Hasil dan pembahasan model prediksi curah hujan. Simpulan model prediksi curah hujan.

104 dengan tahap penyusunan model kemudian dibandingkan dengan data aktualnya. Validasi model menggunakan data tahun 2005-2009.

5.2.6. Penentuan prediksi curah hujan

Setelah dilakukan validasi model, dan model yang tersusun dianggap memenuhi syarat untuk digunakan, selanjutnya model tersebut digunakan untuk memprediksi curah hujan Musim Tanam MT 20102011. Hasil penentuan prediksi kemudian dibandingkan dengan curah hujan pada tahun normal, El Niño maupun IOD positif. Hasil tersebut untuk menentukan rencana waktu tanam pada musim tanam berikutnya.

5.3. Hasil dan pembahasan model prediksi curah hujan.

Model prediksi curah hujan disusun berdasarkan pengembangan dari model prediksi yang telah disusun oleh Koesmaryono et al. 2007 dari prediksi bulanan menjadi dasarian dengan maksud untuk melihat prediksi curah hujan dari rata-rata normalnya selama tiga dasarian ke depan. Model menggunakan data series curah hujan, nilai Anomali SPL zona Nino3.4 dan nilai DMI. Model disusun dengan melakukan uji coba trial and error dengan menggunakan jumlah simpul dalam lapisan tersembunyi H mulai 8 sampai dengan 15 yang dikombinasikan dengan nilai bobot awal W antara 0,1-1,0. Penambahan simpul dilakukan sampai diperoleh nilai R 2 yang terbesar atau nilai MSE yang terkecil dan perubahan nilai R 2 relatif konstan. Satu kali iterasi menunjukkan satu kali proses penghitungan nilai prediksi. Penyusunan model dilakukan dengan mengulang proses iterasi tersebut. Nilai bobot awal ditetapkan berdasarkan hasil penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Pramudia 2008, sehingga diperoleh kisaran nilai bobot awal yang diharapkan mampu memberikan hasil terbaik yaitu dalam 4 taraf berbeda yaitu 0.25, 0.5, 0.75 dan 1.0.

5.3. 1 Model prediksi di wilayah Monsunal.

A. Training model Hasil training di wilayah monsunal baik di Indramayu maupun Cianjur menggunakan model dengan jumlah simpul 15. Penambahan simpul cenderung 105 akan meningkatkan kualitas dan ketelitian model. Akan tetapi penambahan lapisan tersebut juga meningkatkan jumlah iterasi, sehingga dibutuhkan waktu yang lebih lama. Jumlah tersebut menghasilkan model lebih baik dibandingkan dengan hasil iterasi menggunakan jumlah simpul yang lebih kecil. Hasil training menunjukkan perbedaan nilai MSE dan R 2 pada wilayah yang terkena dampak Indramayu dan tidak terkena dampak Cianjur. Nilai R 2 di Indramayu yang yang diwakili Stasiun Anjatan, Krangkeng dan Kertasemaya berkisar antara 0.83 – 0.86 relatif lebih baik dibandingkan dengan di Cianjur yang diwakili Stasiun Warungkondang dan Ciranjang hanya mempunyai nilai R 2 antara 0.51 – 0.52 Tabel 5.1. Hal tersebut menunjukkan bahwa model dengan menggunakan input data ENSO maupun IOD di Indramayu semakin baik dan mampu menerangkan total variabilitas dengan proporsi tinggi. Hasil tersebut diperkuat dengan pola yang ditunjukkan pada Gambar 5.2 yang menunjukkan model yang lentur. Kelenturan model terlihat dengan jelas dibuktikan oleh nilai prediksi mampu mengikuti pola nilai aktual. Hampir semua nilai-nilai esktrim tinggi dapat dijangkau oleh model dengan baik, demikian juga dengan nilai yang rendah. Model yang disusun dengan memasukkan parameter curah hujan, nilai anomali SPL Nino3.4 dan DMI ternyata cukup mampu menggambarkan variabilitas curah hujan di Kabupaten Indramayu. Hal ini diperkuat dengan hasil pengamatan sebelumnya yang menunjukkan bahwa ENSO dan IOD berpengaruh kuat di sebagian besar Kabupaten Indramayu. Tabel 5.1 Jumlah Iterasi, Nilai MSE, dan R 2 di beberapa stasiun hujan wilayah pola hujan Monsun. Stasiun Hujan Jumlah Simpul Nilai Bobot Awal Jumlah Iterasi MSE R 2 INDRAMAYU Anjatan 15 0.5 30.552 0.028 0.83 Krangkeng 15 0.5 16.378 0.020 0.83 Kertasemaya 15 0.5 24.882 0.095 0.86 CIANJUR Warungkondang 15 0.25 11.950 0.303 0.52 Ciranjang 15 0.75 10.520 0.227 0.51 Hasil yang berbeda diperoleh di Cianjur. Kelenturan model sebagian besar tidak mampu mengikuti nilai aktualnya Gambar 5.3. Nilai tinggi dan rendah 106 tidak mampu digambarkan seluruhnya oleh model sehingga model tidak disarankan untuk digunakan dalam memprediksi curah hujan di wilayah tersebut. Gambar 5.2 Hasil training di Stasiun a Anjatan, b Krangkeng dan c Kertasemaya Kabupaten Indramayu. a b c 107 a b Gambar 5.3 Hasil training di Stasiun a Warungkondang dan b Ciranjang Kabupaten Cianjur.

