Analisis faktor-faktor psikologis yang mempengaruhi death anxiety

(1)

SKRIPSI

Diajukan kepada Fakultas Psikologi untuk memenuhi syarat-syarat memperoleh gelar Sarjana Psikologi (S. Psi)

Oleh :

DIANA MUMPUNI NIM: 109070000191

FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA


(2)

(3)

(4)

(5)

B) April 2014 C) Diana Mumpuni

D) Analisis Faktor-Faktor Psikologis yang Mempengaruhi Death Anxiety pada Lansia

E) 110 Halaman + Lampiran

F) Penelitian ini bertujuan untuk melihat pengaruh locus of control, perceived social support, religious orientation, pengalaman mengenai kematian, dan jenis kelamin terhadap death anxiety pada lansia. Subjek dalam penelitian ini berjumlah 150 lansia baik pria maupun wanita di RW 09 Kelurahan Kebon Pala, Jakarta Timur. Penelitian menggunakan metode kuantitatif melalui pemberian kuesioner kepada sampel penelitian. Analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah regresi berganda yang diperoleh dari hasil perhitungan skala death anxiety (Death Anxiety Scale), skala locus of control (I, P, & C Locus of Control Scale), skala perceived social support (Multidimensional Scale of Perceived Social Support), dan skala religious orientation (Religious Orientation Scale-Revised). Hasil penelitian ini menunjukan bahwa terdapat pengaruh yang signifikan antara seluruh variabel independen terhadap death anxiety secara simultan. Apabila dilihat dari koefisien regresi masing-masing variabel, ditemukan satu variabel yang memiliki pengaruh signifikan terhadap death anxiety yaitu variabel jenis kelamin. Sedangkan variabel locus of control, perceived social support, religious orientation, dan pengalaman mengenai kematian tidak memberikan pengaruh yang signifikan terhadap death anxiety. Selanjutnya, jika dilihat berdasarkan proporsi varians masing-masing variabel maka terdapat satu variabel yang berpengaruh signifikan terhadap death anxiety, yaitu extrinsic religious orientation. Pada penelitian selanjutnya diharapkan memperluas jangkauan sampel agar lebih beragam, serta mengukur variabel death anxiety dengan aspek-aspek yang terpisah sehingga terlihat hasil yang lebih menarik.


(6)

KATA PENGANTAR

Bismillahirrahmanirrahiim

Alhamdulillahirabbil’alamiin puji syukur kehadirat Allah SWT karena berkat kekuasaan-Nya, rahmat, karunia, anugerah-Nya penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Shalawat serta salam terlimpah kepada Nabi besar Muhammad SAW beserta sahabat dan keluarga, serta pengikutnya hingga akhir zaman. Allahumma shalli ‘alasaiyidinaa

Muhammad wa’ala alisaiyidina Muhammad.

Skripsi ini merupakan sebuah karya ilmiah yang disusun dalam rangka menyelesaikan jenjang pendidikan Sarjana Strata Satu (S1) sesuai dengan kurikulum yang telah ditetapkan di Fakultas Psikologi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

Selama penyelesaian skripsi ini peneliti tidak luput dari proses pembelajaran yang amat panjang. Peneliti telah melewati berbagai macam bantuan dan dukungan dari berbagai pihak. Oleh karena itu pada kesempatan ini peneliti ingin mengucapkan Terima Kasih yang sebesar – besarnya kepada pihak yang telah membantu, yaitu sebagai berikut :

1. Prof. Dr. Abdul Mujib, Dekan Fakultas Psikologi UIN Syarif Hidayatullah beserta jajaran dekanat yang selalu berjuang agar Fakultas Psikologi menjadi lebih baik. 2. Jahja Umar, Ph.D atas kebijakannya yang membuat kami lebih banyak dan giat

belajar serta mengembangkan Fakultas Psikologi menjadi lebih baik dan berkualitas.

3. Dr. Achmad Syahid, M.A, penasihat akademik penulis yang telah banyak memberikan dukungan dan masukan selama masa perkuliahan berlangsung.

4. Ibu S. Evangeline I. Suaidy, M.Si, Psi, sebagai pembimbing I dan ibu Yufi Adriani, M. Psi, sebagai pembimbing II, terima kasih atas waktu dan kesabaran yang diberikan kepada penulis sehingga penulis mempu menyelesaikan skripsi ini. Serta kepada ibu Dra. Netty Hartati, M.Si sebagai penguji I, Terima kasih atas segala masukan yang sangat bermanfaat dalam penyempurnaan skripsi ini.

5. Seluruh dosen Fakultas Psikologi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta atas ilmu, teladan, serta kerja kerasnya dalam mendidik kami selama ini.

6. Seluruh warga lansia RW. 09 kelurahan Kebon Pala yang bersedia menjadi sampel penelitian ini, serta para kader lansia RW. 09 kelurahan Kebon Pala, ibu Ummi

Marfu’ah, dan ibu Neneng yang telah membantu penulis dalam pengambilan data

penelitian.

7. Kedua orang tua penulis, Bapak Musidi dan Ibu Siwiyastiana Anjarhiaswati atas kasih sayang, dukungan, do’a dan ketulusan yang telah menyertai penulis selama ini.

8. Seluruh Staf Akademik yang sangat sabar melayani dan menyediakan kebutuhan-kebutuhan yang Penulis butuhkan selama proses penyelesaian skripsi.

9. Sahabat-sahabat: Anggun Setiawati, Syifa Alamiah, Evy Megawati, Emmy Primasti, Rizky Setyowati, Yuli Utami, Seila Rizkina, Rosita Dewi, Yuska Wulandari, Terimakasih telah meluangkan waktu, pikiran, dan tenaga untuk memberikan bantuan apapun dan kapanpun yang penulis butuhkan. Tiara Maharani, Nisaul Istiqomah, Fitriyah, Yunia Syukmawati, terima kasih atas


(7)

membantu peneliti menyelesaikan skripsi ini.

Akhir kata, Penulis hanya bisa memohon kepada Allah SWT agar memberikan balasan yang sebaik-baiknya kepada semua pihak yang telah berjasa dalam rentang kehidupan Penulis. Amin Allahumma Amin.

Jakarta, 30 April 2014


(8)

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL……….. i

LEMBAR PENGESAHAN PEMBIMBING ……….. ii

LEMBAR PERNYATAAN ………..…. iii

LEMBAR PERNYATAAN PERSETUJUAN ……….. iv

ABSTRAK………. v

KATA PENGANTAR ……… vi

DAFTAR ISI ……….. viii

DAFTAR TABEL ………. xi

DAFTAR GAMBAR ………... xii

DAFTAR LAMPIRAN ……… xiii

BAB I PENDAHULUAN ……….. 1

1.1 Latar Belakang……….… 1

1.2 Pembatasan dan Perumusan masalah ………...… 11

1.2.1 Pembatasan masalah ………. 11

1.2.2 Perumusan masalah ………..……… 12

1.3 Tujuan dan Manfaat Penelitian ……… 13

1.3.1 Tujuan penelitian ………. 13

1.3.2 Manfaat penelitian ……… 13

1.4 Sistematika Penulisan ………..… 14

BAB II KAJIAN PUSTAKA ……… 16

2.1 Lansia………... 16

2.1.1 Pengertian lansia...………...…………. . . . 16

2.1.2 Karakteristik Lansia………. 17

2.1.3 Perubahan-perubahan di masa lansia……… 18

2.1.3 Death Anxiety pada Lansia…………... 22

2.2 Death Anxiety ...………... 26

2.2.1 Pengertian death anxiety…... . . . ……… 26

2.2.2 Penolakan terhadap death anxiety …...………..….. 29

2.2.3 Faktor-faktor yang mempengaruhi death anxiety... 31

2.2.4 Pengukuran death anxiety... 34

2.3 Locus of Control………...……. 34

2.3.1 Pengertian locus of control………..……….. 34

2.3.2 Dimensi-dimensi locus of control ………. 36

2.3.3 Pengukuran locus of control... 38

2.4 Religious Orientation………. 38

2.4.1 Pengertian religious orientation…………..……….. 38

2.4.2 Dimensi-dimensi religious orientation ………. 41

2.4.3 Pengukuran religious orientation………... 43

2.5 Perceived Social Support……… 43

2.5.1 Pengertian social support………..………… 43

2.5.2 Aspek-aspek social support………..……… 45

2.5.3 Perceived social support……… 47


(9)

BAB III METODE PENELITIAN……….... 57

3.1 Sampel dan Teknik Pengambilan Data ……….………... 57

3.2 Variabel Penelitian ………... 57

3.3 Definisi Operasional………. 58

3.4 Pengumpulan Data……... 59

3.4.1 Teknik Pengumpulan Data……… 59

3.4.2 Instrumen Penelitian……….. 62

3.5 Pengujian Validitas Konstruk... 64

3.5.1 Uji validitas konstruk death anxiety ……...……….. 66

3.5.2 Uji validitas konstruk locus of control... 68

3.5.3 Uji validitas konstruk perceived social support... 71

3.5.4 Uji validitas konstruk religious orientation……… 72.

3.6 Prosedur Pengumpulan Data………... 77

3.7 Metode Analisis Data... 78

BAB IV HASIL PENELITIAN ………..……….……. 81

4.1 Analisis Deskriptif ……….. 81

4.2 Uji Hipotesis Penelitian ………... 88

4.2.1 Analisis regresi variabel penelitian ………. 88

4.2.2 Pengujian proporsi varian masing-masing IV …………. 94

BAB V KESIMPULAN, DISKUSI, SARAN ……....………... 98

5.1 Kesimpulan ………... 98

5.2 Diskusi ……… 99

5.3 Saran ………... 105

5.3.1 Saran Teoritis ……….……. 105

5.3.2 Saran Praktis ……….….. 106

Daftar Pustaka ………... 108 Lampiran


(10)

DAFTAR TABEL

Tabel 3.1 Bobot nilai...……… 61

Tabel 3.2 Blue Print Death Anxiety Scale………... 62

Tabel 3.3 Blue Print I, P, & C Locus of Control Scale ……….…... 63

Tabel 3.4 Blue Print Multidimensional Scale of Perceived Social Support 63 Tabel 3.5 Blue Print Religious Orientation Scale-Revised……… 64

Tabel 3.6 Muatan Faktor dimensi death anxiety ...….. 67

Tabel 3.7 Muatan Faktor dimensi locus of control bagian internal………. 68

Tabel 3.8 Muatan Faktor dimensi locus of control bagian external-chance 70 Tabel 3.9 Muatan Faktor dimensi locus of control bagian external-powerful others ……… 71

Tabel 3.10 Muatan Faktor dimensi perceived social support bagian family 72 Tabel 3.11 Muatan Faktor dimensi perceived social support bagian friends 73 Tabel 3.12 Muatan Faktor dimensi perceived social support bagian significant others ……… 74

Tabel 3.13 Muatan Faktor dimensi religious orientation bagian intrinsic.... 75

Tabel 3.14 Muatan Faktor dimensi religious orientation bagian extrinsic… 77 Tabel 4.1 Tabel subjek berdasarkan jenis kelamin..………...….. 81

Tabel 4.2 Tabel subjek berdasarkan death anxiety………..... 82

Tabel 4.3 Tabel subjek berdasarkan tingkat death anxietyjenis kelamin... 82

Tabel 4.4 Tabel subjek berdasarkan tingkat internal locus of control……... 83

Tabel 4.5 Tabel subjek berdasarkan tingkat external locus of control…….. 84

Tabel 4.6 Tabel subjek berdasarkan tingkat perceived social support family 84 Tabel 4.7 Tabel subjek berdasarkan tingkat perceived social support friends 85 Tabel 4.8 Tabel subjek berdasarkan tingkat perceived social support significant others……… 86

Tabel 4.9 Tabel subjek berdasarkan tingkat intrinsic religious orientation… 87 Tabel 4.10 Tabel subjek berdasarkan tingkat extrinsic religious orientation… 88 Tabel 4.11 Tabel Anova………. 89

Tabel 4.12 Tabel R Square……… 90

Tabel 4.13 Tabel Koefisien Regresi……….. 91


(11)

(12)

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1 Kuesioner Penelitian Lampiran 2 Path Diagram CFA


(13)

1

Dalam bab ini akan dibahas mengenai latar belakang masalah, rumusan masalah dan pokok bahasan, tujuan penelitian, manfaat penelitian dan sistematika penulisan skripsi.

