III. KERANGKA PEMIKIRAN
3.1 Kerangka Pemikiran Teoritis
3.1.1 Konsep Dayasaing
Perdagangan Internasional merupakan perdagangan yang terjadi antara suatu negara tertentu dengan negara lainnya. Perdagangan internasional terjadi
karena beberapa hal, diantaranya perbedaan dalam keragaman sumberdaya dan pengelolaannya, perbedaan selera preferensi masing-masing negara, dan
perbedaan biaya. Perbedaan dalam keragaman sumberdaya berhubungan dengan faktor-faktor yang secara alamiah dimiliki oleh negara tertentu. Selain itu
perdagangan dapat saling menguntungkan atas dasar perbedaan selera preferensi dimasing-masing negara. Perbedaan biaya berkaitan dengan biaya produksi, yang
menyebabkan setiap negara akan berspesialisasi dalam memproduksi komoditasnya. Jika negara-negara melakukan spesialisasi, maka skala ekonomi
akan tercapai dan biaya produksi per unit akan semakin murah. Selain itu hubungan saling ketergantungan antara negara satu dengan yang lain dan peranan
perdagangan internasional dari setiap negara akan berkembang dan menjadi penting. Namun dayasaing tidak hanya mencakup suatu negara, melainkan juga
dapat ditetapkan pada suatu komoditas, sektor atau bidang, dan wilayah. Esterhuizen et.al
2008 dalam Daryanto 2009 mendefinisikan
“Dayasaing sebagai kemampuan suatu sektor, industri, atau perusahaan untuk bersaing dengan sukses untuk mencapai pertumbuhan yang berkelanjutan di
dalam lingkungan global selama biaya imbangannya lebih rendah dari penerimaan sumberdaya yang digunakan”. Dengan kata lain, dayasaing merupakan suatu
konsep yang menyatakan suatu produsen untuk menghasilkan produk sesuai dengan permintaan konsumen dengan mutu yang cukup baik dan biaya produksi
rendah. Dengan asumsi biaya produksi rendah sehingga produk dapat di produksi dan di pasarkan oleh produsen sehingga dapat mempertahankan keberlangsungan
produksinya. Wignaraja 2000 menyatakan bahwa konsep dayasaing terdiri dari dua
aspek yang berbeda, yakni konsep dayasaing ekonomi mikro dan ekonomi makro. Dayasaing mikro secara umum didefinisikan sebagai kemampuan suatu
perusahaan atau usahatani bertambah besar, baik dari segi pangsa pasar dan profit. Sedangkan konsep dayasaing makro koheren dengan dayasaing suatu negara atau
perekonomian. Sehingga mendefinisikan dayasaing adalah kemampuan suatu negara dalam pasar terbuka untuk menghasilkan barang dan jasa sesuai dengan
selera konsumen asing dan mempertahankan dan memperluas tingkat pendapatan domestiknya. Sedangkan Cockburn et.al.1998 dalam Babiker 2010
mendefinisikan dayasaing adalah kemampuan untuk menjual produk yang menguntungkan dan untuk menjadi kompetitif, produsen harus melemahkan harga
atau menawarkan produk-produk yang lebih baik dari segi kualitas atau pelayanan yang lebih baik dibandingkan dengan kompetitornya.
Pendekatan yang sering digunakan untuk mengukur dayasaing suatu komoditi adalah tingkat keuntungan yang dihasilkan dan efisiensi dalam
pengusahaan komoditas tersebut. Keuntungan dapat dilihat dari dua sisi, yakni keuntungan privat dan keuntungan sosial. Sementara itu, efisiensi pengusahaan
komoditas dapat dilihat dari dua indikator yaitu keunggulan komparatif dan kompetitif. Berdasarkan hal tersebut konsep dayasaing yang digunakan adalah
dayasaing menurut Esterhuizen et.al 2008 dalam Daryanto 2009, dimana memungkinkan ditingkat produsen suatu komoditi dapat memiliki keunggulan
komparatif yakni memiliki biaya opprtunity cost yang relatif lebih rendah, namun ditingkat konsumen komoditi tersebut tidak memiliki keunggulan kompetitif
karena adanya distorsi pasar. Sebaliknya karena ada intervensi dari pemerintah suatu komoditi memiliki keunggulan kompetitif namun tidak memiliki
keunggulan komparatif.
