diproduksi di dalam negeri daripada harus mengimpor kentang. Namun kenyataan yang terjadi impor kentang terus meningkat setiap tahunnya. Dengan demikian
diperlukan keseriusan pemerintah dan pihak terkait agar kentang lokal dapat mensubtitusi kentang impor, seperti peningkatan produksi kentang dan kebijakan
pemerintah yang mendukung pengusahaan kentang. Nilai DRC yang lebih kecil dari nilai PCR memiliki arti bahwa tidak
terdapat kebijakan pemerintah yang meningkatkan efisiensi petani dalam memproduksi kentang. Beberapa hal yang menjadi penyebab diantaranya
kebijakan subsidi pupuk yang merugikan petani karena harga pupuk yang beredar di pasar lebih tinggi daripada harga eceran tertinggi yang ditetapkan oleh
pemerintah. Selain itu adanya kebijakan melalui peraturan menteri keuangan No.241PMK.0112010 tentang kenaikan pajak impor sebesar lima persen atas
bahan baku produksi pertanian seperti pupuk, bibit, dan obat-obatan menyebabkan biaya produksi yang harus dikeluarkan petani menjadi lebih tinggi.
Dilihat dari perbedaan antara keuntungan privat dan keuntungan sosial dan nilai DRC yang lebih kecil daripada nilai PCR yang diperoleh petani di kedua
sistem usahatani dapat disimpulkan bahwa keuntungan privat yang diperoleh lebih rendah dari keuntungan sosialnya. Hal ini menunjukkan bahwa harga input yang
dibayarkan petani lebih tinggi atau harga output yang diterima oleh petani lebih rendah dari harga sosial. Artinya adanya pengaruh pemerintah atau distorsi pasar
yang tidak memberikan insentif yang baik bagi petani kentang sehingga keuntungan privat yang diperoleh lebih rendah daripada keuntungan sosialnya
terhadap input produksi dan distorsi pada pasar output. Adanya distorsi pasar dapat dilihat kebijakan penurunan tarif impor menjadi nol persen yang
menyebabkan konsumen yang cenderung membeli kentang impor karena harganya lebih murah, selain itu dampak yang muncul yakni harga kentang akan
turun karena untuk dapat bersaing produsen harus menurunkan harga kentang.
6.4 Analisis Dampak Kebijakan Pemerintah
6.4.1 Dampak Kebijakan Output
Kebijakan pemerintah terhadap output dapat dilihat dari nilai Transfer Output TO dan Koefisien Proteksi Output Nominal NPCO. Transfer Output
TO merupakan selisih antara penerimaan pada harga privat dengan harga sosial.
Nilai Transfer Output menunjukkan besarnya intensif masyarakat terhadap produsen. Sedangkan Koefisien Output Nominal NPCO digunakan untuk
mengukur dampak kebijakan pemerintah yang menyebabkan terjadinya berbedaan nilai output berdasarkan harga privat dan harga sosial. Bentuk distorsi pemerintah
tersebut dapat berupa subsidi atau kebijakan hambatan perdagangan berupa tarif dan pajak eksporimpor. Nilai Transfer Output TO dan Koefisien Proteksi
Output Nominal NPCO usahatani kentang di Kecamatan Kejajar dapat dilihat pada Tabel 21.
Tabel 21. Nilai Transfer Output TO dan Koefisien Proteksi Output Nominal
NPCO
NO Uraian
Transfer Output NPCO
1. Desa Sigedang Rphektar
15.224.615,49
0,72 2.
Desa Dieng Rphektar
5.646.337,25
0,77 Berdasarkan Tabel 21, nilai transfer output TO yang negatif
menunjukkan adanya dampak kebijakan pemerintah yang menyebabkan harga privat output kentang lebih rendah daripada harga sosialnya. Hal ini berarti bahwa
konsumen atau masyarakat dapat membeli produk kentang dengan harga yang lebih murah dari harga sebenarnya.
