12 kemarau bertepatan dengan monsun Timur yang terjadi pada Juni-Juli-Agustus
JJA. Antara monsun Barat dengan monsun Timur terdapat musim pancaroba pertama yaitu bulan Maret-April-Mei dan musim pancaroba kedua yaitu bulan
September-Oktober-November SON. Variasi pola umum ini dapat berubah akibat proses pemanasan global atau karena fluktuasi gejala ENSO Philander
1989; Ropelewski and Halpert 1989; Halpert and Ropelewski 1992; Lau and Nath 2000.
2.2. Fenomena ENSO di Samudera Pasifik
Variabilitas iklim Samudera Pasifik tropik memiliki fenomena yang khas dan hingga saat ini mendapat perhatian yang mendalam dari para peneliti di
bidang Oseanografi dan Iklim. Fenomena internal dari variabilitas iklim tersebut merupakan sirkulasi zonal sejajar lintang arah Timur Barat yang terjadi di
pasifik Timur menuju pasifik Barat dekat kepulauan Indonesia yang dinamakan sirkulasi Walker. Gangguan yang terjadi pada sirkulasi Walker dikenal sebagai
fenomena ENSO El Niño Southern Oscillation. El Niño La Niña merepresentasikan fase panas dingin dari siklus ENSO. Istilah El Niño La Niña
mengacu pada pemanasan pendinginan pada suhu muka laut pada sentral dan sentral-timur Pasifik Equator Gambar 2.1.. Kondisi suhu permukaan laut di
Pasifik Ekuator sangat berpengaruh pada sirkulasi angin zonal yang terjadi di kawasan mulai dari Indonesia hingga Amerika Selatan. Pada suatu ketika suhu
permukaan laut Pasifik Ekuator Tengah dan Timur terjadi lebih tinggi dari rata- ratanya, kondisi tersebut dinamakan sebagai El Niño. Sebaliknya, bila suhu
permukaan laut Pasifik Ekuator Tengah dan Timur terjadi lebih rendah daripada rata-ratanya, kondisi tersebut dinamakan sebagai La Niña sehingga kemudian
dikenal dengan nama ENSO, berasal dari El Niño fenomena laut dan Southern Oscillation
fenomena atmosfer Wiratmo, 1998. Gejala ENSO yang membawa implikasi laut Indonesia lebih dingin pada kejadian El Niño dan lebih hangat pada
kejadian La Niña. Mengakibatkan terjadinya peningkatan jumlah hujan pada tahun La Niña dan penurunannya pada tahun El Niño Gutman et al. 2000.
Sebagai indikator untuk memantau kejadian ENSO, biasanya digunakan data pengukuran Suhu Permukaan Laut SPL. Dupe dan Tjasyono 1998 telah
melakukan analisis terhadap grafik data SPL dan anomali SPL untuk seluruh
13 daerah pengamatan El Niño. Hasil visual menunjukkan bahwa daerah Nino 3.4
170
o
BB - 120
o
BB, 5
o
LS - 5
o
LU memperlihatkan distribusi yang lebih berpola, sehingga dapat dikategorikan bahwa daerah Nino 3.4 adalah daerah yang lebih
representatif untuk mendefinisikan El Niño. Kenaikan anomali SPL Nino3.4 diikuti dengan melemahnya angin passat trade winds yang mengakibatkan
pergeseran daerah konveksi pembentukan awan-awan hujan. Pada kondisi normal, daerah konveksi berada di daerah Barat Samudera Pasifik. Namun, pada kondisi
El Niño , zona konveksi bergeser ke tengah-tengah Samudera Pasifik. Kondisi ini
biasanya terjadi menjelang akhir tahun, akibatnya musim penghujan di Indonesia yang biasanya terjadi pada akhir tahun akan diganti dengan kemarau karena
pengaruh El Niño.
Sumber : http:www.whoi.eduoceanusviewImage.do?id=83611aid=53506
Gambar 2.1 Pola anomali suhu muka laut pada peristiwa El Niño dan La Niña Indikator ENSO lainnya adalah dengan menggunakan SOI Southern
Oscillation Index atau Indeks Osilasi Selatan yang mengacu pada perbedaan
tekanan atmosfer antara Tahiti di Timur pasifik bagian ekuator dan Darwin di pantai utara Australia. Nilai SOI semakin negatif berarti semakin kuat kejadian
panas El Niño, sebaliknya nilai SOI semakin positif kejadian dingin La Niña semakin kuat Boer 1999. Pada kondisi normal, rata-rata tekanan di permukaan
laut relatif tinggi di Pasifik Tengah bagian selatan menggunakan stasiun rujukan
14 di Tahiti dan relatif rendah di Pasifik Barat atau Australia Utara stasiun rujukan
di Darwin. Sehingga pemindahan neto udara di lintang rendah adalah dari Timur ke Barat – disebut sebagai angin Pasat Timuran. Setiap beberapa tahun perbedaan
tekanan antara Barat dan Timur ini melemah, sehingga angin Pasat Timuran berhenti dan biasanya diiringi dengan kekeringan di Indonesia dan Australia.