3.1.2 Keunggulan Komparatif
Sudaryanto dan Simpatupang 1993 dalam Daryanto 2009 menyebutkan bahwa konsep keunggulan komparatif merupakan ukuran dayasaing keunggulan
potensial dalam artian dayasaing yang akan dicapai apabila perekonomian tidak mengalami distorsi. Dengan kata lain komoditas yang memiliki keunggulan
komparatif dikatakan juga memiliki keunggulan efisiensi secara ekonomi. Istilah keunggulan komparatif Comparative Adventage pertama kali dikenalkan oleh
David Ricardo, yang menyatakan bahwa meskipun suatu negara kurang efisien dibanding dengan negara lain dalam memproduksi dua komoditi, namun masih
dapat melakukan perdagangan yang saling menguntungkan untuk kedua belah pihak, dengan asumsi proporsi kerugian absolut satu negara pada komoditi
tersebut tidak sama Salvaltore, 1997. Kelemahan keunggulan komparatif yang dikemukakan oleh David Ricardo ini hanya didasarkan pada perbedaan
produktivitas setiap tenaga kerja saja. Tenaga kerja bukanlah satu-satunya faktor produksi yang berpengaruh dalam menentukan keunggulan komparatif melainkan
masih terdapat faktor lain seperti teknologi, modal, tanah, dan sumberdaya lainnya.
Teori keunggulan komparatif disempurnakan dengan Teori Biaya Imbangan Opportunity Cost Teory. Teori ini berdasarkan biaya imbangan, biaya
sebuah komoditi adalah jumlah komoditi kedua yang harus dikorbankan untuk memperoleh sumberdaya yang cukup untuk memproduksi satu unit tambahan
komoditi pertama, artinya setiap negara yang memiliki biaya imbangan lebih rendah dalam memproduksi sebuah komoditi akan memiliki keunggulan
komparatif dalam komoditi tersebut dan memiliki kerugian komparatif dalam kondisi kedua Salvaltore, 1997.
Heckscher dan Ohlin melakukan perbaikan terhadap hukum keunggulan komparatif yang dikemukakan oleh David Ricardo. Heckscher dan Ohlin
menyatakan bahwa setiap negara akan melakukan spesialisasi produksi dan mengekspor komoditi yang banyak menyerap faktor produksi yang tersedia di
negara itu dalam jumlah dan harga yang relatif murah, serta mengimpor komoditi yang padat dengan faktor produksi yang mahal dan langka Salvaltore, 1997.
Keunggulan komparatif akan menjadi ukuran dayasaing, apabila perekonomian tidak mengalami gangguan atau distorsi. Pearson et.al. 2005 mengemukakan
bahwa keunggulan komparatif bersifat dinamis, dengan kata lain keunggulan komparatif tidak stabil dan dapat diciptakan karena dipengaruhi oleh perubahan
dalam sumberdaya alam, perubahan faktor-faktor biologi, perubahan harga input, perubahan teknologi, dan biaya transportasi. Suatu daerah yang memiliki
keunggulan komparatif di sektor tertentu secara potensial harus mampu mempertahankan dan bersaing dengan negara lain. Komoditas yang memilki
keunggulan komparatif dapat dikatakan telah mencapai efisiensi ekonomi yang terkait dengan kelayakan secara ekonomi. Artinya kelayakan ekonomi menilai
aktivitas ekonomi bagi masyarakat secara general atau menyeluruh, tanpa meliihat siapa yang terlibat dalam aktivitas ekonomi tersebut.