1.1 Latar Belakang Masalah

Masa tua adalah periode penutup dari perkembangan masa hidup manusia.

Masa ini adalah sebuah periode dimana seseorang “berpindah” dari periode

yang lebih diinginkan — atau saat-saat ketika mereka merasa “berguna” (Hurlock, 1980). Artinya, orang yang berada pada masa tua seharusnya telah mendapatkan apa yang mereka inginkan. Saat ini, populasi warga lanjut usia atau lansia cenderung mengalami peningkatan di Asia Tenggara, terutama Indonesia. Kementerian Sosial melansir data bahwa jumlah penduduk lansia Indonesia berjumlah 9,58% dari total populasi pada tahun 2010 dan akan bertambah menjadi 11,34% pada tahun 2020 (Kemensos, 2007).

Bertambahnya populasi lansia di Indonesia tidak terlepas dari peningkatan usia harapan hidup dari semula 52,2 tahun pada 1980, meningkat


(14)

2

menjadi 67,4 tahun pada 2010 serta perkiraan usia harapan hidup hingga 71,1 tahun pada tahun 2020 (Kemensos, 2007).

Peningkatan usia harapan hidup pada lansia tersebut memang merupakan suatu kemajuan, namun hal tersebut bukan tanpa masalah. Lanjut usia merupakan suatu proses berkelanjutan dalam kehidupan yang ditandai dengan berbagai perubahan ke arah penurunan fungsi, baik fisik, psikologis, maupun minat. Mereka mengalami kecemasan-kecemasan karena penurunan fungsi fisik pada diri mereka dan rekan seusianya, serta karena mereka mulai

dianggap “tua” oleh dirinya sendiri dan lingkungan budayanya (Hoyer &

Roodin, 2003).

Berdasarkan data kuesioner mengenai hal apa yang paling dicemaskan pada 150 lansia RW 09 kelurahan Kebon Pala, Jakarta Timur saat ini, 43 responden menyatakan takut terkena penyakit, 37 responden menyatakan takut pada kematian, 34 responden menyatakan takut tidak bisa bertemu dengan keluarga, sedangkan 36 lainnya mencemaskan hal lain, seperti kesepian, keadaan finansial, dan hidup sendiri. Data tersebut menunjukkan bahwa kecemasan terbesar lansia adalah terserang penyakit. Walaupun bukan kecemasan yang paling banyak dialami oleh lansia, namun kematian menjadi hal yang relatif dicemaskan bagi banyak lansia. Oleh karena itu, peneliti tertarik untuk meneliti lansia di RW 09 kelurahan Kebon Pala, Jakarta Timur sebagai lokasi penelitian.


(15)

Yang harus diperhatikan adalah ketika mereka mengalami beragam penurunan, terutama penurunan kesehatan, mereka cenderung berkonsentrasi pada kematian dan memberikan perhatian penuh pada hal tersebut (Hurlock, 1981), karena usia tersebut (masa lanjut usia) merupakan masa kritis manusia menuju ke kematian. Dengan penurunan kondisi fisik dan mental, paparan terhadap kematian yang meningkat, serta dukungan sosial yang berangsur-angsur menurun karena meninggalnya orang terdekat, lansia menjadi rentan mengalami kecemasan, termasuk kecemasan yang berhubungan dengan kematian.

Secara umum manusia ingin hidup panjang dengan berbagai upaya yang dilakukan, proses hidup yang dialami manusia yang cukup panjang ini telah menghasilkan kesadaran pada diri setiap manusia akan datangnya kematian sebagai tahap terakhir kehidupannya di dunia ini. Namun demikian, meski telah muncul kesadaran tentang kepastian datangnya kematian ini, persepsi tentang kematian dapat berbeda pada setiap orang atau kelompok orang.

Kematian dapat dipersepsikan sebagai sesuatu yang menakutkan maupun sesuatu yang wajar di dalam kehidupan. Persepsi positif dalam hal ini menganggap kematian sebagai suatu bentuk pencapaian dalam kehidupan dan hal yang wajar dialami oleh manusia merupakan penerimaan yang positif pada kematian. Sedangkan jika seseorang merasa takut dan cemas mengenai


(16)

4

kematian, hal ini merupakan persepsi negatif terhadap kematian dan akan menimbulkan ketakutan akan kematian. Dengan menerima kematian dengan positif, hal tersebut dapat membebaskan lansia dari segala kecemasan dan mendukung kehidupan yang lebih vital dan bermakna (Tomer & Eliason, 2008). Namun, penerimaan terhadap kematian tersebut tidak dialami oleh semua lansia.

Rangkaian perasaan-perasaan yang dipicu oleh pemikiran-pemikiran mengenai kematian disebut sebagai death anxiety (Schultz, 1979, dalam Bryant, 2003). Kastenbaum (2000) menyatakan bahwa tingkat death anxiety yang sebagian besar dirasakan oleh individu dalam kehidupan sehari-harinya mungkin dapat meningkat secara dramatis ketika individu mengalami periode stres atau ancaman, seperti masalah kesehatan, penyakit, atau kematian orang terdekatnya. Tingkat death anxiety juga berhubungan dengan masalah fisik dan psikologis (Cicirelli, 2002). Death anxiety diasosiasikan dengan kecemasan, gejala-gejala depresi, dan keyakinan-keyakinan mengenai apa yang akan dialami setelah kematian (Khawar, Aslam, & Aamir, 2013).

Dari wawancara singkat peneliti terhadap tujuh lansia di RW 09 kelurahan Kebon Pala, tiga orang menyatakan tidak takut terhadap kematian sedangkan empat orang lain mengaku merasakan takut terhadap kematian. Lansia yang memiliki rasa takut terhadap kematian tersebut memiliki alasan yang berbeda-beda mengapa mereka takut terhadap kematian. Dua orang


(17)

menyatakan mereka takut meninggal karena mereka takut keluarganya sedih karena ditinggalkan dan karena mereka masih mengurus keluarganya. Satu orang tidak menyatakan alasan mengapa ia takut pada kematian (hanya takut), dan satu orang lainnya takut karena merasa kurang beribadah kepada Tuhan. Sedangkan tiga orang sisanya lebih siap menghadapi kematian karena mereka sadar bahwa mereka sudah berusia lanjut, bahwa kematian itu adalah takdir Tuhan yang harus diterima.

Dari data wawancara tersebut dapat terlihat bahwa lansia memiliki sikap terhadap kematian yang berbeda. Di satu sisi, ada lansia yang siap dengan kematian, dan di sisi lain merasa takut terhadap kematian. Individu dengan agama, budaya, dan perspektif yang sama mungkin dapat memiliki perbedaan sikap terhadap kematian. Tinggi rendahnya death anxiety seseorang dapat dijelaskan oleh berbagai aspek. Berbagai penelitian telah membuktikan adanya pengaruh berbagai faktor terhadap death anxiety, diantaranya Cicirelli (1999) meneliti pengaruh locus of control, perceived social support terhadap death anxiety. Sementara itu, Swanson & Byrd (1998) meneliti pengaruh religious orientation terhadap death anxiety, dan Azaiza et al., (2011) yang meneliti pengalaman terhadap kematian orangtua yang kehilangan anaknya terhadap death anxiety. DePaola et al., (2003) juga meneliti mengenai pengaruh faktor demografis jenis kelamin tehadap death anxiety.


(18)

6

Suatu faktor yang penting yang terkait dengan kelangsungan hidup dan juga kesehatan adalah perasaan untuk mengontrol (Baltes & Wahl, 1991; Schmidt, 1990; Santrock, 2002). Locus of control adalah perbedaan individu dalam hal kontrol personal mana yang akan digunakan seseorang dalam situasi yang sama (Rotter, 1966). Individu-individu yang percaya bahwa mereka memiliki tingkat kontrol yang tinggi lebih cenderung merasa bahwa tindakan-tindakan mereka dapat membuat sesuatu yang berbeda dalam hidupnya, sehingga mereka lebih cenderung merawat dirinya sendiri secara lebih baik dengan memakan makanan yang sehat dan berolahraga. Sebaliknya, mereka yang memiliki perasaan kontrol yang kurang mungkin merasa bahwa apapun yang mereka lakukan tidak akan membuat sesuatu yang berbeda, dan kemudian tidak bersusah-susah untuk berusaha membuat sesuatu yang berbeda (Rodin & Timko, 2001 dalam Santrock, 2002).

Memang pada dasarnya kematian merupakan suatu hal yang tidak terelakkan. Namun, dengan adanya perasaan kontrol diri di dalam aspek kematian yang lain, hal tersebut dapat mempengaruhi tingkat death anxiety. Kepercayaan religius mengenai adanya kehidupan setelah kematian dapat menjadi sebuah ilusi kontrol terhadap kematian. Perasaan kontrol pada lingkungan seseorang dapat menghasilkan perasaan aman dan dalam hal ini individu dengan internal locus of control memiliki ketakutan akan kematian yang rendah (Cicirelli, 1999). Williams (1990) dalam penelitiannya


(19)

membuktikan bahwa orang dengan internal locus of control memiliki penerimaan terhadap kematian yang lebih baik.

Faktor berikutnya yang dapat menjelaskan tinggi rendahnya death anxiety adalah social support. Masa tua merupakan waktu dimana social support terkadang menurun intensitasnya. Lansia mungkin dapat menerima dukungan yang lebih sedikit sebagai akibat dari kehilangan atau mereka merasa enggan untuk meminta pertolongan ketika mereka memiliki masalah (Sarafino & Smith, 2011). Dukungan sosial (social support) dianggap mampu mereduksi kecemasan lansia dalam menghadapi kematian. Setelah seseorang memasuki masa lansia, maka dukungan sosial dari orang lain menjadi sangat berharga dan akan menambah ketentraman hidupnya.

Lansia yang memiliki social support yang kuat cenderung memiliki ketakutan yang lebih rendah terhadap kematian karena adanya perasaan aman dari ikatan dirinya dengan orang lain (Becker, 1973 dalam Daaleman & Dobbs, 2010). Social support ditemukan memiliki hubungan dengan death anxiety dan ketakutan akan hal-hal yang gaib (Mullins & Lopez, 1982 dalam Azaiza et. al., 2010). Khawar, Aslam, & Aamir (2013) juga menemukan hubungan yang negatif antara death anxiety dan social support.

