasi gen myc dapat merubah

sel itu menjadi immortal (tidak dapat mati), dan aktivasi gen ras atau famili ras dapat

menjadikan transformed sel. Pada manusia gen yang sering mengalami mutasi ialah

gen c-myc, K-ras, hst-1 dan neu (Sukardja, 2000).

Penemuan dan uraian tentang onkogen dan tumor suppressor genes meningkatkan pengetahuan kita tentang mekanisme genetik dan molekuler patogenesis kanker. Pemahaman tentang patogenesis kanker tersebut diperoleh dari berbagai percobaan binatang dan percobaan laboratorium yang mengungkapkan bahwa mutasi satu atau lebih gen akan menyebabkan penyimpangan dalam pertumbuhan sel yang berakibat transformasi sel kearah ganas. Sekalipun tampaknya sederhana, pada hakekatnya tumorigenesis pada manusia tetap merupakan satu proses kompleks yang

berlangsung melalui berbagi tahapan (multistep/multistage process). Bahwa kanker

terjadi melalui proses multistep dibuktikan dengan berbagi penelitian, diantaranya bukti tidak langsung yang diperoleh dari studi epidemiologi. Salah satu bukti epidemiologi adalah bahwa insiden kanker meningkat sesuai peningkatan usia. Bukti lain adalah bahwa diperlukan waktu yang cukup panjang antara paparan pertama terhadap bahan karsinogen (rokok, asbes) dengan timbulnya kanker, demikian pula peningkatan insiden kanker yang baru terjadi berpuluh tahun sesudah dijatuhkannya bom atom di Jepang. Bila ditinjau dari aspek genetik dan molekuler, sudah diterima secara luas bahwa perkembangan kanker disebabkan akumulasi kelainan atau mutasi beberapa gen (multiple genetic alterations) yang berinteraksi satu dengan lain untuk pada akhirnya


(32)

menghasilkan transformasi sel. Mutasi beberapa jenis gen tertentu yang diwariskan menyebabkan kecenderungan seseorang menderita kanker, jadi dalam hal ini faktor keturunan merupakan faktor yang penting, tetapi penyebab kelainan gen yang berakibat kanker sebagian besar berasal dari luar (eksogen). Di antara faktor eksogen adalah berbagai jenis virus khususnya virus onkogenik, misalnya virus hepatitis B, Epstein Barr, HTLV-1, berbagai bahan kimia dan radiasi khususnya radiasi pengion. Tetapi tidak semua mutagen berasal dari luar (eksogen). Akhir-akhir ini diketahui bahwa kerusakan DNA sebagi reaksi metabolik endogen yang menghasilkan reactive oxygen intermediates (ROI) dalam jumlah besar juga berpotensi menimbulkan keganasan (Kresno, 2004).

Mekanisme karsinogenesis baik biokimiawi maupun molekuler berbeda antara satu karsinogen dengan yang lain, bergantung pada struktur dan sumber karsinogen masing-masing, tetapi pada dasarnya sasaran karsinogen adalah menimbulkan lesi pada untaian DNA yang mengandung berbagai jenis gen. Dalam beberapa tahun terakhir telah terungkap bagaimana hubungan karsinogen dengan lesi DNA dan jenis mutasi gen yang ditimbulkannya, demikian pula peran gen DNA repair dan respons tubuh lainnya terhadap kerusakan DNA. Berbagai jenis onkogen dan gen supresor (tumor suppressor gene) yang berperan sebagai regulator siklus sel atau pertumbuhan dan diferensiasi sel pada umumnya merupakan sasaran lesi onkogenik (Kresno, 2004).

2.2.6 Zat-zat karsinogen berdasarkan struktur dan kerjanya

a. Karbohidrogen polisiklik

Dalam golongan ini termasuk bermacam-macam derivate batubara, seperti dimetilbenzantrasen, benzpiren dan metilkolantren. Zat-zat ini dapat menginduksi tumor pada jarak jauh baik atas dasar aplikasi maupun sesudah absorpsi. Tidak mustahil bahwa benzpiren merupakan faktor penting dalam terjadinya karsinoma bronkus pada perokok berat.


(33)

b. Amina aromatik

Dalam golongan ini termasuk naftilamina, benzidin, asetilaminofluoren dan

zat-zat warna azo. Naftilamin merupakan salah satu penyebab terpenting kanker kandung

kemih. Terutama pekerja yang berhubungan dengan produksi dan pemrosesan zat warna aniline, di antaranya di dalam industri tekstil, mendapat kontak dengan zat-zat ini. c. Nitrosamina dan nitrosamida

Meskipun ada dugaan bahwa zat-zat tersebut dapat memicu terjadinya tumor pada manusia belum dapat dibuktikan dengan meyakinkan. Zat-zat tersebut mempunyai arti penting untuk onkologi eksperimental. Zat tersebut merupakan karsinogen distal yang khas, yang seringkali menunjukkan spesifitas yang mencolok mengenai induksi

tumor-tumor dalam organ tertentu. Etylnitrosamina yang termasuk dalam golongan ini

pada tikus hamil dapat menembus plasenta yang mengakibatkan terjadinya tumor otak pada anak-anaknya.

d. Karsinogen pengalkil

Dalam golongan ini termasuk beberapa siklofosfamid. Karena bentuk kanker tertentu dapat disembuhkan dengan kemoterapi, harus diperhatikan sifat onkogen golongan obat ini. Kemoterapetika kebanyakan merupakan karsinogen proksimal. Malignitas kedua merupakan komplikasi yang telah dikenal dari kemoterapi (juga dari radioterapi).

e. Asbestos dan beberapa logam karsinogen

Terutama frekuensi yang meningkat dari mesotelioma dan juga karsinoma bronkus pada pekerja di dalam industri yang menggunakan asbes, juga di negeri kita, telah sangat menarik perhatian. Berilium, kadmiun, kobalt, nikel dan timah sebagai ion bersifat elektrofil, karena itu bahan mungkin dapat mengikatkan diri kepada molekul-molekul yang aktif biologik dan itu menimbulkan tranformasi sel.

f. Karsinogen alamiah

Berlawanan dengan karsinogen yang disebutkan di atas, karsinogen alamiah ini merupakan produk-produk metabolik sel terutama dari bermacam-macam jamur. Mereka terdapat begitu saja di dalam lingkungan alamiah. Paling dikenal dari mikotoksin


(34)

ini adalah aflatoksin suatu produk dari Aspergillus flavus. Data epidemiologik menunjukan kemungkinan bahwa toksin ini yang antara lain didapat dalam kacang-kacangan yang jamuran, mempunyai peran dalam terjadinya kanker hepar pada manusia (Bosman,1999).

