Gelasi Protein CURD DAN TAHU

4 Protein berberat molekul tinggi dan persentase amino yang tinggi dengan gugus hidrofobik cenderung membangun jaringan yang kuat dalam sistem gel. Keberadaan asam amino hidrofobik juga mempengaruhi perubahan protein selama pemanasan. Peningkatan jumlah gugus -SH dan -SS- selama denaturasi dapat memperkuat jaringan intermolekul. Berat molekul minimum kristis bagi pembentukan gel adalah 23000 Zayas, 1997. Gambar 1. Mekanisme gelasi dari tahu yang terkoagulasi oleh CaSO 4 . O merupakan molekul protein. ● merupakan area hidrofobik. Diadaptasi dari Kohyama et al. 1995. Dalam pembentukan gel, transisi dari bentuk asli menjadi bagian yang terdenaturasi merupakan precursor penting terhadap interaksi-interaksi protein. Derajat denaturasi protein yang penting dalam pembentukan gel masih merupakan perdebatan. Jaringan gel dapat terbentuk setelah denaturasi protein parsial dan molekul protein di-fixed-kan dalam bagian terdenaturasi parsial Zayas, 1997. Felix 1988 menyatakan bahwa gelasi protein menyediakan integritas mekanis ke banyak matriks pangan dengan membentuk jaringan molekular yang memberikan sifat-sifat seperti padatan. Gelasi ini dapat mempengaruhi sifat kinestetik, struktural, tekstural, dan reologi. Pada konsentrasi tinggi 20, sebagian besar dispersi protein menunjukkan fenomena ini; juga konsentrasi rendah, Protein alami ● Area hidrofobik tertanam dalam molekul protein Langkah pertama: Pemanasan 97 o C Permukaan hidrofobik Protein terdenaturasi Area hidrofobik terekspos di permukaan Agregasi area hidrofobik Agregat bermuatan negatif Ion Ca 2+ Koagulan Langkah kedua Ion Ca 2+ menetralisir agregat bermuatan negatif untuk memfasilitasi interaksi hidrofobik Gelasi Jaringan gel “tring of beads 5 atau molekul protein yang merupakan dimensi molekular kecil dengan sedikit kecenderungan untuk interaksi intermolekular, akan mengurangi sifat seperti bahan padat tersebut. Protein kedelai mempunyai banyak sifat fungsional yang sudah dipelajari secara luas. Sifat-sifat fungsional protein tersebut antara lain kemampuan untuk larut, kemudahan terdenaturasi oleh panas, pengemulsian, kemampuan menghasilkan busa, kemampuan membentuk gel, kemampuan menahan air Water Holding Capacity, sifat reologi, kemampuan membentuk tekstur, dan kemampuan mempengaruhi karakteristik tekstur Liu et al., 2008. Contoh mekanisme pembentukan gel oleh protein dapat dilihat pada Gambar 1, pembentukan gel kedelai ini juga dibantu oleh adanya koagulan. Awalnya protein yang memiliki area hidrofobik yang tertanam di dalam molekul protein dipanaskan hingga 97 o C. Hal ini menyebabkan protein terdenaturasi sehingga protein terbuka, dan area hidrofobik terekspos di permukaan. Protein-protein terdenaturasi tersebut kemudian saling beragregasi diakibatkan area hidrofobik dari protein-protein tersebut saling mendekat dan bergabung. Sebagai akibatnya agregat protein menjadi bermuatan negatif. Koagulan kemudian ditambahkan, dalam hal ini koagulan CaSO 4 , sehingga ion Ca 2+ dari koagulan akan menetralisir muatan negatif dari agregat protein dan memfasilitasi terjadinya interaksi hidrofobik. Akhirnya terjadilah gelasi yang ditunjukan dengan terbentuknya jaringan gel yang tersusun dari string of beads. Gambar 2. Pembentukan struktur jaringan protein dengan adanya perubahan konsentrasi, pH, atau kekuatan ion protein. Diadaptasi dari Hegg 1982 dan Oakenfull et al. 1997. Menurut Yasir 2005, pembentukan gel protein sangat dipengaruhi oleh kondisi dari pembentukan itu sendiri. Gel dapat menjadi lebih kasar jika pH mendekati titik isoelektrik protein dan juga ketika kekuatan ion protein ditingkatkan. Dalam kasus protein globular, perubahan konsentrasi, pH, dan kekuatan ion protein, akan menyebabkan struktur jaringan berubah dan secara tidak langsung akan berkontribusi terhadap kekuatan gel, seperti yang ditunjukkan oleh Gambar 2. Banyak penelitian yang menghubungkan antara sifat gelasi protein dengan keberadaan 7S β- conglycinin dan 11S glycinin —yang merupakan kandungan mayoritas dari protein globulin kedelai. Kandungan protein 11S dan rasio protein 11S7S telah dilaporkan memiliki