SASTRA TOLITOLI

C. SASTRA TOLITOLI

Tanah asal (homeland) bahasa Tolitoli berada di Kabupaten Tolitoli, Provinsi Sulawesi Tengah. Bahasa Tolitoli ini memiliki tiga dialek, yakni Bolano , Tolitoli, dan Tolitoli Nalu (Mahsun, 2008: 79—80). Sebagaimana halnya dengan bahasa-bahasa yang ada di daerah lain di wilayah Sulawesi Tengah, bahasa Tolitoli ini juga bersifat niraksara atau tidak mengenal aksara. Untuk keperluan kegiatan berbahasa dan bersastra dilakukan dengan cara lisan.

Sastra Tolitoli Dialek Bolano dituturkan di Desa Bolano (Kecamatan Moutong, Kabupaten Parigi Moutong). Sastra Tolitoli Dialek Tolitoli dituturkan di Desa Salugan (Kecamatan

Baolan, Kabupaten Tolitoli) dan Desa Dada Kitan (Kecamatan Mamunu, Kabupaten Buol). Sastra Tolitoli Dialek Tolitoli Nalu dituturkan di Desa Nalu (Kecamatan Baolan, Kabupaten Tolitoli) dan Desa Lakatan (Kecamatan Galang, Kabupaten Tolitoli).

1. Prosa Tolitoli a.Mite

Prosa rakyat Tolitoli yang dikategorikan sebagai cerita mite, di antaranya adalah:

1) Tau Totolu ‘Tiga Orang. Alkisahnya, ada empat puluh orang yang mengatehui cara mengikat parang dinggangnya. Mereka pergi berburu ke hutan. Mereka merasa haus dalam merejalanan. Mereka berusaha mencari sumber air, tetapi pada saat itu mereka menemukan serumpun bambu kuning. Salah seorang dari mereka ingin memotong babmbu itu untuk digunakan sebagai wadah air. Pada saat orang itu hendak memotong bambu itu, tiba -tiba terdengar suara manusia, “He, jangan dipotong kepalaku itu!” Kemudian, orang itu memotong bagian bawah bambu itu. Pada saat dipotong, terdengar lagi suara manusia, “He, kakiku itu!” Setelah mereka mendengar suara itu, salah seorang di anatara mereka berkata, “Ka lau engkau benar-benara manusia, kami mohon muncullah agar ada orang yang kami angkat menjadi pemimpin!” Tiba -tiba menggelegar bunyi guntur disertai kilat. Pada saat itu berdirilah sorang laki -laki yang tampan di hadapan mereka. Kemudia, mereka membuatkan usungan yang terbuat dadi bambu emas. Laki-laki itu diusung ke kampung dan dibuatkan rumah. Beberapa saat kemudian, mereka mendengar suara anjing menggonggong tak henti-hentinya. Mereka pergi melihat anjing yang menggonggong itu. Mereka melihat anjing itu sedang menggonggong sebuah bayang manusia yang berada di tepian sungai. Mereka melihat ke atas, ternyata di atas pohon langsat duduk seorang perempuan cantik. Mereka pun 1) Tau Totolu ‘Tiga Orang. Alkisahnya, ada empat puluh orang yang mengatehui cara mengikat parang dinggangnya. Mereka pergi berburu ke hutan. Mereka merasa haus dalam merejalanan. Mereka berusaha mencari sumber air, tetapi pada saat itu mereka menemukan serumpun bambu kuning. Salah seorang dari mereka ingin memotong babmbu itu untuk digunakan sebagai wadah air. Pada saat orang itu hendak memotong bambu itu, tiba -tiba terdengar suara manusia, “He, jangan dipotong kepalaku itu!” Kemudian, orang itu memotong bagian bawah bambu itu. Pada saat dipotong, terdengar lagi suara manusia, “He, kakiku itu!” Setelah mereka mendengar suara itu, salah seorang di anatara mereka berkata, “Ka lau engkau benar-benara manusia, kami mohon muncullah agar ada orang yang kami angkat menjadi pemimpin!” Tiba -tiba menggelegar bunyi guntur disertai kilat. Pada saat itu berdirilah sorang laki -laki yang tampan di hadapan mereka. Kemudia, mereka membuatkan usungan yang terbuat dadi bambu emas. Laki-laki itu diusung ke kampung dan dibuatkan rumah. Beberapa saat kemudian, mereka mendengar suara anjing menggonggong tak henti-hentinya. Mereka pergi melihat anjing yang menggonggong itu. Mereka melihat anjing itu sedang menggonggong sebuah bayang manusia yang berada di tepian sungai. Mereka melihat ke atas, ternyata di atas pohon langsat duduk seorang perempuan cantik. Mereka pun

2) Tontoli ‘Tolitoli’ mengisahkan nenek moyang orang Tolitoli yang berasal dari to manuru ‘manusia yang turun dari kayangan’, yakni Tau Dei Galang, Tau Dei Baolan, dan Tau Bumbung Lanjat atau Boki Sandana atau Boki Bulaan.