2.2.7 Mekanisme karsinogenesis

Pada umumnya karsinogen kimia merupakan senyawa elektrofilik atau dapat dimetabolisme menjadi senyawa yang memiliki sifat tersebut. Senyawa elektrofilik ini dapat bereaksi dengan pusat nukleofilik (terutama atom N dan O, kadang-kadang S) pada makromolekul seperti DNA, RNA dan protein. Pengikatan secara kovalen dan perubahan pada molekul-molekul vital ini tidak dapat diperbaiki, menetap, dan mengakibatkan hilangnya sifat serta kontrol pertumbuhan sel yang normal (transformasi

ganas). Perubahan pada DNA diyakini berkaitan dengan mutasi, seperti mutasi titik

(substitusi pasangan basa) atau mutasi frame-shift, yang berakibat pengaktifan onkogen (misalnya ras proto-onkogen) dan inaktivasi gen supresor tumor. Karsinogen yang menyebabkan perubahan pada metri genetic disebut genotoksik. Asbes merupakan

karsinogen non-genotoksik, menyebabkan disjunction melalui pengikatan pada spindle

fibers pada saat mitosis dan menyebabkan anueploidi (Bosman, 1999; Asikin, 2001). Eksperimen Berendbulm pada tahun 1941 pada mencit yang dicat berulang kali selama beberapa waktu dengan benzo [a]piren (= B[a]P, suatu hidrokarbon aromatik) pada kulit yang telah dicukur, berakibat pertumbuhan tumor pada bagian kulit tersebut. Pengecatan dengan B[a]P hanya satu kali, dan dilanjutkan dengan pemberian minyak kroton beberapa kali, juga menyebabkan terjadinya tumor kulit. Perlakuan dengan minyak kroton saja ternyata tidak berpengaruh. Berenblum sampai pada kesimpulan yang diterima sampai kini bahwa karsinogenesis merupakan peristiwa yang berlangsung melalui beberapa tahapan (multistep), dari tahap inisiasi yang bersifat ireversibel dan memerlukan karsinogen, promosi yang reversible, dan selanjutnya progresi dan metastasis (Bosman, 1999; Asikin, 2001; Irish, 2003).


(35)

Tahapan proses karsinogenesis dapat dirinci sebagai berikut :

1. Tahap 1 (bila perlu) biotransformasi suatu zat pro-karsinogen menjadi senyawa

yang reaktif (elektrofilik) terhadap DNA.

2. Tahap 2 (inisasi) pengikatan kovalen kepada DNA.

3. Tahap 3 (inisiasi) stabilisasi mutasi pada DNA (aktivasi onkogen atau inaktivasi

supresor).

4. Tahap 4 (promosi) ekspresi mutasi, perubahan fungsi selular (ekspresi gen,

fungsi reseptor).

5. Tahap 5 (promosi) pertumbuhan neoplastik, terdeteksi secara klinik atau

patologi.

6. Tahap 6 (progresi) manifestasi pertumbuhan tumor secara kualitatif dan

kuantitatif.

7. Tahap 7 (metastasis) penyebaran sel yang mengalami transformasi ke bagian

lain tubuh, berkembang menjadi tumor sekunder.

Proses karsinogenesis pada manusia dapat berlangsung selama 15-30 tahun. Pada tahap inisiasi sel terpapar dengan dosis yang tepat dari suatu bahan karsinogen inkomplit, menyebabkan kerusakan permanen pada DNA, yang bila sel membelah diteruskan ke generasi berikutnya. Inisiasi diikuti dengan masa laten secara klinik. Senyawa kimia yang dapat memulai (inisiasi) proses transformasi sel normal menjadi

ganas berbagai hidrokarbon aromatic dan aflatoksin B1 disebut sebagai prokarsinogen.

Beberapa senyawa dapat meningkatkan keampuhan karsinogen dan disebut kokarsinogen, bekerja dengan mengubah ambilan atau metabolisme karsinogen oleh sel. Contohnya alkohol pada karsinoma sel skuamosa (SCC), pirogalol pada SCC akibat B[a]P, dan senyawa arsenit pada kanker akibat sinar ultraviolet (Asikin, 2001).

Faktor-faktor yang mempermudah karsinogenesis mempersingkat masa laten tumor dan disebut promoter. Struktur kimia promoter sangat bervariasi, seperti sakarin, fenobarbital, estrogen, prolaktin, dan ester forbol. Mekanisme promosi belum diketahui dengan jelas, berbagai promoter kelihatannya bekerja dengan merangsang proliferasi


(36)

sel. Ester forbol diketahui mengakibatkan single-strand break pada DNA, disamping berikatan dengan reseptor membran, suatu protein kinase C, yang merupakan perantara dalam kegiatan PDGF (platelet derived growth factor), mitogen yang disandi oleh proto-onkogen c-sis. Pengaktifan protein kinse tersebut mempengaruhi

metabolosme fosfat, meningkatkan ion Ca++ serta pH intraseluler, dan selanjutnya

memicu proliferasi sel (Asikin, 2001).

2.2.8 Hubungan merokok dengan karsinoma nasofaring a. Bahan karsinogen di dalam rokok

Udara yang kita hirup merupakan campuran dari berbagai komponen, yaitu oksigen, nitrogen dan uap air. Udara juga mengandung bahan lain berupa gas dan partikel yang berbahaya. Salah satu masalah kesehatan masyarakat yang terjadi akibat kontaminasi udara adalah pengaruh asap rokok (Drastyawan dkk, 2001). Merokok adalah suatu kebiasaan tanpa tujuan positif bagi kesehatan, pada hakekatnya merupakan suatu proses pembakaran massal tembakau yang menimbulkan polusi udara padat dan terkonsentrasi yang secara sadar langsung dihirup dan diserap oleh tubuh bersama udara pernapasan (Situmeang et al, 2002)

Dewasa ini 80% perokok tinggal di negara-negara berkembang, Di tahun 1997 ada 5,7 triliun rokok yang dikonsumsi di dunia. Lima besar konsumen rokok di dunia adalah China dengan 1,679 triliun batang setahunnya, Amerika Serikat 480 milyar batang, Jepang 316 milyar batang, Rusia 230 milyar batang dan Indonesia diurutan kelima yang mengkonsumsi 188 milyar batang rokok setahunnya (Aditama, 2004).