3.1.3 Keunggulan Kompetitif
Konsep keunggulan kompetitif Competitive Adventage dikembangkan oleh M. Porter. Menurut Porter dalam Daryanto 2009, dalam era persaingan
global saat ini suatu negara yang memiliki competitive adventage of nation dapat bersaing di pasar internasional bila memiliki empat faktor penentu yakni, pertama,
factor conditions yakni posisi negara dalam pengusaan faktor produksi, seperti tenaga kerja terampil atau infrastruktur. Kedua, Demand Conditions, berupa
besarnya permintaan pasar domestik untuk produk-produk dan jasa-jasa industri. Ketiga, Relating and supporting industries, berupa kehadiran industri pemasok
atau pendukung dan lain-lain dalam suatu negara sangat berkaitan dengan kemampuan dayasaing industri-industri di pasar internasional. Keempat, Firm
strategy, structure and rivalary,yakni kondisi permerintahan di dalam suatu negara begaimana perusahaan diciptakan, diorganisasi dan dikelola, sebaik
persaingan domestik secara ilmiah. Keunggulan kompetitif Competitive Adventage juga dapat didefinisikan
sebagai alat bantu untuk mengukur dayasaing suatu aktivitas berdasarkan perekonomian aktual atau harga pasar. Hal ini berbeda dengan konsep keunggulan
komparatif yang mengukur manfaat aktivitas ekonomi dari segi masyarakat keseluruhan atau general. Keunggulan kompetitif dalam perkembangannya
merupakan konsep yang sesuai untuk mengukur kelayakan secara finansial. Sehingga konsep keunggulan kompetitif bukan untuk menggantikan konsep
keunggulan komparatif, namun saling melengkapi antara satu sama lain. Artinya jika suatu komoditas memiliki keunggulan secara kompetitif dan komparatif,
maka komoditas tersebut layak dan menguntungkan untuk diproduksi dan dapat bersaing di pasar internasional. Jika keunggulan komparatif berfungsi sebagai alat
untuk mengukur keuntungan sosial dan dihitung berdasarkan harga sosial dan harga bayangan nilai tukar, maka keunggulan kompetitif berfungsi sebagai alat
untuk mengukur keuntungan privat dan dihitung berdasarkan harga pasar dan nilai tukar resmi yang berlaku. Akan tetapi jika suatu komoditas hanya memiliki
keunggulan komparatif namun tidak memiliki kunggulan kompetitif, dapat
diasumsikan telah terjadi distorsi pasar atau terdapat hambatan-hambatan yang mengganggu kegiatan produksi seperti administrasi, perpajakan dan lain-lain.
Sebaliknya jika suatu komoditas hanya memiliki keunggulan kompetitif dan tidak memiliki keunggulan komparatif berarti pemerintah memberikan proteksi
terhadap komoditas tersebut seperti melalui stabilitas harga, kemudahan perizinan, dan lainnya.
3.1.4 Kebijakan Pemerintah
Kebijakan pemerintah diharapkan dapat meningkatkan dayasaing komoditas pertanian pada umumnya termasuk untuk komoditas kentang baik di
pasar domestik maupun internasional. Kebijakan pemerintah ditetapkan dengan tujuan untuk melindungi produk dalam negeri ataupun meningkatkan ekspor agar
dapat bersaing dengan produk luar negeri. Kebijakan tersebut diberlakukan untuk input dan output sehingga terjadi perbedaan harga yang diterima produsen harga
privat dengan harga yang sebenarnya terjadi harga sosial. Kebijakan yang diterapkan pada suatu komoditas ada dua bentuk yaitu substitusi dan kebijakan
perdagangan. Kebijakan subsidi terdiri dari subsidi positif dan subsidi negatif pajak, sedangkan kebijakan perdagangan berupa tarif dan kuota. Klasifikasi dari
kebijakan harga kooditas dapat dilihat pada Tabel 7.
Tabel 7. Klasifikasi Kebijakan Harga Komoditas
Instrumen Dampak Pada Produsen
Dampak Pada Konsumen
Kebijakan Subsidi
a. Tidak merubah harga
pasar dalam negeri b. Merubah harga pasar
dalam negeri
Subsidi kepada produsen
a. Pada barang impor S +
PI ; S – PI b. Pada barang ekspor S
+ PE ; S – PE
Subsidi kepada
konsumen
a. Pada barang impor S
+ CI ; S – CI b. Pada barang ekspor S
+ CE ; S – CE
Kebijakan Perdagangan merubah
harga pasar
dalam negeri Hambatan
pada barang
impor TPI Hambatan pada barang
ekspor TCE
Sumber : Monke dan Pearson, 1989
Keterangan : S +
: Subsidi S -
: Pajak
PE : Produsen untuk barang ekspor
PI : Produsen untuk barang impor
CE : Konsumen untuk barang ekspor
CI : Konsumen untuk barang impor
TPE : Hambatan kepada produsen untuk barang ekspor
TPI : Hambatan kepada produsen barang impor
a Kebijakan Output
Kebijakan terhadap output baik berupa subsidi maupun pajak dapat diterapkan pada barang ekspor maupun impor. Kebijakan pemerintah terhadap
output dijelaskan dengan menggunakan Transfer Output TO dan Koefisien Proteksi Output Nominal Nominal Protection Coefficient on Output atau NPCO.