3) Baolan ‘Baolan’ menceritakan asal-usul Madika Baolan. Pada zaman dahulu kala rakyat Baolan tinggal di sekitar hutan rimba. Rakyatnya belum banyak, baru berjumlah empat puluh orang pria dan tiga puluh orang wanita dengan pengikut yang disebut Ponggawa. Ponggawa inilah yang mengatur kehidupan mereka sehari-hari. Mereka bercocok tanam dan berburu. Mula pertama mereka membuat kebun di sekitar hutan dekat tempat tinggal mereka. Lama kelamaan daerah perkebunan mereka sampai pada batu yang ada bekas kaki yang disebut “Batu Botak” . Daerah perburuan mulai dari hutan sekitar tempat tinggal sampai di Dedetna atau Lampasio. Suatu ketika pada waktu musim kemarau, mereka pergi berburu bersama dengan Ponggawa. Setelah mereka dekat pada rumpun bamb u kuning, Ponggawa memerintahkan mengambil bambu kuning satu ruas untuk dijadikan tempat air bekal berburu. Waktu hendak mengayunkan atau memotong bamb u, tiba-tiba terdengar suara “Jangan , kakiku itu”. Semua heran mendengar suara itu, kemudian mereka duduk sejenak memikirkan suara tersebut dilanjutkannya lagi untuk menebang itu, tiba -tiba terdengar oleh mereka, “Jangan , itu perutku”. Penebangan dilanjutkan dan parang diayunkan agak ke atas. Tiba -tiba terdengar pula suara, “Jangan , itu kepalaku”. Semua duduk keheran-heranan di bawah pohon bambu memikirkan apa 3) Baolan ‘Baolan’ menceritakan asal-usul Madika Baolan. Pada zaman dahulu kala rakyat Baolan tinggal di sekitar hutan rimba. Rakyatnya belum banyak, baru berjumlah empat puluh orang pria dan tiga puluh orang wanita dengan pengikut yang disebut Ponggawa. Ponggawa inilah yang mengatur kehidupan mereka sehari-hari. Mereka bercocok tanam dan berburu. Mula pertama mereka membuat kebun di sekitar hutan dekat tempat tinggal mereka. Lama kelamaan daerah perkebunan mereka sampai pada batu yang ada bekas kaki yang disebut “Batu Botak” . Daerah perburuan mulai dari hutan sekitar tempat tinggal sampai di Dedetna atau Lampasio. Suatu ketika pada waktu musim kemarau, mereka pergi berburu bersama dengan Ponggawa. Setelah mereka dekat pada rumpun bamb u kuning, Ponggawa memerintahkan mengambil bambu kuning satu ruas untuk dijadikan tempat air bekal berburu. Waktu hendak mengayunkan atau memotong bamb u, tiba-tiba terdengar suara “Jangan , kakiku itu”. Semua heran mendengar suara itu, kemudian mereka duduk sejenak memikirkan suara tersebut dilanjutkannya lagi untuk menebang itu, tiba -tiba terdengar oleh mereka, “Jangan , itu perutku”. Penebangan dilanjutkan dan parang diayunkan agak ke atas. Tiba -tiba terdengar pula suara, “Jangan , itu kepalaku”. Semua duduk keheran-heranan di bawah pohon bambu memikirkan apa

ters ebut?” Kemudian terdengarlah lagi suara, “Ambil kayu tiga kemudia n patokkan di dekat ini, lalu buatkan usungan tiga sudutnya dan anyaman bambu untuk tempat duduk.” Pada saat itu Ponggawa memerintahkan temannya membuat apa yang diperintahkan oleh suara tadi. Setelah usungan selesai dibuat, tiba-tiba hujan turun dengan lebatnya disertai bunyi g untur dan kilat sehinga mereka pingsan. Setelah mereka sadar terlihat oleh mereka seorang pria yang tampan duduk pada usungan itu. Lalu dengan senang hati orang itu diusung ke tempat tinggal mereka di sekitar hutan itu. Di sana mereka diterima oleh rakyat dengan hati gembira serta keheran-heranan. Salah seorang dari mereka bertanya kepada Pongawa, “Siapa orang itu?” Ponggawa menjawab, “Inilah orang yang menjadi pimpi nan kita, raja kita”. Pada saat itu Ponggawa memerintahkan kepada rakyatnya agar membuatkan rumah untuk tempat tinggal raja. Setelah rumah itu selesai, lalu mereka bermufakat membuat keramaian untuk memindahkan raja ke rumah tersebut. Diadakanlah keramai an

membuat

adat

dengan bermacam-macam bunyi-bunyian seperti: tong-tong, santun sejenis gambus yang dibuat dari bambu seraya membawakan pantun yang disebut lelegesan. Tujuh hari sesudah pesta mereka berburu kembali di sekitar anak sungai. Pada waktu itu anjing mereka yang bernama Pior meraung-raung sambil tunduk ke arah sungai. Melihat keadaan anjing itu, mereka keheran-heranan sambil berusaha melihat apa sebenarnya yang dilihat oleh anjing tersebut. Ternyata yang dilihatnya adalah bayangann manusia di dalam air. Mere ka pun menengok ke atas. Terlihat oleh mereka seorang wanita cantik duduk di cabang pohon langsat. Karena tempat

mereka itu jauh dari pohon langsat, Ponggawa memerintahkan seseorang untuk segera memberitahukan peristiwa itu kepada Raja. Raja lalu berkata, “Bawalah orang itu sebagaimana kamu membawa aku sebab itulah istriku yang bernama Boki Lume. Pada saat itu juga Ponggawa membuat usungan sebagaimana yang dipakai oleh Raja. Setelah usungan selesai dikerjakan Ponggawa bermohon lagi, “Turunlah, engkau seorang wanita dan engkaulah istri raja kami”. Tidak lama kemudian berbunyilah g untur, kilat yang disertai hujan lebat membuat mereka pingsan. Ketika sadar, terlihat oleh mereka seorang wanita cantik duduk di atas usungan. Wanita itu diusung ke rumah raja kemudian diadakan pesta sebagaimana yang dibuatkan untuk Raja. Selesai diadakan pesta, Ponggawa menyerahkan semua kekuasaannya kepada Raja. Mulai saat itu Raja mengatur rakyatnya memperluas kebun meneruskan yang pernah diatur oleh Ponggawa. Semakin hari semakin bertambah rakyatnya. Pada suatu ketika bermunculanlah, satu persatu, anak Raja yang masih berupa dewata di sudut -sudut hutan. Pertama-pertama muncul yang bernama Makappa, di sudut hutan kedua muncul seorang bernama Sianjingon, di sudut hutan ketiga muncul pula yang bernama Datu Mayo, di sudut hutan keempat muncul lagi seorang yang bernama Dokoliuan, dan di tengah hutan muncul lagi seorang yang bernama Datuntun. Tak lama kemudian menyusul dua dewa yang menjelma menjadi manusia yaitu, Langgai Podo d an Kapita Maladi. Kedua orang tersebut menjadi pengawal raja karena penduduk bertambah. Di muara dipimpin oleh Kapiuta Maladi, di Togas dipimpin oleh Langgai Podo, dan di tempat semula dipimpin oleh Ponggawa, sedangkan Raja hanya mengatur dan mengarahk an mereka. Pada suatu saat Raja menerima berita bahwa di Muara ada kapal layar. Raja berangkat untuk melihat kapal layar itu. Rupanya orang yang berada di atas kapal itu bernama Vet Brogmen. Mereka