Berdasarkan nilai TO, kerugian terbesar dialami petani di Desa Sigedang yakni sebesar Rp 15.224.615,49 per hektar daripada kerugian yang dialami petani
di Desa Dieng sebesar Rp 5.646.337,25 per hektar. Hal ini terjadi karena harga sosial kentang yang dihitung berdasarkan harga di pasar internasional lebih tinggi
daripada harga kentang lokal. Disisi lain rendahnya harga kentang lokal membuat kentang lokal dapat bersaing dengan kentang impor, namun efeknya pendapatan
dan keuntungan yang diperoleh petani akan berkurang. Nilai koefisien proteksi output nominal NPCO menunjukkan bahwa
adanya kebijakan pemerintah yang mempengaruhi besarnya Transfer Output. NPCO adalah rasio antara penerimaan yang dihitung berdasarkan harga finansial
dengan penerimaan yang dihitung berdasarkan harga sosial. Nilai NPCO yang lebih kecil dari satu NPCO1, menunjukkan bahwa harga domestik lebih rendah
dari harga dunia.
Berdasarkan Tabel 21, nilai NPCO kedua desa, Desa Sigedang dan Desa Dieng, masing-masing lebih kecil dari satu, yakni 0,71 dan 0,77. Hal ini
mengindikasikan bahwa terdapat kebijakan yang menyebabkan harga privat kentang lebih rendah daripada harga sosialnya. Nilai NPCO yang bernilai kurang
dari satu juga menunjukkan bahwa kebijakan pemerintah untuk petani kentang belum berjalan efektif sehingga terjadi pegurangan penerimaan petani.
Pada lokasi penelitian, baik Desa Sigedang maupun Desa Dieng tidak ada kebijakan output yang diberlakukan pemerintah terhadap komoditas kentang. Hal
ini dikarenakan komoditas kentang bukanlah komoditas pangan utama seperti beras. Rendahnya harga jual kentang yang diterima petani daripada harga
bayangannya disebabkan karena petani menjual hasil panennya secara individual sehinggi tidak memiliki kekuatan tawar bergaining position dalam menntukan
harga, sehingga penetapan harga jual kentang berdasarkan harga yang ditetapkan oleh tengkulak atau pembeli besar yang datang ke lokasi penelitian.
6.4.2 Dampak Kebijakan Input
Interpretasi dampak kebijakan input adalah sama seperti dampak kebijakan kebijakan output karena keduanya didasarkan pada perbandingan antara harga
privat dan harga sosial. Kebijakan pemerintah terhadap input dapat dilihat dari nilai Transfer Input TI, Transfer Faktor TF, dan Koefisien Proteksi Input
Nominal NPCI.
Tabel 22. Nilai Transfer Input TI, Transfer Faktor TF, dan Koefisien Proteksi
Input Nominal NPCI
NO Uraian
Transfer Input
Rphektar
NPCI TF
Rphektar 1.
Desa Sigedang
107.484,37
0,96 4.106.400,11
2. Desa Dieng
37.551,64
0,97 1.719.982,32
Nilai transfer input TI merupakan selisih biaya input tradable dengan biaya bayangannya. Nilai TI yang positif menunjukkan adanya kebijakan
pemerintah berupa pajak atau subsidi yang akan mengurangi tingkat keuntungan petani atau dengan kata lain produsen tidak mendapat insentif. Sebaliknya nilai TI
yang negatif menunjukkan adanya kebijakan subsidi pada harga input sehingga
menyebabkan biaya yang dikeluarkan untuk input pada tingkat harga privat menjadi lebih rendah daripada tingkat harga sosialnya. Hal tersebut
mengisyaratkan bahwa kebijakan subsidi akan menguntungkan produsen atau petani kentang.
Berdasarkan Tabel 22, nilai TI masing-masing di kedua desa, Desa Sigedang dan Desa Dieng, sebesar Rp 107.484,37 per hektar dan Rp 37.551,64
per hektar. Hasil TI yang negatif mengindikasikan bahwa kebijakan subsidi untuk mengurangi biaya input tradable menyebabkan petani kentang menerima harga
yang lebih rendah daripada harga sosial. Seperti kebijakan penetapan harga eceran tertinggi untuk pupuk Urea dan non Urea.