Oleh karena itu, banyak lansia yang seharusnya mulai mencari dukungan sosial dari lembaga-lembaga atau kegiatan yang ada di


(20)

8

lingkungannya, contohnya melalui kegiatan-kegiatan atau komunitas di lingkungannya. Namun terkadang keterlibatan lansia dalam kegiatan-kegiatan yang disediakan tidak terlihat. Contohnya, satu-satunya kegiatan di RW 09 kelurahan Kebon Pala yang paling digemari lansia adalah pengajian, sedangkan program kegiatan lain yang disiapkan untuk kesejahteraan lansia seperti posyandu lansia sangat sepi dan senam rutin minggu pagi telah dihapus karena kurangnya peminat.

Tingginya keterlibatan lansia dalam kegiatan keagamaan dapat menjadi suatu strategi dalam menurunkan tingkat death anxiety, karena kematian erat kaitannya dengan religiusitas. Agama dapat meredakan kecemasan terhadap kematian dan kehidupan setelah kematian. Perasaan tenang yang dirasakan dari adanya agama dan rendahnya rasa takut akan kematian cenderung identik dengan kepercayaan agama yang konservatif (Wade, 1972 dalam Hurlock, 1981). Agama juga berfungsi sebagai sumber dukungan emosional dan sosial pada individu, terutama pada saat-saat kritis (Cicirelli, 2002).

Agama seharusnya dapat menurunkan tingkat death anxiety, namun jika agama tidak benar-benar diterapkan dan diyakini seutuhnya, terutama jika ada motif lain dalam kegiatan beragama, hal tersebut dikhawatirkan akan semakin meningkatkan death anxiety karena individu belum menemukan motivasi yang sebenarnya dalam beragama, yaitu mendekatkan diri pada


(21)

Tuhan. Intrinsic religious orientation adalah motivasi beragama yang berpusat pada Tuhan, buka pada diri sendiri. Sedangkan extrinsic religious orientation adalah motivasi beragama untuk mencari keuntungan personal dalam bentuk ketenangan, harga diri dan sosiabilitas, bahkan demi orang lain (Allport, 1967 dalam Pargament, 1997).

Beberapa penelitian melaporkan hasil yang berbeda terhadap pengaruh religious orientation pada death anxiety. Thorson & Powell (2000, dalam Cicirelli, 2002) menemukan bahwa religiusitas intrinsik berhubungan secara negatif dengan death anxiety. Individu dengan extrinsic religious orientation juga dilaporkan memiliki death anxiety yang tinggi dalam penelitian Swanson & Byrd (1998). Namun hasil yang berbeda ditunjukkan pada penelitian Chuin & Choo (2009) dimana tidak ditemukan pengaruh yang signifikan antara religious orientation dengan death anxiety.

Kemudian, peningkatan intensitas paparan terhadap hal-hal yang berhubungan dengan kematian dan pengalaman kehilangan teman terdekat atau keluarga juga dapat mempengaruhi sikap terhadap kematian. Kehilangan orang yang disayangi merupakan hal yang berat karena keluarga, teman, atau orang terdekat lainnya adalah salah satu sumber kekuatan seseorang dalam bertahan menghadapi suatu masalah. Florian & Mikulnicer (1997, dalam Azaiza et al., 2011) melaporkan tingkat death anxiety yang lebih tinggi pada wanita yang baru saja mengalami kehilangan orang yang dicintainya.


(22)

10

Sedangkan Azaiza et al., (2011) dalam penelitiannya dengan sampel orangtua yang kehilangan anaknya, tidak menemukan pengaruh yang signifikan dari pengalaman kehilangan terhadap death anxiety.

Selain dapat dijelaskan oleh faktor-faktor tersebut, tinggi rendahnya death anxiety seseorang juga ditentukan oleh jenis kelamin. Faktor perbedaan jenis kelamin mempengaruhi death anxiety pada individu. Wanita cenderung lebih rentan mengalami kecemasan dibandingkan pria. Hal ini dikarenakan wanita menunjukkan gejala-gejala depresi dua kali lebih tinggi dibandingkan pria (Russac et al., 2007). Holocomb, Neimeyer, dan Moore (1993, dalam Bath, 2010) menemukan bahwa wanita cenderung merasa cemas mengenai ketidakpastian kematian dan kehidupan setelah kematian dibandingkan pria. Wanita juga cenderung melihat kematian sebagai sesuatu yang negatif dan sangat emosional, sedangkan pria cenderung melihat kematian sebagai hal yang tidak terlalu memiliki pengaruh besar terhadap hidupnya (Holocomb et al., 1993 dalam Bath, 2010).

Fortner (1995, dalam DePaola et al., 2003) menemukan tingkat death anxiety yang lebih tinggi pada wanita dibandingkan pria. Russac (2007) juga melaporkan perbedaan tingkat ketakutan akan kematian yang signifikan antara pria dan wanita, dimana wanita lebih merasakan takut dari pada pria.


(23)

Dengan melihat uraian masalah tersebut, yaitu lansia yang rentan mengalami kecemasan termasuk kecemasan terhadap kematian, maka peneliti tertarik untuk mengangkat tema penelitian mengenai death anxiety pada lansia. Dengan meneliti death anxiety dan beberapa aspek yang menjelaskannya, maka dapat diberikan gambaran mengenai tingkat death anxiety pada lansia RW 09 kelurahan Kebon Pala. Dengan demikian, maka dapat diketahui apa saja yang mempengaruhi death anxiety pada lansia, faktor apakah yang paling besar pengaruhnya, sehingga dapat dijadikan referensi bagi upaya-upaya untuk menurunkan death anxiety pada lansia agar dapat mencapai hidup yang lebih sejahtera.

Melihat dari hal-hal yang telah peneliti uraikan, maka judul yang

diangkat pada penelitian ini adalah “Analisis Faktor-Faktor Psikologis yang mempengaruhi Death Anxiety”.

1.2 Batasan dan Rumusan Masalah 1.2.1 Batasan Masalah

Agar pembahasan dalam penelitian ini menjadi lebih terarah dan menghindari kesalahan persepsi, maka penulis membatasi masalah yang berkaitan dengan faktor-faktor psikologis dalam penelitian ini yaitu sebagai berikut:


(24)

12

A. Locus of Control dalam penelitian ini adalah dimensi internal locus of control dan external locus of control.

B. Perceived Social Support dalam penelitian ini adalah persepsi dukungan dari keluarga, teman, atau significant others.

C. Religious Orientation dalam penelitian ini adalah dimensi intrinsic religious orientation dan extrinsic religious orientation.

D. Death anxiety atau kecemasan terhadap kematian yang bersifat unidimensional, yang menyangkut kematian diri sendiri, baik dalam proses menuju kematian, saat kematian, maupun kehidupan setelah kematian.

E. Pengalaman bermakna mengenai kematian dalam penelitian ini adalah pengalaman meninggalnya keluarga, teman, kerabat, atau orang terdekat lain yang berarti maupun tidak berarti.

F. Responden dari penelitian ini terdiri dari pria dan wanita.

G. Responden dari penelitian ini dibatasi pada masyarakat lanjut usia (lansia) yang berusia lebih dari 60 tahun keatas serta masih mampu membaca serta menulis.

1.2.2 Rumusan Masalah

Rumusan masalah yang akan diteliti pada penelitian ini antara lain: 1. Apakah ada pengaruh yang signifikan antara internal locus of control


(25)

2. Apakah ada pengaruh yang signifikan antara external locus of control dengan death anxiety?

3. Apakah ada pengaruh yang signifikan antara perceived social support dengan death anxiety?

4. Apakah ada pengaruh yang signifikan antara intrinsic religious orientation terhadap death anxiety?

5. Apakah ada pengaruh yang signifikan antara extrinsic religious orientation dengan death anxiety?

6. Apakah ada pengaruh yang signifikan antara jenis kelamin dengan death anxiety?

7. Apakah ada pengaruh yang signifikan antara pengalaman bermakna mengenai kematian dengan death anxiety?

1.3 Tujuan dan Manfaat Penelitian 1.3.1 Tujuan Penelitian

Dengan mengacu pada latar belakang, rumusan dan batasan masalah diatas, maka tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui adanya pengaruh antara faktor-faktor psikologis, yaitu locus of control, social support, religious orientation, pengalaman terhadap kematian, dan jenis kelamin terhadap death anxiety.


(26)

14

Manfaat yang akan didapat dari penelitian ini adalah:

1. Secara teoritis, penelitian ini diharapkan dapat dijadikan bahan perbandingan bagi teori-teori psikologi yang berhubungan dengan kematian atau psikologi penuaan (aging) yang belum banyak diterapkan saat ini, serta memperkaya penelitian-penelitian mengenai death anxiety.

2. Secara praktis, penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi seluruh individu untuk meningkatkan kesadaran terhadap death anxiety, dan penerapan pembelajaran mengenai kematian sehingga diharapkan para lansia memiliki kesiapan untuk menghadapinya serta mengurangi kecemasan yang dialaminya, serta mendukung program persiapan menuju orang tua yang ditujukan pada komunitas lanjut usia baik secara sosial maupun religius.

1.4 Sistematika Penulisan

Untuk mengetahui gambaran yang jelas mengenai isi dan materi yang dibahas dalam penelitian ini, maka penulis menggunakan sistematika penulisan sebagai berikut.

BAB I : PENDAHULUAN

Berisi tentang latar belakang masalah, rumusan dan batasan masalah, tujuan dan manfaat dari penelitian serta sistematika penulisan.


(27)

BAB II : KAJIAN TEORI

Terdiri dari teori tentang locus of control, perceived social support, religious orientation, death anxiety, asumsi dasar, kerangka berpikir, dan hipotesis.

BAB III : METODOLOGI PENELITIAN

Terdiri dari jenis penelitian, definisi konsep dan operasional konsep, sampel penelitian, teknik pengumpulan data, instrument penelitian, teknik analisis data, dan prosedur penelitian.

Berisi tentang identifikasi variabel penelitian, definisi operasional, populasi dan metode pengambilan sampel, metode pengumpulan data, metode analisis instrumen serta metode analisis data.

BAB IV : HASIL PENELITIAN

Hasil penelitian disajikan dengan jelas, dilengkapi dengan tabel, dan penjelasan berdasarkan teori terhadap hasil penelitian yang diperoleh.

BAB V : DISKUSI DAN SARAN

Berisi tentang kesimpulan dan saran-saran DAFTAR PUSTAKA


(28)

16 BAB II KAJIAN TEORI

Bab ini akan menjelaskan landasan teoritis penelitian mengenai definisi death anxiety, faktor-faktor yang mempengaruhi death anxiety, definisi locus of control, dimensi-dimensi locus of control, definisi religious orientation, dimensi-dimensi religious orientation, definisi perceived social support, dimensi-dimensi perceived social support dan kerangka berpikir beserta hipotesis yang diajukan dalam penelitian.

