Fitur lingkungan yang menjadi karakteristik habitat cetacea di perairan

78 front terutama di lapisan perbatasan mesopelagis yang memiliki densitas mangsa tinggi. Dengan demikian, tidak semua wilayah front menjadi habitat mencari makan cetacea, karena Stenella longirostris memiliki kemampuan mendeteksi dan menelusuri dinamika migrasi vertikal dan horizontal mangsanya di perairan pelagis. Embling et al. 2005 mendapati korelasi 39 antara sebaran tiga spesies cetacea dengan sebaran ikan herring di perairan barat Skotlandia, karena hanya menggunakan faktor kedalaman sebagai proxy keterkaitan antara sebaran apex predator cetacea dan mangsanya. Hasil yang berbeda juga diperoleh Tynan et al. 2005 yang mendapati korelasi tinggi 44.5-94.4 untuk sejumlah jenis cetacea yang ditemukan di perairan California Current System, yang mana digunakan sedikitnya 16 proxies dengan penekanan variasi musiman terhadap perjumpaan species cetacea di perairan tersebut.

5.2. Fitur lingkungan yang menjadi karakteristik habitat cetacea di perairan

Selat Ombai Peliknya melakukan kajian langsung mengenai preferensi habitat makan komunitas apex-predator cetacea sangat terkait dengan mobilitasnya yang tinggi dan sulitnya mendapatkan data sebaran mangsa cetacea pada skala spasiotemporal yang sama dengan hasil pengamatan visual cetacea, sehingga pada penelitian ini kajian tersebut diarahkan pada beberapa fitur lingkungan yang menandai karakteristik habitat makan, juga melalui pendekatan piramida makanan di ekosistem laut dengan fokus komunitas fitoplankton dan zooplankton. Ballance et al. 2006 menuliskan bahwa tahap pertama dalam mengkaji habitat cetacea adalah dengan mencatat pola sebaran dan kelimpahan cetacea, kemudian mengaitkannya dengan pergerakan fitur oseanografi permukaan dari wilayah kajian tersebut. Keberadaan mangsa di perairan pelagis tidak bisa dilepaskan dari komunitas produsen yang menduduki jenjang trofik terendah, yang pada penelitian ini dikaji memanfaatkan teknologi inderaja SeaWiFS. Berdasarkan pencitraan muka laut oleh SeaWiFS, terdapat dua fitur lingkungan yang kerap dijumpai di perairan Selat Ombai, yaitu thermal front Gambar 2-1, 2-2 dan eddies Gambar 2-3 sd 2-5 yang sangat umum terkait dengan wilayah perairan produktif. Thermal front di perairan Selat Ombai dijumpai di sisi timur pulau Alor dan sisi barat laut pulau Timor, yang merupakan wilayah masuknya Arlindo yang akan 79 menuju Samudera Hindia. Front dan eddies merupakan fenomena yang menyokong kondisi upwelling di perairan Sangra et al. 2001 serta memiliki keterkaitan erat sebagai preferensi habitat cetacea Doniol-Valcroze et al. 2007, Embling et al. 2004, Tynan et al. 2005, Burtenshaw et al. 2004. Bost et al. 2009 dan Ballance et al. 2006 menjelaskan bahwa apex predator cetacea memiliki preferensi terhadap front dan eddies adalah sebagai habitat mencari makannya. Sebaran kandungan klorofil-a permukaan di perairan Selat Ombai Gambar 2-3 sd 2-6 menunjukkan bahwa di perairan ini terdapat fenomena persistent upwelling, sebagaimana juga diperoleh Moore and Marra 2002. Dinamika bulanan kondisi persistent upwelling di Selat Ombai memiliki korelasi dengan variabilitas lapisan termoklin Gambar 3-2, lapisan termoklin yang dangkal lebih potensial memacu peningkatan produktivitas primer perairan. Lapisan termoklin di Selat Ombai memiliki batas bawah yang terdapat di kedalaman ca. 250 m. Pembentukan front dan eddies, serta peningkatan kandungan klorofil-a permukaan di Selat Ombai sangat dipengaruhi oleh sejumlah dinamika proses pergerakan massa air, yaitu internal wave yang dipengaruhi pasang surut Robertson and Ffield 