saling berkenalan. Pada saat itu Raja memberitahukan namanya Datu Amas. Pada saat itu rakyatnya baru mengetahui nama rajanya. Persahabatan antara Raja dan Vet Brogmen berlangsung lama, akhirnya Vet Brogmen memberikan tongkat dan topi emas kepada Raja. Kemudian Raja pun membalas pemberian itu dengan memberikan hasil bumi seperti: ayam, kelapa, pisang, tebu, dan buah -buahan yang disebut pengantar. Setelah bertahun-tahun lamanya istri raja berturut-turut melahirkan anak bernama (1) Daimanjake, (2) Anggoben, (3) Boki Bulaan, (4) Baisug. Semua anak tersebut dilahirkan setelah mereka menjelma menjadi manusia biasa. Pada suatu ketika terjadi satu perlawanan di Muara dengan orang Pagora (perampok) dari Mindanao Philipina. Perlawanan tersebut dengan beberapa anak buahnya tewas. Setelah berita itu terdengar oleh Langai Podo, ia terkejut, kemudian berangkat menuju Muara. Pada waktu ia berangkat, ia mendorong batu besar tempat duduknya dengan tumit. Setelah ia sampai di Muara, semua perampok dipukulnya sampai habis. Ia pun kembali ke tempat mereka di atas dan melaporkan kepa da Raja bahwa gerombolan atau perampok telah tewas karena dipukul. Pada saat itu Raja Datu Amas mengumumkan pada rakyat bahwa nama kampung Alas diganti dengan nama Baolan dengan ketentuan siapa yang datang melawan kita baoli (pukul).

4) Tando Kanau ‘Tanjung Enau’ menceritakan bahwa Tanjung Enau sebagai pusat kekuatan gaib dan merupakan tumpuan bagi Gunung Tatanggalo. Di Tanjung itulah dipercaya sebagai tempat pertemuan dunia gaib para leluhur orang Tolitoli, yakni leluhur Tamadika Galang dan leluhur Tamadika Baolan. Tanjung itu juga dianggap sebagai cabang dunia gaib yang berpusat di Uwentira (berada di Tanah Kaili).

b. Legenda

Prosa rakyat Tolitoli yang dikategorikan sebagai cerita Prosa rakyat Tolitoli yang dikategorikan sebagai cerita

1) Batu Bangga ‘Batu Bangga.’ Intobu nama ayahnya dan Impalok nama anak lelakinya. Dikisahkan bahwa Impalok tumbuh sehat menjadi perjaka yang gagah. Ayahnya, Intobu’ bermatapencaharian sebagai nelayan. Setiap malam ayah dan anaknya itu pergi ke tengah samudera untuk memancing ikan. Pulau Manukan mereka jadikan patokan saat mereka melaut. Setelah dua atau tiga hari melaut, mereka baru kembali ke rumah. Pada suatu ketika Impalok berkata kepada ayahnya, “Aku ingin sekali ikut perahu bagga (sejenis perahu layar) melihat-lihat negeri asing yang ramai. Kemudian bekal pun disiapkan.

Impalok, ia bersenandung lelegesan (pantun) yang artinya kira-kira sebagai berikut.

Menjelang

keberangkatan

Demi daun pangase Padi pulut sebakul Kutumbuk kubuat waji Untuk bekalku berlayar

Ibunya menjawab: Perahunya kapitan laut Dikayuh menuju tumpangan Kalau kau Nak berangkat Kenang selalu kampung halaman

Perahu kayu yang hendak ditumpangi telah tiba. Kemudian, berangkatlah ia sebagai kelasi. Sudah bertahun-tahun tidak ada beritanya. Mata pencaharian sang ayah tetap seperti sediakala, yakni seorang nelayan yang setiap hari pergi ke laut. Di tengah laut, s ang ayah menoleh ke kiri dan ke kanan, tampaklah olehnya sebuah layar sebesar buliu ayam. Kian lama kian mendekat, tampak olehnya anaknya yang bernama Impalok yang berdiri dengan gagah per kasa di haluan perahu kayu besar itu. Tiba-tiba angin barat bertiup sangat kencang Perahu kayu yang hendak ditumpangi telah tiba. Kemudian, berangkatlah ia sebagai kelasi. Sudah bertahun-tahun tidak ada beritanya. Mata pencaharian sang ayah tetap seperti sediakala, yakni seorang nelayan yang setiap hari pergi ke laut. Di tengah laut, s ang ayah menoleh ke kiri dan ke kanan, tampaklah olehnya sebuah layar sebesar buliu ayam. Kian lama kian mendekat, tampak olehnya anaknya yang bernama Impalok yang berdiri dengan gagah per kasa di haluan perahu kayu besar itu. Tiba-tiba angin barat bertiup sangat kencang

2) Batu Mangi Sareko ‘Batu Manggi Sareko’. Ada seorang g tua bernama Mangi Sareko. Ia membuat sebuah dangau di tepi pantai Leok Bue di Desa Pinjan. Mata pencaharian orang tua itu memancing ikan di Leo Bue. Untuk itu, ia me mbuat tempat duduk untuk memancing, terbuat dari tiga buah batu namanya lantung. Dua buah batu dibuatnya pengalas dan yang satu lagi diletakkannya melintang di atas ke dua batu tersebut. Setiap hari pekerjaannya memancing di tempat itu. Sampai sekarang batu tersebut tetap ada di tempatnya, dikenal dengan sebutan “Batu Mangi Sareko” dan berguna menahan hempasan ombak.

