23 Niño
sekitar 8,5 bulan dengan kisaran 4-12 bulan, sedangkan kejadian La Niña bulan dengan kisaran 5-15 bulan Harger 1995.
2.6. Fenomena ENSO dan IOD dalam Hubungannya dengan Sistem
Produksi Padi di Indonesia Fenomena anomali iklim merupakan gejala alam yang bersifat global dan
besar pengaruhnya terhadap pola iklim global dan regional, bahkan lokal. Kedatangannya tidak mudah diduga, sehingga langkah antisipasi dan
penanggulangan cukup sulit, terutama El Niño. Anomali iklim telah berulang kali terjadi dan umumnya merusak sistem produksi padi.
Sistem produksi padi nasional merupakan salah satu sistem yang dinilai rentan terhadap fenomena ENSO dan IOD. Misalnya, pada kondisi iklim ekstrim,
luas dan intensitas lahan pertanian yang terkena bencana meningkat tajam. Pengamatan tahun 1994 dan 1997 yang disinyalir sangat dipengaruhi oleh
fenomena El Niño dan IOD positif menunjukkan bahwa kumulatif luas sawah yang mengalami kekeringan dari bulan Mei sampai Agustus melebihi 400 ribu ha
sementara pada tahun-tahun normal dan La Niña kurang dari 75 ribu ha. Demikian pula pada tahun La Niña 1995, kumulatif luas banjir dari bulan Oktober
sampai Desember mencapai 250 ribu ha sementara pada tahun-tahun normal dan tahun El Niño umumnya kurang dari 100 ribu ha Boer dan Alimoeso 2002.
Kehilangan produksi padi akibat kejadian kekeringan dan banjir khususnya pada tahun-tahun iklim ekstrim dapat mencapai 2 juta ton.
Di beberapa wilayah seperti di Jawa, Lampung dan Bali, pengaruh kejadian ENSO terhadap curah hujan sangat nyata, terutama pada musim kering.
Pada tahun El Niño, curah hujan pada Musim Kemarau II Juli sampai Oktober dapat turun sampai 57 curah hujan tahun normal Sebaliknya pada tahun La
Niña , curah hujan MK II dapat meningkat sampai 152 curah hujan normal Las,
2000. Selain dapat mempengaruhi tingginya curah hujan, kejadian El Niño juga berpengaruh terhadap masuknya musim kemarau. Pada tahun El Niño 1982, awal
musim kemarau di wilayah Indonesia bagian tengah dan timur terjadi lebih awal 20 hari dari normal sedangkan akhir musim kemarau mundur 30-40 hari dari
normal Soerjadi 1984. Perubahan iklim akan mengakibatkan perubahan pola
24 iklim tahunan seperti terlambatnya awal musim hujan maupun musim kering.
Disamping itu periode musim hujan juga diperkirakan akan lebih pendek. Di Indonesia, kondisi kekeringan sepanjang musim kemarau Juni –
November terjadi bersamaan dengan perkembangan El Niño di Pasifik. Tipe tersebut direpresentasikan dengan anomali SST dingin di sekitar Indonesia,
sedangkan anomali panas berkembang di sebelah Timur Pasifik dan sebelah Barat Samudera Hindia. Sebaliknya peningkatan curah hujan di Indonesia sepanjang
musim kemarau. Bila terjadi anomali iklim maka yang paling merasakan dampaknya adalah
petani padi yang umumnya miskin, tidak mampu menabung dan tidak mempunyai pekerjaan alternatif. Anomali iklim, terutama El Niño, tidak hanya menyebabkan
turunnya produksi padi, tetapi juga berdampak terhadap mundurnya waktu tanam pada musim berikutnya.
Penurunan curah hujan secara nyata pada musim kemarau akibat El Niño berdampak pada kekeringan pada hampir seluruh wilayah di Indonesia. Seperti
halnya kekeringan yang terjadi antara tahun 1990-1997, dalam kurun waktu tersebut terjadi tiga kali kekeringan hebat yaitu tahun 1991, 1994, dan 1997 yang
ditandai dengan tingginya lahan yang terkena dampak dan yang mengalami puso Gambar 2.7.
25
10 20
30 40
50 60
70 80
90
Drought Area thous and ha
1990 1991
1992 1993
1994 1995
1996 1997
Maize
Completely damage Lightly-heavily affected
100 200
300 400
500 600
700 800
900
Drought Area thous and ha
1990 1991 1992 1993 1994 1995 1996 1997 Rice
Completely damage Lightly-heavily affected
5 10
15 20
25 30
35
Drought Area thous and ha
1990 1991
1992 1993
1994 1995
1996 1997
Soybean
Completely damage Lightly-heavily affected
5 10
15 20
25
Drought Area thous and ha
1990 1991 1992
1993 1994 1995 1996
1997 Peanut
Completely damage Lightly-heavily affected
Gambar 2.7 Pengaruh El Niño terhadap padi dan palawija Boer and Subbiah, 2005.
Berdasarkan data historis pengaruh peristiwa El Niño terhadap produksi beras nasional, mengindikasikan bahwa sistem produksi beras nasional sangat
rentan terhadap peristiwa iklim ekstrim. Saat El Niño terjadi, kehilangan produksi padi meningkat secara nyata dan total kehilangan hasil juga cenderung meningkat.
Rata-rata kehilangan hasil disebabkan kekeringan pada periode 1980-1990 tiga kali lebih tinggi dibandingkan dengan yang terjadi pada periode 1991-2000, dari
seratus ribu ton per hektar per tahun sampai dengan 300 ribu ton per hektar per tahun Boer dan Las 2003. Penurunan produksi ini berpengaruh langsung pada
tingkat kesejahteraan petani. Sebagai contoh, dari hasil penelitian di sentra produksi beras Kabupaten Indramayu, Jawa Barat, ketika terjadi El Niño tahun
2002- 2003, jumlah keluarga prasejahtera langsung naik sekitar 14 persen. Kemarau panjang yang terjadi sejak beberapa tahun terakhir ini sangat erat
kaitannya dengan fenomena anomali iklim El Niño. Sebaliknya, bila fenomena La Niña
yang muncul, curah hujan cenderung akan tinggi. Menurut Fagi dan Manwan 1991 pada musim kering 1991 diperkirakan produksi padi nasional
turun 2,2 persen. Menurut Panggabean 1995 kekeringan 1994 menyebabkan produksi padi nasional turun 3,7 persen. Musim kemarau disusul dengan banjir
26 tahun 1994 telah mengurangi luas panen sebesar 3,1 persen atau 341.000 ha,
demikian juga hasil per hektar menurun sebesar 0,6 persen atau 0,27 kuha. Pada tahun 2003, akibat curah hujan yang rendah terjadi kekeringan di areal sawah di
sentra padi Jawa seluas 430.295 ha disamping 82.696 ha yang mengalami puso BAPENAS 2004, bila terjadi kekeringan berlanjut maka akan mengganggu
stabilitas pangan karena 50 pasokan padi nasional berasal dari Pulau Jawa.
2.7. Pengembangan Model Prediksi Curah Hujan dalam Mendukung