2.1 Lansia

2.1.1 Pengertian Lansia

Menurut Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 1998 mengenai kesejahteraan lanjut usia, lansia adalah seseorang yang telah mencapai usia 60 tahun keatas dengan dua kategori, yaitu: lansia usia potensial adalah lansia yang masih mampu melakukan pekerjaan dan kegiatan yang dapat menghasilkan barang atau jasa, dan lansia tidak potensial yaitu lansia yang tidak berdaya mencari nafkah sehingga hidupnya tergantung pada orang lain. Sedangkan menurut WHO (2014), definisi umum lansia adalah seseorang yang telah memasuki usia 50 tahun keatas


(29)

Menurut Gorman (2000, dalam WHO, 2014), proses penuaan merupakan realitas biologis yang memiliki dinamika tersendiri, sebagian besar diluar kontrol manusia. Namun, hal ini juga merupakan bagaimana sebuah budaya atau komunitas mengkonstruksikan lansia. Usia 60 atau 65 tahun, usia rata-rata masa pensiun di negara-negara maju dan berkembang, diartikan sebagai permulaan dari masa tua. Definisi lainnya adalah berkaitan dengan peran yang dilekatkan dengan orang tua, yang dalam beberapa kasus, hilangnya peran yang mengikuti penurunan fungsi fisik yang merupakan definisi yang signifikan dari masa tua. Kemudian, masa tua dalam banyak negara berkembang terlihat dimulai ketika kontribusi aktif dalam masyarakat sudah tidak mungkin dapat dicapai (Gorman, 2000 dalam WHO, 2014).

Dalam penelitian ini, penulis menggunakan kategori lansia berdasarkan UU No. 13 tahun 1998 mengenai Kesejahteraan Lanjut Usia, yaitu lanjut usia (lansia) adalah seseorang yang telah berusia 60 tahun keatas.

2.1.2 Karakteristik Lansia

Santrock (2002) menyatakan masa dewasa akhir (lansia) dimulai pada usia 60-an dan diperluas sampai sekitar usia 120 tahun, dan memiliki rentang kehidupan yang paling panjang dalam periode perkembangan manusia—50 sampai 60 tahun. Kombinasi antara panjangnya masa kehidupan dengan peningkatan dramatis orang dewasa yang hidup menuju usia tua telah membawa peningkatan perhatian pada perbedaan periode masa dewasa akhir (Santrock, 2002).


(30)

18

Peneliti sosial yang fokus mengenai penelitian tentang penuaan mengemukakan terdapat tiga kelompok dewasa akhir (lansia): lansia “muda” (young old), lansia “tua” (old old), dan lansia “lanjut” (oldest old). Secara kronologis, lansia muda merujuk pada lansia yang berusia 65 sampai 74, yang biasanya lebih aktif dan bersemangat. lansia tua memiliki rentang usia 75-84 tahun. Sedangkan lansia lanjut memiliki rentang usia 85 tahun keatas dan biasanya lebih rapuh dan memiliki kesulitan untuk beraktifitas dalam kegiatan sehari-hari (Papalia, Olds, & Feldman, 2009). Suzman, Wilis & Manton (1992 dalam Santrock, 2002) menyatakan orang tua muda ialah seseorang yang masih berada di usia 60 tahun, sedangkan orangtua berusia lanjut merupakan seseorang yang telah berusia 85 tahun keatas.

Orangtua lanjut lebih banyak kemungkinannya wanita, dan mereka memiliki angka morbiditas yang lebih tinggi dan jauh lebih besar mengalami ketidakmampuan dibandingkan orang tua yang lebih muda (Suzman, Wilis & Manton, 1992 dalam Santrock, 2002) . Hampir di seluruh dunia, wanita hidup lebih lama dibandingkan laki-laki (Kinsella & Phillips, 2005 dalam Papalia, Olds, & Feldman, 2009). Hal ini dihubungkan dengan kecenderungan mereka untuk lebih merawat dirinya sendiri dan mencari perawatan kesehatan, tingkat dukungan sosial yang lebih tinggi, peningkatan status sosioekonomi wanita yang meningkat dalam satu dekade terakhir, dan tingkat kematian pria yang lebih tinggi selama masa hidup (Gordman & Read, 2007 dalam Papalia, Olds, & Feldman, 2009).


(31)

Menurut Erikson (1963, dalam Hoyer & Roodin, 2003), dalam tahun-tahun terakhirnya, lansia memasuki fase ego integrity vs. despair. Beberapa orang tua mengembangkan perasaan positif mengenai masa lalu mereka dan melihat bahwa kehidupan mereka penuh arti dan memuaskan (ego integrity). Namun, beberapa orang tua melihat masa lalunya dengan kepahitan atau ketidakpuasan. Beberapa juga merasa bahwa mereka tidak dapat menciptakan kehidupan yang mereka inginkan untuk dirinya sendiri, atau menyalahkan orang lain mengenai rasa tidak puasnya (despair).

Hurlock (1981) menyatakan tugas-tugas perkembangan di masa tua lebih berkaitan dengan kehidupan personal mereka dibandingkan orang lain. Orang tua diharapkan untuk dapat beradaptasi dengan kekuatan dan kesehatan yang menurun. Hal ini menandakan perubahan peran yang mereka terapkan di dalam lingkungan rumah dan diluar. Mereka juga diharapkan untuk menemukan aktifitas-aktifitas sebagai pengganti pekerjaan yang mereka lakukan pada saat masih muda. Mempertemukan kewajiban sosial dan sipil sangat sulit dilakukan oleh lansia karena kesehatan yang melemah dan berkurangnya penghasilan karena masa pensiun. Sebagai hasilnya, mereka seringkali dipaksa untuk tidak aktif secara sosial.

Anak yang sudah besar akan lebih melibatkan diri pada masalah vokasional dan keluarganya sendiri, jadi lansia akan mengalami berkurangnya ikatan. Hal ini berarti bahwa mereka harus menemukan ikatan lain dengan rekan sesama usianya jika mereka ingin menghindari rasa kesepian ketika kontaknya dengan dunia luar terputus


(32)

20

akibat pensiun dan karena mereka sedikit demi sedikit mengurangi kontak dengan komunitas sosial.

Perubahan-perubahan fisik yang terjadi pada masa lansia menurut Hurlock (1981) adalah sebagai berikut:

a. Perubahan penampilan

Tanda-tanda penuaan yang paling mencolok adalah adanya perubahan terutama pada bagian wajah. Walaupun wanita dapat memakai kosmetik untuk menutupi tanda-tanda penuaan, banyak yang tidak dapat ditutupi tetapi bagian tubuh lain bisa. Tangan juga dapat menunjukkan usia seseorang. Seperti wajah, tangan juga menua lebih cepat daripada bagian tubuh yang lain dan tidak terlalu bisa dikamuflase.

b. Perubahan-perubahan internal

Walaupun perubahan-perubahan internal (di dalam tubuh) tidak terlihat, perubahan tersebut yang paling sering dialami. Perubahan pada tulang karena mengerasnya tulang, kurangnya asupan mineral, dan modifikasi struktur tulang. Akibatnya, tulang menjadi rapuh dan mudah mengalami fraktur atau patah, dan hal tersebut lebih sulit untuk disembuhkan seiring usia bertambah. Saluran pencernaan juga berubah pada usia tua. Terdapat penurunan fungsi beberapa organ dalam, diantaranya limpa, hati, testis, jantung, paru-paru, pankreas, dan ginjal. Mungkin yang paling dirasakan dan dialami adalah perubahan pada


(33)

jantung. Sistem gastrointestinal, sistem urin dan organ berotot lunak adalah organ yang tidak terlalu mengalami perubahan karena usia lanjut.

c. Perubahan-perubahan sensorik

Seluruh organ fungsi penginderaan mengalami penurunan fungsi pada usia lanjut. Bagaimanapun juga, perubahan sensorik adalah perubahan yang relatif lama prosesnya pada sebagian besar kasus, sehingga individu memiliki kesempatan untuk beradaptasi pada perubahan tersebut. Contohnya kacamata dan alat bantu dengar yang dapat membantu pengelihatan dan pendengaran yang menurun. d. Perubahan-perubahan kemampuan motorik

Sebagian besar lansia menyadari bahwa mereka bergerak lebih lambat dan kurang terkoordinasi dari sebelumnya. Perubahan dalam fungsi motorik ini termasuk penurunan kekuatan dan energi yang merupakan kompensasi yang normal dari perubahan fisik yang berhubungan dengan usia tua; kurangnya irama gerak otot; kekakuan sendi; dan tremor pada tangan, lengan, kepala, dan dagu. Bagaimanapun juga, walaupun mereka sedang dalam kondisi yang fit dan memiliki motivasi yang kuat, beberapa individu masih berharap kemampuan motorik mereka dapat kembali seperti saat mereka muda. Perubahan motorik ini memiliki efek yang penting dalam adaptasi personal dan sosial.

e. Perubahan-perubahan dalam kemampuan mental

Para pakar psikologi, dari penelitian-penelitian yang mereka lakukan, telah menyatakan beberapa kepercayaan bahwa dengan adanya penurunan fungsi beberapa area tubuh, hal tersebut mungkin dapat mempengaruhi penurunan fungsi


(34)

22

mental juga. Penyebabnya antara lain keadaan fisik yang memburuk yang juga diikuti oleh kondisi mental yang menurun dan kurangnya stimulasi dari lingkungan. Penelitian menunjukkan bahwa lansia dengan kemampuan inteligensi yang tinggi memiliki resiko yang rendah dalam penurunan funsi mental daripada orang dengan inteligensi yang rendah.

f. Perubahan-perubahan minat personal

Semakin bertambahnya usia, seseorang menjadi lebih memusatkan perhatian pada dirinya sendiri. Mereka mungkin akan menjadi lebih egosentris dan berpusat pada diri sendiri sehingga mereka hanya memikirkan dirinya sendiri daripada orang lain dan cenderung tidak mempedulikan minat dan keinginan orang lain. Bahkan ketika mereka berada dalam kondisi kesehatan yang baik, lansia cenderung terlalu perhatian pada kesehatannya. Mereka cenderung mudah mengeluh mengenai kesehatannya. Mereka juga sering menunjukkan perhatiannya pada dirinya sendiri dengan cara membicarakan masa lalunya terus menerus, berharap untuk ditunggu, dan selalu ingin menjadi pusat perhatian. Pemusatan pada diri sendiri tersebut menimbulkan kesan sikap yang kurang menyenangkan pada lansia.

2.1.4 Death Anxiety pada Lansia

Melihat death anxiety pada lansia yang mengacu pada teori perkembangan psikososial, fase kedua akhir (generativity vs stagnation) muncul ketika seseorang menyadari dekatnya kematian dan fase tersebut akan terselesaikan jika seseorang mampu berkontribusi terhadap perkembangan generasi berikutnya, dan death anxiety


(35)

akan muncul jika seseorang tidak mampu melakukannya. Fase final dari kehidupan manusia (integrity vs. despair), tercapai jika seseorang mampu melihat dirinya secara keseluruhan dan mampu mengingat masa lalu tanpa rasa bersalah. Hal tersebut memunculkan ketakutan terhadap kematian yang rendah, sedangkan penyesalan terhadap kesalahan yang dilakukan di masa lalu serta kesempatan-kesempatan yang tidak diambil dulu dapat berakhir pada tingginya tingkat death anxiety (Erikson, 1963; Labouvie-Vief, 1982; Cicirelli, 2002).

Hoyer dan Roodin (2003) mengemukakan, seperti halnya kecemasan yag merupakan emosi yang normal, kecemasan yang berhubungan dengan kematian juga merupakan suatu hal yang normal. Banyak penelitian lanjutan dari death anxiety dalam populasi nonklinis. Penemuan-penemuan dari penelitian Kastenbaum (2000) adalah sebagai berikut:

1. Sebagian besar responden dalam sebuah komunitas tidak menunjukkan tingkat death anxiety yang tinggi.

2. Wanita menunjukkan tingkat death anxiety yang lebih tinggi dibandingkan pria.

3. Dalam penelitian lintas budaya, orang dengan usia yang lebih tua pada umumnya tidak menunjukkan tingkat death anxiety yang lebih tinggi dibandingkan dengan orang yang usianya lebih muda walaupun mereka lebih dekat dengan kematian itu sendiri.