B. Validasi model

Validasi hanya dilakukan terhadap model terbaik hasil proses training dengan cara menggunakan data aktual yang dibandingkan dengan hasil prediksinya pada periode 2004-2009. Hasil validasi untuk Kabupaten Indramayu ditampilkan dalam Gambar 5.4. Dari gambar terlihat bahwa model mampu memprediksi nilai-nilai curah hujan dengan fluktuasi acak yang seirama dengan nilai aktualnya. 108 Gambar 5.4. Hasil validasi di Stasiun a Anjatan, b Krangkeng dan c Kertasemaya Kabupaten Indramayu. b a c 109

C. Prediksi model

Analisis model prediksi pada wilayah curah hujan monsun hanya dilakukan di Indramayu karena berdasarkan hasil training pengembangan model prediksi tersebut tidak menunjukkan hasil yang baik bila dilakukan di Cianjur. Hal tersebut dapat difahami mengingat Kabupaten Cianjur tidak terpengaruh baik oleh ENSO maupun IOD. Hasil analisis untuk kabupaten Indramayu yang diwakili oleh Stasiun Anjatan, Krangkeng dan Kertasemaya menunjukkan bahwa di wilayah tersebut saat memasuki periode September - November tahun 2010 diperkirakan curah hujan sebagian besar berada di atas rata-rata normalnya Gambar 5.5. Kondisi tersebut terus berlangsung sampai dengan periode Desember 2010 – Februari 2011. Namun pada saat memasuki periode Maret 2011 – Mei 2011, curah hujan di Anjatan dan Krangkeng diperkirakan berada di bawah normalnya, tepatnya setelah memasuki Maret III. Dengan kondisi curah hujan tersebut di atas baik di Anjatan, Krangkeng maupun Kertasemaya diperkirakan indeks kecukupan air akan berada di atas batas kritis indeks saat memasuki Oktober II sehingga awal tanam padi lahan tadah hujan dapat dilakukan pada periode tersebut. Potensi masa tanam di Anjatan dan Kertasemaya relatif lebih panjang 3 sampai 4 dasarian dibandingkan dengan di Krangkeng Gambar 5.6. Untuk lahan sawah irigasi memasuki September III Oktober I diperkirakan defisit ketersediaan air relatif rendah sampai dengan sedang sehingga awal tanam padi dapat dilakukan pada awal Oktober, lebih awal dibandingkan dengan lahan tadah hujan. Potensi waktu tanam pada lahan irigasi lebih panjang 3 sampai 5 dasarian dibandingkan dengan lahan tadah hujan Gambar 5.7. Pada kondisi basah, potensi waktu tanam lebih cepat satu dasarian di lahan tadah hujan dan dua dasarian di lahan irigasi dibandingkan pada kondisi normal. Karena pada periode Maret – Mei 2011 diperkirakan curah hujan di bawah rata- rata dan indeks kecukupan air untuk palawija maka disarankan rotasi tanam di lahan tadah hujan adalah Padi-Padi-Bera. Untuk lahan irigasi karena fluktuasi defisit ketersediaan air relatif rendah maka disarankan Padi-Padi-Palawija. 110 Gambar 5.5 Prediksi di a Anjatan, b Krangkeng dan c Kertasemaya. c b a 111 Gambar 5.6. Fluktuasi indeks kecukupan air pada lahan tadah hujan di a Anjatan, b Krangkeng dan c Kertasemaya. c b a 112 Gambar 5.7. Fluktuasi defisit ketersediaan air pada lahan irigasi di a Anjatan, b Krangkeng dan c Kertasemaya. c c b a 113