Penelitian yang dilakukan oleh Lembaga Menanggulangi Masalah Merokok (LM3) di 14 Propinsi di Indonesia mendapatkan 59,04% laki-laki perokok berumur 10 tahun ke atas, sedangkan pada perempuan hanya 4,83%. Sementara itu data Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) Departemen Kesehatan RI tahun 2001, menunjukkan secara keseluruhan (laki-laki dan perempuan) 31,5% penduduk Indonesia merokok (Aditama, 2004). Di Indonesia jenis rokok yang terbanyak dikonsumsi adalah


(37)

rokok kretek (81,34%) yaitu rokok yang berisi campuran tembakau dengan cengkeh (Caldwell, 2001).

Asap rokok mengandung lebih dari 4000 bahan campuran dan dalam analisis kimia diketahui telah teridentifikasi sedikitnya 50 jenis kasinogen. Dari penelitian yang ada, karsinogen yang telah teridentifikasi diantaranya adalah polycyclic aromatic hydrocarbons (PAHs), nitrosamines, aromatic amines, aza-arenes, aldehydes, various organic compounds, inorganic compounds; seperti hydrazine dan beberapa logam, dan beberapa radikal bebas (Haugen, 2000; Drastyawan et al, 2001; Port et al, 2004).

Selain komponen gas ada komponen padat atau partikel yang terdiri dari nikotin dan tar. Tar mengandung bahan karsinogen, sedangkan nikotin bukan karsinogen (Pfiefer et al,2002), tapi merupakan bahan adiktif yang menimbulkan ketergantungan atau kecanduan (Aditama, 2001).

Hubungan antara merokok dan KNF telah banyak diteliti di daerah geografik dengan insiden tinggi dan sedang, seperti di China Selatan dan sebagian daerah di Asia Tenggara. Hasil dari penelitian-penelitian tersebut bervariasi, ada yang mempunyai hubungan dan ada yang tidak mempunyai hubungan (Zhu et al, 1995).

Selama tahun 1950, mulai terbukti dengan cukup jelas bahwa merokok tembakau sebagai zat karsinogen. Di akhir tahun 1950 tersebut, bukti yang meyakinkan tentang hubungan merokok dengan kanker paru dan kanker-kanker lainnya telah diperoleh dari penelitian-penelitian kasus kontrol dan kohort, dan karsinogen telah teridentifikasi dalam asap rokok tembakau. Asap rokok dapat menyebabkan terjadinya tumor ketika tar asap rokok tersebut dioleskan pada kulit tikus percobaan. Pada dekade sebelumnya, jumlah kematian akibat merokok meningkat tajam, dimana gambaran ini terjadi pada perokok-perokok berat (Sasco et al, 2004; Vinies et al, 2004).

b. Merokok dan kanker.

Karsinogenesis adalah suatu studi tentang asal muasal kanker. Penelitian pada sistem biologi dapat dilakukan untuk menghasilkan suatu observasi yang dapat mengetahui tentang tahap-tahap yang terjadi pada perubahan dari sel normal menjadi


(38)

sel kanker. Dugaan hubungan antara penggunaan tembakau dan kanker telah dikemukakan oleh Hill (Marshal, 1993). Potensi bahan karsinogen di dalam asap rokok dan hubungannya dengan kanker dapat dievaluasi dengan cara yang bervariasi, akan tetapi sangatlah penting untuk mempertimbangkan komponen-komponen yang ada di dalam asap rokok tersebut dan kemampuannya untuk menginduksi tumor dalam percobaan pada hewan. (Pfiefer et al, 2002).

Bukti yang ada sekarang menunjukkan bahwa asap tembakau adalah campuran bahan karsinogen yang multipoten. Dengan kemajuan dalam biokimia dan biologi molekuler telah dilakukan riset-riset untuk mengukur bahan-bahan metabolit rokok dalam cairan dan organ tubuh yang berbeda, untuk mengukur karsinogen-protein dan karsinogen-DNA, dan untuk mengidentifikasi kerusakan genetik (mutasi atau penyimpangan kromosom) yang berhubungan dengan merokok (Venies et al, 2004).

Pada kanker paru, terdapat bukti yang mengindikasikan bahwa bahan

karsinogen polycyclic aromatic amines (PAHs) dan nitrosamines adalah bahan yang

sangat penting dalam menginduksi kanker paru. Bahan tersebut merupakan karsinogen yang kuat, dan jumlahnya relatif banyak di dalam tembakau. Selanjutnya, penelitian ini menunjukkan bahwa jaringan paru manusia dapat memetabolisme PAHs menjadi metabolit yang reaktif, dimana dapat berinteraksi dengan DNA, membentuk DNA yang mutagen. Terbentuknya DNA mutagen adalah suatu permulaan dalam proses karsinogenesis. Konsentrasi nitrosamines yang ditemukan didalam tembakau relatif tinggi, dan pada perokok berat mempunyai tingkat keterpaparan yang tinggi terhadap nitrosamines. Penamaan tobacco spesific N-nitrosamines (TSNA), secara prinsip 4(methylnitrosamino) -3-(3-Pyridyl)-1-butanone (NNK), adalah bahan karsinogen yang sangat kuat pada saluran napas yang teridentifikasi di dalam produk rokok (Haugen, 2000).

Pada asap rokok terdapat logam-logam yang relatif banyak. Sedikitnya 30 logam telah teridentifikasi. Kromium, kadmium dan nikel terdapat di dalam asap rokok. Yang pasti logam-logam tersebut diketahui sebagai bahan karsinogen. Bukti eksperimen mengindikasikan banyak bahan logam adalah efektif sebagai inisiator dalam proses


(39)

karsinogenesis, tapi dapat juga menjadi promotor yang potensial selama proses karsinogenesis (Haugen, 2000).