(36)

24

4. Tingkat pendidikan dan status sosial-ekonomi yang lebih tinggi berhubungan dengan tingkat death anxiety yang lebih rendah.

5. Tingkat religiusitas yang tinggi dan partisipasi dalam praktek religius tidak berhubungan dengan tingkat death anxiety yang lebih rendah. Kastenbaum (2000) juga menyatakan bahwa tingkat death anxiety yang sebagian besar dirasakan oleh individu dalam kehidupan sehari-harinya mungkin dapat meningkat secara dramatis ketika individu mengalami periode stres atau ancaman, seperti masalah kesehatan, penyakit, atau kematian orang terdekatnya.

Pada umumnya, orang lanjut usia tidak terlalu merasa cemas terhadap kematian dibandingkan dengan orang pada usia yang lebih muda (Bengston, Cuellar, & Ragan, 1975 dalam Papalia et al., 2007). Kesadaran akan kematian meningkat seiring bertambahnya usia, tetapi orang yang lebih tua menunjukkan penerimaan yang lebih tinggi daripada individu pada usia yang lebih muda atau pertengahan (Woodruff-Pak, 1988 dalam Hoyer dan Roodin, 2003). Mereka lebih cenderung menggunakan strategi coping emosional. Dari tahun ke tahun, selama mereka mengalami kehilangan teman-teman terdekat dan kerabatnya, mereka secara perlahan menata pemikiran dan perasaannya untuk dapat menerima kenyataan mengenai kematian.

Kemunduran fisik dan masalah-masalah lain pada masa lanjut usia mungkin dapat mengurangi kenikmatan seseorang dalam menjalani hidupnya. Namun sebaliknya, ketika 414 pasien rumah sakit yang berusia 80-90 ditanya berapa lama


(37)

waktu yang akan mereka tukar jika mereka ditawarkan untuk menukarnya dengan kesembuhan dan hidup yang sehat, 2 dari 3 orang tidak ingin memberikan lebih dari sebulan masa hidupnya (Tsevat et al., 1998 dalam Papalia et al., 2007). Menurut Erikson, orang-orang di masa lanjut usia harus menghadapi fase kedelapan dari perkembangan manusia, yaitu integrity versus despair. Seseorang yang dapat melewati fase ini meraih kebijaksanaan yang memungkinkan mereka untuk dapat menerima apa yang telah mereka lakukan selama hidup dan kematian yang akan segera datang (Papalia et al., 2007).

Ketika seseorang telah mencapai usia lansia, mereka tahu bahwa waktu mereka sudah dekat dengan akhir kehidupan. Ditambah lagi, mereka dihadapkan dengan meningkatnya paparan terhadap kematian di dalam lingkungannya. Pasangannya, saudara, dan teman mungkin sudah terlebih dahulu meninggal, dan hal tersebut menjadi pengingat konstan mengenai kematiannya sendiri. Prevalensi kematian pada lansia membuat mereka lebih kurang merasakan kecemasan mengenai kematian daripada di awal-awal kehidupan mereka. Hal ini bukan berarti bahwa para lansia menerima kematian. Justru hal ini mengimplikasikan bahwa mereka menjadi lebih realistis dan reflektif mengenai hal itu. Mereka berpikir mengenai kematian, dan mulai mempersiapkannya (Feldman, 2011).

Walaupun banyak yang membuktikan bahwa lansia memiliki penerimaan yang lebih besar dalam hal kematian daripada orang yang usianya lebih muda atau dewasa madya, pengalaman masa lalu seseorang dan konfrontasi terhadap kematian


(38)

26

adalah prediktor yang lebih baik dalam menentukan penerimaan kematian daripada faktor usia (Hoyer & Roodin, 2003).

Menurut Tomer et. al. (2008), terdapat tiga determinan utama dari death anxiety, yaitu:

1. Penyesalan yang berhubungan dengan masa lalu (past-related regret), yaitu tipe emosi atau kognisis yang berhubungan dengan masa lalu seseorang (kesalahan — sesuatu yang dilakukan seseorang namun tidak terlaksana). 2. Penyesalan yang berhubungan dengan masa depan (future related regret),

yaitu sesuatu yang kita rasakan ketika rencana penting atau perbuatan kita di masa depan menjadi tidak mungkin terlaksana.

3. Kebermaknaan dari kematian, yaitu kenseptualisasi individu tentang kematian sebagai hal yang positif atau negatif, sebagai sesuatu yang masuk akal atau sesuatu yang absurd/ tidak masuk akal. Jika penyesalan di masa lalu tidak teratasi, atau kematian dianggap tidak berarti, maka individu tersebut akan merasakan death anxiety yang tinggi.

2.2 Death Anxiety

2.2.1 Pengertian Death Anxiety

Teori yang dianggap sebagai teori klasik dari death anxiety adalah Big Theories yang dikemukakan oleh Sigmund Freud (Kastenbaum, 2000). Ia sebenarnya menolak gagasan death anxiety sebagai sebuah masalah yang mendasar. Ia sadar bahwa manusia memiliki berbagai pemikiran mengenai kematian. Sudah merupakan hal


(39)

yang biasa jika ketakutan akan kematian terlihat sebagai reaksi yang menonjol, atau diekspresikan melalui mimpi.

Menurutnya, Hanya karena seseorang yang cemas tiba-tiba membicarakan kematian, bukan berarti kematian adalah akar dari masalah yang dialami oleh orang tersebut. Semua masalah yang berkaitan dengan kematian hanyalah sekedar kemasan yang menutupi masalah yang sebenarnya. Thanataphobia (ketakutan akan kematian) sebenarnya merupakan ekspresi simbolik dari konflik yang belum terselesaikan dalam dunia psikis kita yang terdalam.

Dalam Terror Management Theory, Becker (1970 dalam Cicirelli, 2002) bersumsi bahwa pada dasarnya manusia secara tidak sadar selalu didorong oleh insting untuk mempertahankan hidupnya dan melanjutkan eksistensi, sementara pada waktu yang sama mereka tidak mengetahui bahwa mereka tidak dapat menghindari kematian. Hasilnya, manusia memiliki kemungkinan secara sadar untuk merasa diteror oleh kematian.

Kecemasan yang terjadi berkaitan dengan hal-hal mengenai kematian sering disebut death anxiety. Tomer (1994, dalam Cicirelli, 2002) menyatakan ketakutan akan kematian dapat diartikan sebagai kecemasan yang dialami di dalam kehidupan sehari-hari yang disebabkan karena antisipasi kondisi kematian. Hal ini dianggap hal yang biasa dan berbeda dengan kecemasan ketika seseorang mengetahui ada pistol di kepalanya, maupun kecemasan yang diakibatkan bencana alam. Templer (1970,


(40)

28

dalam Templer et. al., 2006) mendefinisikan death anxiety sebagai suatu kondisi emosional yang tidak menyenangkan yang dialami seseorang manakala ia memikirkan kematian, dan karena keadaan tidak jelas yang menyertai kematian.

Neimeyer (2008, dalam Azaiza et al., 2011) menyatakan death anxiety meliputi berbagai bentuk sikap terhadap kematian, yang dikarakteristikkan dengan rasa takut, ancaman, ketidaknyamanan, dan reaksi negatif lainnya, bersamaan dengan kecemasan sebagai ketakutan yang tidak beralasan terhadap objek yang tidak jelas. Firestone (1997, dalam Tomer et. al., 2008) mengkonseptualisasikan death anxiety sebagai fenomena kompleks yang mereprentasikan paduan proses pemikiran-pemikiran dan emosi yang berbeda, termasuk ketakutan akan kematian, teror dari mental dan fisik yang memburuk, perasaan kesepian, pengalaman kehilangan dan perpisahan, kesedihan mengingat diri yang akan hilang, dan kemarahan yang memuncak terhadap keadaan yang sama sekali tidak dapat dikontrol. Walaupun death anxiety memiliki pengaruh yang luas terhadap emosi-emosi yang negatif, definisi tersebut merujuk kepada realisasi penuh bahwa hidup kita bisa berakhir.

Dalam teori Self-Realization, ketakutan akan kematian muncul dari kesadaran akan dekatnya kematian seseorang, serta ancamannya terhadap keberfungsian diri (Maslow, 1968; Rogers, 1989 dalam Cicirelli, 2002). Schultz (1979 dalam Bryant, 2003) menyatakan death anxiety adalah suatu rangkaian perasaan yang dipicu oleh pemikiran-pemikiran mengenai kematian. Meskipun merupakan sebuah bentuk kecemasan, death anxiety merupakan suatu hal yang universal. Artinya mayoritas orang di dunia memiliki ketakutan terhadap hal-hal yang berkaitan dengan kematian.


(41)

Dari pengertian-pengertian diatas, dapat ditarik kesimpulan bahwa death anxiety merupakan kecemasan yang berhubungan dengan kematian, baik secara sadar maupun tidak sadar yang timbul dari pemikiran individu mengenai kematian dan hal-hal yang berkaitan dengan kematian.

2.2.2 Penolakan terhadap Death Anxiety

Tidak semua orang yang dekat dengan kematian dapat mengkomunikasikannya dengan jujur dan terbuka. Penolakan adalah sebuah karakteristik seseorang ketika dohadapkan dengan kematian. Penolakan akan melindungi seseorang dari kenyataan bahwa mereka akan segera meninggal. Beberapa ahli melaporkan hubungan yang negatif antara penolakan dan penerimaan terhadap kematian (Shneidman, 1992, dalam Hoyer & Roodin, 2003).

Penolakan terhadap kematian memiliki beragam bentuk. Menolak untuk mengetahui adanya penyakit atau situasi yang mengancam jiwa adalah salah satu bentuk penolakan. Sebagai contoh, seorang pria yang akan menjalani operasi kanker kolon mungkin dapat menolak kenyataan dan lebih mempercayai bahwa operasi tersebut hanya untuk mengangkat polip. Atau seseorang yang menerima kenyataan bahwa dirinya mengidap gangguan ginjal, namun menyangkal bahwa hal tersebut membahayakan jiwa. Denial dapat menjadi suatu hal yang maladaptif jika hal tersebut menyebabkan seseorang persisten dalam menolak kenyataan. Contohnya, hal tersebut dapat membuat seseorang menghindari pemeriksaan kesehatan menyeluruh


(42)

30

dan perawatannya ketika gejala-gejala penyakit berbahaya muncul (Hoyer & Roodin, 2003).

Yalom (1980, dalam Tomer et. al., 2008) menyatakan bahwa death anxiety dimanifestasikan bukan sebagai argumen filosofis, namun lebih kepada penolakan. Ia membedakan dua bentuk penolakan tersebut, bentuk pertama terdiri dari kepercayaan

seseorang terhadap “spelialitas”, kepercayaan yang berada dalam akar menuju ke

heroisme. Tipe kedua dari mekanisme ini terdiri dari kepercayaan terhadap penyelamat agung, yaitu Tuhan atau figur pemimpin, atau mungkin figur politik yang dikagumi atau dokter yang hebat, memutuskan seluruh keputusan untuknya, atau orang tua yang perhatian.