5.3.2 Model Prediksidi Wilayah Equatorial. A.

Training model Seperti halnya pada pola hujan monsun, hasil training di wilayah pola hujan Equatorial baik di Pesisisir Selatan maupun Solok menggunakan model dengan jumlah simpul 15. Hasil training menunjukkan perbedaan nilai MSE dan R 2 pada wilayah yang terkena dampak Pesisir Selatan dan tidak terkena dampak Solok. Nilai R 2 di Pesisir Selatan yang yang diwakili Stasiun Tarusan dan Batang Kapas berkisar antara 0.71 – 0.76. Nilai tersebut relatif lebih baik dibandingkan dengan di Solok diwakili Stasiun Sumani yang hanya mempunyai nilai R 2 antara 0.52 Tabel 5.2. Model dengan menggunakan input data ENSO maupun IOD di Pesisir Selatan lebih mampu menerangkan total keragaman dengan proporsi yang lebih tinggi dibandingkan dengan di Solok. Pola yang ditunjukkan Gambar 5.8 memperkuat presisi model yang dibuktikan dengan kelenturan pola prediksi yang mampu mengikuti pola nilai aktualnya. Sebagian besar nilai-nilai esktrim tinggi dapat dijangkau oleh model dengan baik, demikian juga dengan nilai yang rendah. Variabilitas curah hujan di Pesisir Selatan dapat digambarkan dengan baik dengan menggunakan model yang disusun dengan memasukkan parameter curah hujan, nilai anomali SPL Nino3.4 dan DMI. Berbeda dengan Pesisir Selatan, hasil analisis di Solok menunjukkan kelenturan model sebagian besar tidak mampu mengikuti nilai aktualnya Gambar 5.8. Sebagian besar nilai tinggi dan rendah tidak mampu digambarkan oleh model sehingga model tidak disarankan untuk digunakan dalam memprediksi curah hujan di wilayah tersebut. Tabel 5.2. Jumlah iterasi, Nilai MSE, dan R 2 di beberapa stasiun hujan wilayah pola hujan Equatorial. Stasiun Hujan Jumlah Simpul Nilai Bobot Awal Jumlah Iterasi MSE R 2 PESISIR SELATAN Tarusan 15 0.5 34.391 0.100 0.76 Batang Kapas 15 0.5 23.077 0.048 0.71 SOLOK Sumani 15 0.25 11.950 0.303 0.52 114 b a Gambar 5.8. Hasil training di Stasiun a Tarusan, b Sutera di Kabupaten Pesisir Selatan dan c Sumani di Kabupaten Solok c 115

B. Validasi model

Sama halnya dengan di wilayah pola hujan monsun, validasi hanya dilakukan terhadap model terbaik hasil proses training. Hasil validasi untuk Kabupaten Pesisir Selatan ditampilkan dalam Gambar 5.9. Dari gambar terlihat bahwa model mampu memprediksi nilai-nilai curah hujan dengan fluktuasi acak yang seirama dengan nilai aktualnya. Gambar 5.9. Hasil validasi di Stasiun a Tarusan, dan b Batang Kapas Kabupaten Pesisir Selatan. a b 116

