Latar Belakang Masalah PENDAHULUAN
kematian, hal ini merupakan persepsi negatif terhadap kematian dan akan menimbulkan ketakutan akan kematian. Dengan menerima kematian dengan
positif, hal tersebut dapat membebaskan lansia dari segala kecemasan dan mendukung kehidupan yang lebih vital dan bermakna Tomer Eliason,
2008. Namun, penerimaan terhadap kematian tersebut tidak dialami oleh semua lansia.
Rangkaian perasaan-perasaan yang dipicu oleh pemikiran-pemikiran mengenai kematian disebut sebagai death anxiety Schultz, 1979, dalam
Bryant, 2003. Kastenbaum 2000 menyatakan bahwa tingkat death anxiety yang sebagian besar dirasakan oleh individu dalam kehidupan sehari-harinya
mungkin dapat meningkat secara dramatis ketika individu mengalami periode stres atau ancaman, seperti masalah kesehatan, penyakit, atau kematian orang
terdekatnya. Tingkat death anxiety juga berhubungan dengan masalah fisik dan psikologis Cicirelli, 2002. Death anxiety diasosiasikan dengan
kecemasan, gejala-gejala depresi, dan keyakinan-keyakinan mengenai apa yang akan dialami setelah kematian Khawar, Aslam, Aamir, 2013.
Dari wawancara singkat peneliti terhadap tujuh lansia di RW 09 kelurahan Kebon Pala, tiga orang menyatakan tidak takut terhadap kematian
sedangkan empat orang lain mengaku merasakan takut terhadap kematian. Lansia yang memiliki rasa takut terhadap kematian tersebut memiliki alasan
yang berbeda-beda mengapa mereka takut terhadap kematian. Dua orang
menyatakan mereka takut meninggal karena mereka takut keluarganya sedih karena ditinggalkan dan karena mereka masih mengurus keluarganya. Satu
orang tidak menyatakan alasan mengapa ia takut pada kematian hanya takut, dan satu orang lainnya takut karena merasa kurang beribadah kepada Tuhan.
Sedangkan tiga orang sisanya lebih siap menghadapi kematian karena mereka sadar bahwa mereka sudah berusia lanjut, bahwa kematian itu adalah takdir
Tuhan yang harus diterima. Dari data wawancara tersebut dapat terlihat bahwa lansia memiliki
sikap terhadap kematian yang berbeda. Di satu sisi, ada lansia yang siap dengan kematian, dan di sisi lain merasa takut terhadap kematian. Individu
dengan agama, budaya, dan perspektif yang sama mungkin dapat memiliki perbedaan sikap terhadap kematian. Tinggi rendahnya death anxiety seseorang
dapat dijelaskan oleh berbagai aspek. Berbagai penelitian telah membuktikan adanya pengaruh berbagai faktor terhadap death anxiety, diantaranya Cicirelli
1999 meneliti pengaruh locus of control, perceived social support terhadap death anxiety. Sementara itu, Swanson Byrd 1998 meneliti pengaruh
religious orientation terhadap death anxiety, dan Azaiza et al., 2011 yang meneliti pengalaman terhadap kematian orangtua yang kehilangan anaknya
terhadap death anxiety. DePaola et al., 2003 juga meneliti mengenai pengaruh faktor demografis jenis kelamin tehadap death anxiety.
Suatu faktor yang penting yang terkait dengan kelangsungan hidup dan juga kesehatan adalah perasaan untuk mengontrol Baltes Wahl, 1991;
Schmidt, 1990; Santrock, 2002. Locus of control adalah perbedaan individu dalam hal kontrol personal mana yang akan digunakan seseorang dalam
situasi yang sama Rotter, 1966. Individu-individu yang percaya bahwa mereka memiliki tingkat kontrol yang tinggi lebih cenderung merasa bahwa
tindakan-tindakan mereka dapat membuat sesuatu yang berbeda dalam hidupnya, sehingga mereka lebih cenderung merawat dirinya sendiri secara
lebih baik dengan memakan makanan yang sehat dan berolahraga. Sebaliknya, mereka yang memiliki perasaan kontrol yang kurang mungkin merasa bahwa
apapun yang mereka lakukan tidak akan membuat sesuatu yang berbeda, dan kemudian tidak bersusah-susah untuk berusaha membuat sesuatu yang
berbeda Rodin Timko, 2001 dalam Santrock, 2002. Memang pada dasarnya kematian merupakan suatu hal yang tidak
terelakkan. Namun, dengan adanya perasaan kontrol diri di dalam aspek kematian yang lain, hal tersebut dapat mempengaruhi tingkat death anxiety.