Koefisien proteksi input nominal NPCI merupakan rasio yang mengukur transfer input tradable yang menunjukkan besarnya harga privat dari input
tradable dengan harga sosial nput tradable. Nilai NPCI juga menunjukkan tingkat proteksi atau distorsi yang dibebankan pemerintah pada input tradable bila
dibandingkan tanpa ada kebijakan. Nilai NPCI yang lebih besar dari satu NPCI1 menunjukkan adanya
proteksi terhadap produsen input tradable. Dengan kata lain menunjukkan bahwa biaya input tersebut lebih mahal daripada biaya input pada tingkat dunia, sehingga
menyebabkan sektor yang menggunakan input tersebut dibebani pajak dan akan meningkatkan biaya produksi. Sebaliknya, bila nilai NPCI kurang dari satu
NPCI1 menunjukkan adanya subsidi atas input tersebut yang menyebabkan harga input tradable lebih rendah dari harga dunia.
Nilai NPCI yang diperoleh kedua desa, Desa Sigedang dan Desa Dieng, masing-masing sebesar 0,96 dan 0,97. Nilai NPCI yang bernilai kurang dari satu
mengindikasikan bahwa terdapat kebijakan atas input tradable yang menyebabkan harga privat lebih rendah daripada harga sosialnya. Meskipun nilai NPCI bernilai
kurang dari satu, namun nilai NPCI relatif mendekati satu. Hal ini mengindikasikan adanya penyimpangan dalam kebijakan subsidi tersebut dimana
harga input tradable yang dipasarkan lebih mahal dari harga subsidi yang telah ditetapkan. Seperti subsidi pupuk, dilapangan harga pupuk bersubsidi yang dijual
lebih mahal dari harga eceran tertinggi pupuk bersubsidi yang ditetapkan pemerintah.
Selain input tradable, petani kentang juga menggunakan input non tradable faktor domestik seperti peralatan, biaya modal, lahan, dan input
domestik lainnya. Nilai transfer faktor TF menunjukkan besarnya intervensi pemerintah terhadap input non tradable. Tabel 22 menunjukkan bahwa nilai TF
pada pengusahaan kentang di Desa Sigedang dan Desa Dieng bernilai negatif. Nilai ini menunjukkan bahwa harga input non tradable yang dikeluarkan
pemerintah pada tingkat harga privat lebih rendah daripada biaya input non tradable yang dikeluarkan pada tingkat harga ekonomi atau sosial. Artinya, ada
implisit subsidi atau transfer dari produsen faktor domestik kepada petani sehingga petani menerima harga input faktor domestik lebih rendah dari harga
sosialnya. Salah satu penyebab perbedaan biaya faktor domestik privat dengan biaya
faktor domestik sosial yakni modal kerja. Modal kerja faktor domestik menggunakan tingkat suku bunga deposito lembaga keuangan dilokasi penelitian
sebesar enam persen, namun asumsi yang digunakan dalam penentuan modal kerja sosial pada faktor domestik melalui arbitary rule of thumb pendekatan kira-
kira, yaitu pengalaman peneliti lain untuk negara berkembang dengan tahap pembangunan yang sama dengan Indonesia. Didasarkan pada pendekatan bahwa
tingkat bunga sosial untuk modal kerja sekitar 15 persen per tahun ditambah dengan tingkat inflasi. Dengan tingkat inflasi Indonesia pada tahun 2011 sebesar
3,8 persen
18
, diperoleh besarnya modal kerja sosial faktor produksi sebesar 18,80 persen. Perbedaan modal kerja privat dan sosial ini akan menyebabkan perbedaan
biaya faktor domestik yang akan dikeluarkan.