3) Bau Bagau ‘Ikan Duyung’. Zaman dahulu di suatu negeri dihuni oleh beberapa jenis mahluk. Di antaranya adalah seorang gadis yang bernama I Bokiandangan. Kegemarannya memelihara ikan sambil bermain -main dengan ikan. Pada suatu ketika ia melihat ikan taddiu,

sejenis ikan teri. Ikan itu dipeliharanya di dalam tempat yang dibuat dari kelapa yang disebut bobo. Lama kelamaan ikan itu menjadi besar dan akhirnya dipindahkan ke sumur. Setelah tiba masanya ikan menjadi lebih besar dan dipindahkan lagi ikan itu ke laut. Setiap pagi dan petang sejenis ikan teri. Ikan itu dipeliharanya di dalam tempat yang dibuat dari kelapa yang disebut bobo. Lama kelamaan ikan itu menjadi besar dan akhirnya dipindahkan ke sumur. Setelah tiba masanya ikan menjadi lebih besar dan dipindahkan lagi ikan itu ke laut. Setiap pagi dan petang

4) Tau Totoli Poli Mangaan Dendeog ‘Orang Tolitoli Pantang Makan Belut’. Alkisah, ada dua orang bersaudara. Pada saat matahari sudah meninggi, perut terasa lapar, tetapi tidak ada lauk pauk, mereka pun bersepakat untuk pergi menjaring udang di sebuah sungai. Mereka berangkat sambil membawa jaring dan berbekal ketupat. Seorang di antaranya berkata, “Apabila kita sudah mendapat udang, kita bakar dan memakannya bersama-sama ketupat ini.” Belum berapa lama mereka di dalam air, tiba-tiba berteriak yang seorang. Aku dapat menjaring seekor ikan belut. Apa jawab temannya, “aduh sayang sekali, ikan itu tidak boleh kita makan.” Pada zaman dahulu ada seorang perempuan ditimpa penyakit yaitu berupa bisul yang tumbuh di payudaranya. Siang malam ia merintih kesakitan dan berhari -hari ia menangis menahan derita. Sudah bermacam-macam dedaunan untuk pengobatan bisul tersebut. Dukun pun sudah dipanggilkan untuk mengobati, tetapi beberapa saat rasa sakitnya reda, kemudian kembali ia merasa sakit yang tak terperikan. Akhirnya, bisul itu pecah dan mengeluarkan nanah dan ia pun tidur dengan lelap. Dalam tidurnya ia bermimpi, seseorang datang membelit sehelai selendang war na 4) Tau Totoli Poli Mangaan Dendeog ‘Orang Tolitoli Pantang Makan Belut’. Alkisah, ada dua orang bersaudara. Pada saat matahari sudah meninggi, perut terasa lapar, tetapi tidak ada lauk pauk, mereka pun bersepakat untuk pergi menjaring udang di sebuah sungai. Mereka berangkat sambil membawa jaring dan berbekal ketupat. Seorang di antaranya berkata, “Apabila kita sudah mendapat udang, kita bakar dan memakannya bersama-sama ketupat ini.” Belum berapa lama mereka di dalam air, tiba-tiba berteriak yang seorang. Aku dapat menjaring seekor ikan belut. Apa jawab temannya, “aduh sayang sekali, ikan itu tidak boleh kita makan.” Pada zaman dahulu ada seorang perempuan ditimpa penyakit yaitu berupa bisul yang tumbuh di payudaranya. Siang malam ia merintih kesakitan dan berhari -hari ia menangis menahan derita. Sudah bermacam-macam dedaunan untuk pengobatan bisul tersebut. Dukun pun sudah dipanggilkan untuk mengobati, tetapi beberapa saat rasa sakitnya reda, kemudian kembali ia merasa sakit yang tak terperikan. Akhirnya, bisul itu pecah dan mengeluarkan nanah dan ia pun tidur dengan lelap. Dalam tidurnya ia bermimpi, seseorang datang membelit sehelai selendang war na

selendang bagaikan mengipas-ngipas dan menutupi buah dadanya yang ditumbuhi bisul itu. Ia terbangun dari tidurnya sambil keheranan. Ia bertanya dalam hatinya sendiri. Kira -kira apakah gerangan alamat mimpiku itu. Aku sudah tua belum pernah bermimpi seperti itu. Akhirnya, ia terbangun langsung berdiri dan perlahan -ahan diuasp-usapnya buah dadanya yang ditumbuhi bisul itu. Rasa sakitnya terasa agak ringan. Dalam hati ia berharap agar terkabul doanya. Kiranya bisul yang dideritanya itu segera sembuh, supaya ia dapat kembali bekerja mengurus rumah tangga dan sanak

Ujung

keluarga. Terbayang kembali di pelupuk matanya selendang kuning dalam mimpinya. Kemudian ia menadahkan tangannya dan bermunajat kehadirat Allah Swt., kiranya mimpinya semalam bermanfaat. Kalau tabir mimpinya itu baik, perlihatkanlah kebaikannya, dan apabila tabir mimpinya itu burut jauhkanlah malapetaka. Setelah sadar, ia bergegas menuju sungai untuk mandi. Terasa olehnya, tidak ada lagi rasa sakit di buah dadanya dan ia pun menyelam ke dalam air sungai. Tiba -tiba muncul seekor belut membelit lehernya persis lilitan sehelai selendang kuning yang dalam mimpinya itu. Belut itu menjilat dan mengisap nanah bisulnya. Atas kuasa dan rahmat Allah Swt., selesai mandi ia bergegas pulang ke rumah dan bisulnya pun sudah sembuh. Kemudian ia berkata kepada suaminya, “mulai hari ini hingga tujuh turunan kita tidak boleh makan ikan belut”. Kalau ada keturunan kita makan belut ia dihinggapi bermacam-macam penyakit, seperti bisul atau kudis di seluruh badan, sakit mata, dan rasa nyeri pada persendian kaki tangannya. Akhirnya, kalau anak yang ingin makan ikan belut haruslah dengan syarat, yaitu ambil secuil daging belut, kemudian gosokkan di tapak kaki seraya diikuti ucapan, “Tumbuh ramb ut di telapak kaki, baru kau hinggapi bisul, kudis, dan segalanya”.