Ivy dari Universitas Illinois Amerika Serikat yang telah bertahun-tahun menyelidiki rokok, menemukan bahwa orang yang merokok sebungkus perhari selama 10 tahun, menghirup sekitar 7 liter tar dalam jangka waktu tersebut (Caldwell, 2001).

Selanjutnya pernyataan tersebut dikaji ulang oleh Graham dan Wynder. Mereka mengecat punggung tikus dengan tar tembakau. Eksperimen ini sebenarnya sudah pernah dilakukan oleh peneliti lain, tetapi tidak menghasilkan kesimpulan yang meyakinkan. Menurut kedua peneliti ini, penyebabnya adalah pada penelitian yang terdahulu tidak dikerjakan dalam waktu yang lama, sehingga sebelum hasilnya terlihat penelitian sudah dihentikan. Kali ini Graham dan Wynder akan menyempurnakan penelitian itu, dengan menggunakan larutan tar yang lebih pekat dan periode percobaan yang lebih panjang. Tar yang mereka gunakan diambil dari asap rokok yang dihasilkan oleh sebuah mesin yang mampu menghisap 60 batang rokok sekaligus. Tar yang sudah dikumpul dilarutkan oleh suatu pelarut, kemudian dioleskan pada punggung tikus yang telah dicukur terlebih dahulu, tiga kali dalam seminggu. Selama dua bulan pertama, secara bertahap mereka menaikkan kadar larutan tar sebesar tiga kali dari kadar sebelumnya. Pada pekan ke-42, seekor tikus memperlihatkan gejala awal penyakit kanker. Memasuki pekan ke-72, rata-rata setiap tikus telah terserang kanker (Caldwell, 2001).

Brennan et al (1991) dalam penelitiannya tentang hubungan antara merokok

dan mutasi gen p53 pada karsinoma sel skuamosa di kepala dan leher menyatakan bahwa dari sediaan tumor 129 penderita karsinoma sel skuamosa di kepala dan leher, didapati mutasi gen p53 yang mempunyai hubungan kuat dengan merokok.

Dalam analisis penelitian lainnya mendapatkan bahwa perokok merupakan major risk factor untuk terjadinya kanker di kepala dan leher. Penelitian ini menunjukkan hasil yang signifikan yang membandingkan perokok dengan bukan perokok, dimana kemungkinan perokok menderita kanker kepala dan leher sangat besar (Daly, 1993). Juga didapatkan hubungan antara lama merokok dan banyaknya rokok yang


(40)

dikonsumsi dengan tren positive dose-respons relationship (Uzcudun et al, 2002; Sasco et al, 2004; Pinar et al, 2007). Pada hasil penelitian lainnya didapatkan bahwa risiko terjadinya kanker pada faring lebih besar jika dihubungkan dengan lama merokok, dibandingkan hubungan risiko dengan banyaknya rokok yang dikonsumsi (Pelucchi et al, 2006).

Berikut ini ditampilkan skema tentang hubungan adiksi nikotin dan kanker paru yang berkaitan dengan bahan karsinogen di dalam asap rokok. Dimana skema yang hampir sama dapat dipertimbangkan untuk kanker-kanker lain yang mempunyai hubungan dengan rokok (Hecht, 2003).

Skema ini menggambarkan peran utama perubahan DNA dalam proses karsinogenesis. Dalam skema ini, nikotin menyebabkan sifat adiksi ingin terus merokok dan menyebabkan pajanan kronis terhadap bahan karsinogen. Karsinogen secara metabolik dapat diaktifkan untuk bereaksi dengan DNA, membentuk produk kovalen

gabungan yang disebut DNA yang berubah (DNA adducts). Bersaing dengan proses

metabolik ini, proses detoksifikasi produk karsinogen gagal untuk diekskresikan. Jika DNA yang berubah tersebut dapat diperbaiki (repair) oleh enzim perbaikan selular, DNA akan kembali kebentuk normalnya. Akan tetapi jika perubahan terus berlangsung selama replikasi DNA, kegagalan pengkodean DNA dapat terjadi, yang cenderung untuk menjadi mutasi permanen dalam urutan DNA. Sel-sel dengan DNA rusak atau


(41)

bermutasi dapat dilisiskan dengan proses apoptosis. Jika mutasi terjadi pada bagian utama dalam gen-gen yang krusial, seperti pada RAS atau MYC onkogen atau TP53

atau CDKN2A tumor supresor gen, hasilnya dapat terjadi kehilangan kontrol regulasi

pertumbuhan sel-sel normal dan terjadi pertumbuhan tumor. Nikotin dan karsinogen dapat juga berikatan secara langsung dengan reseptor beberapa sel, selanjutnya

mengaktifasi protein kinase B (AKT), protein kinase A (PKA) dan faktor-faktor lain. Hal

ini dapat menyebabkan terjadinya penurunan proses apoptosis, peningkatan angiogenesis dan peningkatan tranformasi sel. Bahan isi tembakau juga berisi promotor tumor dan kokarsinogen, yang dapat mengaktifkan protein kinase C (PKC), aktivator protein 1 (AP1) atau faktor lain, yang selanjutnya meningkatkan proses karsinogenesis (Hecht, 2003).

c. Merokok sebagai faktor risiko terjadinya karsinoma nasofaring

Pada tahun 1986, International Agency for Research on Cancer (IARC) Working Group menemukan cukup bukti bahwa merokok dapat menyebabkan kanker pada manusia, dan disimpulkan bahwa merokok dapat menyebabkan tidak hanya kanker paru, tapi juga dapat terjadi pada saluran kemih, termasuk ginjal dan kandung kemih, saluran nafas bagian atas termasuk rongga mulut, faring, laring, esofagus, dan pankreas. Pada tahun 2002, Vineis et al (2004) menemukan terjadinya peningkatan risiko kanker sinonasal dan kanker nasofaring diantara para perokok, yang secara konsisten dilaporkan dalam beberapa penelitian kasus-kontrol, dengan tren positive dose-response berhubungan dengan banyaknya dan lamanya merokok.

