Pengujian Proporsi Varian Masing-Masing Independent Variable

pengaruhnya terhadap death anxiety yaitu jenis kelamin. Dengan demikian hanya satu hipotesis minor yang diterima yaitu ada pengaruh yang signifikan dari jenis kelamin terhadap death anxiety. Dimensi-dimensi dari independent variable lainnya tidak menunjukkan pengaruh yang signifikan, yaitu locus of control, perceived social support, religious orientation, dan pengalaman mengenai kematian. Penyebab tidak signifikannya variabel-variabel tersebut akan dijelaskan di subbab diskusi. Berdasarkan proporsi varian masing-masing independent variable, hanya ada satu sumbangan iv yang memberikan sumbangan varian yang signifikan terhadap death anxiety, yaitu sumbangan varians dari jenis kelamin yaitu sebesar 10,9.

5.2 Diskusi

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh locus of control, perceived social support, religious orientation, pengalaman mengenai kematian dan jenis kelamin terhadap death anxiety lansia di RW 09 kelurahan Kebon Pala, Jakarta Timur. Beberapa penelitian sebelumnya menyatakan bahwa lima variabel tersebut memiliki pengaruh yang signifikan terhadap death anxiety. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa jenis kelamin memiliki pengaruh yang signifikan terhadap death anxiety, sedangkan variabel lain yaitu locus of control, perceived social support, religious orientation, dan pengalaman mengenai kematian tidak memberikan pengaruh yang signifikan. Hasil ini juga menggambarkan kesesuaian sekaligus pertentangan dengan teori-teori yang juga meneliti variabel-variabel ini sebelumnya. Oleh karena itu peneliti mencoba untuk membahasnya. Hasil yang diperoleh dari penelitian ini menunjukkan bahwa jenis kelamin memiliki pengaruh yang signifikan terhadap death anxiety. Artinya dalam penelitian ini terdapat perbedaan tingkat death anxiety pada responden pria dan wanita. Perbedaan tingkat death anxiety antara pria dan wanita tersebut kemudian menunjukkan bahwa responden wanita cenderung memiliki death anxiety yang lebih tinggi dibandingkan pria. Hasil ini sesuai dengan penelitian Daaleman Dobbs 2010 yang menemukan bahwa wanita memiliki penerimaan yang rendah terhadap kematian daripada pria. Penjelasan yang mungkin dapat dikemukakan dalam perbedaan tersebut adalah bahwa pria cenderung kurang terbuka dalam mengekspresikan perasaan takutnya, dan sebaliknya, wanita lebih “dekat dengan perasaannya” daripada pria Kastenbaum, 2000; Russac, et. al., 2007. Azaiza, Ron, Shoham, Gigini 2010 juga menemukan perbedaan tingkat death anxiety yang siginfikan antara pria dan wanita dalam penelitiannya mengenai death anxiety pada lansia di Arab. Pendapat yang serupa mengenai hal yang menyebabkan penelitian ini juga dikemukakan, bahwa norma budaya mendukung wanita untuk lebih bebas mengungkapkan emosi-emosinya, seperti rasa takut, dan lebih menekan pria untuk melakukannya. Norma budaya ini juga terdapat di Indonesia, dimana wanita cenderung lebih bebas mengekspresikan emosinya, sedangkan pria dituntut untuk menjadi orang yang kuat dan tangguh karena mereka menghargai kekuatan. Krieger, Epting, Leitner, 1974 dalam DePaola et. al., 2003 juga menyatakan bahwa wanita lebih melihat kematian dari segi emosional, sedangkan pria melihatnya dari segi kognitif. Sejalan dengan itu, rendahnya tingkat death anxiety pada pria diintepretasikan oleh Da Silva Schork 1985, dalam Kastenbaum, 2000 berhubungan dengan macho effect. Mereka lebih nyaman ketika menghindari pikiran tentang kematian dan hanya memikirkannya tidak lebih dari setahun sekali. Mereka lebih termotivasi dalam prestasi dalam hidupnya daripada pemikiran mengenai kematiannya sendiri. Pendapat yang sama juga dilontarkan oleh Schumaker, Barraclough, Vagg 1988, dalam Chuin Choo, 2009 yaitu bahwa pria lebih didorong untuk mengejar kesuksesan dan meraih prestasi yang sebenarnya makin memperkuat ilusi imortalitas