Tabel 7 menunjukkan bahwa kebijkan harga di atas dapat dibedakan dalam tiga kriteria. Pertama, tipe instrumen yang berupa substitusi atau kebijakan
perdagangan, kedua kelompok penerimaan, meliputi produsen dan konsumen, dan ketiga tipe komoditas yang berupa komoditas dapat diimpor atau dapat diekspor.
1 Tipe Instrumen
Kebijakan tipe instrumen mencakup pada substitusi dan kebijakan perdangan. Substitusi merupakan bentuk pembayaran dari dan atau untuk
pemerintah. Jika dibayarkan dari pemerintah maka disebut subsidi positif, sedangkan jika dibayarkan untuk pemerintah disebut subsidi negatif atau pajak.
Pada umumnya, subsidi positif dan negatif bertujuan untuk menciptakan harga domestik agar berbeda dengan harga internasional untuk melindungi konsumen
atau produsen dalam negeri. Kebijakan perdagangan adalah pembatasan yang diterapkan pada impor
atau ekspor suatu komoditas. Pembatasan dapat berupa pembatasan terhadap harga komoditas atau pembatasan jumlah komoditas kuota untuk menurunkan
jumlah yang diperdagangkan di pasar internasional sehingga dapat mengendalikan harga internasional dengan harga domestik.
Gambar 1. Dampak Pajak Terhadap Produsen Komoditas Ekspor
Sumber : Monke dan Pearson, 1989 Kebijakan terhadap output dapat berupa subsidi maupun pajak. Subsidi
terhadap komoditas ekspor akan berdampak positif sedangkan penerapan pajak akan berdampak negatif seperti yang ditunjukkan pada Gambar 1. Pada
perdagangan bebas harga yang diterima petani dan konsumen dalam negeri sama dengan harga dunia yaitu Pw. Tingkat output yang dihasilkan sebesar Q4
sedangkan permintaan sebesar Q1 sehingga terjadi excess supply dalam negeri sebesar ADG. Oleh karena itu output yang dapat diekspor adalah sebesar Q4-Q1.
Adanya subsidi negatif atau pajak mengakibatkan harga yang diterima petani dan konsumen menjadi lebih rendah dibandingkan harga dunia yaitu Pd sehingga
konsumsi dalam negeri menurun dari Q1-Q4 menjadi Q2-Q3. Hal ini menyebabkan surplus yang diterima konsumen sebesar PwAEPd dan transfer
output yang terjadi kepada pemerintah sebesar BCFE.
2 Kelompok Penerima
Kelompok kedua dari klasifikasi kebijakan adalah kebijakan yang dimaksudkan untuk produsen atau konsumen. Subsidi atau kebijakan perdagangan
mengakibatkan terjadinya transfer antara produsen, konsumen, dan keuangan pemerintah. Jika tidak ada kebijakan subsidi dan kebijakan perdagangan,
pemerintah melalui anggarannya harus membayar keseluruhan transfer, ketika produsen memperoleh keuntungan maka konsumen mengalami kerugian,
sebaliknya ketika produsen mengalami kerugian maka konsumen memperoleh keuntungan. Kondisi ini menggambarkan bahwa keuntungan yang didapatkan
Q4 Q3
Q2 Q1
A B
C D
S
E F
G
Q P
Pw Pd
Dw
oleh satu pihak hanya menjadi pengganti dari kerugian yang dialami oleh pihak lain, tetapi dengan adanya transfer yang diikuti oleh efisiensi ekonomi yang
hilang, maka keuntungan yang diperoleh akan lebih kecil daripada kerugian yang diderita, oleh karena itu manfaat yang didapatkan dari kelompok tertentu baik itu
konsumen, produsen atau keunangan pemerintah adalah lebih kecil dari jumlah yang hilang dari kelompok lain.