Merokok telah memberi gambaran sebagai faktor risiko yang cukup berarti untuk terjadinya kanker pada berbagai organ tubuh. Komponen isi rokok, termasuk nitrosamine dan formaldehide, juga menunjukkan rokok mempunyai potensi karsinogenik. Menghisap rokok akan memberi pajanan bahan karsinogenik yang ada di dalam rokok secara langsung terhadap nasofaring. Dengan demikian hubungan antara merokok dan KNF secara biologi cukup dapat diterima. Beberapa hasil penelitian yang meneliti hubungan antara merokok dan KNF menunjukkan hasil yang tidak sama.


(42)

Namun, Lin et al (1971) di Taiwan, melaporkan adanya peningkatan risiko yang signifikan terjadinya KNF dengan peningkatan lamanya merokok. Hasil penelitian ini didukung oleh beberapa penelitian selanjutnya, akan tetapi beberapa penelitian yang lain menunjukkan hasil yang berlawanan tentang hubungan antara merokok dan KNF (Cheng et al, 1999).

Enzyme Cytochrome P450 2EI (CYP2EI) diketahui merupakan enzim aktivasi

pada nitrosamine dan karsinogen lainnya yang mungkin terlibat dalam perkembangan

terjadinya KNF. Hildesheim et al (1997) dalam penelitian case control mengemukakan bahwa asap rokok adalah sumber penting paparan nitrosamine sehingga memodulasi aktivitas CYP2EI, dan dia melihat efeknya sebagai faktor risiko pada KNF, dimana merokok mempunyai hubungan dan merupakan risiko terjadinya KNF.

Vaughan et al (2000) menemukan bukti tentang hubungan antara risiko KNF

dan potensi paparan formaldehyde yang lebih kuat pada para perokok. Diantara orang perokok dan mantan perokok, odds ratio dihubungkan dengan yang pernah bekerja pada pekerjaan yang terpapar formaldehyde (OR 2,3), dibandingkan dengan orang-orang yang tidak pernah merokok (OR 0,5).

d. Lama merokok dan jumlah rokok yang dikonsumsi

Besar pajanan asap rokok bersifat kompleks dan dipengaruhi oleh jumlah rokok yang dihisap dan pola penghisapan rokok tersebut. Faktor lain yang turut mempengaruhi akibat pajanan asap rokok antara lain usia mulai merokok, lama merokok, dalamnya hisapan dan lain-lain (Drastyawan et al, 2001). Berdasarkan lamanya, merokok dapat dikelompokkan sebagai berikut; merokok selama kurang dari 10 tahun, antara 10 – 20 tahun, dan lebih dari 20 tahun (Kolappan dan Gopi, 2002; Solak et al, 2005).

Jumlah rokok yang dihisap dapat dinyatakan dalam pack years, setara dengan berapa bungkus rokok yang dihisap dalam satu hari (1 bungkus = 20 batang) dikalikan lamanya merokok dalam tahun (Drastyawan dkk, 2001). Klasifikasi menurut jumlah rokok yang dikonsumsi perhari dapat dikelompokkan sebagai berikut; ringan (1-10


(43)

batang perhari), sedang (11-20 batang perhari) dan berat (lebih dari 20 batang perhari) (Kolappan dan Gopi, 2002; Solak et al, 2005).

Mobuchi et al, dalam studi case control, menginvestigasi kemungkinan faktor-faktor etiologi pada KNF. Hasil penelitiannya menunjukkan peningkatan odds ratio

dengan jumlah rokok yang dihisap, yang menggambarkan adanya positive

dose-response relationship (Mabuchi et al, 1985; Chen et al, 1990; Amrstrong et al, 2000; Yang et al, 2005). Sementara itu, Nam et al (1992) dan Zhu et al (1995) mendapatkan hasil yang sama mengenai hubungan peningkatan risiko terjadinya KNF dengan status merokok, makin lama merokok dan jumlah rokok yang dihisap. Laki-laki yang secara rutin merokok akan mempunyai risiko 2 kali kemungkinan menderita KNF dibanding dengan yang tidak merokok.

Chow et al (1993) pada studi cohort meneliti hubungan merokok dengan KNF

pada lebih kurang 250.000 veteran Amerika Serikat. Selama 26 tahun penelitian dijumpai 48 penderita KNF. Perokok berisiko 4 kali lebih besar kemungkinan terkena KNF dibandingkan dengan bukan perokok, dan risiko tersebut akan meningkat lagi menjadi 6,4 kali pada orang yang merokok lebih dari 2 bungkus perhari.

e. Faktor anatomi

Letak nasofaring pada saluran napas bagian atas dimana merupakan tempat aliran dari polusi udara dan asap rokok adalah berpengaruh buruk terhadap mukosa dilokasi tersebut, dimana karsinogen yang dibawa oleh udara dapat menginduksi kanker (Zhuolin et al,2005). Mukosa nasofaring dapat langsung terpapar dari asap rokok yang dihisap, dan kanker dapat diinduksi pada daerah kontak dengan karsinogen (Mabuchi et al, 1985; Cheng et al, 1999).

Adanya variasi bentuk anatomi didalam struktur hidung dan terdapatnya penyakit yang ada sebelumnya diketahui sebagai hal yang penting dalam etiologi tumor ganas nasofaring. Konfigurasi dari saluran udara di hidung dan paranasal memungkinkan terperangkap dan terkumpulnya gas karsinogen, dimana hal ini berperan dalam perkembangan dari penyakit ini (McDermott et al, 2001).


(44)

2.2.9 Gejala klinis

a. Gejala akibat tumor primer 1. Gejala telinga

a. Kataralis / oklusi tuba eustakhius

Pada umumnya tumor bermula di fosa Rosenmuller dan pertumbuhannya dapat menyebabkan penyumbatan muara tuba. Pasien mengeluh rasa penuh ditelinga, rasa berdengung kadang-kadang disertai dengan gangguan pendengaran. Gejala ini merupakan gejala yang sangat dini dari karsinoma nasofaring. Perlu diperhatikan jika gejala ini menetap atau sering timbul

tanpa penyebab yang jelas.

b. Otitis media serosa sampai perforasi dengan gangguan pendengaran (Sudyartono dan Wiratno, 1996).