korelasi positif dengan kekerasan gel tahu pada basis sistem protein terpurifikasi Kang et al., 1991; Murphy et al., 1997; Saio et al., 1969 yang dikutip oleh Mujoo, 2003. Utsumi dan Kinsella 1985 yang dikutip oleh Mujoo 2003 menemukan bahwa protein 7S membentuk gel yang jauh lebih keras dibandingkan dengan protein 11S. Selain itu terdapat sedikit korelasi antara rasio protein 11S7S dengan mutu tahu Konsentrasi protein Kekuatan ion Tinggi Dekat pI Tinggi Rendah Jauh dari pI Rendah Larutan Larutan Gel opak Gel transparan Gel turbid keruh Rendah Kekuatan gel Tinggi Rendah 6 Skurray et al., 1980; Taira, 1990 yang dikutip oleh Mujoo, 2003. Berbeda dengan pendapat Utsumi dan Kinsella 1985 sebelumnya, Corredig 2006 justru menemukan bahwa gel yang dihasilkan oleh protein 11S glycinin yang sudah terisolasi jauh lebih keras dibandingkan dengan gel yang dihasilkan oleh protein 7S β-conglycinin, dan struktur jaringan yang terbentuk berbeda, tergantung dengan komposisi proteinnya. Hal yang senada juga dinyatakan oleh Blazek 2008 yang menyatakan bahwa glycinin berkontribusi besar terhadap peningkatan kekerasan, sementara itu β-conglycinin justru memiliki pengaruh yang kuat terhadap keelastisitasan gel protein kedelai.

3.1.2 Tahu

Menurut Liu 2008, tahu merupakan produk berbasis kedelai yang airnya terekstrak dan garam atau asamnya terendap dalam bentuk curd, menyerupai keju putih halus atau yogurt yang sangat keras. Sederhananya, tahu merupakan protein kedelai yang digumpalkan melalui penambahan suatu bahan penggumpal. Tahu merupakan pangan yang serbaguna dan bergizi yang terbuat dari curd kedelai Obatolu, 2007. Dibandingkan dengan daging atau keju, tahu memiliki kalori yang lebih rendah karena rasio proteinlemaknya yang lebih tinggi. Tahu juga bebas kolesterol, bebas laktosa, dan jumlah lemak jenuhnya lebih sedikit Liu, 2008. Pemanfaatan protein kedelai yang pertama kali adalah di Asia Timur, Protein tersebut dimanfaatkan sebagai makanan dalam bentuk tahu gel. Gel dari kedelai atau yang biasa disebut dengan tahu memiliki kapasitas untuk bertindak sebagai matriks dan menahan air, lemak, polisakarida, flavor dan bahan komponen lainnya. Sifat karaktersitik dari gel protein kedelai ini adalah kemampuan menahan proteinnya atau Water Holding Capacity WHC yang tinggi dibandingkan dengan gel dari susu atau gel lainnya Zayas, 1997. Tahu merupakan pangan yang diproduksi melalui pemanfaatan sifat gelasi protein kedelai. Kedelai yang akan dioleh diekstrak proteinnya menjadi susu kedelai lalu digumpalkan menggunakan koagulan. Oboh 2006 menyatakan bahwa tahu dihasilkan dengan cara mengkoagulasikan susu kedelai panas baik dengan garam CaCl 2 atau CaSO 4 atau asam glukono- -lakton. Pengkoagulasian ini akan menghasilkan gel protein yang dapat menjerat air, lemak, dan komponen lainnya dalam matriks curd yang terbentuk. Curd yang terbentuk kemudian ditekan hingga membentuk kubus padat Cao dan Chan, 1997; Cao dan Chang, 1999 yang dikutip oleh Oboh, 2006. Hasil dan mutu dari tahu dipengaruhi oleh varietas kedelai, kualitas kedelai tergantung dengan pertumbuhan dan kondisis penyimpanan, dan kondisi proses. Proses koagulasi merupakan tahap yang paling penting dalam pembuatan tahu dan paling sulit dikontrol karena ketergantungannya terhadap kompleks hubungan intern dari variabel-variabel berikut: kimiawi kedelai; suhu pemasakan susu kedelai; volume, kandungan padatan dan pH; tipe, jumlah, konsentrasi dan metode penambahan dan pencampuran koagulan; serta suhu dan waktu koagulasi Cai dan Chang, 1998. Untuk tahu tradisional yang biasanya dijual di Indonesia, proses pembuatannya pada dasarnya terdiri atas dua bagian, yaitu pembuatan susu kedelai dan penggumpalan proteinnya. Sebagai zat penggumpal secara tradisional biasanya digunakan biang, yaitu cairan yang keluar pada waktu pengepresan dan sudah diasamkan semalam. Sebagai pengganti, dapat digunakan air jeruk, cuka, larutan asam laktat, larutan CaCl 2 atau CaSO 4 . Pada pembuatan tahu cina biasanya digunakan sioko yang mengandung CaSO 4 dan garam. Selain protein, zat-zat lain yang terdapat dalam kedelai juga terbawa ke dalam endapan. Terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi rendemen protein dan mutu tahu, yaitu cara penggilingan, pemilihan bahan baku, bahan penggumpal, dan keadaan sanitasi proses pengolahan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa ekstraksi secara panas menghasilkan rendemen lebih banyak Purwaningsih, 2007. 