jantung. Sistem gastrointestinal, sistem urin dan organ berotot lunak adalah organ yang tidak terlalu mengalami perubahan karena usia lanjut.
c. Perubahan-perubahan sensorik
Seluruh organ fungsi penginderaan mengalami penurunan fungsi pada usia lanjut. Bagaimanapun juga, perubahan sensorik adalah perubahan yang relatif lama
prosesnya pada sebagian besar kasus, sehingga individu memiliki kesempatan untuk beradaptasi pada perubahan tersebut. Contohnya kacamata dan alat bantu
dengar yang dapat membantu pengelihatan dan pendengaran yang menurun. d.
Perubahan-perubahan kemampuan motorik Sebagian besar lansia menyadari bahwa mereka bergerak lebih lambat dan kurang
terkoordinasi dari sebelumnya. Perubahan dalam fungsi motorik ini termasuk penurunan kekuatan dan energi yang merupakan kompensasi yang normal dari
perubahan fisik yang berhubungan dengan usia tua; kurangnya irama gerak otot; kekakuan sendi; dan tremor pada tangan, lengan, kepala, dan dagu.
Bagaimanapun juga, walaupun mereka sedang dalam kondisi yang fit dan memiliki motivasi yang kuat, beberapa individu masih berharap kemampuan
motorik mereka dapat kembali seperti saat mereka muda. Perubahan motorik ini memiliki efek yang penting dalam adaptasi personal dan sosial.
e. Perubahan-perubahan dalam kemampuan mental
Para pakar psikologi, dari penelitian-penelitian yang mereka lakukan, telah menyatakan beberapa kepercayaan bahwa dengan adanya penurunan fungsi
beberapa area tubuh, hal tersebut mungkin dapat mempengaruhi penurunan fungsi
mental juga. Penyebabnya antara lain keadaan fisik yang memburuk yang juga diikuti oleh kondisi mental yang menurun dan kurangnya stimulasi dari
lingkungan. Penelitian menunjukkan bahwa lansia dengan kemampuan inteligensi yang tinggi memiliki resiko yang rendah dalam penurunan funsi mental daripada
orang dengan inteligensi yang rendah. f.
Perubahan-perubahan minat personal Semakin bertambahnya usia, seseorang menjadi lebih memusatkan perhatian pada
dirinya sendiri. Mereka mungkin akan menjadi lebih egosentris dan berpusat pada diri sendiri sehingga mereka hanya memikirkan dirinya sendiri daripada orang
lain dan cenderung tidak mempedulikan minat dan keinginan orang lain. Bahkan ketika mereka berada dalam kondisi kesehatan yang baik, lansia cenderung terlalu
perhatian pada kesehatannya. Mereka cenderung mudah mengeluh mengenai kesehatannya. Mereka juga sering menunjukkan perhatiannya pada dirinya sendiri
dengan cara membicarakan masa lalunya terus menerus, berharap untuk ditunggu, dan selalu ingin menjadi pusat perhatian. Pemusatan pada diri sendiri tersebut
menimbulkan kesan sikap yang kurang menyenangkan pada lansia.
2.1.4 Death Anxiety pada Lansia
Melihat death anxiety pada lansia yang mengacu pada teori perkembangan psikososial, fase kedua akhir generativity vs stagnation muncul ketika seseorang
menyadari dekatnya kematian dan fase tersebut akan terselesaikan jika seseorang mampu berkontribusi terhadap perkembangan generasi berikutnya, dan death anxiety
akan muncul jika seseorang tidak mampu melakukannya. Fase final dari kehidupan manusia integrity vs. despair, tercapai jika seseorang mampu melihat dirinya secara
keseluruhan dan mampu mengingat masa lalu tanpa rasa bersalah. Hal tersebut memunculkan ketakutan terhadap kematian yang rendah, sedangkan penyesalan
terhadap kesalahan yang dilakukan di masa lalu serta kesempatan-kesempatan yang tidak diambil dulu dapat berakhir pada tingginya tingkat death anxiety Erikson,
1963; Labouvie-Vief, 1982; Cicirelli, 2002. Hoyer dan Roodin 2003 mengemukakan, seperti halnya kecemasan yag
merupakan emosi yang normal, kecemasan yang berhubungan dengan kematian juga merupakan suatu hal yang normal. Banyak penelitian lanjutan dari death anxiety
dalam populasi nonklinis. Penemuan-penemuan dari penelitian Kastenbaum 2000 adalah sebagai berikut:
1. Sebagian besar responden dalam sebuah komunitas tidak
menunjukkan tingkat death anxiety yang tinggi. 2.