Penolakan terhadap kematian juga dikemukakan oleh Firestone & Catlett (2009). ia menyebutkan bahwa penolakan (denial) merupakan pertahanan utama terhadap death anxiety, dan terdapat dua bentuk dasar dari penolakan terhadap kematian, yaitu:

1. Literal Immortality, seringkali dimanifestasikan kepada agama atau religiusitas dan hal ini merupakan pertahanan kunci yang meniadakan/menolak fakta bahwa manusia akan mati sama dengan spesies lainnya, dan tidak ada bukti ilmiah mengenai kehidupan setelah kematian (akhirat).


(43)

2. Symbolic Immortality. Yaitu ilusi dalam memperpanjang usia dan arti hidup seseorang lewat pertahanan-pertahanan dengan meninggalkan warisan yang tetap ada setelah penciptanya/ pemiliknya meninggal dunia. Warisan tersebut seperti karya, anak, kesombongan dan mengumpulkan harta kekayaan serta kekuasaan.

2.2.3 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Death Anxiety

Beberapa faktor telah diteliti dan memiliki pengaruh dengan death anxiety. Faktor-faktor tersebut antara lain:

a) Religiusitas

Religiusitas adalah salah satu faktor teoritis yang potensial, dan dikonseptualisasikan sebagai: totalitas sistem kepercayaan, iman atau disposisi dari dalam diri, atau praktek ritual keagamaan (Wulff, 1997 dalam Daaleman dan Dobbs, 2003).

Religiusitas memainkan peran penting sebagai salah satu faktor death anxiety karena masing-masing agama menjamin umat-umat pengikutnya akan kehidupan setelah kematian. Selain itu, tingkat religiusitas yang berbeda juga menghasilkan tingkat death anxiety yang berbeda-beda pula. Seperti yang dinyatakan oleh Daaleman dan Dobbs (2010) bahwa orang yang memiliki tingkat kepercayaan yang moderat memiliki ketakutan yang lebih besar dibandingkan mereka yang memiliki tingkat kepercayaan yang kuat.


(44)

32

Perbedaan agama juga membuat persepsi kematian yang berbeda pada masing-masing pengikutnya. Williams (1990) menyatakan bahwa orang yahudi dan Kristen menganggap kematian adalah jalan menuju sebuah keabadian, sedangkan orang Hindu di India mempersepsikan kematian lewat perspektif reinkarnasi.

b) Locus of Control

Bagaimana cara kita memandang apa yang terjadi pada diri kita, apakah cenderung ke faktor luar diri atau dalam diri, juga dapat mempengaruhi tingkat death anxiety. Williams (1990) menyatakan bahwa individu yang memiliki kecenderungan locus of control internal terlihat lebih mampu mengendalikan lingkungan luar dan juga lingkungan afektif dari dalam yang kemudian dapat menghasilkan perilaku kematian yang lebih baik. Vargo dan Black (dalam Williams, 1990) melaporkan adanya hubungan antara locus of control eksternal dan death anxiety pada mahasiswa kedokteran. Dan Hickson, Housley, dan Boyle (dalam Williams, 1990) melaporkan adanya interaksi yang signifikan antara locus of control dan usia dengan death anxiety. Fry (dalam Daaleman dan Dobbs, 2010) juga menyatakan bahwa individu dengan keyakinan yang kuat terhadap dirinya cenderung berpikir untuk mengatur dan memainkan control yang kuat terhadap pikiran-pikiran mereka dan hal itu akan menurunkan tingkat death anxiety.


(45)

c) Kepribadian

Tipe kepribadian yang melandasi bagaimana kita berperilaku juga memegang peranan penting terhadap death anxiety dan perilaku seperti apa yang akan ditampilkan. Frazier dan Foss-Goodman (dalam Williams, 1990) melaporkan bahwa death anxiety dengan tingkat yang tinggi berkorelasi dengan neurotisisme dan behavioral pattern type A.

d) Social Support

Dukungan sosial juga dibuktikan memiliki pengaruh terhadap death anxiety. Menurut Becker (1973) dalam Daaleman dan Dobbs (2010), Orang tua yang memiliki social support yang kuat cenderung memiliki ketakutan yang lebih rendah karena adanya perasaan aman dari ikatan dirinya dengan orang lain. Khawar, Aslam, & Aamir (2013) juga menunjukkan hasil penelitian dimana terdapat hubungan yang negatif antara perceived social support dengan death anxiety.

e) Usia

Death anxiety diketahui memiliki hubungan dengan usia. Russac et. al. (2007) dalam penelitiannya membuktikan bahwa wanita menunjukkan tingkat death anxiety yang tidak terduga selama awal usia 50 tahun. Setelah berusia 60 tahun, kecenderungannya menurun dan menjadi stabil. Namun, Chuin & Choo (2009) membuktikan bahwa tidak ada perbedaan yang signifikan antara death anxiety dengan faktor usia.


(46)

34

Antara pria dan wanita diketahui memiliki pola pikir yang berbeda satu sama lain, perbedaan pola pikir tersebut juga mempengaruhi death anxiety. Holcomb, Neimeyer, dan Moore (1993, dalam Bath, 2010) membuktikan bahwa wanita cenderung melihat kematian sebagai suatu kepastian dan kehidupan selanjutnya dibanding pria. Namun, studi lainnya membuktikan hal yang tidak sejalan. Neimeyer (1994, dalam Bath, 2010) menemukan bahwa tidak ada perbedaan antara pria dan wanita dalam ketakutan akan kematian. Dari faktor-faktor tersebut, penulis memutuskan bahwa faktor-faktor yang akan peneliti gunakan sebagai variabel bebas adalah Religious Orientation, Locus of Control dan Perceived Social Support.

2.2.4 Pengukuran Death Anxiety

Untuk mengukur variabel death anxiety, peneliti menggunakan alat ukur berdasarkan skala baku Death Anxiety Scale dari Templer (1970). Alat ukur ini akan diadaptasi kedalam bahasa Indonesia dan akan disesuaikan dengan norma yang ada di Indonesia. Alat ukur ini terdiri dari 15 item dan memiliki dua alternatif jawaban, True (benar) dan False (salah). Dalam penelitian ini, peneliti mengganti alternatif pilihan jawaban menjadi 4, yaitu SS (sangat setuju), S (setuju), TS (tidak setuju), dan STS (sangat tidak setuju) agar dapat dianalisis lebih lanjut. Responden harus memilih salah satu dari empat alternatif jawaban yang paling menggambarkan dirinya.

2.3 Locus of Control


(47)

Selama tahun 1950-an dan awal 1960-an, Rotter mulai tertarik dengan observasi terhadap banyak orang yang tidak meingkatkan perasaan kontrol personal mereka setelah mengalami kesuksesan, dan orang lainnya yang tidak meurunkan ekspektasi mereka setelah mengalami kegagalan yang berulang-ulang (Zuroff & Rotter, 1985 dalam Feist & Feist, 2009). Dengan kata lain, beberapa orang cenderung untuk menganggap tercapainya sesuatu yang diinginkan sebagai hasil dari keberuntungan, sementara orang lain mempertahankan kontrol personal yang tinggi setelah beberapa perilaku yang dilakukan tidak membuahkan penguatan. Kecenderungan ini sering terjadi pada situasi yang dianggap ambigu atau baru (Rotter, 1992 dalam Feist & Feist, 2009), atau pada saat mereka tidak mengetahui apakah akibat dari perilaku mereka disebabkan oleh kemampuan mereka sendiri atau kebetulan.

Rotter (1990 dalam Feist & Feist, 2009) berpendapat bahwa baik situasi maupun orangnya berkontribusi pada perasaan kontrol personal. Oleh karena itu, jika seseorang telah memiliki ekspektasi untuk dapat berhasil dalam suatu kondisi, dapat memiliki perasaan kontrol personal yang rendah dalam situasi lainnya.

Rotter (1989) menyatakan bahwa kontrol internal dan eksternal mengacu pada bagaimana seseorang mengharapkan sebuah penguat atau akibat dari sebuah perilaku merupakan bagian dari perilakunya sendiri atau karakteristik personal versus apakah seseorang menganggap penguat atau akibat dari perilaku merupakan hasil dari keberuntungan, kesempatan, atau sekedar tidak dapat diduga.


(48)

36

Rotter (1966) menyatakan bahwa locus of control mengacu pada perbedaan yang terjadi di antara individu dalam hal kontrol personal mana yang akan digunakan seseorang dalam situasi yang sama. Sedangkan Levenson (1981) mengartikan locus of control sebagai espektasi umum untuk mempersepsikan penguat sebagai suatu kesatuan dan bagian dari perilaku individu (internal control) atau merupakan hasil dari kekuatan diluar kontrol manusia dan bergantung pada takdir, kesempatan, atau orang yang berkuasa (external control).

Dari pengertian-pengertian diatas, dapat ditarik kesimpulan bahwa locus of control adalah bagaimana individu mempersepsikan kejadian-kejadian disekitarnya apakah karena faktor dari dalam (tingkah lakunya sendiri dan usaha yang dilakukannya sendiri) atau karena faktor dari luar dirinya (keberuntungan, kesempatan, orang-orang yang berkuasa atau takdir).

2.3.2 Dimensi-Dimensi Locus of Control

Terdapat dua dimensi dari locus of control. Dimensi-dimensi tersebut antara lain: 1. Internal Locus of Control

Internal locus of control adalah keyakinan bahwa perbuatan seseorang dapat menghasilkan konsekuensi sesuai yang diharapkan (Friedman & Schutstack, 2009). Individu dengan internal locus of control cenderung lebih berorientasi pada prestasi karena mereka yakin bahwa perilaku mereka menghasilkan efek yang positif, dan mereka cenderung adalah orang-orang yang berprestasi (high achievers) (Findley & Cooper, 1983 dalam Friedman & Schustack, 2009).


(49)

Menurut Rotter (1966), apabila seseorang mempersepsikan bahwa suatu kejadian merupakan akibat dari perilakunya ataupun karakteristiknya yang relatif permanen.

2. External Locus of Control

External locus of control adalah keyakinan bahwa hal-hal yang berasal dari luar diri individu, seperti kesempatan atau kekuatan, dapat menentukan terjadinya konsekuensi yang diharapkan (Friedman & Schutstack, 2009). Sedangkan Rotter (1966) menyatakan external locus of control adalah ketika seseorang mempersepsikan penguat yang mengikuti sebuah perilaku dianggap bukan hasil dari dirinya, namun dalam budaya kita dianggap sebagai hasil dari keberuntungan, kesempatan, karena kontrol dari kekuatan orang lain, atau kebetulan.

Individu dengan external locus of control cenderung kurang independen dan lebih mudah depresi dan stress, seperti yang diduga oleh Rotter (Benassi, Sweeney, & Dufour, 1988; Rotter, 1954 dalam Friedman & Schutstack, 2009). Dalam 40 tahun terakhir, sebagian besar locus of control dari anak-anak amerika adalah eksternal. Mereka percaya bahwa hidup mereka lebih dikontrol oleh kekuatan dari luar diri. Hal tersebut berbeda dengan apa yang orangtua mereka yakini saat mereka masih muda di usia yang sama dengan anak mereka (Twenge, Zhang, & Im, 2004 dalam Friedman & Schutstack, 2009). Sayangnya, hal tersebut menjadi konsisten dengan peningkatan sinisme dan depresi. Orang-orang tersebut lebih mudah


(50)

38

menyalahkan orang lain untuk masalah-masalah yang mereka alami dan kurang memiliki inisiatif untuk mengambil sikap dalam rangka pengembangan masyarakat (Friedman & Schutstack, 2009). Merton (1946, dalam Rotter, 1966) menyatakan bahwa kepercayaan pada keberuntungan

merupakan perilaku defensif dalam rangka “mempersiapkan fungsi psikologis

bagi seseorang agar dapat melindungi self-esteem mereka dalam menghadapi kegagalan.