dibandingkan wanita. Ilusi ini sering digunakan untuk melawan death anxiety. Selain itu, tingkat death anxiety yang tinggi pada wanita juga dipicu oleh peran wanita sebagai pengasuh di dalam keluarga. Perlu diketahui bahwa responden wanita di dalam penelitian ini sebagian besar pekerjaannya adalah ibu rumah tangga, yang merawat suami dan anak-anak dari kecil hingga sudah berkeluarga. Bahkan ketika anak-anak mereka sudah berkeluarga, masih ada yang tinggal dengan orangtuanya. Oleh karena itu, lansia wanita yang masih merawat keluarganya cenderung mengalami ketakutan akan kematian karena mereka takut tidak akan bisa bersama keluarganya dan anak-anak serta cucunya tidak terawat dengan baik. Kastenbaum 2000 juga berpendapat bahwa tingginya tingkat death anxiety pada wanita berhubungan dengan sensitifitas wanita pada kebutuhan-kebutuhan orang lain dan kemauan mereka untuk memberikan perawatan dan kenyamanan. Variabel yang tidak signifikan terhadap death anxiety adalah variabel locus of control. Variabel internal locus of control dalam penelitian ini memiliki pengaruh negatif yang tidak signifikan, artinya semakin internal locus of control dalam diri seseorang, semakin rendah tingkat death anxiety. Individu dengan kecenderungan Internal locus of control yang tinggi memiliki kepercayaan bahwa dirinya memiliki kontrol terhadap kehidupannya. Sedangkan aspek external locus of control memiliki pengaruh negatif yang tidak signifikan terhadap death anxiety. Hal ini tidak sejalan dengan penelitian Cicirelli 1999 yang membuktikan bahwa ada pengaruh positif yang signifikan antara external locus of control dengan death anxiety. Penelitian Hayslip Steward-Bussey 1987 dalam Cicirelli, 1999 juga menunjukkan hal yang berbeda, yaitu eksternalitas berhubungan dengan tingkat death anxiety yang lebih tinggi, sedangkan internalitas berhubungan dengan death anxiety yang rendah. Penyebab perbedaan hasil penelitian tersebut mungkin dikarenakan kepercayaan yang kuat bahwa kontrol dari kematian sepenuhnya berasal dari Tuhan. Profil warga RW 09 kelurahan Kebon Pala yang sebagian besar beragama Islam dan memiliki kepercayaan bahwa kematian merupakan takdir Tuhan, berbeda dengan di barat dimana terdapat orang-orang atheis dan agnostik yang skeptis terhadap Tuhan dan berpersepsi bahwa individu memiliki kontrol terhadap kehidupan di dunia. Mungkin individu dapat memiliki kontrol kuat terhadap kehidupannya, namun dengan kepercayaan yang kuat ini, individu berpendapat bahwa apapun yag dilakukannya tidak akan merubah kenyataan bahwa kematian merupakan hal yang tidak dapat dikontrol, dan kontrol tersebut ada pada Tuhan. Adanya pengaruh yang tidak signifikan juga ditunjukkan oleh variabel perceived social support. Walaupun tidak signifikan, aspek perceived social support dari keluarga menunjukkan arah yang positif, dimana jika individu menerima banyak dukungan dari keluarga, ia akan memiliki death anxiety yang lebih tinggi. Sedangkan dukungan yang bersumber dari teman menunjukkan arah yang negatif, diaman semakin besar persepsi dukungan dari teman, maka death anxiety akan semakin menurun. Hasil yang berbeda dibuktikan oleh Cicirelli 1999 yang menemukan bahwa terdapat pengaruh negatif yang signifikan antara perceived social support terhadap salah satu bentuk dari death anxiety. Penelitian oleh Khawar, Aslam, Aamir 2013 juga menunjukkan hasil yang berbeda, yaitu terdapat pengaruh negatif yang signifikan antara perceived social support terhadap death anxiety. Variabel lain yang tidak memiliki pengaruh secara signifikan terhadap death anxiety adalah religious orientation. Walaupun tidak signifikan, masing-masing dimensi memberikan pengaruh yang berbeda kepada death anxiety, yaitu dimensi internal religious orientation yang berpengaruh negatif terhadap death anxiety dan dimensi external religious orientation yang berpengaruh secara positif terhadap death