Wanita menunjukkan tingkat death anxiety yang lebih tinggi dibandingkan pria.
3. Dalam penelitian lintas budaya, orang dengan usia yang lebih tua pada
umumnya tidak menunjukkan tingkat death anxiety yang lebih tinggi dibandingkan dengan orang yang usianya lebih muda walaupun
mereka lebih dekat dengan kematian itu sendiri.
4. Tingkat pendidikan dan status sosial-ekonomi yang lebih tinggi
berhubungan dengan tingkat death anxiety yang lebih rendah. 5.
Tingkat religiusitas yang tinggi dan partisipasi dalam praktek religius tidak berhubungan dengan tingkat death anxiety yang lebih rendah.
Kastenbaum 2000 juga menyatakan bahwa tingkat death anxiety yang sebagian besar dirasakan oleh individu dalam kehidupan sehari-harinya mungkin
dapat meningkat secara dramatis ketika individu mengalami periode stres atau ancaman, seperti masalah kesehatan, penyakit, atau kematian orang terdekatnya.
Pada umumnya, orang lanjut usia tidak terlalu merasa cemas terhadap kematian dibandingkan dengan orang pada usia yang lebih muda Bengston, Cuellar,
Ragan, 1975 dalam Papalia et al., 2007. Kesadaran akan kematian meningkat seiring bertambahnya usia, tetapi orang yang lebih tua menunjukkan penerimaan yang
lebih tinggi daripada individu pada usia yang lebih muda atau pertengahan Woodruff-Pak, 1988 dalam Hoyer dan Roodin, 2003. Mereka lebih cenderung
menggunakan strategi coping emosional. Dari tahun ke tahun, selama mereka mengalami kehilangan teman-teman terdekat dan kerabatnya, mereka secara perlahan
menata pemikiran dan perasaannya untuk dapat menerima kenyataan mengenai kematian.
Kemunduran fisik dan masalah-masalah lain pada masa lanjut usia mungkin dapat mengurangi kenikmatan seseorang dalam menjalani hidupnya. Namun
sebaliknya, ketika 414 pasien rumah sakit yang berusia 80-90 ditanya berapa lama
waktu yang akan mereka tukar jika mereka ditawarkan untuk menukarnya dengan kesembuhan dan hidup yang sehat, 2 dari 3 orang tidak ingin memberikan lebih dari
sebulan masa hidupnya Tsevat et al., 1998 dalam Papalia et al., 2007. Menurut Erikson, orang-orang di masa lanjut usia harus menghadapi fase kedelapan dari
perkembangan manusia, yaitu integrity versus despair. Seseorang yang dapat melewati fase ini meraih kebijaksanaan yang memungkinkan mereka untuk dapat
menerima apa yang telah mereka lakukan selama hidup dan kematian yang akan segera datang Papalia et al., 2007.
Ketika seseorang telah mencapai usia lansia, mereka tahu bahwa waktu mereka sudah dekat dengan akhir kehidupan. Ditambah lagi, mereka dihadapkan
dengan meningkatnya paparan terhadap kematian di dalam lingkungannya. Pasangannya, saudara, dan teman mungkin sudah terlebih dahulu meninggal, dan hal
tersebut menjadi pengingat konstan mengenai kematiannya sendiri. Prevalensi kematian pada lansia membuat mereka lebih kurang merasakan kecemasan mengenai
kematian daripada di awal-awal kehidupan mereka. Hal ini bukan berarti bahwa para lansia menerima kematian. Justru hal ini mengimplikasikan bahwa mereka menjadi
lebih realistis dan reflektif mengenai hal itu. Mereka berpikir mengenai kematian, dan mulai mempersiapkannya Feldman, 2011.
Walaupun banyak yang membuktikan bahwa lansia memiliki penerimaan yang lebih besar dalam hal kematian daripada orang yang usianya lebih muda atau
dewasa madya, pengalaman masa lalu seseorang dan konfrontasi terhadap kematian