Kepercayaan religius mengenai adanya kehidupan setelah kematian dapat menjadi sebuah ilusi kontrol terhadap kematian. Perasaan kontrol pada
lingkungan seseorang dapat menghasilkan perasaan aman dan dalam hal ini individu dengan internal locus of control memiliki ketakutan akan kematian
yang rendah Cicirelli, 1999. Williams 1990 dalam penelitiannya
membuktikan bahwa orang dengan internal locus of control memiliki penerimaan terhadap kematian yang lebih baik.
Faktor berikutnya yang dapat menjelaskan tinggi rendahnya death anxiety adalah social support. Masa tua merupakan waktu dimana social
support terkadang menurun intensitasnya. Lansia mungkin dapat menerima dukungan yang lebih sedikit sebagai akibat dari kehilangan atau mereka
merasa enggan untuk meminta pertolongan ketika mereka memiliki masalah Sarafino Smith, 2011. Dukungan sosial social support dianggap mampu
mereduksi kecemasan lansia dalam menghadapi kematian. Setelah seseorang memasuki masa lansia, maka dukungan sosial dari orang lain menjadi sangat
berharga dan akan menambah ketentraman hidupnya. Lansia yang memiliki social support yang kuat cenderung memiliki
ketakutan yang lebih rendah terhadap kematian karena adanya perasaan aman dari ikatan dirinya dengan orang lain Becker, 1973 dalam Daaleman
Dobbs, 2010. Social support ditemukan memiliki hubungan dengan death anxiety dan ketakutan akan hal-hal yang gaib Mullins Lopez, 1982 dalam
Azaiza et. al., 2010. Khawar, Aslam, Aamir 2013 juga menemukan hubungan yang negatif antara death anxiety dan social support.
Oleh karena itu, banyak lansia yang seharusnya mulai mencari dukungan sosial dari lembaga-lembaga atau kegiatan yang ada di
lingkungannya, contohnya melalui kegiatan-kegiatan atau komunitas di lingkungannya. Namun terkadang keterlibatan lansia dalam kegiatan-kegiatan
yang disediakan tidak terlihat. Contohnya, satu-satunya kegiatan di RW 09 kelurahan Kebon Pala yang paling digemari lansia adalah pengajian,
sedangkan program kegiatan lain yang disiapkan untuk kesejahteraan lansia seperti posyandu lansia sangat sepi dan senam rutin minggu pagi telah
dihapus karena kurangnya peminat. Tingginya keterlibatan lansia dalam kegiatan keagamaan dapat
menjadi suatu strategi dalam menurunkan tingkat death anxiety, karena kematian erat kaitannya dengan religiusitas. Agama dapat meredakan
kecemasan terhadap kematian dan kehidupan setelah kematian. Perasaan tenang yang dirasakan dari adanya agama dan rendahnya rasa takut akan
kematian cenderung identik dengan kepercayaan agama yang konservatif Wade, 1972 dalam Hurlock, 1981. Agama juga berfungsi sebagai sumber
dukungan emosional dan sosial pada individu, terutama pada saat-saat kritis Cicirelli, 2002.
