harmonis, di sekolah yang mendidik secara efektif, lingkungan masyarakat yang baik dan ramah, maka akan mempengaruhi tindakan individu menjadi baik pula.
Hasil penelitian ini didukung oleh hasil penelitian oleh Noor 2004 di sekolah menengah pertama Kudus dengan sebagian besar responden 48,39
memiliki sikap yang baik yang jumlah persentasenya terpaut jauh dengan hasil penelitian ini sebesar 96,1. Hal ini sesuai dengan teori menurut Lawrence
Green dalam Notoadmodjo 2007 bahwa sikap merupakan faktor pemudah atau predisposisi predisposing factors dan faktor pendorong renforcing factors
yang terwujud dalam tindakan. Disimpulkan bahwa tindakan yang baik seseorang ditentukan oleh sikap yang baik pula.
Pertumbuhan pengaruh dimulai sejak dini dalam kehidupan seorang anak. Prinsip-prinsip yang sejati sejati harus diajarkan kepada mereka sejak masa
kecilnya, supaya sesudah mereka dewasa dapat berdiri tegak di atas fondasi itu. Mereka tidak akan mudah digoyahkan oleh pengaruh sekelilingnya, tetapi mereka
akan menyesuaikan kondisi sekitarnya agar sesuai dengan fondasi yang dimilikinya Nadeak, 1991.
Teori dari Festinger Dissonance Theory dalam Notoadmojo 2007 menjelaskan bahwa ketidakseimbangan dalam diri seseorang yang akan
menyebabkan perubahan perilaku terjadi disebabkan karena adanya perbedaan jumlah elemn kognitif yang seimbang dengan jumlah elemen kognitif yang tidak
seimbang serta sama-sama pentingnya. Sebagian besar responden 87,6 setuju bahwa asap rokok menghambat aktivitas belajar disekolah namun sebagian besar
dari mereka 79,9 tidak setuju apabila sekolah dijadikan kawasan bebas rokok. Hal ini membuktikan bahwa terjadi konflik antara antara kedua elemen diatas.
Titik berat dari penyelesaian konflik ini adalah penyesuaian diri dan mendorong remaja untuk berpikir analitis. Jika mereka setuju asap rokok dapat mengganggu
kegiatan proses belajar mengajar di sekolah hal yang dapat dilakukan untuk mendorong terlaksananya suasana tersebut adalah dengan mendukung lingkungan
sekolah dijadikan kawasan bebas rokok. Ini membuktikan bahwa teori dari Festinger mendukung hasil penelitian ini.
5.7 Responden Yang Masih Merokok
60
Berdasarkan hasil penelitian ini diperoleh 4 responden perokok aktif 1,5 yang terbagi atas kelompok umur 8-10 tahun 2 responden 0,7, kelompok umur 11-
13 tahun 1 responden 0,4 dan 1 responden 0,4 pada kelompok umur 14-16 tahun yang sebagian besar perokok aktif ini oleh remaja laki-laki. Remaja awal
dalam keadaan yang kurang stabil ada kemungkinan cenderung untuk melakukan penyesuaian yang salah seperti hal diatas Rumini dan Sundari, 2004.
Sangat disayangkan ketika umur remaja yang terpaut sangat muda telah kecanduan rokok. Hal ini dikatkan karena kemungkinan telah terjadi kesalahan
dalam pola asuh anak. Orang dewasa menganggap bahwa anak yang telah dibiasakan bermain dengan rokok merupakan bahan tontonan yang lucu, oleh
karena itu pola asuh anak dalam keluarga sangat penting. Remaja yang merokok beresiko mengalami dampak negatif bagi kesehatan dan beresiko lebih tinggi
mengalami hal-hal seperti mengembangkan masalah pernapasan seperti asma dan batuk, mengalami kesulitan dalam melakukan aktivitas atletik karena kapasitas
paru-paru terganggu, memiliki gigi yang kuning dan bau mulut, cenderung rentan menggunakan narkoba seperti ganja, alkohol dan kokain serta menjadi kecanduan
tembakau yang dirasa sangat sulit untuk berhenti. Berdasarkan self concept atau citra diri akan menentukan sikap hidupnya.
Menurut Mapplere 1982:68 dalam Rumini dan Sundari 2004 menyebutkan bahwa remaja awal sering memiliki citra diri yang lebih tinggi atau rendah dari
yang semestinya. Sehingga remaja laki-laki ini merokok untuk dapat meningkatkan citra dirinya. Salah satu alasan yang dijawab oleh responden
perokok aktif antara lain sebagian besar karena diajak oleh teman sebayanya 1,4. Dorongan adalah rangsangan yang sangat kuat terhadap organisme
manusia untuk bertingkah laku. Stimulus-stimulus yang cukup kuat seperti halnya ajakan dan sebagainya. Stimulus ini disebut dorongan primer yang menjadi
dasar utama untuk motivasi. Menurut Miller dan Dollard dalam Notoadmodjo 2007 bahwa semua tingkah laku didasari oleh dorongan primer ini.
Alasan lain yang menyebabkan seorang remaja merokok karena orang tuanya juga merokok 0,4. Seorang remaja yang masih dalam taraf berpikir
yang belum matang, tentu masih meragukan sesuatu hal apakah baik atau buruk bagi dirinya. Hasil penelitian ini didukung oleh hasil penelitian oleh Purba 2009
61
di Sekolah Menengah Umum di Medan bahwa sebagian besar responden perokok oleh karena orang tua mereka juga perokok 38,3. Hal ini disebabkan karena
keluarga merupakan panutan terbaik menurut para remaja, sehingga apapun yang dilakukan oleh anggota keluarga cenderung baik menurut anggota keluarga lain
termasuk merokok dan apapun yang dilakukan kemungkinan besar diikuti oleh anggota keluarga lain. Menurut Nasution 2007 bahwa dari survei terhadap
perokok faktor-faktor yang menyebabkan remaja merokok salah satunya yaitu adanya orang tua atau saudara yang merokok.
Alasan mengalami kecemasan atau stress sehingga para remaja merokok dikarenakan adanya masalah. Terdapat 1 responden 0,4 menyatakan bahwa
karena stres, ia merokok. Dalam situasi seperti ini sesungguhnya mereka mengalami stres yang berat, sehingga bagi mereka cara yang paling tepat ialah
melarikan diri dari masalah yang dihadapinya dengan merokok. Mereka berpikir bahwa rokok dapat menghilangkan stres, padahal pada kenyataannya mereka
merasakan kenikmatan sesaat yang tidak akan pernah terlepas dari masalah yang dihadapi. Merokok bukan menyelesaikan masalah tetapi bahkan menambah
masalah yaitu membuat remaja yang merokok menjadi ketagihan atau kecanduan yang pada waktu lama menyebabkan kebiasaan dan menjadi perokok berat dengan
mengundang berbagai penyakit kronis bagi kesehatannya. Kebiasaan yang destruktif ini menjadi terbawa-bawa sampai dewasa dan mendatangkan bahaya
bagi suasana keluarga, lingkungan dan masyarakat Nadeak,1991.
5.8 Responden Yang Tidak Merokok