6.4.3 Dampak Kebijakan Input-Ouput
Dampak kebijakan pemerintah terhadap input-ouput merupakan gabungan dari kebijakan input dan kebijakan output. Dampak kebijakan input-output dapat
dilihat dari nilai Koefisien Proteksi Efektif EPC, Transfer Bersih NT, Koefisien Keuntungan PC, dan Rasio Subsidi bagi Produsen SRP. Tebel 23
menyajikan nilai-nilai dari Koefisien Proteksi Efektif EPC, Transfer Bersih
18
Bank Indonesia www.bi.go.id
TB, Koefisien Keuntungan PC, dan Rasio Subsidi bagi Produsen SRP di Kecamatan Kejajar.
Tabel 23. Nilai Koefisien Proteksi Efektif EPC, Transfer Bersih NT, Koefisien
Keuntungan PC, dan Rasio Subsidi bagi Produsen SRP
Uraian NT
Rphektar
EPC PC
SRP Desa Sigedang
11.010.732,01 0,71
0,10 -0,20
Desa Dieng 3.888.803,28
0,76 -0,01
-0,16
Nilai Koefisien Protektif Efektif EPC merupakan indikator dari dampak keseluruhan kebijakan input dan output terhadap sistem produksi suatu komoditas
di dalam negeri. Berdasarkan Tabel 23, nilai EPC disetiap desa masing-masing bernilai kurang dari satu, yakni Desa Sigedang sebesar 0,71 dan Desa Dieng
sebesar 0,76. Nilai EPC kurang dari satu menunjukkan bahwa tidak adanya perlindungan atau proteksi pemerintah terhadap petani. Hal ini menyebabkan
petani tidak memiliki nilai tambah untuk produknya dan harga privat cenderung lebih kecil daripada harga sosialnya.
Transfer bersih NT menggambarkan dampak kebijakan pemerintah secara keseluruhan terhadap petani apakah merugikan atau menguntungkan.
Transfer bersih ditujukkan dengan selisih antara keuntungan privat dan keuntungan sosial atau selisih antara transfer output dengan transfer input. Nilai
NT di kedua desa, Desa Sigedang dan Desa Dieng bernilai negatif, yakni Rp 11.010.732,01 per hektar dan Rp 3.888.803,28 per hektar. Artinya, ada surplus
produsen atau keuntungan petani yang hilang sebesar nilai transfer besih, yakni Rp 11.010.732,01 per hektar untuk Desa Sigedang dan Rp 3.888.803,28 per
hektar untuk Desa Dieng. Koefisien Keuntungan PC adalah perbandingan keuntungan bersih privat
dengan keuntungan sosial. Nilai PC yang diperoleh kedua desa, Desa Sigedang dan Desa Dieng, dari analisis PAM masing-masing adalah sebesar 0,1 dan -0,01.
Artinya nilai 0,1 menunjukkan bahwa petani tidak mengalami kerugian yang besar, namun keuntungan yang diterima petani lebih rendah dari seharusnya.
Sedangkan nilai PC sebesar -0,01, berarti bahwa petani mengalami kerugian, sehingga secara keseluruhan kebijakan pemerintah tidak memberikan insentif
kepada petani dan membuat keuntungan yang diterima produsen lebih rendah dibandingkan dengan tanpa ada kebijakan.
Nilai Rasio Subsidi bagi Produsen SRP merupakan indikator yang menunjukkan tingkat penambahan dan pengurangan penerimaan atas pengusahaan
suatu komoditas karena adanya kebijakan pemerintah. Berdasarkan Tabel 23, nilai SRP di kedua desa bernilai negatif yakni sebesar 0,20 Desa Sigedang dan 0,16
Desa Dieng. Nilai ini secara umum berarti kebijakan pemerintah terhadap input dan output merugikan petani, karena petani diharuskan membayar lebih tinggi
dari biaya imbangannya opportunity cost untuk berproduksi sebesar 20 persen untuk Desa Sigedang dan 16 persen untuk Desa Dieng. Secara keseluruhan
kebijakan pemerintah yang berlaku saat ini belum menguntungkan bagi pengembangan dan peningkatan dayasaing kentang di Kabupaten Wonosobo.
6.5 Analisis Sensitivitas