Gejala El Niño dimulai dengan menurunnya tekanan udara di Tahiti di bawah tekanan udara di Darwin sehingga massa air panas di kawasan pasifik bagian
Barat mengalir ke arah Timur dengan bantuan arus equatorial. Akibatnya terjadi akumulasi massa air panas di Pasifik bagian Timur dan permukaan air lautnya
naik lebih besar dibanding dengan yang di kawasan Barat. Kondisi ini mengakibatkan konveksi terjadi di pasifik bagian Timur dan subsidensi di atas
kontinen maritim Indonesia. Subsidensi ini akan menghambat pertumbuhan awan konveksi sehingga pada beberapa daerah di Indonesia terjadi penurunan jumlah
hujan yang jauh dari normal. Kondisi sebaliknya terjadi pada saat La Niña berlangsung Gambar 2.2.
Sumber: http:www.longpaddock.qld.gov.auseasonalclimateoutlookelninosouthernoscillation.html
Gambar 2.2 Sirkulasi angin global pada kondisi La Niña dan El Niño
15 Berdasar intensitasnya El Niño dikategorikan sebagai :
a. El Niño
Lemah Weak El Niño, yang ditetapkan jika anomali suhu muka laut di Pasifik equator positif antara +0.5º C sd +1,0º C yang berlangsung
minimal selama 3 bulan berturut-turut. b.
El Niño sedang Moderate El Niño, yang ditetapkan jika anomali suhu
muka laut di Pasifik equator positif antara +1,1º C sd 1,5º C yang berlangsung minimal selama 3 bulan berturut-turut.
c. El Niño
kuat Strong El Niño, yang ditetapkan jika anomali suhu muka laut di Pasifik ekuator positif 1,5º C yang berlangsung minimal selama 3 bulan
berturut-turut. Boer 2002 menyatakan bahwa berdasarkan pengamatan terhadap data
hujan musim kemarau selama seratus tahun, rata-rata penurunan curah hujan akibat terjadinya El Niño bila dibadingkan dengan normalnya dapat mencapai 80
mmbulan sedangkan peningkatan curah hujan akibat terjadinya La Niña tidak lebih dari 40 mm. Sehingga secara umum bencana yang ditimbulkan oleh kejadian
El Niño lebih serius dibandingkan dengan la Niña.
Dampak El Niño terhadap kondisi cuaca global dicirikan dengan angin pasat timuran dan sirkulasi munson semakin lemah dan akumulasi curah hujan
berkurang di Indonesia Pustekkom 2007. Berkurangnya akumulasi curah hujan tersebut sangat tergantung dari intensitas El Niño tersebut. Namun karena posisi
geografis Indonesia yang terdiri kepulauan maka tidak seluruh wilayah Indonesia dipengaruhi oleh El Niño.
Sir Gilbert Walker pada tahun 1924 menyatakan bahwa El Niño berkaitan langsung dengan perbedaan tekanan udara di wilayah Indonesia bagian Barat
Lautan Pasifik dan bagian Timur Lautan Pasifik. Variasi perbedaan tekanan Timur-Barat dihubungkan dengan sirkulasi Walker merupakan sebuah variasi
antar tahun yang tidak teratur Hastenrath 1988. Untuk wilayah Indonesia, akibat pola monsunal yang mengatur pola
sirkulasi arus laut permukaan, pengaruh El Niño dan La Niña ternyata dibatasi hanya pada musim kemarau. Karena pada musim inilah arus laut dari Pasifik
mengalir masuk ke wilayah Indonesia dengan implikasi perubahan akibat kedua
16 fenomena global tersebut. Pada musim hujan pengaruh dari kedua fenomena
global tersebut dihambat oleh tidak mendukungnya pola arus laut, dimana pola arus permukaan menuju keluar wilayah Indonesia. Berdasarkan kriteria diatas,
maka pengaruh El Niño akan lebih memperburuk iklim Indonesia karena pengurangan jumlah hujan terjadi pada puncak musim kemarau, sedangkan La
Niña lebih bukan merupakan bencana karena terjadi juga di musim kemarau yang
tidak terlalu kering. Pengaruh dari El Niño akan lebih terasa untuk wilayah Indonesia bagian timur, tetapi apabila terjadi gejala El Niño sangat kuat seperti
kasus tahun 1997, pengaruh akan terasa hingga Indonesia bagian barat kecuali wilayah Jambi hingga Aceh karena El Niño kuat akan membuat bayangannya di
Samudera Hindia Aldrian and Susanto 2003 Pada beberapa tahun terakhir, terlihat jelas bahwa peristiwa kekeringan di
Indonesia akibat El Niño kerap kali terjadi akibat peningkatan fluktuasi anomali suhu muka laut Samudera Pasifik. Hal tersebut menunjukkan bahwa cuaca ekstrim
regional dan anomali iklim yang direpresentasikan dengan kejadian El Niño akan mendorong peningkatan resiko iklim di wilayah Indonesia. Disamping itu anomali
iklim dan cuaca regional berkaitan dengan El Niño diperburuk pula oleh peningkatan temperatur yang berkaitan dengan semakin tingginya konsentrasi
gas-gas rumah kaca di atmosfir Gambar 2.3.
Sumber : http:www.ncdc.noaa.govimgclimateresearch1998ensoensotr2.gif
Gambar 2.3 Anomali temperatur permukaan global sepanjang 10 kejadian El Niño
utama dalam abad ini NCDCNOAA
17 Dalam dasawarsa terakhir ini frekuensi kejadian El Niño semakin sering
terjadi. Selain tahun 1991, El Niño juga terjadi tahun 1994, 1997, 2002, 2003, 2006. Hal tersebut menunjukkan bahwa dalam tempo 12 tahun sudah terjadi
enam kali El Niño.
2.3. Fenomena IOD di Samudera Hindia