BAB V TARAF HIDUP RUMAHTANGGA PETANI SEBELUM DAN
SESUDAH KONVERSI LAHAN
5.1 Tingkat Pendapatan Rumahtangga
Total pendapatan rumahtangga diperoleh dari hasil penjumlahan antara pendapatan bersih usahatani panen, buruh tani, pendapatan di luar usaha
pertanian, dan pendapatan anggota rumahtangga responden setiap bulan. Pendapatan rumahtangga petani yang berasal dari sektor pertanian
jumlahnya tidak terlalu besar, apalagi bagi petani kelas bawah. Hal ini karena luasan lahan yang mereka miliki jumlahnya relatif sempit. Walaupun pendapatan
di sektor pertanian tidak terlalu besar bagi sebagian warga, tetapi masih ada warga yang tetap bertahan pada sektor ini. Hal ini karena mereka tidak memiliki keahlian
di luar usahatani. Selain bekerja di sektor pertanian, warga juga banyak yang memiliki sumber pendapatan lain yang diperoleh melalui berdagang, buruh,
wiraswasta, dan karyawan.
Tabel 4. Persentase Perbandingan Tingkat Pendapatan Rumahtangga Petani Berdasarkan Pelapisan Sosial Sebelum Terjadinya Konversi Lahan B
dan Sesudah Terjadinya Konversi Lahan A di Kelurahan Mulyaharja
7
Tingkat Pendapatan Rendah
Sedang Tinggi
Total Pelapisan
Sosial B
A B
A B
A B
A Atas
22,2 33,3
22,2 66,7
55,6 100
100 Menengah
40 40
60 60
22,2 100
100 Bawah
66,7 47,6
23,8 38,1
9,5 14,3
100 100
Rata-rata 45,7
40 31,4
37,1 22,9
22,9 100
100
Tabel 4 menunjukkan bahwa sebelum terjadinya konversi lahan, mayoritas rumahtangga petani yang ada di Kelurahan Mulyaharja memiliki tingkat
pendapatan rendah dengan persentase sebesar 45,7 persen dan paling banyak ditempati oleh rumahtangga petani lapisan bawah dengan persentase sebesar 66,7
persen. Rumahtangga petani lapisan menengah, mayoritas memiliki tingkat pendapatan yang sedang dengan persentase sebesar 60 persen. Rumahtangga
petani lapisan atas, mayoritas memiliki tingkat pendapatan yang tinggi dengan persentase sebesar 66,7 persen. Dengan kata lain, dapat disimpulkan bahwa
semakin tinggi lapisan sosial, maka tingkat pendapatan akan semakin tinggi. Semakin rendah lapisan sosial, maka tingkat pendapatan akan semakin rendah.
Setelah konversi lahan, persentase rumahtangga petani lapisan atas yang memiliki tingkat pendapatan tinggi mengalami penurunan sebesar 11,1 persen,
yaitu dari 66,7 persen menjadi 55,6 persen. Persentase rumahtangga petani lapisan atas yang memiliki tingkat pendapatan sedang , juga mengalami penurunan
sebesar 11,1 persen, yaitu dari 33,3 persen menjadi 22,2 persen. Sedangkan persentase rumahtangga petani lapisan atas yang memiliki tingkat pendapatan
rendah mengalami peningkatan yaitu dari 0 persen menjadi 22,2 persen. Rumahtangga petani lapisan menengah yang memiliki tingkat pendapatan
tinggi, setelah konversi lahan persentasenya mengalami peningkatan dari 0 persen menjadi 22,2 persen. Persentase rumahtangga petani lapisan menengah yang
memiliki tingkat pendapatan sedang , setelah konversi lahan tidak mengalami
7
B Before merupakan istilah yang digunakan dalam penelitian ini untuk menyatakan waktu sebelum terjadinya konversi lahan. sedangkan A After adalah istilah yang digunakan dalam
penelitian ini untuk menyatakan waktu setelah terjadinya konversi lahan.
perubahan yaitu tetap sebesar 60 persen. Persentase rumahtangga petani lapisan menengah yang memiliki tingkat pendapatan rendah, setelah konversi lahan
persentasenya juga tidak mengalami perubahan, yaitu tetap sebesar 40 persen. Rumahtangga petani lapisan bawah yang memiliki tingkat pendapatan
tinggi, setelah konversi lahan persentasenya mengalami peningkatan sebesar 4,8 persen, yaitu dari dari 9,5 persen menjadi 14,3 persen. Persentase rumahtangga
petani lapisan bawah yang memiliki tingkat pendapatan sedang , setelah konversi lahan mengalami peningkatan sebesar 14,3 persen, yaitu dari 23,8 persen menjadi
38,1 persen. Persentase rumahtangga petani lapisan bawah yang memiliki tingkat pendapatan rendah mengalami penurunan sebesar 19,1 persen, yaitu dari 66,7
persen menjadi 47,6 persen. Dengan kata lain, yang paling banyak diuntungkan setelah adanya konversi adalah rumahtangga petani lapisan bawah, dan yang
paling banyak dirugikan setelah terjadinya konversi adalah rumahtangga petani lapisan atas.
Setelah konversi lahan, tingkat pendapatan rumahtangga petani lapisan bawah menjadi lebih baik jika dibandingkan dengan rumahtangga petani lapisan
menengah dan rumahtangga petani lapisan atas. Rumahtangga petani lapisan menengah berada pada posisi yang stabil, dan rumahtangga petani lapisan atas
kondisinya lebih baik ketika sebelum terjadinya konversi lahan. Meningkatnya pendapatan rumahtangga petani lapisan bawah merupakan akibat dari banyaknya
rumahtangga petani lapisan ini yang beralih profesi ke sektor lain seperti berdagang, home industry, dan lain-lain yang menghasilkan pendapatan lebih
besar. Selain itu, ada juga rumahtangga lapisan bawah yang tetap bekerja di sektor pertanian tetapi pendapatannya semakin besar, seperti yang terjadi pada Bapak K.
Pada awalnya Bapak K merupakan kepala rumahtangga yang berasal dari lapisan bawah. Bapak K memiliki lahan pertanian di dua lokasi yang berbeda, masing-
masing luasnya adalah 450 meter dan 2.000 meter. Hasil panen dari lahan yang luasnya 450 meter digunakan oleh Bapak K untuk makan keluarga. Sebagian dari
lahan yang luasnya 2.000 meter Bapak K jual kepada PT X dan uangnya Bapak K gunakan untuk membangun rumah dan naik haji. Ketika PT X ingin membeli sisa
lahan Bapak K yang 1.000 meter, Bapak K menjualnya kembali kemudian uang hasil penjualan digunakan oleh bapak K untuk membeli lahan pertanian lagi
dengan ukuran yang lebih besar. Wilayah Perumahan yang dibangun oleh PT X terus mengalami perluasan dan membutuhkan banyak lahan. Bapak K
memanfaatkan kesempatan ini untuk memperoleh keuntungan. Bapak K terus menjual lahanya dan membelikan lagi uang hasil penjualan ke dalam bentuk
lahan. Bapak K yang tadinya hanya memiliki lahan yang luasnya 2.450 meter, sekarang memiliki lahan yang luasnya 1 hektar, rumah yang bagus, dan sudah
naik haji.
5.2 Kondisi Tempat Tinggal