Implikasi hasil penelitian terhadap konservasi cetacea

81

5.3. Implikasi hasil penelitian terhadap konservasi cetacea

Cetacea merupakan salah satu flagship species dalam upaya konservasi bahari. Selain itu, secara biologi komunitas cetacea tergolong tipe makhluk hidup yang memerlukan waktu lama untuk mencapai usia matang reproduktif, memelihara fetus, dan calf sampai masa penyapihan, sehingga sampai saat ini sedikitnya ada enam spesies cetacea yang populasinya terancam dan rentan terhadap kepunahan IUCN 2009. Ada lima tipe ancaman terhadap kelestarian populasi cetacea sebagaimana disarikan oleh Prideaux 2003, yaitu 1 Kegiatan perikanan tangkap, kemungkinan tertangkap sebagai bycatch; 2 Polusi kimiawi, terutama persistent organic pollutants seperti DDT dan PCB; 3 Pelayaran strikes, noise, disturbance, harassments; 4 Hilangnya dan degradasi habitat; dan 5 Perburuan. Sebagian besar ancaman tersebut sangat sulit untuk dimonitor status dan kondisinya di alam, sehingga pendekatan konservasi berbasis habitat sering diterapkan selain penetapan status konservasi spesies. Hoyt 2005 mendefinisikan habitat kritis bagi cetacea sebagai bagian dari wilayah jelajah cetacea yang sangat penting dalam membantu hewan tersebut bertahan hidup sehari-hari dan mempertahankan laju pertumbuhan populasi yang sehat. Sebagai konsekuensinya, wilayah yang digunakan cetacea untuk berburu makanan foraging habitat, memijah, membesarkan calf, dan koridor migrasi, akan berperan sebagai habitat kritis cetacea; terlebih lagi jika wilayah tersebut dimanfaatkan secara berkala oleh lebih dari satu jenis cetacea. Dari Gambar 5-1 dapat dilihat bahwa pada musim barat Pelayaran INSTANT I, aktivitas makan dan foraging yang dilakukan oleh seluruh spesies cetacea lebih terkonsentrasi di shelf break selatan Pulau Alor, sedangkan pada musim tenggara Pelayaran INSTANT II konsentrasi wilayah tersebut terbagi di beberapa lokasi, yaitu shelf break tenggara Alor Stenella longirostris, shelf break timur Alor Pseudorca crassidens dan perairan jeluk 2000-3000 m di bagian tengah Selat Ombai Physeter macrocephalus. Hal tersebut semakin dikuatkan oleh hasil analisis korespondensi Gambar 4-8b, yang menunjukkan bahwa ada preferensi wilayah yang berbeda di perairan Selat Ombai untuk bulan Januari maupun Juni-Juli. 82 Konsistensi perjumpaan sejumlah spesies cetacea yang tergolong apex predator, tingkah laku komunitas cetacea, serta variabilitas faktor suhu dan klorofil-a, menunjukkan bahwa perairan Selat Ombai berperan sebagai habitat kritis cetacea. Walaupun hubungan antara cetacea dengan parameter biofisik lingkungan yang menjabarkan kondisi habitat tersebut tidak dapat dikaitkan secara langsung, namun dinamikanya yang selaras dengan alih energi dari jenjang trofik rendah sampai ke puncak dapat menjadi landasan dalam memahami relung ekologi cetacea di Selat Ombai. Dasar pemahaman yang sama diterapkan oleh Embling et al. 2005 terhadap komunitas cetacea di perairan barat Skotlandia serta dilengkapi dengan pendataan komunitas nekton yang dipredasi cetacea dan pemodelan Generalized Additive Model untuk mengetahui kontribusi masing-masing faktor lingkungan yang dikaji. Analisis korespondensi yang digunakan pada penelitian ini Gambar 4-8 menunjukkan bahwa komunitas cetacea, yang sedikitnya terdiri atas tiga populasi yang berbeda, memiliki keterkaitan yang erat dengan wilayah perairan Selat Ombai yang terletak di sisi tenggara Pulau Alor 125° BT dan selatan Pulau Alor 8°24 – 8°30 LS; 124° BT. Pada akhirnya, ada baiknya apabila penghapusan wilayah ini dari Kawasan Konservasi Perlindungan Nasional Laut Sawu DKP 2009 dipertimbangkan kembali dan perairan Selat Ombai tetap ditetapkan sebagai kawasan yang dilindungi atau sebagai kawasan pemanfaatan terbatas. Dengan demikian, masih ada legalitas formal yang berwawasan lingkungan yang memungkinkan masyarakat Lamalera mengeksploitasi cetacea secara tradisional, sekaligus meminimalkan ancaman akibat kegiatan ekstraktif atau ancaman lingkungan lainnya. 83

6. SIMPULAN DAN SARAN