Agama seharusnya dapat menurunkan tingkat death anxiety, namun jika agama tidak benar-benar diterapkan dan diyakini seutuhnya, terutama jika
ada motif lain dalam kegiatan beragama, hal tersebut dikhawatirkan akan semakin meningkatkan death anxiety karena individu belum menemukan
motivasi yang sebenarnya dalam beragama, yaitu mendekatkan diri pada
Tuhan. Intrinsic religious orientation adalah motivasi beragama yang berpusat pada Tuhan, buka pada diri sendiri. Sedangkan extrinsic religious
orientation adalah motivasi beragama untuk mencari keuntungan personal dalam bentuk ketenangan, harga diri dan sosiabilitas, bahkan demi orang lain
Allport, 1967 dalam Pargament, 1997. Beberapa penelitian melaporkan hasil yang berbeda terhadap pengaruh
religious orientation pada death anxiety. Thorson Powell 2000, dalam Cicirelli, 2002 menemukan bahwa religiusitas intrinsik berhubungan secara
negatif dengan death anxiety. Individu dengan extrinsic religious orientation juga dilaporkan memiliki death anxiety yang tinggi dalam penelitian Swanson
Byrd 1998. Namun hasil yang berbeda ditunjukkan pada penelitian Chuin Choo 2009 dimana tidak ditemukan pengaruh yang signifikan antara
religious orientation dengan death anxiety. Kemudian, peningkatan intensitas paparan terhadap hal-hal yang
berhubungan dengan kematian dan pengalaman kehilangan teman terdekat atau keluarga juga dapat mempengaruhi sikap terhadap kematian. Kehilangan
orang yang disayangi merupakan hal yang berat karena keluarga, teman, atau orang terdekat lainnya adalah salah satu sumber kekuatan seseorang dalam
bertahan menghadapi suatu masalah. Florian Mikulnicer 1997, dalam Azaiza et al., 2011 melaporkan tingkat death anxiety yang lebih tinggi pada
wanita yang baru saja mengalami kehilangan orang yang dicintainya.
Sedangkan Azaiza et al., 2011 dalam penelitiannya dengan sampel orangtua yang kehilangan anaknya, tidak menemukan pengaruh yang signifikan dari
pengalaman kehilangan terhadap death anxiety. Selain dapat dijelaskan oleh faktor-faktor tersebut, tinggi rendahnya
death anxiety seseorang juga ditentukan oleh jenis kelamin. Faktor perbedaan jenis kelamin mempengaruhi death anxiety pada individu. Wanita cenderung
lebih rentan mengalami kecemasan dibandingkan pria. Hal ini dikarenakan wanita menunjukkan gejala-gejala depresi dua kali lebih tinggi dibandingkan
pria Russac et al., 2007. Holocomb, Neimeyer, dan Moore 1993, dalam Bath, 2010 menemukan bahwa wanita cenderung merasa cemas mengenai
ketidakpastian kematian dan kehidupan setelah kematian dibandingkan pria. Wanita juga cenderung melihat kematian sebagai sesuatu yang negatif dan
sangat emosional, sedangkan pria cenderung melihat kematian sebagai hal yang tidak terlalu memiliki pengaruh besar terhadap hidupnya Holocomb et
al., 1993 dalam Bath, 2010. Fortner 1995, dalam DePaola et al., 2003 menemukan tingkat death
anxiety yang lebih tinggi pada wanita dibandingkan pria. Russac 2007 juga melaporkan perbedaan tingkat ketakutan akan kematian yang signifikan antara
pria dan wanita, dimana wanita lebih merasakan takut dari pada pria.
Dengan melihat uraian masalah tersebut, yaitu lansia yang rentan mengalami kecemasan termasuk kecemasan terhadap kematian, maka peneliti
tertarik untuk mengangkat tema penelitian mengenai death anxiety pada lansia. Dengan meneliti death anxiety dan beberapa aspek yang
menjelaskannya, maka dapat diberikan gambaran mengenai tingkat death anxiety pada lansia RW 09 kelurahan Kebon Pala. Dengan demikian, maka
dapat diketahui apa saja yang mempengaruhi death anxiety pada lansia, faktor apakah yang paling besar pengaruhnya, sehingga dapat dijadikan referensi
bagi upaya-upaya untuk menurunkan death anxiety pada lansia agar dapat mencapai hidup yang lebih sejahtera.
Melihat dari hal-hal yang telah peneliti uraikan, maka judul yang diangkat pada penelitian ini adalah “Analisis Faktor-Faktor Psikologis yang
mempengaruhi Death Anxiety ”.