5) Tau Dei Galang ‘Orang Galang.’ Diceritakan bahwa ada 5) Tau Dei Galang ‘Orang Galang.’ Diceritakan bahwa ada

terbit, sedangkan saudara-saudaranya yang lain tetap tinggal di kampung halamannya. Kemudian, orang laki-laki yang mau berpergian itu dibuatkan bekal nasi pulut. Lauk -pauknya ayam panggang dan telur rebus yang dibungkus dengan daun lontar. Keesokan harinya, ia berjalan seorang diri. Dijalaninya semak belukar, rimba raya, didakinya gunung, serta sungai diseberanginya. Sudah berhari-hari berjalan, tiba-tiba ia tertegun karena ia sudah tersesat. Pada waktu malam tiba, ia tidur bergelimpang di dalam pohon kayu. Pagi pun tiba dia meneruskan perjalanannya. Tiba-tiba ia terperanjat karena sudah tersesat lagi. Hendak kembali ke kampung halaman sudah terlampau jauh, serta rintangan rimba yang dilalui pun sudah berat. Terbayanglah wajah kedua orang tuanya, rindu kepada sanak saudaranya. Ia sudah tercekam dengan duka nestapa dan rasa rindu yang kekal abadi. Rindu sepanjang masa. Itulah asal mula nama Galang Metegalang, artinya rindu.

6) Bau Pai ‘Ikan Pari’. Tersebutlah di suatu negeri ada tiga orang anak beranak, yaitu ayah, ibu, dan anak. Adapun mata pencaharian sang ayah hanyalah memancing ikan dan ibu membuat garam. Suatu waktu sang ayah jatuh sakit dan akhirnya meninggal dunia. Jadi tinggalah mereka berdua menempati rumah itu. Alangkah kecewanya sang ibu bilamana anaknya diberi makan selalu memnita ikan. Lama kelamaan ibunya bingung memikirkan anaknya itu. Kemudian diajaknya anaknya pergi ke tepi pantai dengan memakai tudung dan memegang pisau. Setibanya di situ, ibunya lalu berkata, “Disinila h kau menungguku dan duduklah di bawah pohon kelapa ini, dan saya akan pergi mencari ikan”. Lama benar anak itu menunggu i bunya, tetapi tidak kunjung datang. Tak lama kemudian ibunya datang, tetapi tidak membawa suatu apapun , menangislah anak itu. Anak itu pun meminta lagi, “O, ibu saya minta ikan.” Ibunya 6) Bau Pai ‘Ikan Pari’. Tersebutlah di suatu negeri ada tiga orang anak beranak, yaitu ayah, ibu, dan anak. Adapun mata pencaharian sang ayah hanyalah memancing ikan dan ibu membuat garam. Suatu waktu sang ayah jatuh sakit dan akhirnya meninggal dunia. Jadi tinggalah mereka berdua menempati rumah itu. Alangkah kecewanya sang ibu bilamana anaknya diberi makan selalu memnita ikan. Lama kelamaan ibunya bingung memikirkan anaknya itu. Kemudian diajaknya anaknya pergi ke tepi pantai dengan memakai tudung dan memegang pisau. Setibanya di situ, ibunya lalu berkata, “Disinila h kau menungguku dan duduklah di bawah pohon kelapa ini, dan saya akan pergi mencari ikan”. Lama benar anak itu menunggu i bunya, tetapi tidak kunjung datang. Tak lama kemudian ibunya datang, tetapi tidak membawa suatu apapun , menangislah anak itu. Anak itu pun meminta lagi, “O, ibu saya minta ikan.” Ibunya

c. Dongeng

Prosa rakyat yang berkategori dongeng yang berkembang dalam masyarakat Tolitoli, di antaranya:

1) Sababna Maamanuk Tanggik Nabali Tau Labuk ‘Sebabnya Si Burung Srigunting Dijadikan Penjinak Ikan.’ Dic eritakan bahwa pada suatu tempat terdapat sebuah lembah yang di tengah-tengahnya mengalir sebuah sungai. Lembah itu menyimpan kesuburan tanah sehingga menjadi t empat pemukiman sekelompok manusia. Di sanalah mereka tinggal dengan membuat gubuk yang sangat sederhana. Ramuannya dibuat dari kayu bulat yang diikat dengan rotan ataupu tali hutan yang ada di sekeliling mereka, sedangkan atapnya hanyalah berupa daun rotan, enau, atau daun apa saja yang dapat digunakan. Di an tara mereka ada yang membuat ladang walaupun dengan pengolahan yang sangat sederhana. Tempat mereka mengambil air minum dan tempat mandi hanyalah di sungai dengan tebing yang tidak seberapa tinggi dan dikelilingi oleh hutan dengan pohon -pohon yang besar. Di atas pohon itu sangat banyak burung bertengger dan berkeliaran, termasuk burung srigunting yang punya kebiasaan berkicau pada malam menjelang pagi. Kicauan