C. Prediksi model

Analisis model prediksi pada wilayah curah hujan Equatorial hanya dilakukan di Pesisir Selatan karena berdasarkan hasil training pengembangan model prediksi tersebut tidak menunjukkan hasil yang baik bila dilakukan di Solok. Hal tersebut didukung dengan hasil karakterisasi wilayah yang menunjukkan bahwa Kabupaten Solok tidak terpengaruh baik oleh ENSO maupun IOD. Hasil analisis untuk kabupaten Pesisir Selatan yang diwakili oleh Stasiun Tarusan menunjukkan bahwa di wilayah tersebut saat memasuki periode September - November tahun 2010 diperkirakan curah hujan sebagian besar berada di atas rata-rata normalnya. Kondisi tersebut terus berlangsung sampai dengan periode Maret 2011 – Mei 2011. Curah hujan di Batang Kapas untuk periode September – November berada di bawah rata-rata normalnya saat memasuki September IIIII, namun tidak berlangsung lama karena memasuki Oktober I kembali berada di atas rata-rata normalnya hingga Akhir November. Pada periode Desember – Februari, kondisi di bawah normal rata-ratanya terjadi saat memasuki Februari III. Pada periode Maret- Mei, curah hujan pada umumnya berada dalam kondisi normal kecuali pada Maret II dan April III, curah hujan di bawah normal rata-ratanya Gambar 5.10 Dengan kondisi curah hujan tersebut di atas baik di Tarusan maupun di Batang Kapas, diperkirakan indeks kecukupan air akan berada di atas batas kritis indeks saat memasuki September III. Kondisi tersebut tidak menunjukan pergeseran potensi tanam pada umumnya sehingga awal tanam padi lahan tadah hujan dapat dilakukan pada Akhir September sampai awal Oktober dan berlangsung hingga Maret III Gambar 5.11. Untuk lahan sawah irigasi memasuki Agustus III September I diperkirakan defisit ketersediaan air relatif rendah sampai dengan sedang sehingga awal tanam padi dapat dilakukan pada awal September, lebih awal 1-2 dasarian dibandingkan dengan lahan tadah hujan. Gambar 5.12. Karena pada periode Maret – Mei 2011 diperkirakan curah hujan di arata- rata dan indeks kecukupan air lebih dari 0.65 maka disarankan rotasi tanam di lahan tadah hujan maupun irigasi adalah Padi-Padi-Palawija. 117 b Gambar 5.10. Prediksi di a Tarusan, dan b Batang Kapas Kabupaten Pesisir Selatan. Gambar 5.11. Potensi tanam berdasarkan Fluktuasi indeks kecukupan air pada lahan tadah hujan di a Tarusan, b dan Batang Kapas kabupaten Pesisir Selatan b a a 118 b a Gambar 5.12. Potensi tanam berdasarkan defisit ketersediaan air pada lahan tadah hujan di a Tarusan, b dan Batang Kapas kabupaten Pesisir Selatan.

5.4. Simpulan model prediksi curah hujan.

Hasil training di Indramayu mempunyai nilai R 2 berkisar antara 0.83 - 0.86 dan di Cianjur berkisar antara 0.51 – 0.52. Karena nilai di Cianjur rendah maka analisis prediksi curah hujan hanya dilakukan di Indramayu. Hasil validasi di Indramayu menunjukkan model mampu memprediksi nilai-nilai curah hujan dengan fluktuasi acak yang seirama dengan nilai aktualnya. Periode September - November tahun 2010 curah hujan sebagian besar berada di atas rata-rata normalnya. Kondisi tersebut terus berlangsung sampai dengan periode Desember 2010 – Februari 2011. Saat memasuki periode Maret 2011 – Mei 2011, curah hujan berada di bawah normalnya setelah memasuki Maret III. 119 Onset di Indramayu pada Oktober II 2010 untuk lahan sawah tadah hujan dan September III Oktober I 2010 untuk lahan sawah irigasi. Hasil training di Pesisir Selatan mempunyai nilai R2 berkisar antara 0.71 - 0.76 dan di Solok 0.52. Karena nilai di Solok rendah maka analisis prediksi curah hujan hanya dilakukan di Pesisir Selatan. Hasil validasi di Pesisir Selatan menunjukkan kelenturan pola prediksi yang mampu mengikuti pola nilai aktualnya. Sebagian besar nilai-nilai esktrim tinggi dapat dijangkau oleh model dengan baik, demikian juga dengan nilai yang rendah. Periode September - November tahun 2010 curah hujan sebagian besar berada di atas rata-rata normalnya. Kondisi tersebut terus berlangsung sampai dengan periode Desember 2010 – Mei 2011 di Tarusan. Di Batang Kapas relatif berfluktuasi saat memasuki Februari I sampai dengan Maret II. Onset di Pesisir Selatan pada September III Oktober I 2010 untuk lahan sawah tadah hujan dan September I September II 2010 untuk lahan sawah irigasi. 120