2008, 2005, percampuran vertikal Atmadipoera et al. 2009, dan kondisi batimetri yang dipengaruhi keberadaan sill Molcard et al. 2001. Dengan demikian, perairan Selat Ombai juga merupakan biological hot spots karena merupakan lokasi yang secara konsisten memiliki kandungan klorofil-a permukaan tinggi dan keberadaan populasi apex predator yang tinggi pula, yang sedikitnya diwakili oleh tiga spesies cetacea yaitu Stenella longirostris, Pseudorca crassidens, dan Physeter macrocephalus. Satu faktor lain yang memungkinkan agregasi apex-predator di laut adalah biophysical coupling antara arus dan tingkah laku komunitas biotik yang hidup di perairan tersebut Genin 2004. Lebih lanjut lagi, Genin 2004 menguraikan bahwa ada tiga mekanisme yang menjadi proses fundamental terhadap tingginya produksi fitoplankton dan zooplankton di wilayah tersebut, yaitu 1 hambatan topografi yang menghalangi proses migrasi ke lapisan bawah, yang sangat efektif bila berlangsung pagi hari; 2 akumulasi komunitas zooplanktonmikronekton yang mempertahankan posisinya di kedalaman tertentu isovolume terhadap proses upwelling, dan; 3 akumulasi komunitas zooplanktonmikronekton yang mempertahankan posisinya di 80 kedalaman tertentu isovolume terhadap proses downwelling. Khusus untuk perairan Selat Ombai, Atmadipoera et al. 2009 dan Wisudawati 2006 mendapati adanya dua sisi perairan yang masing-masing mengalami proses kontradiktif, yaitu upwelling di selatan Pulau Alor dan downwelling di timur Pulau Alor. Dengan demikian sangat potensial menyokong retensi agregasi komunitas plankton di Selat Ombai, selain merujuk pada keberadaan dan peran ekologis dan sejumlah fitur khas oseanografi lain seperti internal wave, front, dan eddies. Profil lapisan hambur balik akustik menunjukkan adanya patchiness atau sebaran spasio-temporal mikrostruktur biomassa akustik pada kedalaman di atas 250 m sampai ke dekat permukaan pada waktu menjelang malam ca. 17:00 dan 5:00 WITA. Dengan demikian, sangat mungkin mikrostruktur tersebut berasosiasi dengan fenomena migrasi vertikal harian oleh komunitas zooplankton dan mikronekton. Sangat sulit untuk mengaitkan secara langsung komunitas zooplanktonmikronekton hasil pencitraan data akustik ADCP dengan apex predator cetacea yang dijumpai di perairan Selat Ombai. Pertama, terkait dengan mangsa cetacea yang berupa komunitas nekton pelagis yang umumnya tidak menunjukkan tingkah laku migrasi vertikal harian seperti yang diperoleh. Kedua, posisi ADCP yang upward tidak berhasil memperoleh informasi keberadaan lapisan HBA sekunder seperti yang dijumpai Kaltenberg 2004, yang merupakan indikasi habitat foraging Physeter macrocephalus. Terkait dengan mangsa Stenella longirostris, Benoit-Bird and Au 2003 menghasilkan kajian yang terstruktur dalam memahami dinamika foraging cetacea tersebut di perairan Hawaii serta bagaiman pola migrasi komunitas biomassa akustik yang juga disebut sebagai komunitas perbatasan mesopelagis berdasarkan data ADCP Benoit-Bird and Au 2004. Kajian Benoit-Bird and Au mendapati bahwa lokasi dan periode cetacea melakukan foraging sangat terkait dengan dinamika migrasi mangsa yang umumnya terperangkap di lapisan front. Migrasi tersebut tidak hanya bersifat vertikal melainkan juga horizontal, berdasarkan jarak terhadap pantai. Di siang hari, cetacea umum forage di sisi luar front yang dekat dengan continental shelf break, sedangkan di malam hari lokasi forage bergeser ke arah perairan dangkal, mengikuti migrasi vertikal komunitas perbatasan mesopelagis yang bergerak menuju permukaan di wilayah dekat pantai 81

5.3. Implikasi hasil penelitian terhadap konservasi cetacea