srigunting dijadikan penanda waktu oleh orang-orang. Menurut cerita, semua ikan naik ke darat mencari makan . Ketika telah hampir siang barulah ikan -ikan itu kembali menceburkan diri ke sungai atau ke laut. Di antara ikan -ikan itu ada yang memperhatikan bunyi burung Srigunting dan menjadikan kicauannya sebagai tanda untuk kembali mencebur ke air. Walaupun demikian, masih ada di antara ikan-ikan itu yang belum mengetahui sehingga tidak jarang di antara mereka kesiangan di daratan. Itulah sebabnya ikan-ikan itu tidak banyak yang ditangkap oleh man usia yang kebetulan hendak pergi ke sungai. Kejadian yang menyedihkan itu tidak habis -habisnya dipikirkan oleh raja ikan. Dikumpulkannyalah semua rakyatnya itu lalu ia bertanya “Apakah kalian mengetahui , apa maksudku memanggil kalian?” Menjawablah salah s eekor di antara mereka, ”kami belum mengetahui.” “Nah kalau demikian, dengarlah baik-baik, akhir-akhir ini, rakyatku semakin berkurang. Itu tidak lain karena kebodohannya kamu sendiri. Banyak di antara kamu yang kesiangan mengisi perut sehingga kesempatan itu tidak disia-siakan oleh manusia untuk menangkap kamu. Padahal, sesungguhnya ada sesuatu yang kamu jadikan sebagai tanda. Jika kamu ingin mengetahuinya, ialah bunyi kicau srigunting yang menandakan hampir siang.” Raja lalu berkata lagi, “Apakah hal itu kalian telah mengetahuinya?” Mer eka menjawab, “s ebagian dari kami belum mengetahuinya.” Raja mereka berkata lagi, “Jika demikian, kuberitahukan kepada kamu bahwa kicauan srigunting itulah yang kamu jadikan tanda untuk kembali ke tempat kamu semula (ke dalam air). Sekarang aku perintahkan salah satu di antara kamu menemui serta mengundang raja srigunting. Beritahukanlah kepadanya , ada seuatu yang hendak dirundingkan ”. Beberapa saat kemudian, berangkatlah utusan Raja Ikan itu untuk menemui Raja Srigunting. Setelah mendengar

undangan Raja Ikan, ia pun berdiam sejenak sambil menerka apa gerangan maksud undangan tersebut. Bebera pa saat kemudian, berangkatlah Raja Srigunting itu menemui raja ikan dan disambut oleh Raja I kan dengan sangat ramah. Dengan tidak melewatkan waktu lebih lama bertanyalah Raja Srigunting kiranya apakah maksud undangan ini? Raja Ikan menjawab, “Masalah yang ingin kusampaikan adalah menyangkut nasib rakyatku sendiri . Beberapa waktu yang lalu aku telah memberitahukan kepada rakyatku bahwa kicauan dari saudara-saudara kamu kami jadikan sebagai tanda ataupun isyarat untuk ke temp at kami semula. Masalah itulah yang kus ampaikan sambil mengharapkan bantuanmu”. Setelah mendengar uraian Raja Ikan itu, berkatalah Raja Srigunting, “Kalau itu ya ng saudara inginkan dari kami tidaklah merasa keberatan. Dengan senang hati kami membantu. Akan kuberitahukan kepada rakyatku agar mereka berkicau sebagaimana mestinya.” Demikian perjanjian itu berlangsung beberapa lama dengan penuh rasa persahabatan. Akan tetapi, pada suatu ketika entah kenapa, tiba-tiba Raja Srigunting mengumpulkan rakyatnya dan berkata, ”pada suatu ketika kuperintahkan kepada kamu tidak seperti biasanya, tetapi sesudah siang ”. Sebenarnya mereka terheran -heran mendengar perintah raja mereka itu. Karena mereka patuh, hal itu tetap dilaksanakan. Nah apa yang terjadi? Tersebarlah berita bahwa banyak ikan yang ditangkap oleh manusia akibat isyarat yang diberikan oleh Srigunting sangat terlambat dari biasanya. Berita yang menyedihkan itu terdengar oleh Raja Ikan. Alangkah murkanya Raja Ikan atas peng khianatan Raja Srigunting. Oleh karena itu, ia mengumumkan kepada rakyatya (ikan) dan sambil bersumpah , “yang namanya srigunting adalah musuh kita sampai turun -temurun. Kuperintahkan kepada kal ian wahai rakyatku, kapan dan di manapun kalian mendapatkan bangsa srigunting yang mungkin terjatuh di air sungai dan laut, cepat -cepat kalian undangan Raja Ikan, ia pun berdiam sejenak sambil menerka apa gerangan maksud undangan tersebut. Bebera pa saat kemudian, berangkatlah Raja Srigunting itu menemui raja ikan dan disambut oleh Raja I kan dengan sangat ramah. Dengan tidak melewatkan waktu lebih lama bertanyalah Raja Srigunting kiranya apakah maksud undangan ini? Raja Ikan menjawab, “Masalah yang ingin kusampaikan adalah menyangkut nasib rakyatku sendiri . Beberapa waktu yang lalu aku telah memberitahukan kepada rakyatku bahwa kicauan dari saudara-saudara kamu kami jadikan sebagai tanda ataupun isyarat untuk ke temp at kami semula. Masalah itulah yang kus ampaikan sambil mengharapkan bantuanmu”. Setelah mendengar uraian Raja Ikan itu, berkatalah Raja Srigunting, “Kalau itu ya ng saudara inginkan dari kami tidaklah merasa keberatan. Dengan senang hati kami membantu. Akan kuberitahukan kepada rakyatku agar mereka berkicau sebagaimana mestinya.” Demikian perjanjian itu berlangsung beberapa lama dengan penuh rasa persahabatan. Akan tetapi, pada suatu ketika entah kenapa, tiba-tiba Raja Srigunting mengumpulkan rakyatnya dan berkata, ”pada suatu ketika kuperintahkan kepada kamu tidak seperti biasanya, tetapi sesudah siang ”. Sebenarnya mereka terheran -heran mendengar perintah raja mereka itu. Karena mereka patuh, hal itu tetap dilaksanakan. Nah apa yang terjadi? Tersebarlah berita bahwa banyak ikan yang ditangkap oleh manusia akibat isyarat yang diberikan oleh Srigunting sangat terlambat dari biasanya. Berita yang menyedihkan itu terdengar oleh Raja Ikan. Alangkah murkanya Raja Ikan atas peng khianatan Raja Srigunting. Oleh karena itu, ia mengumumkan kepada rakyatya (ikan) dan sambil bersumpah , “yang namanya srigunting adalah musuh kita sampai turun -temurun. Kuperintahkan kepada kal ian wahai rakyatku, kapan dan di manapun kalian mendapatkan bangsa srigunting yang mungkin terjatuh di air sungai dan laut, cepat -cepat kalian

burung srigunting. Kemudian dicobanyalah mengikatkan beberapa lembar bulu burung srigunting itu pada pancingnya. Ia pun mulai memancing dan ternyata dalam waktu yang sangat singkat ia memperoleh ikan sangat banyak. Mulai saat itu para pemancing menjadikan burung srigunting sebagai penjinak ikan.