3 Tipe Komoditas
Tipe komoditas mengklasifikasikan antara komoditas yang dapat diekspor dan komoditas yang dapat diimpor. Apabila tidak ada kebijakan harga maka harga
domestik sama dengan harga di pasar internasional, dimana untuk barang yang diekspor digunakan harga FOB Free On Board dan untuk barang impor
digunakan CIF Cost, Insurance, and Freight. Kebijakan harga yang diterapkan pada input dapat berupa kebijakan
subsidi positif maupun subsidi negatif pajak dan kebijakan hambatan perdagangan berupa tarif dan kuota. Kebijakan subsidi pada harga output
menyebabkan harga barang, jumlah barang, surplus produsen, dan surplus konsumen berubah.
Misalnya, subsidi positif untuk produsen barang impor dimana harga yang diterima produsen lebih tinggi dari harga dunia. Hal ini menyebabkan output
produksi dalam negeri meningkat Q1 - Q2 sedangkan konsumsi tetap Q3 dan harga yang diterima konsumen tetap sama dengan harga yang ada di dunia Pw.
Subsidi dapat dilakukan jika produsen dan konsumen dapat dipisahkan berdasarkan wilayah ekonomi yang jauh dari kontrol administrasi yang ketat
sehingga perbedaan harga antara produsen subsidi dan konsumen tanpa subsidi dapat terjadi. Subsidi ini menyebabkan jumlah impor turun Q3-Q1 menjadi Q3-
Q2, dan barang yang diimpor diproduksi sendiri dengan biaya dikorbankan hilang CAB.
Gambar 2. Subsidi Positif Produsen Untuk Barang Impor.
Sumber : Monke dan Pearson, 1989 Subsidi positif untuk konsumen bagi output yang diimpor, jumlah subsidi
yang akan dikeluarkan menyebabkan produksi turun Q1-Q2 dan konsumsi naik Q3-Q4 sehingga menyebabkan impor naik dari Q3-Q1 menjadi Q4-Q2. Transfer
yang terdiri dari transfer dari pemerintah kepada konsumen ABGH dan transfer dari produsen ke konsumen PwAPd, sehingga kehilangan efisiensi terjadi pada
kegiatan produksi dan konsumsi. Disisi produksi terjadi penurunan output Q2- Q1 menyebabkan kehilangan pendapatan Pw x Q2 – Q1 sehingga terjadi
kehilangan efisiensi AFB, sedangkan disisi konsumsi oppportunity cost terjadi peningkatan konsumsi Pw x Q4 – Q3 dan menyebabkan hilangnya efisiensi
sebesar EGH Gambar 3. Kebijakan hambatan perdagangan pada barang-barang impor maupun
ekspor merupakan kebijakan selain subsidi yang dapat diterapkan pada output. Hambatan pada barang impor yang terdapat tarif sehingga meningkatkan harga
dalam negeri baik untuk produsen maupun konsumen. Peningkatan output domestik serta konsumsi yang mengalami penurunan menyebabkan impor juga
turun. Dengan demikian, transfer pendapatan terjadi dari konsumen kepada produsen dan transfer keuangan pemerintah kepada produsen. Efisiensi ekonomi
yang hilang dari sisi konsumen adalah perbedaan opportunity cost dari perubahan konsumsi dengan willingness to pay.
P
Pw Pd
Q3 Q2
Q1 A
B C
S
Q D
Gambar 3. Subsidi Positif Konsumen Untuk Barang Impor.
Sumber : Monke and Pearson 1898
b Kebijakan Input
Kebijakan terhadap input dapat diterapkan pada input tradable dan input non tradable. Pada kedua input tersebut, kebijakan dapat berupa subsidi positif
dan subsidi negatif pajak, sedangkan kebijakan hambatan perdagangan tidak diterapkan pada input domestik non tradable karena input non tradable
diproduksi dan dikonsumsi di dalam negeri.