7 Proses pembuatan tahu pada dapat dimulai dengan memilih kedelai yang berkualitas baik lalu di bersihkan kotorannya. Setelah itu kedelai direndam dalam air bersih selama 8-12 jam lebih baik jika menggunakan air mengalir. Perendaman dimaksudkan untuk melunakkan struktrur selularnya sehingga mudah digiling dan memberikan disperse dan suspense bahan padat kedelai yang lebih baik pada waktu ekstraksi penggilingan. Proses perendaman juga akan mengurangi oligosakarida penyebab flatulensi menjadi sekitar 30. Perendaman dapat mempermudah pengupasan kulit kedelai, tetapi perendamannya yang terlalu lama dapat mengurangi total padatan Purwaningsih, 2007. Menurut Subardjo et al. 1987 perendaman yang terlalu lama akan menyebabkan terjadinya pembentukan busa pada permukaan air rendaman akibat fermentasi kedelai, sedangkan perendaman yang terlalu singkat akan membuat biji kedelai sulit pecah saat penggilingan. Kedelai yang sudah direndam kemudian dikupas dan dilakukan penggilingan dengan penambahan air antara 8-10 kali berat kedelai. Penggunaan air panas 80-100 o C dapat menonaktifkan enzim lipoksigenase penyebab bau langu serta memperbanyak rendemen. Bubur kedelai selanjutnya disaring dan filtratnya dimasak. Pemasakan ini bertujuan untuk mengurangi bau langu, menonaktifkan tripsin inhibitor antitripsin, meningkatkan daya cerna, mempermudah ekstraksi, penggumpalan protein, serta menambah keawetan produk Purwaningsih, 2007. Menurut Liu et al. 2004, pemanasan optimal dalam pembuatan susu kedelai dilakukan selama 3-10 menit setelah mendidih yang tujuannya untuk mengekstrak protein kedelai dan mendenaturasi protein serta memudahkan proses koagulasi. Penggumpalan selanjutnya dilakukan dengan penambahan batu tahu atau biang. Dalam hal ini harus diperhatikan kecepatan penambahannya. Gumpalan curd protein kedelai selanjutnya dicetak, diperas dipres dan dipotong Purwaningsih, 2007. Penambahan koagulan ke dalam filtrat dilakukan pada suhu yang tepat, sesuai dengan jenis koagulan yang digunakan. Setelah curd terbentuk, curd dikumpulkan dan dimasukkan ke dalam wadah cetakan, kemudian ditekan perlahan untuk membuang kelebihan air dan terbentuk padatan tahu. Menurut Shurtleff dan Aoyagi 2001, untuk mendapatkan hasil dengan jumlah yang tinggi misal untuk menghasilkan tahu soft kebanyakan produsen melakukan penekanan ringan awal sekitar 2-4 gmcm 2 0.026-0.052 psi untuk kira-kira 5 menit, kemudian penekanan dan tutup dihilangkan dan tarik kain ke seluruh sisi untuk meningkatkan pengurasan air, dan pada akhirnya dilakukan penekanan kuat sekitar 20-100 gmcm 2 0.26-1.32 psi untuk kira-kira 20 hingga 30 menit. Menurut Obatolu 2007, hasil dan kualitas tahu dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu mutu dan varietas kedelai, jumlah pengadukan, koagulan yang digunakan, dan besar dan lama penekanan curd. Selain itu, koagulasi susu kedelai sangat mengandalkan hubungan intern antara tipe kedelai, suhu pemasakannya, volume, kandungan padatan, pH, tipe dan jumlah koagulan, serta waktu koagulasi. Semua faktor itu akan mempengaruhi profil tekstur curd yang dihasilkan pada produk akhir seperti kekerasan. Kekerasan tahu dapat bervariasi dari lunak ke keras dengan kandungan air sekitar 70-90 dan kandungan protein sekitar 5-16, dan hal itu tergantung dari jenis dan jumlah koagulan, pengadukan selama koagulasi serta penekanan yang diaplikasikan terhadap curd DeMan et al, 1986 yang dikutip Blazek, 2008. Obatolu 2007 menyatakan bahwa tahu lunak digolongkan melalui rasa yang lunak dan tekstur yang halus dengan kadar air berkisar antara 84-90. Kekerasan kemungkinan dikarenakan oleh kepadatan dan kerapatan struktur dari tahu. Tahu yang keras memiliki struktur yang lebih padat karena molekul proteinnya sangat dekat akibat hilangnya kandungan air selama tahap koagulasi.