2) I Bolong ai I Pomponu ‘Kera dan Kura-Kura.’ Diceritakan , sudah sejak lama terdapat sebuah lembah yang subur dan makmur. Di tempat inilah hidup bermacam-macam binatang, di antaranya kera dan kura-kura. Dengan sangat akrab mereka saling membantu, baik dalam kedaan susah maupun dalam keadaan senang. Pada suatu hari, keduanya mengadakan musyawarah tentang jenis pekerjaan apa yang baik dilakukan untuk kehidupan. Akhirnya, mereka sepakat untuk membuka ladang dan bersama-sama menanam pisang. Pisang kera dan kura-kura sama-sama tumbuh dengan subur. Melihat

kera mulai mengupas-ngupas batang pisangnya dan merobek -robek daun dan bahkan mendudukinya untuk mengetahui kapan buah pisang itu keluar. Akhirnya dalam beberapa hari saja pisang itu mati. Ia pun meninggalkan tempat itu sehingga

tanamannya

begitu

subu r

yang tinggal hanyalah k ura-kura. Pisang yang ditanam kura-kura semakin subur, besar, dan tinggi karena selalu dibersihkannya. Pada musim kemarau, pisang itu disiramnya. Ia berdoa agar Tuhan memberikan rezeki yang banyak, supaya jerih payahnya dapat dinikmati. Tak lama kemudian pisang itu pun berbuah. Saat pisang itu masak, kura -kura berpikir bagaimana cara memetiknya. Hendak dipanjat tidak mungkin karena batangnya tinggi dan licin. Teringatlah ia pada sahabat lamanya, yaitu kera. Ia meminta kera untuk membantunya memanjat pisan g itu. Biarlah akan kuberikan sebagian pisang padanya. Permintaan itu diterima oleh si kera, berjalanlah keduanya menuju tempat di mana pisang itu berada. Setelah tiba di lokasi, tampak oleh kera pisang kura-kura itu masak semuanya. Kera pun segera melompat dan memanjat pohon pisang tersebut. Diambilnya pisang itu satu persatu kemudian dimakannya. Namun, ia tidak memberi sebiji pun kepada kura-kura. Karena lapar dan dahaga, kura-kura memohon belas kasihan dari kera agar sudih melemparkan buah pisang walaupun hanya sebiji saja. Permintaan kura-kura itu tidak dihiraukan oleh kera sehingga kura-kura memohon dengan berkata, “Bila kau tidak mau memberikan pisang biarlah kulitnya saja untuk saya.” Dengan cepat si kera menjawab, “Bagaimana kuberikan kulitnya kepadamu jusru itulah yang paling enak.” Begitulah kera tidak menghiraukan lagi permintaan temannya itu. Dalam keadaan yang penuh dengan kekecewaan kura-kura bergegas mengambil bahan untuk dibuat ranjau dan segera dipasang di dekat pohon pisang di tempat kera berada yang apabila ia turun dia melompat tepat akan mengenai perutnya yang sudah penuh dengan pisang itu. Setelah selesai memasang ranjau, kura -kura berseru kepada kera, “Demikianlah sahabatku yang baik. Di waktu aku merenung sejenak tadi, aku mendapat ilham bahwa bangsa manusia sebentar lagi akan tiba di tempat ini untuk berburu dengan membawa banyak anjing dan sumpitan serta panah

beracun. Untuk itu kita harus berjaga -jaga menyelamatkan diri saja. Kunasihatkan padamu agar kita selamat, tenangkanlah dirimu dalam mengahadapi kenyataan nanti.” Si Kura-kura minta diri untuk mencari dulu tempat yang aman karena ia tidak dapat lari secepat kera. Ia berpesan, “apabila engkau mendengar salak anjing makin dekat, kau harus segera melompat dari atas pohon pisang itu dan terus lari sekuat tenaga. Bila salak anjing dari arah matahari terbit, engkau harus lompat ke arah matahari terbenam, atau kalau suara anjing dari arah matahari terbenam, kau harus melompat dari arah matahari terbit”. Kura -kura tadi sebenarnya bukan pergi mencari tempat yang aman, melainkan ia pergi ke arah matahari terbit, kemudian menyalak sekuat-kuatnya menirukan suara anjing yang sedang mencari mangsanya. Mendengar salakan itu, yang oleh kera dissangka anjing pemburu, ia segera melompat ke arah matahari terbenam sesuai pesan yang ditinggalkan oleh sahabat lamanya, si Kura-Kura. Ranjau tadi tepat mengena perut kera matilah ia karena keserakahannya. Kura-kura

menyaksikan bahkan menertawakannya.