Sedangkan Levenson (1981) dalam konsep multidimensionalnya berpendapat bahwa terdapat dua tipe orientasi eksternal, yaitu kepercayaan bahwa dunia merupakans suatu hal yang tidak terduga dan kepercayaan bahwa dunia sebenarnya dapat diprediksi serta ada orang yang berkuasa yang ikut mengendalikan kejadian-kejadian di dunia.

Seseorang yang mempercayai bahwa kesempatan itu ada mungkin memiliki kontrol yang berbeda secara perilaku dan kognitif dari orang-orang yang memiliki kontrol personal yang rendah. (Levenson, 1981).

2.3.3 Pengukuran Locus of Control

Untuk mengukur variabel locus of control peneliti menggunakan alat ukur berdasarkan skala baku Levenson’s I,P, and C Scale dari Levenson (1981). Alat ukur ini akan diadaptasi kedalam bahasa Indonesia dan akan disesuaikan dengan norma yang ada di Indonesia. Alat ukur ini terdiri dari 24 item dan memiliki empat alternatif jawaban, yaitu Sangat Setuju (SS), Setuju (S), Tidak Setuju (TS), dan Sangat Tidak


(51)

Setuju (STS). Responden harus memilih salah satu dari empat alternatif jawaban yang paling menggambarkan dirinya.

2.4 Religious Orientation

2.4.1 Pengertian Religious Orientation

Menurut Pargament (1997) pengertian yang cocok dalam kehidupan sehari-hari ketika kita berbicara mengenai agama adalah agama mengacu pada sebuah entitas, ide, kepercayaan, atau praktek yang spesifik. Agama juga merupakan sebuah sistem kepercayaan kepada kekuatan ketuhanan dan praktek atau ritual peribadatan yang ditujukan kepada kekuatan tersebut (Argyle & Beit-Hallahmi, 1975 dalam Pargament, 1997)

Agama berfungsi sebagai sumber pendukung emosional dan sosial, terutama pada masa-masa krisis. Sebagai tambahan, agama memberikan seseorang gambaran perilaku dalam kehidupan personal mereka, menegakkan standar-standar bagi perilaku dan memunculkan ide-ide (Cicirelli, 2002).

Menurut Flere & Lavric (1989), Dasar religiusitas yang multifaset dan kompleks telah dipola dengan cara yang berbeda-beda yang membuatnya menjadi lebih komprehensif. Salah satunya adalah klasifikasi dari Glock and Stark (1965 dalam Flere & Lavric, 1989). Dibalik perilaku, perbuatan, dan afiliasi institusional, terdapat juga motif-motif yang seringkali tidak dapat terpisahkan dari religiusitas itu sendiri. Pendekatan inilah yang digunakan pula oleh Allport (1950 dalam Flere &


(52)

40

Allport (1950, dalam Flere & Lavric, 2007) pada mulanya menyatakan orientasi religius sebagai motif-motif dibalik perilaku untuk memahami berbagai bentuk perbuatan-perbuatan yang dilakukan, termasuk yang dianggap berlawanan oleh penganut kristiani. Dimulai dari gagasan bahwa ada bentuk kematangan dan ketidakmatangan religius, ia sampai kepada tipologi religius intrinsik dan ekstrinsik.

Cara yang paling tepat untuk mendeskripsikan dua kutub dari subjektifitas

agama adalah bahwa orang yang termotivasi secara ekstrinsik “memakai” agamanya,

sedangkan orang dengan motif intrinsik “hidup dengan agamanya” (Allport, 1967). Allport (1967, dalam Pargament 1997) secara lebih lanjut menjelaskan bahwa orang yang lebih berorientasi intrinsik mengetahui apa motif dasar dari agama yang dianutnya. Motif tersebut berpusat pada Tuhan, bukan pada diri sendiri. Sedangkan orang yang berorientasi ekstrinsik mencari keuntungan personal dalam bentuk ketenangan, harga diri, dan sosiabilitas, bahkan demi orang lain.

Pargament (1997) mendefinisikan religious orientation sebagai disposisi umum untuk menggunakan kutub yang berbeda dalam rangka meraih tujuan hidup yang berbeda. Orientasi yang berbeda ini timbul dari keterlibatan Tuhan dalam

pencarian tujuan hidup. Kata “umum” digunakan untuk menekankan bahwa religious orientation tidak berlaku pada situsi secara keseluruhan, namun merupakan fenomena lintas budaya; yang menjelaskan kecenderungan umum untuk menggunakan tujuan beragama tertentu dan menceri tujuan beragama tertentu dalam berbagai situasi.


(53)

Kirkpatrick (1988, dalam Gorsuch & McPherson, 1989) menganalisa kembali beberapa penelitian yang menggunakan skala I-E yang lebih lama. Ia kemudian menyimpulkan skala ekstrinsik yang terbagi kedalam kategori ekstrinsik, yaitu apa

yang kita sebut dengan “Ep untuk item skala yang cenderung berorientasi personal

dan “Es” untuk item skala ekstrinsik yang lebih berorientasi sosial.

Dari beberapa definisi tersebut dapat diambil kesimpulan bahwa orientasi religius dapat diartikan sebagai motivasi yang mendasari seseorang dalam beragama, apakah didasari oleh dorongan-dorongan dari luar diri ataukah didorong dari keinginan untuk menjadikan agama tersebut sebuah landasan bagi kehidupannya dan mendekatkan diri pada Tuhan, yang dapat dilihat dari caranya berperilaku dalam menjalankan ajaran agamanya.

2.4.2 Dimensi-Dimensi Religious Orientation

Allport (1950 dalam Flere & Lavric, 2007) membagi orientasi religius kedalam dua dimensi yang berbeda, yaitu intrinsic religious orientation (orientasi religius intrinsik) dan extrinsic religious orientation (orientasi religius ekstrinsik). Dimensi-dimensi tersebut adalah:

1. Intrinsic Religious Orientation (Orientasi Religius Intrinsik). Allport & Ross (1967) berpendapat bahwa individu dengan orientasi ini telah menemukan motif dasar dari beragama. Kebutuhan lainnya, sekuat apapun, dianggap kurang penting dan sebisa mungkin memiliki harmoni dengan kepercayaan


(54)

42

religius. Individu berusaha untuk menginternalisasikan keyakinannya dan mengikuti ajaran-ajaran agamanya. Inilah yang disebut bahwa seseorang menjalankan keyakinanya.

Keyakinan seperti ini dapat merubah eksistensi seseorang tanpa memaksakannya pada konsep-konsep yang terbatas dan kebutuhan-kebutuhan

egosentris. Tipe ini dapat disebut tipe agama yang “interioris” atau “intrinsik” atau “berpusat diluar diri”, yang dalam kasus ini bertolak belakang dengan

tipe ekstrinsik yang mengedepankan manfaat, berpusat pada diri sendiri (Allport 1950, dalam Stark dan Glock, 1968).

Intrinsic religious orientation juga didefinisikan sebagai kedewasaan spiritual (Thomas, 1994 dalam Tomer et. al., 2008), atau sebagai cara hidup dan komitmen seseorang terhadap Tuhan. Orang dengan orientasi religius intrinsik cenderung mempercayai adanya kehidupan yang lebih baik setelah kematian (Tomer et. al., 2008).

2. Extrinsic Religious Orientation (Orientasi Religius Ekstrinsik). Allport (1950 dalam Stark dan Glock , 1968) mengkategorikan tipe religius ekstrinsik sebagai religius yang memanfaatkan, mementingkan diri sendiri, berpusat pada keselamatan, status, kenyamanan dan protektifitas dari penganutnya.

Orang yang religius dalam artian ini “menggunakan” Tuhan. Mereka adalah

orang yang bergantung dan pada dasarnya kekanak-kanakan. Individu dengan orientasi religius ekstrinsik mungkin telah mendapatkan doktrin agama dari lembaga-lembaga atau rumah ibadah, namun karena mereka tidak terlalu


(55)

melibatkan agama dalam kehidupannya, mereka memiliki kemungkinan untuk takut terhadap hal-hal yang gaib dan masa depan setelah kematian (Donahue, 1985 dalam Tomer et al., 2008). Selanjutnya, Gorsuch & McPherson (1989) menyatakan terdapat dua komponen yang berbeda dari orientasi religius ekstrinsik, yaitu:

a. Social Extrinsic Orientation (Es), yaitu orientasi religius ekstrinsik yang mengacu pada pencapaian manfaat-manfaat sosial. Tipe ini mengharapkan manfaat secara sosial (Flere & Lavric, 2007).

b. Personal Extrinsic Orientation (Ep), yaitu orientasi religius ekstrinsik yang menekankan pada penanganan dan kontrol pada masalah-masalah dan tekanan psikologis. Tipe ini mengacu pada mengatasi dan mengontrol masalah-masalah psikologis personal (Flere & Lavric, 2007).

2.4.3 Pengukuran Religious Orientation

Untuk mengukur variabel religiusitas, peneliti menggunakan alat ukur berdasarkan skala baku Religious Orientation Scale-Revised (ROS-R) dari Gorsuch & McPherson (1989). Alat ukur ini akan diadaptasi kedalam bahasa Indonesia dan akan disesuaikan dengan norma yang ada di Indonesia. Alat ukur ini memiliki empat alternatif jawaban, yaitu Sangat Setuju (SS), Setuju (S), Tidak Setuju (TS), dan Sangat Tidak Setuju (STS). Responden harus memilih salah satu dari empat alternatif jawaban yang paling menggambarkan dirinya.


(56)

44

2.5.1 Pengertian Social Support

Sumber psikososial yang paling vital dan protektif adalah dukungan sosial (social support). Ikatan sosial dan hubungan dengan orang lain telah dianggap sebagai aspek kehidupan yang memuaskan secara emosional. Social support juga dapat meredakan efek dari stress, membantu seseorang untuk dapat mengatasi kejadian-kejadian yang membuat stress, dan menurunkan kemungkinan stress yang dapat memperburuk kondisi kesehatan (Taylor, 2009).

Social support diartikan sebagai informasi bahwa ada orang yang menyayangi dan memperhatikan kita, meninggikan harga diri dan menilai tinggi diri kita, dan menganggap kita adalah seseorang yang berharga. Social support bisa datang dari orangtua, pasangan atau kekasih, kerabat, teman-teman, komunitas (seperti klub atau kegiatan keagamaan) (Rietschlin dalam Taylor, 2009), atau bahkan hewan peliharaan (Allen, 2003 dalam Taylor, 2009).

Social support (dukungan sosial) merujuk kepada ketersediaan rasa nyaman, perhatian, harga diri, atau bantuan kepada seseorang yang datang dari orang lain atau kelompok (Uchino, 2004, dalam Sarafino & Smith, 2011). Dukungan tersebut dapat datang dari mana saja—dari pasangan atau kekasih, keluarga, teman, dokter, atau komunitas organisasi.Seseorang dengan social support percaya bahwa dirinya dicintai, dihargai, dan menjadi bagian dari lingkungan sosial, seperti keluarga atau organisasi komunitas. Dukungan tersebut dapat membantu disaat membutuhkan (Sarafino & Smith, 2011).