1 Kebijakan Input Tradable.
Kebijakan pada input tradable memiliki relevansi langsung pada petani dan intervensi pada kelembagaan pertanian dan pemasaran komoditas pertanian.
Pengaruh kebijakan subsidi terhadap input akan mengurangi biaya produksi sehingga meningkatkan keuntungan petani. Sebaliknya, pajak menyebabkan
peningkatan biaya produksi sehingga petani akan mengurangi penggunaan input. Hal tersebut akan membebani petani dan akan berimbas penurunan jumlah output
yang akan mengurangi keuntungan petani. Pengaruh subsidi dan pajak pada input tradable ditunjukkan pada Gambar 4.
P
Pd Pw
D Q4
Q3 Q1
Q2 A
B H
S
E F
G
Q
a S + b
S -
Gambar 4. Pengaruh Kebijakan Input Tradable
Sumber : Monke dan Pearson, 1989 Gambar 4a menunjukkan dampak subsidi pada input tradable yang
digunakan. Harga yang berlaku adalah harga dunia. Dengan adanya subsidi pada input tradable menyebabkan harga input lebih murah dan biaya produksi semakin
rendah sehingga kurva penawaran bergesar ke bawah S’ dan produksi meningkat dari Q1 menjadi Q2. Efisiensi yang hilang dari produksi adalah sebesar ABC yang
merupakan perbedaan antara biaya produksi yang bertambah setelah meningkatnya output dengan peningkatan nilai output.
Sedangkan Gambar 4b menjelaskan adanya pengaruh pajak pada input tradable menyebabkan biaya produksi meningkat sehingga pada tingkat harga
output yang sama terjadi penurunan permintaan dari Q1 menjadi Q2 dan kurva pnawaran bergeser ke atas. Efisiensi ekonomi yang hilang adalah sebesar ABC
yang merupakan perbedaan antara nilai output yang hilang yaitu Q1CAQ2 dengan biaya produksi output sebesar Q2BCQ1.
2 Kebijakan Input Non Tradable
Kebijakan pemerintah pada input non tradable meliputi kebijakan pajak dan subsidi. Ilustrasi mengenai kebijakan tersebut dapat dilihat pada Gambar 5.
Q1 Q2
Q2 Q1
B A
C
Pw Pw
Q P
Q P
C
B A
D S’
S
D S
S’
a S + N b S – N
Gambar 5. Dampak Subsidi dan Pajak pada Input Non Tradable
Sumber : Monke and Pearson 1898
Harga sebelum ditetapkan pajak dan subsidi berada pada tingkat Pd. Harga pada tingkat konsumen setelah diberlakukan pajak dan subsidi adalah sebesar Pc
serta Pp adalah harga pada tingkat produsen setelah diberlakukannya pajak dan subsidi. Kondisi keseimbangan sebelum subsidi pada Gambar 5a berada pada titik
A dengan tingkat harga Pd dan output sebesar Q1. Setelah adanya subsidi, terjadi peningkatan produksi output menjadi Q2 sehingga harga yang diterima produsen
menjadi Pp dan harga pada tingkat konsumen turun menjadi Pc. Keadaan ini memberikan keuntungan bagi produsen maupun konsumen.
Pada Gambar 5b keseimbangan awal berada pada titik A dengan tingkat output sebesar Q1 dan pada tingkat harga Pd. Adanya pajak berakibat pada
penurun output menjadi Q2, harga yang diterima produsen menurun menjadi Pp dan harga yang harus dibayar konsumen meningkat mejadi Pc. Penerapan pajak
atau subsidi negatif terhadap input non tradable selalu berdampak negatif baik kepada produsen maupun konsumen dibandingkan pemberian subsidi positif.