2. Gejala hidung a. Epistaksis

Dinding tumor biasanya rapuh sehingga apabila terjadi iritasi ringan dapat terjadi perdarahan. Keluarnya darah ini biasanya berulang-ulang, biasanya jumlahnya sedikit bercampur dengan ingus, sehingga berwarna merah jambu.

b. Sumbatan hidung

Sumbatan hidung yang menetap terjadi akibat pertumbuhan tumor kedalam rongga nasofaring dan menutupi koana. Gejala menyerupai pilek kronis, kadang-kadang disertai dengan gangguan penciuman dan adanya ingus kental (Sudyartono dan Wiratno, 1996).

Gejala telinga dan hidung ini bukan merupakan gejala yang khas untuk penyakit ini, karena juga dijumpai pada infeksi biasa, misalnya rinitis kronis, sinusitis dan lain-lainnya. Epistaksis juga sering terjadi pada anak-anak yang sedang menderita radang. Namun jika keluhan ini timbul berulang kali, tanpa


(45)

penyebab yang jelas atau menetap walaupun telah diberikan pengobatan, kita harus waspada dan segera melakukan pemeriksaan yang lebih tinggi terhadap rongga nasofaring, sampai terbukti bahwa bukan karsinoma nasofaring penyebabnya.

b. Gejala akibat tumor yang mengadakan infiltrasi 1. Limfadenopati servikal

Melalui aliran pembuluh limfe, sel-sel kanker dapat sampai di kelenjar limfe leher dan tertahan di sana karena memang kelenjar ini merupakan pertahanan pertama agar sel-sel kanker tidak langsung mengalir ke bagian tubuh yang lebih jauh. Di dalam kelenjar ini sel tersebut tumbuh dan berkembang biak sehingga kelenjar menjadi besar dan tampak sebagai benjolan pada leher bagian samping. Benjolan ini tidak dirasakan nyeri karenanya sering diabaikan oleh pasien. Selanjutnya sel-sel kanker dapat berkembang terus, menembus kelenjar dan mengenai otot dibawahnya. Kelenjar menjadi lekat pada otot dan sulit digerakkan. Keadaaan ini merupakan gejala yang lebih lanjut lagi. Limfadenopati servikalis merupakan gejala utama yang mendorong pasien datang ke dokter (Sudyartono dan Wiratno, 1996; Ahmad, 2002 ).

2. Gejala akibat perluasan tumor ke jaringan sekitar dan metastase jauh

Tumor meluas ke intra kranial menjalar sepanjang fosa medialis, disebut penjalaran petrosfenoid. Biasanya melalui foramen laserum dan mengenai grup anterior saraf otak yaitu n.II s/d n.VI. Perluasan ke atas lebih sering ditemukan di Indonesia, tersering mengenai n.VI dengan keluhan berupa diplopia, kemudian n.V cabang 1 dengan keluhan berupa hipestesia pipi/wajah.

Perluasan ke belakang secara ekstra kranial sepanjang fosa posterior, disebut penjalaran retroparotidian. Yang terkena adalah grup posterior saraf otak yaitu n.VII s/d n.XII beserta nervus simpatikus servikalis. Tumor dapat mengenai otot dan menyebabkan kekakuan otot-otot rahang sehingga terjadi trismus (Ahmad, 2002).


(46)

Sindrom retroparotidian terjadi akibat kelumpuhan n.IX,X,XI, dan XII. Manifestasi kelumpuhan ialah :

a. n.IX :Kesulitan menelan karena hemiparesis otot konstriktor superior

serta gangguan pengecap pada sepertiga belakang lidah.

b. n.X :Hiper/hipo/anastesi mukosa palatum mole, faring dan laring

disertai gangguan respirasi.

c. n.XI :Kelumpuhan atau atropi otot-otot trapezius,

sternokleidomastoideus, serta hemiparesis palatum mole.

d. n.XII :Hemiparalisis dan atropi sebelah lidah.

Biasanya beberapa saraf otak terkena secara unilateral, tetapi pada beberapa kasus pernah ditemukan bilateral. Nervus VII dan VIII, karena letaknya agak tinggi serta terletak dalam kanalis tulang, sangat jarang terkena tumor (Sudyartono dan Wiratno, 1996).

3. Gejala akibat metastase jauh

Sel-sel kanker dapat ikut mengalir bersama aliran getah bening atau darah, mengenai organ tubuh yang letaknya jauh dari nasofaring. Yang sering ialah tulang (femur), hati dan paru. Hal ini merupakan stadium akhir dan prognosis sangat buruk (Sudyartono dan Wiratno, 1996; Ahmad, 2002).

2.2.10 Diagnosis

Bila dicurigai kemungkinan adanya karsinoma nasofaring, maka dilakukan rangkaian pemeriksaan untuk menegakkan diagnosis dan stadium penyakit.

a. Anamnesis

Keluhan penderita karsinoma nasofaring sangat bervariasi. Pada stadium dini keluhan sering tidak menimbulkan kecurigaan atas adanya tumor ini. Keluhan tersebut biasanya berupa keluhan telinga, hidung atau keduanya. Pada stadium lanjut, kecurigaan pada penyakit ini akan mudah timbul dan sering ditemukan ialah pembesaran kelenjar limfe leher, gejala kelainan saraf kranial atau gejala akibat metastase jauh yang sangat berat dirasakan pasien (Mulyarjo, 2002).