(57)

Social support menunjukkan konsep dari perspektif yang berbeda-beda, termasuk perbedaan antara persepsi individu dalam menerima dukungan, perspektif observer bahwa dukungan telah diterima, dan perspektif penyedia dukungan bahwa dukungan tersebut telah ia berikan (Dunkel-Schetter, Blasband, Feinstein, & Herbert, 1992 dalam Neufeld & Harrison, 2010).

Sarafino & Smith (2011) menyatakan bahwa social support bukan hanya mengacu kepada perilaku yang secara nyata dilakukan oleh seseorang, atau disebut received support, namun juga merujuk pada persepsi seseorang bahwa kenyamanan, perhatian, dan bantuan selalu tersedia jika dibutuhkan atau disebut dengan perceived support.

Dari berbagai definisi diatas, maka dapat disimpulkan bahwa dukungan sosial (social support) merupakan suatu betuk hubungan interpersonal yang di dalamnya berisi pemberian bantuan yang melibatkan aspek-aspek dari informasi, perhatian, emosi, penilaian dan bantuan instrumental yang diperoleh oleh individu melalui interaksi dengan lingkungan dan memiliki manfaat emosional atau efek perilaku bagi penerima, sehingga dapat membantu individu dalam menjalani kehidupannya atau ketika menghadapi masalah yang dialaminya.

2.5.2 Aspek-Aspek Social Support


(58)

46

1. Tangible assistance melibatkan ketersediaan material, seperti pelayanan, dukungan finansial, atau harta benda. Contohnya, hadiah makanan yang diterima setelah kematian seseorang dalam sebuah keluarga dapat diartikan bahwa keluarga yang berkabung tidak perlu memasak untuk diri mereka dan kerabat yang datang disaat energi mereka sedang berada dalam tingkat yang rendah.

2. Informational support, yaitu dukungan dari keluarga atau teman mengenai situasi atau keadaan yang penuh tekanan. Sebuah informasi dapat membantu individu untuk dapat memahami situasi stress lebih baik dan menentukan strategi coping apa yang tepat digunakan dalam situasi tersebut. Contohnya, ketika seseorang akan menghadapi prosedur medis yang tidak menyenangkan, teman yang pernah mengalami kejadian yang sama akan memberikan informasi mengenai langkah-langkah apa yang ia tempuh, ketidaknyamanan yang akan terjadi, dan sebagainya (Taylor , 2009).

3. Emotional Support. Saat berada dalam kondisi stres, seseorang terkadang menderita secara emosional dan mungkin dapat mengalami depresi, kesedihan, kecemasan, dan keyakinan diri yang rendah. Teman-teman dan keluarga yang mendukung dapat memberikan emotional support dengan menenangkan orang tersebut bahwa ia adalah seseorang yang berharga. Kehangatan dan perhatian dari orang lain dapat menurunkan tingkat stres dan memungkinannya untuk menghadapai stres dengan keyakinan yang tinggi.


(59)

Tipe-tipe dari social support tersebut melibatkan ketersediaan dari bantuan yang nyata dari seseorang ke orang lain. Namun nyatanya, banyak manfaat dari social support justru datang dari persepsi bahwa social support tersedia untuknya. Menerima social support secara langsung sebenarnya memiliki beberapa resiko. Pertama, individu dapat menyita atau memonopoli waktu dan perhatian dari orang lain, dimana dapat menimbulkan rasa bersalah. Keinginan untuk bersandar pada orang lain juga dapat membahayakan self-esteem seseorang, karena hal tersebut sering terlihat sebagai suatu ketergantungan terhadap orang lain (Bolger, Zuckerman, & Kessler, 2000 dalam Taylor, 2009). Resiko dari penerimaan social support ini dapat membahayakan fungsi dari social support tersebut yang seharusnya dapat memperbaiki tingkat stres seseorang (Taylor, 2009).

2.5.3 Perceived Social Support

Social support tidak selalu bisa meredakan stres dan bermanfaat bagi kesehatan. Hal itu karena dukungan yang tersedia tersebut mungkin tidak kita persepsikan sebagai suatu hal yang mendukung (tidak dibutuhkan) (Dunkel-Schetter & Bennet, 1990; Wilcox, Kasl, & Berkman, 1994, dalam Sarafino & Smith, 2011). Kemungkinan itu terjadi karena batuan atau dukungan tersebut tidak sesuai dengan kebutuhan kita, atau memang kita tidak sedang membutuhkan bantuan. Ketika kita tidak menganggap bantuan itu mendukung, dukungan dari orang lain itu kurang mampu menurunkan stres yang kita alami.


(60)

48

Menerima dukungan atau bantuan dari orang lain terkadang membuat penerima bantuan dianggap tidak mampu mengatasi masalahnya sendiri, yang dapat mengakibatkan self-esteem yang rendah (Lepore et al., 2008 dalam Sarafino & Smith, 2011). Konsekuensi negatif inilah yang menjadi alasan bahwa manfaat kesehatan yang diterima dari persepsi seseorang bahwa dirinya memiliki dukungan menjadi prediktor yang lebih baik daripada dukungan yang benar-benar diterima (Uchino, 2004, dalam Sarafino & Smith, 2011).

Perceived social support atau perceived support adalah fungsi dukungan yang dipersepsikan selalu tersedia jika dibutuhkan (Wills & Shinar, 2000). Cobb (1974 dalam Wills & Shinar, 2000) menyatakan bahwa fungsi dukungan dapat membantu seseorang mengatasi permasalahan dan perubahan. Selain itu ia juga menyatakan bahwa efek dari dukungan tersebut timbul dari informasi yang membuat seseorang percaya bahwa ia diperhatikan, dicintai, dihargai, dinilai, dan dianggap sebagai bagian dari sebuah jaringan komunikasi. Jenis dukungan seperti ini dianggap mampu membantu seseorang dalam menghadapi stres, dan memungkinkan seseorang untuk menghadapi permasalahan hidup lainnya. Adanya persepsi dukungan ini terbukti memiliki signifikansi yang tinggi dalam kesehatan.

2.5.4 Pengukuran Perceived Social Support

Untuk mengukur variabel perceived social support, peneliti menggunakan alat ukur berdasarkan skala baku MSPSS (Multidimensional Scale of Perceived Social Support) dari Dahlem, Zimet, & Walker (1991). Alat ukur ini akan diadaptasi


(61)

kedalam bahasa Indonesia dan akan disesuaikan dengan norma yang ada di Indonesia. Alat ukur ini memiliki empat alternatif jawaban, yaitu Sangat Setuju (SS), Setuju (S), Tidak Setuju (TS), dan Sangat Tidak Setuju (STS). Responden harus memilih salah satu dari empat alternatif jawaban yang paling menggambarkan dirinya.

2.6 Pengalaman Terhadap Kematian

Hampir semua orang akan mengalami kehilangan orang yang dicintainya selama masa hidupnya. Ketika seseorang menua, coping terhadap rasa duka akibat kehilangan orang yang disayangi akan menjadi hal yang sulit (Azaiza et al., 2011). Malkinson & Bar-Tur (2005 dalam Azaiza, et al., 2011) menyatakan bahwa orangtua akan mengalami kehilangan yang signifikan: anggota keluarga dan teman yang sakit dan kemudian meninggal, masa pensiun yang dapat mengurangi relasi sosial, berkurangnya aktifitas yang dulu dilakukan ketika bekerja, serta rumah yang terasa sepi. Kemudian, orangtua atau lansia akan merasa cemas mengenai kematian yang akan datang padanya dan mengkhawatirkan keluarga yang akan terbengkalai ketika dirinya meninggal (Malkinson & Bar-Tur, 1999 dalam Azaiza, 2011).

Hoyer & Roodin (2003) menyatakan terdapat beberapa kematian yang sulit untuk dilupakan. Yaitu kematian anak yang masih kecil, kematian anak yang telah dewasa, kematian saudara, kematian orangtua, dan kematian pasangan. Kematian anak yang masih kecil menyisakan rasa duka yang sulit dipulihkan, terutama jika penyebab kematian adalah kecelakaan atau penyakit berat. Kematian anak yang sudah dewasa juga dapat menyisakan rasa duka yang mendalam, namun


(62)

50

tidak lebih intens dari kehilangan pasangan atau orangtua. Kematian saudara merupakan hal yang sering dirasakan oleh lansia, namun juga menyisakan rasa duka yang mendalam. Kematian orangtua bukan hanya menunjukkan efek jangka panjang ketika terjadi pada masa anak-anak karena perpisahan dengan pengasuhnya, namun juga pada lansia hal tersebut juga merupakan kehilangan yang besar. Kemudian, kehilangan pasangan hidup merupakan kehilangan yang paling umum dirasakan oleh lansia dan membuat lansia harus menghadapi rasa duka yang mendalam serta tantangan-tantangan hidup lainnya.

Jadi dapat disimpulkan bahwa pengalaman mengenai kematian adalah pengalaman mengenai meninggalnya orang-orang yang ada di sekitar kita, baik keluarga, teman, maupun orang lain yang menyisakan duka maupun tidak.

2.6.1 Pengukuran Pengalaman mengenai Kematian

Untuk mengukur variabel pengalaman mengenai kematian, peneliti memberikan pertanyaan apakah responden pernah mengalami kehilangan baik keluarga, teman, maupun orang lain. Kemudian, peneliti membuat skala kebermaknaan kematian tersebut kedalam 2 alternatif pilihan, sangat bermakna dan tidak bermakna. Responden harus memilih salah satu dari dua alternatif pilihan yang paling menggambarkan kebermaknaan tersebut.


(63)

Peningkatan populasi lansia di Indonesia tidak terlepas dari peningkatan harapan hidup. Akan tetapi, sebagaimana manusia yang sedang berada di akhir tahap perkembangan, lansia mengalami banyak penurunan fungsi yang kompleks, baik fisik, mental, minat, dan finansial. Lansia juga mengalami lebih banyak paparan terhadap kematian, terlihat dari banyaknya rekan-rekan seusianya serta keluarga yang telah meninggal. Karena hal-hal tersebut, lansia rentan mengalami kecemasan, terutama kecemasan yang berkaitan dengan kematian. Setiap orang memiliki persepsi yang berbeda terhadap kematian. Persepsi yang positif akan memunculkan penerimaan terhadap kematian dan persepsi negatif akan memunculkan death anxiety.

Death anxiety dapat dirasakan berbeda bagi pria dan wanita. Wanita yang cenderung rentan pada kecemasan, memandang kematian sebagai suatu hal yang emosional sehingga wanita rentan memiliki death anxiety yang tinggi. Sedangkan pria lebih memandang kematian dari segi kognitif, oleh karena itu, pria lebih memiliki sikap terhadap kematian yang lebih positif.

Seseorang yang memiliki ketakutan akan kematian tidak terlepas dari pegalamannya mengenai kematian itu sendiri. Individu yang telah mengalami atau menyaksikan keluarga, kerabat, atau temannya meninggal dapat memiliki death anxiety yang berbeda dengan individu yang mengalami perpisahan dengan orang yang kurang berarti dalam hidupnya. Orang yang lebih sering terpapar oleh kematian diasumsikan memiliki sikap terhadap kematian yang lebih baik dibandingkan orang


(1)

LAMPIRAN 2 Path Diagram Death Anxiety


(2)

Path Diagram Internal Locus of Control


(3)

(4)

Path Diagram Perceived Social Support Family


(5)

(6)

Path Diagram Intrinsic Religious Orientation