3.1.5 Teori PAM
Policy Analysis Matrix PAM atau matriks kebijakan digunakan untuk menganalisis pengaruh intervensi pemerintah dan dampaknya pada sistem
komoditas. Sistem komoditas dapat dipengaruhi melalui empat aktivitas yaitu tingkat usahatani, penyampaian dari usahatani ke pengolahan, pengolahan serta
C S
Pp Pd
Pp
Pd
C
Q1 Q2
Q2 Q1
B A
E
Pc
Pc
Q Q
A B
E D
S
D
pemasaran Monke and Pearson, 1989. Metode PAM merupakan suatu analisis yang dapat mengidentifikasi tiga analisis yakni keuntungan privat dan keuntungan
sosial finansial, analisis dayasaing yang membahas keunggulan komparatif dan kompetitif, serta analisis dampak kebijakan pemerintah. Dalam metode PAM
terdapat asumsi-asumsi yang digunakan, antara lain : a.
Perhitungan berdasarkan Harga Privat Privat Cost, yaitu harga yang benar-benar terjadi dan diterima oleh produsen dan konsumen atau harga
yang benar-benar terjadi setelah adanya kebijakan. b.
Perhitungan berdasarkan Harga Sosial Social Cost atau harga bayangan Shadow Price, yaitu harga pada kondisi pasar persaingan sempurna atau
harga yang terjadi apabila tidak ada kebijakan pada komoditas yang diperdagangkan Tradable, harga bayangan adalah harga yang terjadi di
pasar internasional. c.
Output bersifat tradable dan input dapat dipisahkan ke dalam komponen asing Tradable dan domestik Non Tradable.
d. Eksternalitas positif dan negatif dianggap saling meniadakan.
Menurut Pearson et.al. 2005, metode PAM membantu pengambilan kebijakan baik di pusat maupun daerah untuk menelaah tiga isu sentral analisis
kebijakan pemerintah. Isu pertama berkaitan dengan sebuah sistem usahatani memiliki dayasaing atau tidak pada tingkat harga dan teknologi yang ada yakni
apakah petani, pedagang, dan pengolah mendapatkan keuntungan pada tingkat harga aktual. Sebuah kebijakan harga akan mengubah nilai output atau biaya input
dan keuntungan privatnya private profitability. Perbedaan keuntungan privat sebelum dan sesudah kebijakan menunjukkan pengaruh perubahan kebijakan atas
dayasaing pada tingkat harga aktual harga pasar. Isu kedua ialah dampak investasi publik, dalam bentuk pembangunan
infrastruktur baru, terhadap tingkat efisiensi sistem usahatani. Efisiensi diukur dengan tingkat keuntungan sosial social profitability, yaitu tingkat keuntungan
yang dihitung berdasarkan harga efisiensi. Investasi publik yang berhasil seperti investasi dalam bentuk jaringan irigasi atau transportasi akan meningkatkan nilai
output atau menurunkan biaya input. Perbedaan keuntungan sosial sebelum dan sesudah adanya investasi publik menunjukkan peningkatan keuntungan sosial.
Isu ketiga sangat berkaitan dengan isu kedua, yaitu dampak investasi baru dalam bentuk riset atau teknologi pertanian terhadap tingkat efisiensi sistem
usahatani. Sebuah investasi publik dalam bentuk penemuan benih, teknik budidaya, atau teknik pengolahan hasil akan meningkatkan hasil usahatani atau
hasil pengolahan, dan juga akan meningkatkan pendapatan atau menurunkan biaya. Perbedaan keuntungan sosial sebelum dan sesudah investasi dalam bentuk
riset menunjukkan manfaat dari investasi tersebut. Analisis ini dapat digunakan pada sistem komoditas dengan berbagai
wilayah, tipe usahatani, dan teknologi. Matriks PAM terdiri dari tiga baris dan empat kolom, dimana baris pertama adalah perhitungan harga privat atau harga
aktual yang terjadi di pasar untuk mengestimasi keuntungan privat. Keuntungan privat pada PAM adalah selisih dari pendapatan privat dengan biaya privat atau
selisih antara pendapatan dan biaya berdasarkan harga aktual yang terjadi di pasar. Keuntungan privat dalam angka absolut atau rasio merupakan indikator
keuntungan atau dayasaing keunggulan kompetitif dari usahatani berdasarkan teknologi, nilai output, biaya input, dan transfer kebijakan yang ada.