(47)

b. Pemeriksaan nasofaring

Nasofaring merupakan daerah yang tersembunyai atau daerah buta. Karsinoma nasofaring biasanya berasal dari lapisan epitel fossa Rosenmuller, biasanya bersembunyi di dekat muara tuba eustakhius (Mulyarjo, 2002).

a. Pemeriksaan nasofaring secara konvensional adalah dengan menggunakan kaca rinoskopi posterior, dengan atau tanpa menggunakan kateter. Pemeriksaan yang lebih sempurna adalah dengan menggunakan nasofaringoskopi baik yang fleksibel maupun yang kaku (Wei dan Sham, 1996).

b. Rinoskopi posterior tanpa menggunakan Kateter

Pemeriksaan ini dilakukan pada pasien dewasa yang tidak sensitif. Tumor yang tumbuh eksofitik dan sudah agak besar akan tampak dengan mudah (Ahmad, 2002; Mulyarjo, 2002).

c. Rinoskopi posterior menggunakan kateter

Dua buah kateter dimasukkan masing-masing kedalam rongga hidung kanan dan kiri. Setelah tampak di orofaring, ujung kateter terebut dijepit dengan pinset dan ditarik keluar selanjutnya disatukan dengan masing-masing ujung kateter yang lainnya. Kedua ujung ini ditarik dengan kuat agar palatum mole terangkat ke atas sehingga rongganya menjadi luas, selanjutnya dikunci dengan klem. Dengan kaca besar (kaca laring), rongga nasofaring tampak dengan jelas. Adanya kelainan yang minimal akan mudah tampak. Selanjutnya dengan tang biopsi, daerah yang dicurigai diambil (Chew, 1997; Ahmad, 2002; Mulyarjo, 2002).

d. Nasofaringoskopi 1. Nasofaringoskopi kaku

Alat yang digunakan terdiri dari teleskop dengan sudut bervariasi yaitu sudut 0, 30, dan 70 derajat dan tang biopsi yang membuka ke kanan atau ke kiri (Chew, 1997).


(48)

Nasofaringoskopi dapat dilakukan dengan cara : transnasal (teleskop dimasukkan melalui hidung) dan transoral (teleskop dimasukkan melalui rongga mulut).

2. Nasofaringoskopi lentur

Alat ini bersifat lentur dengan ujungnya dilengkapi alat biopsi. Biopsi massa tumor dapat dilakukan dengan melihat langsung sasaran (Wei dan Sham, 1996).

e. Biopsi nasofaring

Obat anastesi lokal disemprotkan ke daerah nasofaring dan orofaring. Melalui tuntunan rinoskopi posterior dengan menggunakan kateter, daerah yang dicurigai diambil dengan tang biopsi. Biopsi dapat juga dilakukan melalui tuntunan nasofaringoskopi kaku dengan cunam yang terdapat dalam perangkat ini. Eksplorasi nasofaring bisa juga dilakukan dengan anastesi umum (Hold et al, 1993; Wei dan Sham, 1996).

f. Pemeriksaan radiologi

Pemeriksaan radiologi pada penderita yang dicurigai menderita karsinoma bertujuan untuk memperkuat kecurigaan adanya tumor di daerah nasofaring, menentukan lokasi tumor yang dapat membantu dalam melakukan biopsi yang tepat dan menentukan luas penyebaran tumor ke jaringan sekitarnya.

Pemeriksaan radiologi yang dilakukan adalah : foto polos nasofaring dan dasar tengkorak dan CT scan nasofaring. Pada karsinoma nasofaring yang tumbuh secara endofitik/submukosa dapat dideteksi dengan CT scan. Disamping itu pemeriksaan ini dapat mengetahui penyebaran tumor ke jaringan sekitarnya

yang belum terlalu luas.Magnetic Resonance Imaging (MRI)merupakan suatu

sarana pemeriksaan diagnostik yang terbaru dan canggih yang tidak menggunakan sinar X tetapi dengan menggunakan medan magnit dan

gelombang radio untuk menghasilkan gambar (Wei dan Sham, 1996). Bone

Scintigraphy, jika dicurigai adanya metastase tulang, selanjutnya diikuti dengan foto lokal pada tulang yang dicurigai pada bone scantigraph (Brennan, 2006).


(49)

USG hepar, jika dicurigai metastase ke hati (Her, 2001). Positron Emission Tomography (PET), merupakan pemeriksaan yang paling sensitif untuk mendeteksi adanya tumor residual atau rekuren pada nasofaring (Wei dan Sham, 2005).

c. Pemeriksaan patologi anatomi

Pemeriksaan patologi anatomi yang dilakukan dapat berupa. 1. Sitologi

Sedian sitologi eksfoliatif dari nasofaring didapat dengan beberapa cara seperti : melalui kerokan (scraping), sikatan (brushing), usapan (swab) atau dengan menggunakan alat khusus yang dihubungkan dengan penghisap. Cara diagnosis ini sangat mudah, murah dan tak menimbulkan rasa sakit, akan tetapi hasilnya sering meragukan walaupun diperiksa oleh seorang ahli sitologi yang berpengalaman, sehingga pemeriksaan sitologi eksfoliatif belum dapat diterima sebagai alat diagnosis untuk karsinoma nasofaring.

2. Biopsi aspirasi jarum halus

Sebagian besar karsinoma nasofaring ditemukan dengan pembesaran kelenjar getah bening di leher. Untuk membuktikan pembesaran kelenjar getah bening merupakan metastase karsinoma nasofaring dilakukan pemeriksaan biopsi aspirasi. Dengan cara ini dapat diketahui massa mengandung sel tumor ganas atau tidak dan jenis sel. Pemeriksaan ini sangat sederhana dikerjakan dan hanya memerlukan sedikit peralatan dan pengalaman (Kurniawan, 1995).

Biopsi aspirasi jarum halus juga dapat dilakukan pada massa tumor di nasofaring. Teknik ini telah digunakan oleh Lubis dimana dia melaporkan kegunaan teknik biopsi aspirasi jarum halus pada nasofaring (Lubis, 1993; Mulyarjo, 2002).

d. Histopatologi

Diagnosis pasti karsinoma nasofaring ditegakkan dari pemeriksaan histopatologi atas sediaan biopsi nasofaring. Disamping itu pemeriksaan


(50)

histopatologi dapat menentukan subtipe histopatologi (Sudyartono dan Wiratno, 1996).

d. Pemeriksaan imunohistokimia

Merupakan teknik deteksi antigen dalam jaringan yang melibatkan deteksi substansi kimia spesifik dalam jaringan dengan menggunakan derivat antibodi terhadap substans. Antibodi digunakan terhadap potongan jaringan dan dibiarkan berikatan dengan antigen yang sesuai. Sistem deteksi digunakan untuk identifikasi lokasi antibodi menggunakan penanda molekuler yang dapat dilihat. Deteksi antibodi ini dihubungkan dengan molekul petanda seperti zat flouresens atau suatu enzim yang mengkatalis reaksi lebih lanjut membentuk produk berwarna yang dapat dilihat (Sudiana, 2005).

e. Pemeriksaan serologi

Akhir-akhir ini pemeriksaan serologi banyak digunakan untuk membantu diagnosis karsinoma nasofaring, terutama di negara-negara dimana karsinoma nasofaring merupakan penyakit endemi seperti Cina, Hongkong, Taiwan, dan di negara ASEAN seperti Singapura dan Malaysia.