datang

untuk

3) Asaa Niug, Bini, ai Tikapa ‘Asal Kelapa, Padi, dan Kapas’. Pada suatu desa ada seorang pemuda bernama Iso mengawini seorang wanita yang bernama Iyengge dan tinggal di pedalaman. Sudah bertahun -tahun mereka menikah, tetapi Tuhan belum juga memberi keturunan. Oleh karena mencari kayu bakar saja pekerjaannya, hidup mereka tidak meningkat, apalagi suaminya itu berbadan lemah dan penidur. Pada suatu hari istrinya mengeluh karena kehabisan makanan. Semakin hari semakin bertambah susah kehidupan mereka sehingga pikiran suaminya makin bertambah susa h sampai-sampai tidak sanggup lagi mengambil kayu bakar. Suaminya hanya tinggal berpikir saja tentang pekerjaannya sehari-hari sehingga akhirnya mereka hanyalah makan akar-akar kayu yang dapat dimakan. Istrinya selalu

menyuruh suaminya berusaha sesuatu untuk mendapatkan makanan. Keesokan harinya suaminya pergi ke desa seberang. Di desa itu ia mencari orang yang dapat menjadi tempat berutang. Di desa itu ia mencari orang yang dapat menjadi tempat berutang. Setelah diperbolehkan mulai hari itu pun berutang. Itulah kerjanya apabila kehabisan makanan ia mulai lagi menambah utangnya. Tidak berapa lama utangnya menjadi banyak sehingga ia tidak dapat lagi membayarnya. Oleh karena itu, ia makin sus ah memikirkan penghidupan dan utangnya yang banyak itu. Itulah sebabnya ia jatuh sakit. Semakin hari semakin berat penyakitnya karena tidak ada uang sesen pun untuk membeli obat. Pada waktu ia dalam keadaan sakit, ia berpesan kepada istrinya. Pesannya adalah, “kalau besok lusa saya meninggal dan utang tidak dapat dibayar, carilah apa-apa yang hidup di atas kuburan saya dan itulah yang dijadikan pembayar utang”. Pesan suaminya itu tidak dilupakan oleh istrinya. Pada suatu ketika, menjelang tengah hari, suaminya meninggal dunia. Setelah diketahui oleh orang -orang yang berada di desa seberang bahwa suaminya itu meninggal dunia, orang yang memberikan utang itu pun berdatangan ke rumahnya. Orang-orang tersebut bermaksud menagih utang kepada istrinya. Dengan terpaksa, istrinya itu berkata, “saya tidak punya apa-apa sekarang ini, jadi saya belum dapat membayar utang-utang suami saya, tungulah dulu.” Tidak berapa lama kemudian istriya pergi ke kuburan suaminya. Pada waktu itu, istrinya merasa heran melihat pohon yang tumbuh di atas kuburan suaminya. Di bagian kepala tumbuh pohon kelapa, di bagian kaki tumbuh pohon kapas, dan di bagian badan tumbuh pohon padi. Lama kelamaan utang mereka dapat dibayar dengan buah atau hasil dari tumbuh-tumbuhan yang hidup itu. Sampai sekarang diyakini, siapa saja yang memiliki kelapa, padi, dan kapas mesti mempunyai utang karena asalnya dari orang yang berutang.

2. Puisi Tolitoli

Sama halnya dengan puisi rakyat yang berkembang dalam khazanah kesusastraan Kaili dan Kulawi, puisi rakyat yang ada dalam masyarakat Tolitoli juga mendapat pengaruh da ri kesusastraan Melayu, khususnya bentuk pantun.

a. Lelegesan

Lelegesan merupakan versi dari pantun Melayu. K onvensi Lelegesan itu adalah setiap bait terdiri atas empat baris, setiap baris terdiri atas empat kata atau delapan sampai dua belas suku kata, baris pertama dan kedua merupakan sampiran, baris ketiga dan keempat merupakan isi. Lelegesan pada umumnya bersajak akhir a-a-a-a. Selain itu, dalam setiap bait lelegesan terdapat penggunaan penggunaan vokal eh... eh,... eh pada awal bait. Penggunaan vokal itu bukan bagian dari keutuhan pantun , tetapi bertujuan menarik perhatian pendengar nya.

Jenis lelegesan yang berkembang dalam masyarakat Tolitoli adalah lelegesan nasihat, percintaan, jenaka, dan nasib. Penggunaan jenis lelegesan itu bergantung pada acara yang sedang berlangsung. Pada saat upacara pernikahan, lelegesan yang digunakan adalah lelegesan percintaan. Pada saat mengkritik orang yang sedang mengalami musibah, lelegesan yang digunakan adalah lelegesan nasib.

1) Lelengesan “Laeng Dulian”. Eh…eh…eh… Isadang laeng dulian Kena sumangitna kiang Inangmu abi-abian Inggadaan tau songgian Eh…eh…eh Isadang laen donato Gawan mangi Anggato Balu-baluna madako Dologona sadako

Eh…eh…eh Isadang garadamu Bereng sopa naitamu Aku lau biasamu Nakokko kinanggamu

Terjemahan: Eh…eh…eh Ibarat daun durian Jangan menangis sayang Ibumu menjagamu Tidak ada orang lain

Eh…eh…eh Ibarat daun donato Kebunnya bapak si Anggito Beritanya menghebohkan Banyak gadis-gadis yang berada di situ

Eh…eh…eh Ibarat daun garadamu Apa gerangan yang engkau lihat Aku orang biasa Janganlah segan kepadaku

2) Lelegesan Nasihat sebagai berikut. Sadang ilaeng bona Bobo poguru pononga Dunia kode sandona Akhirat tolotolona

Terjemahan: Demi daun bona Dik belajar dan bertanyalah Dunia hanya pinjaman

Akhirat juga yang sesungguhnya

3) Lelegesan percintaan. Bungo konggomus Sua-suang isapo Sandona gonos-gonos Lolam hatina meseo

Terjemhan: Demi buah jambu Diisi dalam topi Pura-pura dia diam Dalam hati sudah gelisah

4) Lelegesan jenaka. Akibudede Tau benggee meserede Tibangna ubosan dedek Panggatna anggad hekede

Terjemahan: Demi pohon terung Perempuan tua yang lincah Suaminya lebih muda Tingginya sampai di ketiak.

5) Lelegesan nasib sebagai berikut. Sadang laeng palia Sampe aku aku ia Pido ai manusia Nokogutuan dennia

Terjemahan: Demi daun paria Sampai cukup saja

Karena baik pada manusia Sampai jadi begini