Baris kedua merupakan perhitungan keuntungan ekonomi berdasarkan harga sosial atau harga yang menggambarkan nilai ekonomi yang sesungguhnya
bagi unsur-unsur biaya dan hasil, dimana efek distorsi kebijakan dan kegagalan pasar tidak ada. Dengan kata lain keuntungan sosial adalah selisih antara
penerimaan sosial dengan biaya sosial. Baris ketiga merupakan selisih antara baris pertama dengan baris kedua yang menggambarkan divergensi. Divergensi
menggambarkan penyebab perbedaan hasil perhitungan antara perhitungan berdasarkan harga privat dan perhitungan berdasarkan harga sosial. Divergensi
sendiri disebabkan karena kegagalan pasar market failure atau kebijakan pemerintah. Market failure atau pasar dikatakan gagal apabila tidak mampu
menciptakan harga yang kompetitif, yang mencerminkan social oppportunity cost, yang menciptakan alokasi sumberdaya maupun produk yang efisien. Jenis
kegagalan pasar yang biasa terjadi yakni monopoli, externality, dan pasar faktor produksi domestik yang tidak sempurna. Sedangkan kebijakan pemerintah yang
terdapat divergensi antara lain pajak atau subsidi dan hambatan perdagangan baik itu tarif atau kuota. Jika diasumsikan bahwa kegagalan pasar sebagai faktor yang
tidak berpengaruh, maka perbedaan tersebut lebih banyak disebabkan adanya kebijakan pemerintah Pearson et.al, 2005.
Matriks PAM memiliki empat kolom, kolom pertama merupakan kolom penerimaan, kolom kedua merupakan kolom biaya input asing tradable, kolom
ketiga merupakan kolom biaya input domestik non tradable, dan kolom keempat merupakan kolom keuntungan dari selisih antara penerimaan dengan biaya.
Penggunaan harga privat dan harga sosial dalam analisis matriks PAM menunjukkan bahwa metode tersebut mengandung analisis ekonomi dan finansial.
Analisis ekonomi akan meninjau aktivitas dari sudut masyarakat secara keseluruhan. Sedangkan analisis finansial dapat dilihat dari individu atau pelaku
yang terlibat langsung dalam kegiatan ekonomi yaitu petani kentang.
3.1.6 Teori Sensitivitas
Analisis sensitivitas meruapakan alat analisis yang digunakan secara sistematis untuk melihat dan menguji perubahan dari suatu kelayakan ekonomi
bila terjadi kejadian-kejadian yang berbeda dengan perkiraan yang telah dibuat terhadap dayasaing kentang. Menurut Kadirah 1988 dalam Nurmalina et.al.
2010, analisis sensitivitas dilakukan dengan beberapa cara: 1 Mengubah besarnya variabel-variabel yang penting, masing-masing terpisah atau beberapa
dalam kombinasi dengan suatu persentase dan menentukan seberapa besar kepekaan hasil perhitungan terhadap perubahan-perubahan tersebut, dan 2
menentukan seberapa besar faktor yang berubah sehingga hasil perhitungan membuat proyek tidak dapat diterima.
Analisis sensitivitas membantu menentukan unsur-unsur penting yang berperan dalam menentukan hasil akhir. Analisis sensitivitas mengubah suatu
faktor kemudian menentukan pengaruh dari perubahan tersebut terhadap hasil analisis. Kelemahan dari analisis sensitivitas adalah:
1 Tidak digunakan untuk pemilihan proyek karena merupakan analisis
parsial yang hanya mengubah suatu parameter pada saat tertentu. 2
Hanya mencatat apa yang terjadi jika faktor berubah-ubah dan bukan untuk menentukan layak atau tidaknya suatu proyek.
Analisis sensitivitas dilakukan juga untuk mengetahui bagaimana dampak kebijakan yang telah dibuat oleh pemerintah. Analisis ini juga dilakukan untuk
mensubsitusi kelemahan metode sebelumnya yaitu Policy Analysis Matrix yang hanya memberlakukan satu tingkat harga padahal dalam keadaan sebenarnya
tingkat harga yang berlaku untuk input dan output sangat bervariatif. Oleh karena itu, analisis sensitivitas penting untuk dilakukan.
3.2 Kerangka Pemikiran Operasional