Adanya dugaan kuat virus Epstein Barr sebagai salah satu faktor yang berperan dalam timbulnya karsinoma nasofaring menjadi dasar dari pemeriksaan serologis ini. Pemeriksaan antibodi yang banyak dipakai dan diyakini paling menyokong adalah immunoglobulin A (lgA) terhadap virus Epstein Barr (Epstein Barr virus / EBV) spesifik untuk kapsul virus (viral capsid antigen / VCA) dan antigen awal (early antigen / EA). IgA EBV VCA mempunyai sensitifitas / kepekaan yang tinggi tetapi tingkat spesifitasnya kurang terutama pada titer yang rendah, sedangkan lgA EBV EA nilai sensifitasnya/kepekaannya kurang tetapi lebih spesifik dan titernya akan menurun mendekati normal pada karsinoma nasofaring stadium lanjut dan titer yang tinggi dapat merupakan indikator karsinoma nasofaring. Antibodi ini hanya meninggi pada penderita karsinoma nasofaring tipe WHO-2 (non


(51)

keratinizing carcinoma) dan tipe WHO-3 (undifferentiated carcinoma), sedangkan pada tipe WHO-1 (Squamous cell carcinoma) tidak ditemukan atau pun kalau ada dalam titer yang rendah (Kurniawan, 1995; Wei dan Sham, 1996; Ahmad, 2002).

f. Polimerase chain reaction (PCR)

Digunakan untuk menyalin rantai DNA spesifik dalam jumlah besar, sehingga dapat menunjukkan ada atau tidaknya sebuah gen, mendeteksi adanya mutasi, amplifikasi, rekayasa genetika, dan untuk mendeteksi DNA virus atau bakteri (Irish et al, 2003).

2.2.11 Stadium

Terdapat beberapa cara untuk menentukan stadium KNF. Di beberapa negara Asia digunakan penentuan stadium yang dikemukakan oleh Ho pada tahun 1978 (Ho’s system), sementara di Amerika dan Eropa lebih disukai penentuan stadium sesuai dengan kriteria yang ditetapkan AJCC/UICC (American Joint Committee on Cancer / International Union Against Cancer).

Stadium karsinoma nasofaring berdasarkan klasifikasi UICC 1992 (TNM) (Wei dan Sham, 2005; Brennan, 2006).

T = Tumor pada nasofaring.

T1 Tumor terbatas pada satu lokasi di nasofaring.

T2 Tumor meluas lebih dari satu lokasi tapi masih dalam rongga nasofaring

T3 Tumor meluas ke kavum nasi dan/atau ke orofaring.

T4 Tumor meluas ke tengkorak dan/atau saraf-saraf kranial.

N = Kelenjar limfe regional.

N0 Tidak ada metastase pada kelenjar regional.

N1 Metastase pada satu kelanjar lemife regional ipsilateral dengan ukuran lebih


(1)

85

Keterangan :

Sex : L = Laki-laki P = Perempuan

Histopatologi : 1 = Karsinoma sel skuamosa keratinizing 2 = Karsinoma sel skuamosa nonkeratinizing 3 = Karsinoma sel undifferentiated

Jenis rokok : P = Rokok putih K = Rokok kretek L = Rokok linting C = Rokok campuran Frekuensi : Jrg = Jarang

Kdg = Kadang-kadang Srg = Sering


(2)

(3)

87

Keterangan :

Sex : L = Laki-laki P = Perempuan

Jenis rokok : P = Rokok putih K = Rokok kretek L = Rokok linting C = Rokok campuran Frekuensi : Jrg = Jarang

Kdg = Kadang-kadang Srg = Sering


(4)

(5)

89

RIWAYAT HIDUP

DATA PRIBADI

Nama lengkap : Ibrahim Irsan Nasution, dr

NIP : 140 356 395

Tempat dan tanggal lahir : Medan, 6 Desember 1970

Agama : Islam

Status perkawinan : Kawin

Nama istri : Dien Mediena, Ssos Jumlah anak : 2 (dua)

Nama anak : 1. Fikri Roja Nasution 2. Fahri Zuhdi Nasution Pangkat / Golongan : Penata Muda / III b

RIWAYAT PENDIDIKAN

Pendidikan Dasar dan Menengah

Tahun 1983 : Tamat Sekolah Dasar Perguruan Nasional Khalsa Medan Tahun 1986 : Tamat Sekolah Menengah Pertama Negeri 1 Medan Tahun 1989 : Tamat Sekolah Menengah Atas Negeri 4 Medan

Pendidikan Tinggi

Tahun 1996 : Lulus dokter di Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara Medan

PENDIDIKAN TAMBAHAN

Tahun 2002 : Mengikuti Advance Trauma Life Support Course, Cirebon.

Tahun 2006 : Mengikuti Temporal Bone Dissection Course, Langkawi-Malaysia. Tahun 2006 : Mengikuti Workshop Esofago-bronkoskopi, FK USU Medan


(6)

RIWAYAT PEKERJAAN

Tahun 1997-2000 : Kepala Puskesmas Sungai Tering Nipah Panjang, Tanjung Jabung - Jambi

Tahun 2001-2003 : Kepala Puskesmas Polak Pisang, Indragiri Hulu – Riau Tahun 2004-sekarang : Asisten dokter (PPDS) Telinga Hidung Tenggorok Bedah

Kepala Leher Fak. Kedokteran USU / RSUP H.Adam Malik Medan

ORGANISASI PROFESI

Tahun 1997-2000 : Anggota IDI Cabang Tanjung Jabung – Jambi Tahun 2001-2003 : Anggota IDI Cabang Indragiri Hulu – Riau Tahun 2004-sekarang : Anggota Muda Perhati Cabang Sumatera Utara