VI. DAYA DUKUNG SUMBERDAYA AIR DAN

ADAPTASI PETANI PADA WILAYAH TERKENA DAMPAK ENSO DAN IOD

6.1. Pendahuluan

Perilaku iklim di Indonesia tidak selalu berada dalam kondisi normalnya. Pada suatu saat terjadi penurunan curah hujan yang mengakibatkan terjadinya kekeringan dan pada saat yang lain mengakibatkan tingginya curah hujan sehingga dapat menimbulkan banjir Allan 2000. Kondisi tersebut sering dipengaruhi oleh fenomena yang terjadi di Samudera Pasifik Tropik, berupa gangguan yang terjadi pada sirkulasi Walker, dikenal sebagai fenomena ENSO El-Nino-Southern Oscillation Naylor et al. 2001. Selain El Niño di Samudera Pasifik, terdapat pula fenomena interaksi lautan-atmosfer lainnya yang diduga menyebabkan peristiwa kekeringan di Indonesia yang dikenal dengan Indian Ocean Dipole Mode IOD Saji et al. 1999. Fluktuasi, frekuensi dan intensitas anomali iklim yang semakin meningkat, sangat nyata pengaruhnya terhadap produksi padi, sebagai akibat dari penurunan luas sawah, luas panen, dan hasil pada saat terjadi anomali iklim. Anomali iklim berdampak juga terhadap perubahan pola tanam, baik di lahan sawah irigasi maupun lahan tadah hujan Las et al. 2007. Pada tataran praktis, petani telah lama memiliki kemampuan adaptasi tersendiri yang dilakukan dalam menghadapi perubahan iklim dan keterbatasan sumberdaya air sebagai pendukung utama dalam menetapkan waktu dan pola tanam yang akan diusahakan. Akan tetapi pada kasus tertentu masih terjadi kesenjangan antara kondisi iklim, sumberdaya air dan praktek budidaya pertanian yang menjadi ciri kondisi spesifik lahan usaha tani dengan luasan tertentu. Pada satu daerah, petani mampu beradaptasi terhadap perubahan iklim dan keterbatasan sumberdaya air secara optimal tetapi belum tentu berhasil untuk daerah dan waktu yang lain. Oleh karena itu perlu kajian sumberdaya air dan adaptasi petani terutama pada wilayah – wilayah yang terindikasi kuat terkena dampak anomali iklim sehingga akan terbangun informasi yang terpadu pada akhirnya dapat dijadikan masukan dalam upaya strategi adaptasi menghadapi variabilitas iklim yang akhir-akhir ini sering mengalami ketidakpastian.

Dokumen yang terkait

Determination of The Rice Cropping Calendar based on ENSO (El Niño Southern Oscillation) and IOD (Indian Ocean Dipole) phenomena in Monsoon and Equatorial Regions

0 9 211

Pengaruh Indian Ocean Dipole (IOD) terhadap propagasi Madden Julian Oscillation (MJO)

3 27 31

Identifikasi Fenomena ENSO (El Nino-Southern Oscillation) DAN IOD (Indian Ocean Dipole) terhadap Dinamika Waktu Tanam Padi di Daerah Jawa Barat (Studi Kasus Kabupaten Indramayu dan Cianjur)

3 29 184

Pengaruh ENSO (El Nino- Southern Oscillation) dan IOD (Indian Ocean Dipole) terhadap Dinamika Waktu Tanam Padi di Wilayah Tipe Hujan Equatorial dan Monsunal (Studi Kasus Kabupaten Pesisir Selatan, Sumatera Barat dan Kabupaten Karawang, Jawa Barat)

2 24 60

Variabilitas arus, suhu dan angin di Perairan Barat Sumatera dan inter-relasinya dengan Indian Ocean Dipole Mode (IODM) dan El Nino Southern Oscillation (ENSO)

3 15 160

Pengaruh El Niño Southern Oscillation (ENSO) dan Indian Ocean Dipole (IOD) terhadap Produktivitas Kelapa Sawit

1 2 56

Keragaman curah hujan indonesia saat fenomena indian ocean dipole (iod) dan el nino southern-oscillation (enso)

1 5 39

Hubungan Kejadian Simultan El Niño Dan Indian Ocean Dipole (Iod) Terhadap Variasi Suhu Virtual Serta Estimasi Suhu Virtual Menggunakan Metode Arima Dan Holt-Winters

0 5 46

Pengaruh El Nino, La Nina Dan Indian Ocean Dipole.

0 0 1

Pengaruh Indian Ocean Dipole (IOD) dan El Nino Southern Osscillation (ENSO) Terhadap Variabilitas Upwelling Di Perairan Selatan Jawa.

0 1 1